Rabu, 13 April 2011

QANUN WALI NANGGROE DALAM MANUSKRIP ACEH

Oleh: T.A. Sakti

Qanun Wali Nanggroe, dipersiapkan oleh DPRA dengan menjaring berbagai informasi. Mulai Jakarta hingga luar negeri, begitu kata berita. Saya bersetuju apa yang berkembang dalam diskusi di Jakarta itu. Bahwa jabatan Wali nanggroe jangan sebatas simbol belaka, tapi harus ada sejumlah wewenang sehingga Wali nanggroe benar-benar berwibawa.

Dalam manuskrip (naskah-naskah lama) Aceh, sebagian naskah itu berhasil saya salin ke dalam huruf Latin selama 15 tahun terakhir. Baik berupa hikayat, nazam dan tambeh, maupun karya lainnya yang ditulis tempo dulu dalam bahasa Melayu, Arab dan Aceh.

Manuskrip itu banyak yang hilang karena tidak dirawat juga tidak lengkap, di antaranya nama jabatan pemerintahan yang kurang tertera secara rinci. Misalnya jabatan sultan, raja, perdana menteri , Menteri, hulubalang, kadli, bentara, panglima, kepala mukim, Keuchik, Waki keuchik, imam kampung, keujruen, bujang dan tuha peuet.

Ada beberapa naskah yang disebut memadai, khusus menulis tentang jabatan-jabatan pemerintahan di Aceh pada masa lampau. Hal ini dapat dijumpai dalam naskah Adat Aceh, Tazkirah Thabaqat, Tajussalatin dan Adat Meukuta Alam.

Berkaitan dengan Wali Nanggroe, dapat dikaji dengan merujuk pada sejumlah manuskrip Aceh. Pertama, dalam naskah Adat Meukuta Alam. Naskah ini adalah Hukum Dasar atau Konstitusi Tertulis Kerajaan Aceh Darussalam, yang konon dipakai sejak Sultan Iskandarmuda. Selanjutnya direvisi oleh para sultan Aceh kemudian.

Buku Adat Meukuta Alam yang disusun Tuwanku Abdul Jalil (terbitan Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, 1991), tersebut beberapa jabatan pemerintahan, yaitu Sultan, Kadli Malikul Adil, Raja Udah na Lela, Panglima Paduka Sinara, Sri Maharaja Indra Laksamana, Panglima Sagi, Orang Kaya Sri Maharaja Lela, Hulubalang Rama Setia, Teuku Panglima Mesjid Raya, Bentara, Datu, Imum Mukim, Keujruen, Kechik.

Kedua, Hikayat Malem Dagang, yang menceritakan perjalanan Sultan Iskandarmuda beserta pasukannya untuk menyerang Raja Si Ujut-lambang Portugis- ke Malaka. Iskandarmuda bersama sebagian pasukan berangkat lewat darat ke pantai timur Aceh. Sedangkan sebagian lainnya berangkat melalui laut di bawah komando Kapal Cakra Donya. Pada bagian akhir Hikayat ini tertera tahun 1309 H, yang belum diketahui apakah tahun penulisannya atau tahun naskah itu disalin ulang. Dalam Naskah Hikayat Malem Dagang itu dijumpai beberapa nama jabatan pemerintah, Bujang, Teungku Pakeh, Maharaja Indra, (Panglima Pidie), Ja Ulama/ Ja Madinah (Meureudu), Maharaja (Samalanga), Panglima, Tandi, Keuchik, Waki dan Peutua Nanggroe.

Ketiga, Hikayat Akhbarul Karim, dikarang Teungku Seumatang menjelang Belanda menyerang Aceh tahun 1873. Isinya mencakup segala bidang agama Islam. Menurut kitab ini, seseorang memang telah ditentukan pangkatnya. Dalam kutipan berikut ini akan dijumpai beberapa jabatan yang sudah ‘diadatkan’ dikehendak Tuhan kepada seseorang, yaitu; Nyang keu Nabi han keu umat/Nyang keu rakyat hankeu raja. Nyang keu Geusyik han keu Waki/Nyang keu Tandi han Bentara. Raja, Geusyik, Waki, Tandi dan Bentara adalah jabatan-jabatan pemerintahan masa kerajaan Aceh Darussalam.

Keempat, Hikayat Abunawah. Isinya mengkritik pemerintahan Baghdad. Jabatan-jabatan pemerintahan yang dijumpai di dalamnya adalah Khalifah, Mentroe, Raja, Peurdana Meuntroe, Wazi, Uleebalang, Bentara, Datu dan Bujang.

Kelima, Tazkirat Thabaqat. Naskah yang mengulas struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam; sejak level Keuchik sampai Sultan. Pertama ditulis pada masa Sultan ‘Alaiddin Mahmud Alqahar (sebelum Sultan Iskandar Muda). Terakhir disalin Sayid Abdullah alias Teungku Di Mulek pada masa Sultan Ibrahim Mansur Syah tahun 1270 H. Ditulis jabatan pemerintahan, yaitu Sultan, Raja, Mangkubumi, Mufti, Perdana Menteri, Kadli Malikul Adil, Menteri, Raja Mudasyah Bandar, Hulubalang, Tandi Kawal, Panglima Laot, Panglima Meugoe, Kuejruen Blang, Keuchik, Waki Keuchik, Teungku Sagoe, empat orang wakil Teungku Sagoe dan Tuha Peuet.

Suatu hal yang belum pernah saya jumpai dalam naskah-naskah lain, bahwa Kerajaan Aceh Darussalam pernah membayar tadah (gaji/honor) kepada segenap pejabatnya sejak Sultan sampai kepada 11 orang pejabat dalam setiap kampung di seluruh Aceh. Gaji terendah itu sebesar setengah tahil dua mas (dua ringgit dua mas).

Dari lima manuskrip Aceh itu, ternyata tidak satu naskah pun yang menyebut lembaga Wali Nanggroe. Hanya istilah Peutua Nanggroe, yang dapat kita temukan dalam hikayat Malem Dagang. Ketika perjalanan lewat darat sultan Iskandar Muda ke Peusangan, beliau bertanya kepada pemimpin masyarakat di sana;

//Padum na kapai di gata sinoe/Tapeugah bak kamoe sigra-sigra/kapai tuanku lah ka neu tanyong/kapai limong di sinoe nyang na/Kricit narit Peutua Nanggroe/ureueng mat sagoe muhon bak raja/Ampon tuanku cahi ‘alam/seumah laman duli sarpada/Kamoe bek neuba bak prang timu/Bek unoe juho prang Malaka/Kamoe tuanku sinoe neu keubah/Meudrop-drop gajah keupo meukuta//

Walaupun belum ke-30 judul naskah yang telah saya alihaksarakan ditampilkan, apalagi naskah-naskah lain yang entah di mana sekarang, untuk sementara saya berpendapat, bahwa jabatan Wali Nanggroe bukanlah produk lembaga politik masa Kerajaan Aceh Darussalam. tetapi hanya produk sejarah Aceh kontemporer. Bila membaca buku “Tgk. M. Daud Beureu-eh; Peranannya dalam Pergolakan di Aceh” yang ditulis M. Nur El Ibrahimy, terdapat enam buah lampiran yang menyebut jabatan Wali Negara. Semua surat-surat/seruan/pengumuman atas nama Wali Negara itu ditandatangani oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Menurut pendapat saya istilah Wali Negara itulah yang diterjemahkan ke bahasa Aceh menjadi Wali Nanggroe.

Bila benar demikian, maka wewenang dan kekuasaan Wali Nanggroe sejajar dengan Gubernur. Agar tidak terjadi “Saboh inong dua lakoe/Saboh Nanggroe dua raja”, maka khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam gelar Gubernur diganti saja dengan Wali Nanggroe. Kalau begitu pun kurang cocok, bertanyalah kepada tokoh yang sekarang sedang digelarkan sebagai Wali Nanggroe. Kepada Pansus XI DPRA selamat berdiskusi di luar negeri; asai bek huempah-heumpeh ngon peng rakyat Aceh.

* T.A. Sakti, penulis, peminat sastra

dan penyalin manuskrip Aceh.

Sumber: Harian Serambi Indonesia, Minggu, 31 Agustus 2008

Halaman 18/Budaya.

http://tambeh.wordpress.com/2010/09/

JANGAN LUPA