Budaya Hindhu Di Aceh
Pengaruh hindu di Aceh telah terjadai semenjak zaman purbakala seperti yang ditulis oleh ahli-ahli ketimuran Belanda dalam beberapa buku tentang sejarah budaya Aceh
( Prof Dr H Aboebakar Atjeh: 1972 ).
Adat dan budaya Aceh yang kental dengan nuansa Islam, masih dipengaruhi oleh tradisi hindu. Hal ini disebakan, sebelum Islam masuk, Hindu telah berkembang di Aceh. Setelah Islam masuk, unsur-unsur hindu dihilangkan, namun tradisinya masih ada yang dipertahankan sampai sekarang.
Asimilasi budaya Aceh, pernah disinggung oleh Teuku Mansoer Leupeung, Uleebalang yang dikenal sebagai pujangga. Dalam hikayat Sanggamara, tokoh yang hidup seangkatan dengan Teuku Panglima Pole mini mengisahkan.
Adat Aceh bak riwayat
Bacut sapat dudoe teuka
Peutama phon dalam kitab
Bangsa Arab nyang peuteuka
Nyang keudua bak Meulayu
Nibak hindu dengan Jawa
Nibak Cina na sigeuteu
Adat badu ngon Manila
Bangsa Jawa ngon Meulayu
Le that teungku keunan teuka
Hingga rame nanggroe makmu
Meurah breuh bu meuhai lada
Bak peukayan dum ban laku
Ureung hindu nyang peuteuka
Cuba tilek tingkah laku
Bajei Badu ladom pih na
Susoen bahsa Ara Meulayu
Barat timu bacut biza
Bahsa Arab na sigeuteu
Jampu bawu laen pih na
Senada dengan Teuku Mansoer Leupueng, menurut H Muhammad Said dalam makalah budayanya pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II, Agustus 1972 menjelaskan, pada tahun 1891, seorang peneliti asing bernama G K Nieman sudah menemukan 150 kata dari bahasa Campa dalam bahasa Aceh. Demikian juga dengan bahasa Khmer ( Kamboja ) tetapi yang sangat dominan adalah bahasa Melayu dan bahasa Arab.
Tentang Hindu di Aceh, seperti yang pernah diungkapkan oleh sejarawan Belanda J.C Van Luer, mengatakan bahwa sejarah dan budaya Aceh sebelum kedatangan islam dan bangsa barat telah terisi dengan landasan hindu- sentris ( Indonesia Trade and Society, hal 261 )
Walau Islam telah kuat, sebahagian tradisi dan cara hidup hindu ada yang terus melekat pada masyarakat Aceh. Bahkan tradisi yang bersifat positif terus dipertahankan, seperti tradisi hidup bergotong royong dan berbagai tradisi lainnya yang kemudian unsur hidupnya diganti secara bertahap dengan syariat islam.
Tradisi-tradisi hindu yang telah diislamkan tersebut masih ada sampai sekarang, seperti pada acara khanduri laet ( kenduri laut ) yang dilakukan oleh para nelayan. Dulu pada acara khenduri laut ini, darah kerbau itu ditampung, asoe dalam ( organ dalam) kerbau tersebut beserta kepala, dibungkus kembali dengan kulitnya dan kemudian dihanyutkan ke tengah laut sebagai persembahan kepada penghuni laut.
Acara kenduri laut ini masih bertahan sampai sekarang, tetapi seiring dengan masuknya Islam, pemberi sesajen untuk penghuni laut dihilangkan, upacara pembuatan sesajennya diganti dengan kenduri dan doa bersama. Daging sapi atau kerbau yang disembelih tersebut dimakan bersama anak yatim dan fakir miskin agar hajatan yang dilakukan tersebut mendapat berkah.
Pemotongan ayam putih dan ayam hitam pada daka ( pintu air ) tambak oleh petani tambak sebelum panen juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu yang masih dilakukan sampai sekarang oleh petani tambak tradisionil. Paha, hati dan dada ayam tersebut baik yang dimasak, dipanggang dan digoreng, bersama dengan masakan lainnya dibungkus dengan daun pisang terpisah-pisah kemudian disatukan dalam pelepah pinang yang dibentuk seperti sampan untuk dipasang pada pohon atau batang kayu ditengah tambak. Ini juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu. Kini acara ini mulai diganti dengan makan dan berdoa bersama anak yatim sebelum tambak panen.
Selain itu peusijuek (tepung tawar) barang-barang berharga yang baru dibeli seperti kereta dan mobil, dengan menggunakan berbagai jenis rumput. Dengan akar rumput tersebut yang telah diikat, air dipercikkan ke barang yang ditepung tawarkan.. Acara peusoen atau peusijeuk orang yang baru sembuh dari sakit atau pulang dari bepergian jauh juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu.
Begitu juga acara belah kelapa pada saat peutreun aneuk miet ( membawa keluar rumah bayi pertama kali ) juag merupakan tradisi-tradisi hindu yang masih ada sampai sekarang dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dalam berpakaian, tusuk konde pada sanggul wanita juga merupakan tata cara berpakain hindu yang membudaya dalam masyarakat Aceh sampai sekarang.
Malah ada yang lebih kental lagi dan dilarang dalam islam, seperti pemujaan terhadap pohon-pohon besar dengan cara menggantungkan bunga-bungaan yang diikat dengan berbagai benang pada cabang pohon oleh para pemuja sihir, itu juga merupakan budaya hindu.
Menurut keterangan H.M. Zainuddin dalam tulisannya “Aceh Dalam Inskripsi dan Lintasan Sejarah “. Sebelum Islam masuk ke Aceh, di Aceh telah berkembang kota-kota kerajan hindu seperti : Kerajaan Poli di Pidie yang berkembang sekitar tahun 413 M. Kerajan Sahe sering juga di sebut Sanghela di kawasan Ulei Gle dan Meureudu, kerajan ini terbentuk dan dibawa oleh pendatang dari pulau Ceylon. Kerajaan Indrapuri di Indrapuri. Kerajaan Indrapatra di Ladong. Kerajaan Indrapurwa di Lampageu, Kuala pancu.
Semua kota-kota hindu tersebut setelah islam kuat di Aceh dihancurkan. Bekas-bekas kerajaan itu masih bisa diperiksa walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, Kecamatan Ulim ( perbatasan Ulim dengan Meurah Dua ), reruntuhan di Ladong.
Bahkan menurut H M Zainuddin, mesjid Indrapuri dibangun diatas reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan candi-candi dan batunya kemudian dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan benteng-benteng.***Gus Welirang
Situs Sejarah Kabupaten Aceh Besar
1. Benteng Indra Patra
Benteng Indra Patra yang terletak di dekat pantai Ujong Batee, Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar ini dibangun oleh Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu pertama di Aceh (Indra Patra) pada masa sebelum kedatangan Islam di Aceh, yaitu pada abad ke tujuh masehi. Benteng ini dibangun dalam posisi yang cukup strategis karena berhadapan langsung dengan Selat Malaka, sehingga berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan armada Portugis. Pada masa Sultan Iskandar Muda, dengan armada lautnya yang kuat dibawah pimpinan Laksamana Malahayati, sebagai laksamana wanita pertama di dunia, benteng ini digunakan sebagai pertahanan kerajaan Aceh Darussalam.
Benteng ini berukuran besar dan berkonstruksi kokoh, berarsitektur unik, terbuat dari beton kapur. Saat ini jumlah benteng yang tersisa hanya dua, itu pun pintu bentengnya telah hancur terkena tsunami. Pada awalnya ada tiga bagian besar benteng yang tersisa. Benteng yang paling besar berukuran 70 x 70 meter dengan ketinggian 3 meter lebih. Ada sebuah ruangan yang besar dan kokoh berukuran 35 x 35 meter dan tinggi 4 meter. Rancangan bangunannya terlihat begitu istimewa dan canggih, sesuai pada masanya karena untuk mencapai bagian dalam benteng, harus dilalui dengan memanjat terlebih dahulu.
2. Mesjid Indra Puri
Masjid Indra Puri yang terletak sekitar 150 meter dari tepi Sungai Krueng Aceh, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia ini, berdasarkan situs arkeologis, adalah masjid tertua di Nusantara, yang dipengaruhi Hindu di masa lampau. Pada tahun 1874, tempat ini pernah digunakan untuk melantik Tuanku Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah.
Pada masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, Indra Puri pernah menjadi Ibu Kota Kerajaan dan Masjid Indra Puri dijadikan sebagai pusat dakwah, pendidikan, politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Dari masjid ini, banyak lahir ulama-ulama besar, pemikir dan ahli pembangunan yang bekerja untuk kerajaan.
Sebelum kedatangan Islam, tepatnya pada masa Kerajaan Hindu, Masjid Indra Puri merupakan candi yang digunakan sebagai tempat pemujaan atau peribadatan umat Hindu. Pada masa Sultan Iskandar Muda, bangunan bekas candi ini dialih fungsikan menjadi masjid agar masyarakat lebih mudah beribadah dan memeluk Islam.
Selain sebutan Masjid Indra Puri, masyarakat menyebutnya dengan Benteng Indra Puri. Bangunan masjid ini berbentuk berundak dan berdinding tembok. Bahan baku yang terpasang di dinding terlihat tidak teratur dengan campuran kapur dan tanah liat sebagai perekat.
http://www.tanohaceh.com/?p=457
http://agamakejawen.blogspot.com/2010/08/budaya-hindhu-di-aceh_6688.html