Rabu, 27 April 2011

Peran Ulama Aceh pada Awal Kemerdekaan

Kiprah Ulama Aceh pada Awal Kemerdekaan

Keterlibatan ulama di Aceh dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, setelah diproklamasikannya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sangat besar.
Meskipun berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di Aceh agak terlambat. Para pemimpin di Aceh yang mayoritasnya ulama, memperingatkan rakyat Indonesia bahwa kemungkinan besar Belanda akan menjajah Indonesia kembali. Kecurigaan tokoh-tokoh pimpinan Aceh tersebut, terbukti pada September 1945 yang mulai melakukan agresi militernya dan telah berada di Medan (Anthony Reid, 1979 ; 151-152).
Sehubungan dengan situasi seperti itu, beberapa ulama melakukan pertemuan yang memutuskan untuk memberi dorongan kepada Republik Indonesia terhadap Proklamasi kemerdekaannya. Pertemuan itu, menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut “Deklarasi Seluruh Ulama Aceh” yang ditandatangani oleh empat ulama terkenal, yaitu : Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk. Ja’far Siddiq dan Tgk. Hasan Krueng Kalee (Hasbi Amiruddin, 2004 ; 55).
Pernyataan politik tersebut berisi tentang perang jihad fisabilillah bagi seluruh ummat Islam untuk mempertahankan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan kalau gugur mendapatkan pahala syahid (Ali Hasjmy, 1997 ; 115). Deklarasi ini telah mendorong rakyat untuk bersatu mendukung “Pemimpin Besar Soekarno” dalam perlawanan terhadap Belanda yang ingin kembali ke Indonesia, karena Belanda diyakini akan menghancurkan kemurnian agama dan juga menindas serta melecehkan kehormatan dan merintangi kemakmuran rakyat Indonesia.
Keberhasilan Belanda dalam menggempur Surabaya (Jawa Timur), 10 November 1945 membuat sejumlah ulama di Aceh membentuk angkatan perang Islam yang dinamakan Lasykar Mujahiddin. Pertemuan pembentukan Lasykar Mujahiddin tersebut berlangsung di Mesjid Raya Baiturrahman pada tanggal 17 November 1945. Lasykar ini dipimpin oleh Tgk. Daud Beureueh, salah seorang ulama yang menandatangani deklarasi ulama.
Organisasi pasukan militer ini dalam waktu yang singkat telah membangun lasykar di beberapa wilayah. Selanjutnya Lasykar Mujahiddin berubah namanya menjadi Divisi Tgk. Chik Di Tiro dan di Aceh Timur diberi nama Divisi Tgk. Chik Paya Bakong. Divisi Tgk. Chik Di Tiro dipimpin oleh Tgk. Daud Beureueh dan Divisi Tgk. Chik Paya Bakong dipimpin oleh Tgk. Amir Husein Al Mujahid (Jarahdam, 1972; 1-8).
Patriotisme perjuangan rakyat Aceh yang dibalut dengan semangat jihad fi sabilillah, membuat Belanda mengurungkan niatnya menyerang Aceh. Kendatipun, Belanda telah mendirikan markas-markasnya di Medan dan Inggris di Sabang. Agresi pertama Belanda pada 21 Juli 1947 gagal masuk ke Aceh.
Pada pertengahan tahun 1948, Presiden Soekarno mengunjungi Aceh dan mengumpulkan para tokoh dan pedagang Aceh untuk membantu perjuangan. Waktu itu semua anggota masyarakat terutama para pedagang mengumpulkan dana dan emas untuk membeli sebuah kapal terbang.
Tokoh Aceh yang menjadi Gubernur Militer pada waktu itu, yakni Tgk. M. Daud Beureueh, meminta kepada Bung Karno untuk mengizinkan diberlakukannya syari’at Islam di daerah Aceh setelah merdeka. Bung Karno yang semula menyatakan setuju, setelah Tgk. M. Daud Beureueh menyodorkan konsep surat untuk ditandatangani, Bung Karno menangis terisak-isak sambil mengatakan : ”Kanda tidak percaya padaku, buat apa aku menjadi Presiden kalau aku tidak dipercaya”. Tgk. M. Daud Beureueh pun mengundurkan niatnya sesudah itu. Hal ini menjadi bukti tentang besarnya peranan seorang ulama dalam masyarakat Aceh.
Untuk menghargai besarnya peranan ulama di Aceh, Pemerintah Pusat menetapkan Tgk. Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Keputusan tersebut tertulis dalam Keputusan Presiden pada 26 Agustus 1949, No. 4/WKP/U/47 (Nazaruddin Syamsuddin, 1985; 27).
Latar belakang munculnya kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh, disebabkan sampai bulan Maret 1950 Pemerintah belum menetapkan Aceh sebagai Provinsi. Sebenarnya, Provinsi Aceh dibentuk tanggal 31 Januari 1950 melalui Peraturan Perdana Menteri pengganti Peraturan Pemerintah Nomor : 8/Des/WKPM/1949 yang tidak berlaku lagi.
Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, tentang pembentukan Provinsi Aceh dan memasukkannya kembali menjadi bagian Provinsi Sumatera Utara. Hal ini sangat ditentang oleh tokoh-tokoh pimpinan Aceh termasuk para ulama, kondisi ini menjadi permasalahan yang menimbulkan ketegangan hubungan Aceh dengan Pemerintah Pusat (Ramadhan dan Hamid Jabar, 1995:316).
Penghapusan provinsi Aceh, menyebabkan pembangunan dan perkembangan Aceh menjadi terhambat. Rasa tidak puas mulai muncul di tengah masyarakat. Sebagai suatu Keresidenan, banyak hal yang berubah. Para pegawai yang berasal dari Aceh, banyak yang dinon-aktifkan. Pelabuhan Ulee Lheue ditutup, semua barang dari Aceh harus melalui Belawan, Medan. Begitu juga halnya dengan penutupan Pelabuhan Lhokseumawe dan Langsa.
Aceh merasa dianaktirikan dan rasa tidak puas itu akhirnya meledak. Bersamaan dengan saat Presiden Soekarno meresmikan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-III di Stadion Teladan-Medan, tanggal 20 September 1953, pemberontakan di Aceh pecah. Mereka menamakan gerakannya Darul Islam (DI) dan Pasukan Tentara Islam Indonesia (TII), dibawah pimpinan Teungku M. Daud Beureueh (Ramadhan dan Hamid Jabar, 1995 : 316-317).
Disebut juga pada pertengahan tahun 1953, seorang intel dari Kejaksaan Agung (bernama Mustafa dengan nama samaran A. Fatah), pergi ke Aceh dan menemui beberapa tokoh Aceh, antara lain Wedana Kutaraja (Banda Aceh), Tgk. Syeikh Marhaban, dan Tgk. A. Wahab Seulimum. Mustafa, menginap tiga bulan di rumah Tgk. M. Daud Beureueh untuk mencari hubungan antara pergerakan yang dipimpin Tgk. Daud Beureueh dengan DI/TII pimpinan Sekarmaji di Jawa Tengah.
Setelah kepulangan Mustafa ke Jakarta dan rumahnya diperiksa oleh pihak Kejaksaan Agung, yang kemudian didapatilah surat kuasa yang ditandatangani oleh Tgk. M. Daud Beureueh, Jaksa Sunaryo dari Kejaksaan Agung berkali-kali mengunjungi Aceh dan memberikan keterangan pers bahwa tiga ratus pemimpin Aceh akan ditangkap. Setelah beberapa kali Sunaryo datang ke Aceh, tokoh-tokoh Aceh menjadi gelisah, karena beberapa orang diantaranya dipindahkan keluar Aceh. Maka timbullah pemberontakan yang diberinama DI/TII di Aceh .
Untuk menyelesaikan masalah ini, diselenggarakan Musyawarah Aceh di Medan yang dihadiri oleh seluruh organisasi masyarakat Aceh di luar Aceh dan wakil-wakil dari kabupaten diseluruh Aceh. Disamping itu para petinggi militer dari Pusat mengadakan pendekatan dengan tokoh-tokoh DI/TII, termasuk Jenderal Abdul Haris Nasution yang bertemu dengan Hasan Saleh Panglima Perang DI/TII yang kemudian membentuk Dewan Revolusi, mengambil alih kekuasaan dari tangan Tgk. M. Daud Beureueh. Wakil Presiden Mohammad Hatta juga mengirimkan utusan ke pedalaman Aceh menemui Perdana Menteri DI/TII, Tgk. Hasan Ali.
Akhirnya datang ke Aceh suatu missi resmi dari Pemerintah Pusat dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia, Mr. Hardi. Missi ini kemudian terkenal dengan nama Missi Hardi. Setelah beberapa hari berunding dengan tokoh-tokoh Aceh, termasuk Gubernur Aceh, Ali Hasymy, dan tokoh-tokoh DI/TII disimpulkan bahwa kepada daerah Aceh diberikan keistimewaan dalam tiga bidang, yaitu : (1) bidang Agama; (2) bidang Adat; dan (3) bidang Pendidikan. Pemberian keistimewaan itu dituangkan dalam Keputusan Peradana Menteri No. 1/Missi/1959, dan sejak waktu itu Propinsi Aceh dinamakan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Akan tetapi, Keputusan Wakil Perdana Menteri ini tidak punya efek apa-apa terhadap daerah Aceh. Setelah Keputusan Wakil Perdana Menteri ini, pada tahun 1962 dilanjutkan dengan Keputusan Panglima Komando Daerah Militer I/ Iskandar Muda, Kolonel M. Jasin dengan menetapkan berlakunya syari’at Islam di Aceh. Keputusan ini merupakan Keputusan Penguasa Perang Daerah (Peperda). Tetapi pada waktu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang ini, ternyata ditolak oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan peraturan pelaksanaan terhadap Keputusan Wakil Perdana Menteri Hardi, tidak pernah muncul di tingkat pusat.
Masyarakat Aceh secara keseluruhan telah menjadi penganut agama Islam, dalam kehidupannya sehari-hari sejauh mungkin dicoba untuk diselaraskan dengan tuntunan ajaran Islam. Karenanya sistem budaya etnis yang dimilikinya yaitu adat telah disesuaikan dengan berbagai segi ajaran Islam, sehingga antara keduanya sudah sukar untuk dipisahkan, seperti telah diutarakan dalam ungkapan tersebut di atas.[]

http://abangdetak.wordpress.com/2010/05/10/kiprah-ulama-aceh-pada-awal-kemerdekaan/

JANGAN LUPA