Kegagalan Belanda dalam agresinya ke Aceh menjadi topik bahasan parlemen di Denhag. GB Hooyer dalam tulisannya pada tahun 1879 malah mengakui kehebatan perang Aceh itu sebagai tempat belajar bagi tentara Belanda.
Oleh Iskandar Norman
Setelah kediaman sultan (dalam) dikuasai Belanda pada egresi keduanya, maka pada 31 Januari 1874, Letnan Jenderal van Swieten mengeluarkan proklamasi bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah menggantikan kedudukan sultan Aceh dan menempatkan daerah Aceh Besar sebagai daerah taklukannya.
Belanda juga berusaha agar daerah-daerah diluar Aceh besar mengakui kedaulatan Pemerintah Belanda, jika tidak dengan jalan damai maka ditempuh jalan kekerasan melalui perang. Dan inilah awal dari perang gerilya Aceh melawan Belanda, karena tidak mau takluk pada permintaan Belanda.
Pemerintah Kolonial Belanda menyangka dengan menguasi Dalam dan sebagian kecil darah Aceh Besar serta dengan sebuah proklamasi dapat membuat daerah Aceh lainnya takluk, kenyataanya perlawanan rakyat Aceh melalui perang gerilya semakin gencar.
Meskipun van Swieten telah memproklamasikan bahwa Pemerintah Hindia Belanda menggantikan kedudukan Sultan, pihak Aceh tetap mengangkat pengganti Sultan Alaiddin Mahmud Syah yang telah mangkat dengan Tuanku Muhammad Daud bergelar Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah, putra Tuanku Zainal Abidin bin Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah.
Perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut hingga menjelang awal kedatangan Jepang (1942). Perlawanan tersebut dipimpin oleh ulama dan uleebalang serta disemangati oleh pengaruh syair-syair yang heroik dari penyair yang membangkitkan semangat dan antipati terhadap Belanda yang disebut sebagai kafir yang harus dilawan.
Syair-syair tersebut, di antaranya Hikayat Prang Sabi yang ditulis oleh Teungku Chik Pante Kulu, Hikayat Prang Kompeni karangan Abdul Karim yang dikenal dengan panggilan Do Karim, dan berbagai hikayat heroik lainnya. Antipati juga disebabkan oleh pihak Belanda yang tidak memperbolehkan rakyat Aceh untuk mengibarkan Bendera Alam Peudeueng dan harus mengibarkan Bendera Belanda.
Perlawanan rakyat Aceh dalam Perang Aceh sepanjang sejarah yang disebutkan di atas, melahirkan banyak catatan-catatan. Jenderal GP. Booms dalam bukunya De Erste Atjeh Expediti en Hare Enquete (Zentgraaf, 1938) menulis: “Blijkbaar rekende men dus op een gemakkelijke overwinning. De feiten, een jarenlange ervaring, hebben echtar getoond, dat men te maken had men telrijken, energieken vijand,… met een volk van een ongekende doodsveracting,dat zich onverwinbaar achtte… die ervaring leert in een woord, dat wij niet gestaan hebben tegenover een machteloozen sultan wiens rijk met den valvan zijn Kraton zou ineenstorten maar tegenover een volksoorlong, die behalve over al de materieele middelen vaqn het land, over geweldige moreele krachten van fanatisme of patriotisme beschikte..”
(“telah diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan tetapi, pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang dihadapi itu adalah musuh dalam jumlah besar yang sangat gesit, … suatu bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat dikalahkan… Pengalaman itu memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat menghadapi seorang Sultan, yang kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya Kraton, akan tetapi kita menghadapi rakyat yang menentukan harta-benda negara, memilki tenaga-tenaga moril, seperti cinta tanah air”).
Dalam sidang Parlemen Belanda pada 15 Mei 1877, Menteri Urusan Koloni Belanda memberikan jawaban atas interpelasi yang menyoalkan kegagalan Belanda itu, “Wij hebben te trotseeren gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich onverwinbaar achtte” (“Kita telah menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak sedikit pun gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak mugkin dapat dikalahkan”).
Kegagalan Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai Belanda pun menaruh hormat atas keberanian pejuang Aceh (baik pria maupun wanita). Rasa hormat itu sebagaimana diungkapkan Zentgraaff dalam bukunya Atjeh, yang menulis: “De Atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem, den kaphe in het gezicht”
(“Wanita Aceh gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya dengan gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat menghadapi maut, ia masih mampu mendahului muka si kaphe”).
Perang antara pihak Belanda dan pihak Aceh yang dikenal dengan Perang Aceh melahirkan pengakuan pihak Belanda. G.B. Hooyer (1897) menulis: “Geen benden van Diepo Negoro of Sentot, geen dweepzieke Padri’s, geen scharen Balineezen of ruitmassa’s der Bonieren ontwikkelden ooit zooveel dapperheid en doodsverachting in het gevecht, zooveel stoutheid bij den aanval, zooveel vertrouwen op eigen kracht, zooveel taaiheid in tegenspoed, als die door den vrijheidlievenden, fanatieken, voor den guerilla-krijg als geschapen Atjeher werden betoond. Daarom zal de Atjeh-oorlog steeds een leerschool blijven voor ons leger, …”
(“Tidak ada pasukan Diponogoro atau Sentot (Ali Basyah Prawiro Dirjo), tidak ada pasukan Padri yang sedemikian fanatiknya, tidak ada pasukan Bali atau pasukan berkuda orang Bone yang telah memperlihatkan keberanian dan tidak gentar menghadapi maut di dalam pertempuran-pertempuran, disertai dengan kenakalan-kenakalan pada penyerangan, demikian penuh kepercayaan pada kekuatan sendiri, begitu gigih di dalam menghadang lawan, seperti yang diperlihatkan oleh orang Aceh yang cinta kemerdekaan, fanatik dan laksana dilahirkan untuk bergerilya. Karenanya, perang Aceh akan selalu merupakan sekolah tempat belajar untuk tentara kita, …”).
Zentgraaf, menutup dengan kalimat: “Cemme ils tombent bien…. en is er een volk op deze aarde dat de ondergang dezer heroike figuren niet met diepe vereering zou schrijven in het ziyner historie?” (… dan adakah suatu bangsa di bumi ini yang tidak akan menulis tentang gugurnya para tokoh heroik ini dengan rasa penghargaan yang sedemikian tingginya di dalam buku sejarahnya?”).
Awal Perang
Rabu, 26 Maret 1873, di atas kapal Citadel van Antwerpen, Kerjaan Belanda menyatakan maklumat perang dengan Kerajaan Aceh. Setalah itu serangan besar-besaran dilakukan ke daratan Aceh. Belanda gagal total, Panglima Perang Belanda, JHR Kohler tewas.
Setelah maklumat perang dinyatakan pada 26 Maret 1873, sebulan kemudian, Senin, 6 April 1973, Belanda mendaratkan pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue dibawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler.
Tak tanggung-tanggung, dalam penyeranga pertama ke Aceh itu, Belanda mengerahkan enam kapal perang, yakni Djambi, Citaden van Antwerpen, Marnix, Coehoorm, Soerabaya, dan kapal perang Sumatera. Ditambah Siak dan Bronbeek, dua kapal angkatan laut Pemerintah Belanda.
Selain itu ada lima barkas, delapan kapal ronda, satu kapal komando, enam kapal pengangkut, serta lima kapal layar, yang masing-masing ditarik oleh kapal pengangkut. Tiga diantaranya untuk mengangkut pasukan alteleri, kavelari, dan para pekerja, satu untuk amunisi dan perlengkapan perang, serta satu kapal lagi untuk mengangkut orang-orang sakit.
Armada Belanda tersebut dipimpin oleh Kapten laut J.F Koopman dengan kekuatan 168 orang perwira yang terdiri dari 140 orang Eropa, serta 28 orang Bumiputere, 3.198 pasukan yang 1098 diantaranya orang-orang Eropa, sisanya 2.100 orang tentara dari Bumi Putera, yakni tentara bayaran Belanda dari Jawa.
Pasukan itu juga diperkuat dengan 31 ekor kuda perwira, 149 kuda pasukan, 1.000 orang pekerja dengan 50 orang mandor, 220 wanita dari Jawa yang masing-masing ditempatkan 8 orang untuk satu kompi tentara Belanda, serta 300 pria dari Jawa untuk pelayan para perwira Belanda. Dalam penyerangan perdana Belanda ke Aceh itu, Kohler dibantu oleh Kolonel E.C van Daalen, Wakil Panglima merangkap Komandan Infantri.
Begitu mendarat, pasukan Belanda langsung digempur oleh pasukan Aceh, terjadilah perang sengit. Setelah bertempur dengan susah payah, pada 10 April 1873, Belanda dapat merebut Mesjid Raya. Akan tetapi karena tekanan-tekanan dari pejuang Aceh yang dipimpin Tgk Imuem Lueng Bata, Belanda pun harus meninggalkan Mesjid Raya.
Empat hari kemudian, 14 April 1873, Belanda kembali mencoba untuk menyerang Mesjid Raya. Dalam pertempuran tersebut Panglima Perang Belanda, Mayor Jenderal J.H.R Kohler tewas ditangan pejuang Aceh. Tujuan Belanda untuk menguasai Dalam (Kraton-red) gagal total.
Pada pertempuran itu selain Kohler dipihak Belanda juga tewas delapan orang perwira. Belanda benar-benar mendapat tamparan dari perlawanan gigih pejuang Aceh. Tiga hari setelah Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai, setelah mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta-red) pada 23 April 1873. Kapal-kapal angkatan perang Belanda itu pun meninggalkan Aceh pada 29 April 1873, kembali ke Batavia.
Karena Belanda mengalami kegagalan dalam penyerbuannya ke Aceh, tak lama kemudian Jenderal G.P Booms dalam bukunya “De Erste Atjeh Expediti en Hare Enguete” mengecam Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia atas kegagalan tersebut, karena dinilai terlalu menganggap remeh kekuatan Acehhttp://harian-aceh.com/2011/09/19/g-b-hooyer-aceh-sekolah-perang-belanda