Pendahuluan
Di samping kesatuannya, Dunia Islam menunjukkan keaneka-ragamnya melalui ciri-ciri yang dihasilkan oleh sesuatu masyarakat pada satu zaman tertentu. Di antara ciri-ciri ini terdapat hasil kesenian berkaitan dengan kematian, yaitu batu nisan. Di antara batu nisan Islam yang terawal di Asia Tenggara terdapat satu golongan yang disebut “batu Aceh,”[1] karena diduga hasil suatu tradisi yang berasal dari bagian utara Sumatra. Golongan ini dapat dibedakan dari batu nisan lain berdasarkan atas bahan, bentuk, dan hiasan. Sampai sekarang, “batu Aceh” paling tua yang tahunnya dapat dipastikan adalah batu nisan Sultan Malik al-Salih, sultan yang pertama memerintah kerajaan Samudra-Pasai di timur laut Sumatra, berangka tahun 1297 M (Ramadhan 696 H).
Tradisi kesenian “batu Aceh” sebenarnya tersebar dari wilayah Pattani (selatan Thailand), ke Malaysia, Indonesia, dan Brunei. Di Indonesia, jumlah “batu Aceh” mungkin lebih dari lima ribu buah. Di Semenanjung Melayu sendiri, sekitar 400 makam orang Islam yang ditandai dengan “batu Aceh” dapat ditemukan hingga sekarang. Diselatan Thailand dan di Brunei, jumlahnya beberapa puluhan buah.
Dengan demikian, seni “batu Aceh” merupakan suatu tradisi kesenian Islam yang amat berarti bagi seluruh kawasan Nusantara. Lagipula, di antara batu nisan Islam tertua yang berada di sebelah barat kawasan tersebut (Semenanjung Melayu, Sumatra), jumlah “batu Aceh” jauh lebih besar dari batu nisan yang berasal dari tradisi kesenian Islam lain. Jika ditambah dengan tingkat kemahiran yang tinggi, keanekaragaman bentuk dan kekayaan hiasan, serta langkanya peninggalan Islam di kawasan ini, maka “batu Aceh” merupakan monumen luar biasa untuk sejarah Islam pada umumnya dan sejarah kesenian Islam di Nusantara pada khususnya.
Makalah ini bertujuan menunjukkan bahwa korpus “batu Aceh” yang begitu besar ini perlu diberi perhatian yang mendalam. Pertama-tama, deskripsi yang terperinci dan sistematik akan membantu untuk membuat suatu tipologi yang lengkap berdasarkan bentuk umum, dan mencatat varian-varian hiasan untuk setiap jenis, serta menemukan unsur-unsur dekoratif yang sama bagi berbagai jenis. Selain itu, deskripsi ini akan memudahkan perbandingan di antara semua batu nisan sejenis. Pada tahap yang berikut, dari perbandingan itu, batu nisan yang jumlah ciri-ciri identik cukup besar dapat dikelompokkan untuk membantu interpretasi kronologi dan sejarah. Mengenai “batu Aceh”, tahap ini penting sekali karena tidak banyak “batu Aceh” yang epitafnya mengandungi data-data yang berarti dari segi sejarah. Maka, dari perbandingan tersebut, dapat diusulkan hipotesis mengenai kronologi jenis-jenis dan identifikasi makam.
Penelitian mendalam seperti ini sudah dimulai di Semenanjung Melayu, terutama di negeri Johor, Perak dan Kedah di Malaysia, dan di Provinsi Pattani di selatan Thailand. Di sini akan kami sampaikan beberapa hasil yang didapati dari penelitian terbaru di negeri Johor.
Konteks Sejarah
Dalam sejarah Dunia Melayu, nama Johor biasanya dikaitkan dengan kesultanan yang muncul pada awal abad ke-16 di ujung selatan Semenanjung Melayu. Kesultanan itu adalah pengganti Melaka sebagai penguasa setempat yang besar di wilayah Selat Melaka, dan akan mencapai puncaknya pada paruh kedua abad ke-17, dengan memanfaatkan kemerosotan kesultanan Aceh dan perebutan Melaka oleh orang Belanda pada tahun 1641.
Tidak banyak yang diketahui tentang sejarah daerah tersebut sebelum abad ke-16. Namun demikian, terdapat bukti bahwa ada kampung di sepanjang Sungai Johor pada abad ke-15, dan dua makam dengan nisan berbentuk “batu Aceh” dipastikan dari abad ke-15. Yang pertama adalah makam “nenanda kepada Almarhum Mansur”, yang epitafnya bertanggal Senen bulan Sha‘ban tahun 857 H (Agustus September 1453) di Sayong Pinang (Ludvik Kalus dalam Perret dkk., 1999: 127), dan yang kedua makam Sultan Alauddin Riayat Syah I Melaka di Kampung Raja (Pagoh). Epitafnya tidak rnencantumkan tanggal kemangkatannya, tetapi dari sumber lain dapat diketahui bahwa dia mangkat pada tahun 1488.
Kesultanan Johor muncul pada masa keadaan darurat dan langsung terancam sejak awal pendiriannya. Sesudah perebutan Melaka oleh orang Portugis pada tahun 1511, Sultan Melaka yang terakhir, Mahmud Syah I, berpindah-pindah dari Johor (Muar, Pekan Tua [?], Pagoh), ke Pahang, dan ke Pulau Bintan, dari mana dia akan diusir oleh orang Portugis pada tahun 1526. Penggantinya menetap di tepi Sungai Johor mulai sekitar tahun 1530. Ini titik permulaan suatu seri perpindahan yang akan terjadi sepanjang sejarah kesultanan. Tidak kurang dari 22 perpindahan terjadi antara tahun 1535 dan 1718, di sepanjang Sungai Johor dan di Kepulauan Riau. Sebagian dari perpindahan itu terjadi akibat serangan Portugis atau Aceh. Sebelas sultan silih berganti antara tahun 1511 dan tahun 1718. Sesudah tahun 1718, ibu kota kesultanan Johor-Riau terletak di Kepulauan Riau. Hanya pada tahun 1886, Johor kembali sebagai ibu kota kesultanan itu, ketika Maharaja Abu Bakar mulai menetap di Johor Bahru.
Berkembangnya Kesultanan Johor terutama berdasarkan kemampuannya untuk menarik kapal-kapal dagang, yang kadang-kadang dilakukan dengan cara kekerasan. Ibu kotanya merupakan tempat pertukaran aneka jenis barang[2] dengan kemudahan seperti gudang, yang kemungkinan besar terletak di bawah tanah untuk mencegah kebakaran, pegawai yang mahir dalam penyelenggaraan perdagangan, pajak yang cukup murah, ukuran berat dan panjang yang stabil, kemudahan untuk membaiki kapal-kapal, serta ketidakadaan pembajakan laut di sekitarnya (Andaya, 1975: 38). Yang datang berdagang di Johor adalah orang Cina, orang India (khususnya orang Gujrati), orang Siam, pedagang dari tempat-tempat lain di Semenanjung Melayu, orang Aceh dan pedagang dari seluruh pantai Sumatra, orang Jawa, pedagang dari Borneo, Maluku, Tenassirim, orang Belanda, Inggris, Portugis, serta orang Denmark (ibid: 25, 69, 71, 76, 104, 128, 147-149). Kapal-kapal dari Johor sendiri pergi berdagang sampai ke Teluk Siam, Benggala dan Koromandel (ibid.: 62, 70, 77).
Sewaktu orang Belanda merebut Melaka pada tahun 1641, Johor berkuasa atas seluruh pantai barat Semenanjung Melayu di sebelah selatan Selangor (kecuali daerah Melaka), Siak, Kampar dan Bengkalis di Sumatra, Kepulauan Riau-Lingga dan Singapura. Secara bertahap, sebagian besar dari pantai timur Sumatra, di sebelah selatan Aceh, berada di bawah kekuasaan Johor pada akhir abad ke-17, ditambah Terengganu, Pahang, pantai timur Johor, Pulau Siantan dan Tambelan, serta beberapa pulau di dekat pantai barat Borneo (ibid.: 37, 148-149).
Penelitian Awal Tentang “Batu Aceh” di Negeri Johor
Penelitian pertama diterbitkan pada tahun 1932 dalam buku Richard Olaf Winstedt, A History of Johor (1365-1895 A.D.).[3] Jelas bahwa Winstedt mengutamakan penelitian tentang batu nisan yang memiliki tulisan yang menarik dan tidak berusaha untuk memberikan satu gambaran terperinci bagi setiap batu nisan yang ditemuinya. Edisi asal bukunya menguraikan suatu penelitian epigrafi oleh Engku ‘Abdul-Hamid bin Engku ‘Abdu‘l-Majid (hlm. 159-167) mengenai empat batu nisan dari Kampung Raja (Pagoh) serta beberapa batu nisan dari Sayong Pinang. Winstedt sadar bahwa batu nisan ini berkaitan dengan Aceh tetapi gambaran yang diberikannya amat ringkas, contohnya “Malayo-Achinese type”, “inferiors specimens of the elaborately foliate type”, “European-lantern (or ‘pine-apple‘) type”, “usual XVIIth century type” atau “Chinese-lantern type”. Ini mungkin dapat dimengerti karena penelitian mengenai “batu Aceh” masih kurang di Hindia-Belanda pada waktu itu sehingga tipologi yang terperinci belum dapat dihasilkan. Mungkin juga foto-foto yang diambil serta replika dari semen yang dibuat untuk Museum Raffles di Singapura telah dianggap mencukupi sebagai referensi langsung bagi peneliti setempat. Namun, buku Winstedt amat penting karena mengandungi daftar lokasi situs yang paling lengkap, sebelum penelitian kami, dan karena informasi terperinci yang diberikan bagi setiap situs.
Kita harus menunggu lebih dari setengah abad sebelum satu penelitian penting mengenai “batu Aceh” di negeri Johor dapat dihasilkan, yaitu pada tahun 1985 oleh Othman bin Mohd. Yatim dan diterbitkan tiga tahun kemudian oleh Muzium Negara Malaysia. Penelitian ini amat penting karena didasari atas survei antara tahun 1974 dan 1983 di seluruh Semenanjung Melayu dan dapat menghasilkan satu tipologi batu nisan berbentuk “batu Aceh” yang terperinci, serta membuat hipotesis tentang kronologi jenis-jenis dan simbolisme. Maka 14 jenis batu nisan dibedakan atas 188 kuburan dari seluruh Semenanjung Melayu, termasuk 83 kuburan dari negeri Johor sendiri (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: 102). Buku ini masih merupakan sumber acuan utama bagi siapa saja yang ingin membuat penelitian tentang “batu Aceh” di Malaysia. Pada waktu yang sama, satu penelitian epigrafi dan tipologi kuburan Islam di Indonesia, yang telah dihasilkan oleh Professor Hasan Muarif Ambary (1984), berisi satu esei tipologi “batu Aceh” berdasarkan kuburan-kuburan yang terdapat di Indonesia dan di Malaysia, termasuk beberapa buah kuburan dari Johor. Di samping itu beberapa penelitian ringkas mengenai tulisan-tulisan yang terdapat pada batu nisan berbentuk "batu Aceh" di Johor telah dihasilkan oleh Louis-Charles Damais (1968), Abdul Halim Nasir (1985) sendiri atau bersama Othman bin Mohd. Yatim (1990). Informasi tentang situs tertentu ada pula dalam beberapa buah buku, majalah ilmiah, serta koran dan majalah umum dari Malaysia.[4]
Penelitian Terbaru
Survei terbaru mengenai “batu Aceh” di Johor, telah dilaksanakan oleh École française d‘Extréme-Orient (EFEO) bersama Yayasan Warisan Johor di antara tahun 1996 dan awal tahun 1999. Pilihan negeri Johor memang tidak dilakukan secara kebetulan karena sebenarnya, dalam keadaan pengetahuan sewaktu survei itu dimulai, negeri Johor merupakan kawasan yang paling kaya akan “batu Aceh” di Malaysia. Kerja lapangan telah membawa penambahan situs makam lama dengan batu nisan berbentuk “batu Aceh” dari 15 tempat menjadi 36, bertambah lebih dari 50% jika dibandingkan dengan penelitian yang terdahulu. Jumlah keseluruhan makam yang diteliti di sini diperkirakan 211 buah.[5] Kami mendapati bahwa dari kira-kira dua per tiga dari makam yang telah didaftar, sekurang-kurangnya satu batu nisan masih utuh atau hampir utuh.
Kawasan terpenting yang mengandung paling banyak makam dengan “batu Aceh” adalah lembah Sungai Johor dan anak sungainya, dengan 195 buah makam yang telah ditemukan, diikuti Sungai Simpang Kiri dan anak sungainya di daerah Batu Pahat dengan 10 buah makam, akhirnya Sungai Muar dan anak sungainya di daerah Muar dengan 6 buah makam. Bahwa semua situs terletak berdekatan dengan sungai yang besar atau anak sungainya tidak mengherankan, karena sampai awal abad ke-20, sungai-sungai merupakan jalan utama di semenanjung dan orang biasanya tinggal di tepi sungai.
Tipologi
Metode yang kami lakukan untuk penelitian tipologi didasari oleh metode Othman bin Mohd. Yatim, yaitu dengan membagi setiap batu nisan ke dalam enam bagian: dasar, badan bagian bawah, badan bagian atas, bahu-bahu, kepala dan puncak. Deskripsi ini merupakan deskiripsi paling terperinci sampai sekarang untuk “batu Aceh”. Dari penelitian ini, 252 ciri hiasan dapat diidentifikasikan: 57 ciri pada bagian dasar, 22 ciri pada badan bagian bawah, 61 pada badan bagian atas, 30 pada bagian bahu-bahu, 51 pada bagian kepala, dan 31 pada bagian puncak. Jumlah ciri ini membuktikan keaneka-ragaman dan kekayaan hiasan “batu Aceh”. Daftar ini dilakukan selengkap mungkin, karena dalam keadaan pengetahuan sekarang, belum diketahui ciri-ciri apa yang relevan untuk membantu dalam usaha memberi tanggal dan identifikasi makam. Ciri-ciri ini tidak hanya merupakan varian hiasan untuk sebuah jenis, tetapi dapat juga ditemui pada beberapa jenis. Dalam penelitian ini, misalnya didapati bahwa 112 ciri ditemui pada sekurang-kurangnya dua jenis dan dua ciri ditemui pada delapan jenis. Persamaan ini mengukuhkan lagi hipotesis bahwa semua batu nisan ini merupakan basil dari satu tradisi kesenian yang khas.
Dari bentuk umum batu nisan, dapat dibedakan 16 jenis (lihat ilustrasi): 9 yang berbentuk papan (A, B, C, D, E, F, N, O, Q) dan 7 yang berbentuk tiang (G, H, J, K, L, M, P). 13 jenis di antaranya telah didefinisikan dan ditemukan di Aceh oleh Othman bin Mohd. Yatim (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: 35). Menurut kami, terdapat tiga lagi jenis yang perlu dibedakan, yaitu jenis yang kami namakan O, P dan Q. Jenis O terdapat sekurang-kurangnya di kepulauan Riau.[6] Jenis P terdapat di Aceh (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: hlm. gbr. 8) sedangkan kami telah melihat batu nisan yang menyerupai jenis Q di daerah Pattani, selatan Thailand. Di Johor, jenis yang utama dari segi jumlah kuburan adalah jenis C (89 buah) (42%), yang terdapat di 26 situs, diikuti jenis K (36 buah) (17%), A (9 %), H (7 %) dan 0 (7 %). Hasil penelitian ini memperkuatkan lagi posisi jenis C sebagai jenis “batu Aceh” yang paling banyak di Semenanjung Melayu (ibid.: 46). Dengan dua kekecualian, di semua situs dengan sekurang-kurangnya dua kuburan terdapat lebih dari satu jenis batu nisan.
Korpus data yang dihasilkan untuk memerikan setiap batu nisan ini membantu untuk membuat perbandingan di antara batu nisan dan demikian mengelompokkannya berdasaran jumlah ciri-ciri yang sama. Kemudian pengelompokan ini membantu untuk mengusulkan hipotesis tentang zamannya sebuah batu nisan, ataupun identifikasi makam jika terdapat persamaan yang sangat khusus.
Epigrafi
Dari 211 buah makam yang telah diteliti, terdapat sebuah makam saja yang tanggalnya serta identitasnya termuat di dalam epitaf, yaitu nenek dari Sayyid al-marhum Mansur yang mangkat pada bulan Agustus atau September 1453 di Sayong Pinang. Epitaf yang memuat nama saja ada pada makam Sultan Alauddin Riayat Syah I Melaka Ibni Sultan Mansur Syah Melaka yang berada di Pagoh. Dari sumber lain, diketahui bahwa kemangkatannya terjadi pada tahun 1488 dan baginda kemudian disebut “Marhum Berdarah Puteh” (Linehan, 1973: 15). Terdapat dua makam lagi yang epitafnya memuat sebuah nama, termasuk makam Sulaiman Syah ibni Sultan Mansur Syah Melaka ibni Sultan Muzafar Syah Melaka. Dia adalah kakak atau adik dari Sultan Alauddin Riayat Syah I Melaka.
Batu nisan lain tidak memuat unsur apa pun yang dapat langsung mengidentifikasi makamnya. Sebenarnya data mengenai tulisan yang ada pada “batu Aceh” dari Johor dapat dibagikan ke dalam dua kumpulan yang jauh berbeda. Kumpulan pertama terdiri dari makam yang batu nisannya memuat teks-teks dan epitaf-epitaf yang dapat dibaca, walaupun epitaf-epitaf ini kadangkala hanya berisikan ayat Alquran atau teks-teks keagamaan lain. Kumpulan kedua terdiri dari makam yang pada batu nisannya terdapat tulisan berhuruf yang agak “digayakan” sehingga kadang-kadang sama sekali tidak dapat dibaca. Makanya, walaupun terdapat beberapa tulisan di mana kalimat syahadat cukup jelas kelihatan dan biasanya diulangi beberapa kali pada kedua batu nisan sebuah makam, terdapat pula contoh di mana teks yang sama diukir menurut suatu gaya yang amat menyusahkan pembacaannya. Pada tahap terakhir gaya ini berbentuk seri-seri garis vertikal (Kalus dalam Perret dkk., 1999: 144-146).
Perbandingan untuk Identifikasi
Kekurangan informasi yang diperoleh langsung dari batu nisan sendiri memaksa kami menggunakan sumber-sumber lain serta membuat perbandingan dengan batu nisan lain untuk mencoba mengidentifikasi makamnya. Di bawah ini diberikan beberapa contoh hasil penelitian yang menggunakan sekaligus perbandingan di antara batu nisan, sumber tertulis, dan sumber lisan.
Bukit Seluyut
Di Bukit Seluyut terdapat sekelompok makam yang terdiri dari tiga makam yang mungkin dapat dikaitkan dengan beberapa peristiwa yang diceritakan dalam Sejarah Melayu.
Menurut teks ini, Sultan Muzzafar Syah II telah mangkat di Seluyut dan dikebumikan di Bukit Seluyut. Karena itulah baginda disebut “Marhum di Seluyud” (Abdul Samad bin Ahmad [ed.], 1986: 307; Shellabear [ed.], 1994: 235). Tidak ada tanggal terperinci tentang kemangkatan baginda, dan dari sumber lain dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi sebelum bulan Agustus 1569. Menurut Sejarah Melayu lagi, anak saudaranya, Sultan Abdul Jalil I, mangkat pada usia Sembilan tahun, tidak lama sesudah menaiki takhta. Baginda juga dikebumikan di Bukit Seluyut, bersebelahan dengan makam Sultan Muzzafar Syah II (Abdul Samad bin Ahmad [ed.], 1986: 307-308; Shellabear [ed.], 1994: 235-236). Seperti Sultan Muzzafar Syah II, tidak ada tanggal terperinci tentang kemangkatan Sultan Abdul Jalil I dan dari sumber yang sama dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi sebelum bulan Agustus 1569. Menurut Sejarah Melayu juga, Raja Fatimah, puteri Sultan Alauddin Riayat Syah II, dan adik Sultan Muzzafar Syah II, juga dikuburkan di Bukit Seluyut, bersebelahan dengan makam abangnya (Abdul Samad bin Ahmad [ed.], 1986: 310; Shellabear [ed.], 1994: 238). Peristiwa ini terjadi sebelum kemangkatan Sultan Abdul Jalil Syah II pada tahun 1597.
Makam Bukit Seluyut
Dengan keadaan ini, di mana tiga orang dimakamkan berdekatan satu sama lain, kami berpendapat bahwa makam mereka adalah kumpulan tiga makam tersebut di atas, sekiranya batu nisan - batu nisan betul-betul terletak pada tempat asalnya. Kecuali ukuran yang sedikit berbeda, boleh dikatakan bahwa batu nisan dari dua makam di antaranya adalah sama. Persamaan ini cukup sesuai untuk makam dua kakak-beradik, yaitu Sultan Muzzafar Syah II dan Raja Fatimah. Selain itu, batu nisan yang ketiga kecil, oleh karena itu dapat diduga bahwa ini menandakan makam seorang anak, mungkin Sultan Abdul Jalil I.
Jika dibandingkan dengan batu nisan di luar Johor, batu nisan dari makam-makam yang diduga makam Sultan Muzzafar Syah II dan Raja Fatimah nampaknya mempunyai banyak persamaan dengan Makam Tok Subang di Kampung Kandang (Abdul Halim Nasir, 1977: 125; Othman bin Mohd. Yatim, 1988, hlm. gbr. 11, 54) dekat Sayong, Kuala Kangsar, negeri Perak di Malaysia. Tok Subang diduga gundik Sultan Mansur Syah I Perak (1549?-1577?) yang telah dibunuh dengan perintah baginda karena satu fitnah. Tanggal ini amat sesuai dengan pendapat kami mengenai zaman Sultan Muzzafar Syah II dan Raja Fatimah.
Makam Tengku Dara Putih
Sewaktu kunjungan ke Sungai Johor pada tahun 1826, sekelompok pengunjung dari Singapura sempat mendarat di dekat Bukit Sungai Tukul (Panchor) di mana terdapat sebuah makam yang digambarkan seperti berikut:
“[...] At the N.E. end of the fort we found a tomb formed by piling up large flat stones and filling up the centre with earth; there were two stones standing erect about a foot apart; they were of the same form, 3 feet high, very handsomely carved, and in good state of preservation. They are of hard sand-stone and said by our guide (Inchi Salle) to be the workmanship of a Chinese and to be the tomb of Raja Tungko Putih; but he could not tell us when he lived or anything of his history” (Viator dalam Moor, 1837: 265).
Makam ini masih ada dan namanya sering disebut dalam beberapa variasi. Menurut Winstedt, pada awal tahun ‘30-an, makam ini disebut Makam Raja Puteh (Winstedt, 1992: 213). Kini ia disebut Makam Puteri Putih (Abdul Halim Nasir, 1990: 111), Makam Tengku Dara Putih, atau juga Makam Tengku Putih (Norjihan Nordin, 1994: 38). Terdapat satu kepercayaan setempat yang menceritakan bahwa tokohnya mangkat setelah tertusuk jarum emas pada jarinya.
Semua nama ini tidak memberikan langsung identitas orang yang dikebumikan. Namun, di samping dugaan bahwa dia seorang perempuan, dari gelaran “Tengku” yang digunakan sekurang-kurangnya mulai awal abad ke-19, dapat diduga juga bahwa dia anggota keluarga raja. Kami berpendapat bahwa Panchor pernah sekali menjadi ibu kota kesultanan Johor, mulai tahun 1702 hingga bulan Juni 1709, sewaktu pemerintahan Sultan Abdul Jalil IV. Masuk akal bahwa identitas Tengku Putih perlu dicari terlebih dahulu dalam keluarga raja pada waktu itu. Untuk itu terdapat satu sumber asing yang amat menarik, yaitu laporan seorang Inggris, Vaughan, yang berada di “New Johore” pada tahun 1703. Walaupun nama tempat Panchor tidak disebutnya, adanya istana di “New Johore” cukup meyakinkan untuk mempertahankan bahwa tempat ini adalah Panchor.
Vaughan menceritakan bahwa adik atau kakak perempuan Sultan Abdul Jalil IV, yang juga istri Syahbandar, mangkat sewaktu hendak melahirkan pada tanggal 4 September 1703.[7] Kami berpendapat bahwa kemungkinan besar orang ini adalah orang yang disebut Tengku Putih di dalam tradisi setempat. Hipotesis ini diperkuatkan lagi berdasarkan satu silsilah yang sekarang dipegang oleh seorang keturunan Sultan Abdul Jalil IV. Dokumen ini menyebut bahwa Raja/Tengku Dara Puteh adalah anak Sultan Abdul Jalil Syah III dan mangkat di Panchor, seterusnya disebut “Marhumah Mangkat di Bukit Panchor”.
Batu nisan makam ini, yang berjenis N, mempunyai banyak persamaan dengan batu nisan dari dua makam yang berada dekat Kota Tinggi. Yang satu terletak dalam Kompleks Makam Bendahara Tun Habib Abdul Majid di Kampung Makam, yang lain terletak di seberang Sungai Johor di Kampung Tembeyoh, dan dipercayai sebagai makam seorang perempuan yang hidup sewaktu Sultan Mahmud Syah II bersemayam di Kota Tinggi (1688-1699). Berdasarkan dugaan bahwa Kompleks Makam Bendahara Tun Habib Abdul Majid dibuka sewaktu Sultan Mahmud Syah II pindah ke Kota Tinggi pada bulan Juli 1688, maka zaman ketiga makam ini dapat diletakkan antara tahun 1688 dan tanggal Panchor ditinggalkan sebagai ibu kota, yaitu Juni 1709.
Di Malaysia, kebanyakan “batu Aceh” jenis N ditemukan di Makam Diraja Kampung Langgar, Kedah (9 buah makam) (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: 43). Kompleks makam ini telah dibuka pada tahun 1701 atas perintah Sultan Abdullah Al-Muazzam Shah. Tanggal ini amat sesuai dengan hipotesis kami tentang zaman ketiga makam jenis N yang disebut di atas. Namun kenyataan tidak begitu jelas dari segi itu, karena makam-makam keluarga raja sebelum tahun 1701 pernah dipindahkan ke Kampung Langgar (ibid., 1988: 118), mungkin termasuk batu nisan jenis N juga. Di luar Malaysia, “batu Aceh” jenis N ditemukan juga di Aceh (dipercayai dari abad ke-17), di Pulau Bintan (abad ke-17) dan di Banten pada makam Sultan Ageng Tirtayasa (Ambary, 1984: 416, foto 10 dan 13; 417 dan foto 15) yang mangkat pada tahun 1692.
Makam Bendahara Tun Mas Anom
Terdapat tiga versi berlainan tentang sebuah makam yang juga terletak di Panchor: apakah itu makam Sultan Abdul Jalil I (Abdul Halim Nasir, 1990: 111, foto 7.2 dan 7.3), makam Sultan Abdul Jalil III,[8] atau makam seorang bendahara?[9]
Kami telah menunjukkan di atas bahwa, menurut Sejarah Melayu, Sultan Abdul Jalil I dikebumikan di Bukit Seluyut, bersebelahan dengan makam Sultan Muzzafar Syah II.
Selain itu, menurut Sejarah Melayu lagi, Sultan Ala Jalla Abdul Jalil Riayat Syah II (Raja Omar) mangkat di Makam Tauhid (Abdul Samad bin Ahmad (ed.), 1986: 310; Shellabear (ed.), 1994: 238), Sultan Abdul Jalil Syah III mangkat di Pahang (Andaya, 1975: 114) seperti juga Sultan Abdul Jalil Syah IV (Kratz (ed.), 1973: 46; Gibson-Hill, 1955: 166). Melihat semua uraian ini, kami berpendapat bahwa makam tersebut bukan makam seorang sultan Johor yang bernama Sultan Abdul Jalil.
Versi yang mengatakan bahwa makam tersebut adalah makam seorang bendahara kelihatan jauh lebih kuat. Sebuah sumber setempat, Peringatan Sejarah Negeri Johor, memang menceritakan bahwa Bendahara Tun Mas Anom meninggal dunia sewaktu ibu kota kesultanan Johor terletak di Panchor (Kratz (ed.), 1973: 46). Bendahara ini adalah adik Sultan Abdul Jalil IV (Andaya, 1975: 201), dan satu sumber Belanda memberi tanggal terperinci kematiannya: 29 Mac 1708 (ibid.: 211). Hipotesis bahwa makam tersebut adalah makam Bendahara Tun Mas Anom diperkuatkan lagi jika dilihat dari segi jenis batu nisan. Selain makam ini, kami telah menemukan dua buah makam lain dengan “batu Aceh” jenis P di negeri Johor, yaitu di Kompleks Makam Bendahara Tun Habib Abdul Majid. Salah satunya diduga makam Bendahara Tun Habib Abdul Majid sendiri, yang tidak lain dari ayahnya Bendahara Tun Mas Anom.
“Batu Aceh” dan Adat Kematian
Walaupun kemungkinan besar banyak makam dengan batu nisan berbentuk “batu Aceh” sudah hilang, dari jumlah yang masih kelihatan sekarang, dapat diperkirakan bahwa “batu Aceh” digunakan untuk orang Islam tertentu saja di Semenanjung Melayu mulai abad ke-15. Sebenarnya informasi yang tertera dalam epitaf pada beberapa “batu Aceh” menunjukkan bahwa ia digunakan sebagai tanda makam sultan, kaum kerabatnya serta orang-orang Besar kerajaan.
Adat kematian orang biasa tidak disebut dalam sumber-sumber lokal. Terdapat informasi ringkas dalam beberapa sumber Cina seperti Hai yü (1537), di mana tentang Melaka disebut bahwa orang miskin membakar mayat, juga demikian orang kaya tetapi sebelumnya jenazahnya diletakkan di dalam sebuah peti bersama kapur Barus (Groeneveldt, 1880: 128). Satu lagi sumber Cina, dari akhir abad ke-16 atau awal ke-17, juga mencatat bahwa semua mayat dibakar (ibid.: 135; Han Wai Toon, 1948: 31). John Davis, seorang pelaut yang berada di Aceh pada tahun 1599 mencatatkan bahwa orang biasa dikebumikan (Purchas (ed.), 1905: 321-322).
Hai-lu, sebuah sumber Cina dari akhir abad ke-18, menyebut bahwa di Songkhla (selatan negeri Thailand sekarang) orang Melayu dikebumikan di bawah pohon kelapa dan tidak ada pengorbanan yang dibuat untuknya. Dalam sumber ini juga dicatat bahwa di pantai timur, termasuk Johor, adatnya hampir sama (Cushman & Milner, 1979: 13, 27).
Hai-lu tidak menyebut lagi bahwa mayat dibakar. Maka dapat disimpulkan bahwa pemakaman orang kebanyakan sudah menjadi biasa pada abad ke-18 dan mungkin juga pada abad ke-17 dan kuburannya ditandai dengan batu sungai, batu biasa, atau batang kayu.
Baik sumber setempat, maupun sumber asing, memberi bukti bahwa sultan, kaum kerabatnya serta orang-orang besar kerajaan dimakamkan mulai abad ke-15 di Semenanjung Melayu. Seringkali dalam kesusastraan tradisional Melayu, sewaktu kemangkatan seorang raja atau kematian orang besar, tidak terdapat satu gambaran terperinci mengenai adat pemakamannya dan hanya disebut seperti contoh berikut: “Maka Sultan Mahmud Syah pun ditanamkan oranglah seperti adat raja-raja mangkat” (Tun Seri Lanang, 1997: 247). Namun terdapat beberapa sumber setempat yang memberikan keterangan yang lebih terperinci.
Di antaranya terdapat sebuah teks berjudul Adat Raja-Raja Melayu yang memiliki satu bab sangat menarik mengenai adat yang diikuti sewaktu kemangkatan seorang raja. Teks ini telah dihasilkan di Melaka pada tahun 1779 atas pesan De Bruyn, seorang Belanda yang bertugas sebagai Gubernur Melaka pada waktu itu. Narasumber adalah orang setempat bernama Tuan Lebai Abdulmuhit dan isinya berkenaan dengan adat Raja pada zaman kesultanan Melaka (Sudjiman (ed.), 1983: 55-56). Biarpun informasi ini diperoleh hampir 300 tahun sesudah kejatuhan kesultanan Melaka, isinya cukup meyakinkan, apalagi karena adat yang diikuti di Melaka seterusnya diikuti di kesultanan lain di Semenanjung. Terdapat perincian-perincian amat menarik tentang batu nisan sendiri, terutamanya tentang pembuatan batu nisan oleh tukang-tukang setempat yang pandai. Dari gambaran yang diberikan, jelas bahwa batu nisan berbentuk “batu Aceh” digunakan sebagai batu nisan makam Sultan Melaka. Terdapat satu contoh di Johor sendiri, yaitu makam Sultan Alauddin Riayat Shah (1477-1488) di Kampung Raja, Pagoh, Muar. Satu informasi lain yang menarik adalah bahwa tulisan-tulisan berbagai warna dicat di atas batu nisannya. Dari hasil survei kami, jelas bahwa hiasan seperti ini sudah lama hilang dan cat yang ada sekarang pada beberapa batu nisan kelihatan baru.
Teks Bustan al-Salatin juga memberikan beberapa perincian menarik tentang adat pemakaman raja dan tercatat di dalamnya bahwa sewaktu memerintah di Aceh, Sultan Iskandar Thani memutuskan mengirim batu nisan ke Pahang untuk makam-makam kerabat baginda.[10] Selain itu, terdapat juga beberapa informasi mengenai batu nisan sesudah kemangkatan Sultan Iskandar Thani di Aceh pada tahun 1641, termasuk perhiasan berbentuk lapisan emas dan batu permata (Nuruddin al-Raniri, 1992: 45-46). Bustan al-Salatin siap tertulis oleh Nuruddin al-Raniri pada tahun 1640 (1050 H.)( ibid.: xiv) yaitu 139 tahun sebelum teks Adat Raja-raja Melayu. Terdapat tiga fakta rang menarik di sini.
Pertama, terbukti bahwa ada batu nisan yang dikirim dari Aceh ke Semenanjung Melayu, sekurang-kurangnya pada awal abad ke-17.[11] Fakta ini membawa beberapa persoalan: apakah semua batu nisan yang disebut “batu Aceh” memang berasal dari utara Sumatra? Sekiranya benar, apakah batunya diukir di utara Sumatra atau di tempat pemakaman? Seandainya diukir di luar Sumatra, sejak kapan dan dari mana asal tukangnya? Teks Adat Raja-raja Melayu rnenunjukkan bahwa terdapatnya tukang “batu Aceh” di Semenanjung Melayu merupakan suatu fakta yang disampaikan secara turun-menurun. Selain itu, pada “batu Aceh” dari Johor terdapat batu nisan di mana pembuatan ukiran nampaknya belum selesai, atau juga terdapat makam di mana sebuah batu nisan diukir sedangkan yang lain tidak. Dari situ, kami berpendapat bahwa sekurang-kurangnya sebagian dari “batu Aceh” diukir di Semenanjung.
Fakta yang kedua membawa implikasi mengenai kronologi jenis “batu Aceh” karena keputusan Sultan Iskandar Thani menunjukkan bahwa batu nisan yang menandai satu kubur mungkin bukan batu nisan asal. Penggantian[12] batu nisan asal bisa membawa kekeliruan sekiranya terdapat satu jangka waktu yang cukup panjang (misalnya satu abad) di antara pengebumian dan kejadian meletak batu nisan baru. Teks Adat Raja-Raja Melayu menunjukkan bahwa sebatang nisan sementara ditanam sewaktu upacara pengebumian dan batu nisan tetap ditanam kira-kira sebulan kemudian. Namun, mungkin terdapat keadaan di mana batu nisan tetap berbentuk satu jenis yang dihasilkan jauh sesudah pengebumiannya, sedangkan epitaf, jika ada, pada batu nisan baru ini, menyebutkan bahwa orang tersebut meninggal jauh sebelumnya. Mungkin juga bisa terjadi bahwa satu batu nisan tetap kemudian diganti dengan batu nisan lain, disebabkan alasan tertentu, seperti batu nisan lama rusak atau batu nisan baru dianggap lebih cantik. Oleh karena itu, zaman sejenis “batu Aceh” tidak dapat dipastikan tanpa meneliti sebanyak mungkin batu nisan dari jenis tersebut di berbagai kawasan.
Fakta menarik yang ketiga dalam teks Bustan al-Salatin adalah berkenaan dengan hiasan-hiasan yang terdapat pada batu nisan dalam bentuk emas dan permata. Jelas bahwa sekiranya dahulu terdapat “batu Aceh” dengan hiasan sebegini di Johor, maka hiasan ini sudah lama hilang dan batu nisan yang kelihatan sekarang sudah tidak lengkap lagi.
Apa yang mendasari munculnya “batu Aceh” adalah suatu pertanyaan yang belum terjawab. Biarpun “batu Aceh” belum diteliti secara mendalam dari segi simbolisme, jelas bahwa ia merupakan campuran unsur-unsur pra-Islam dan unsur-unsur Islam. Maka tidak terlalu aneh jika ditemukan monumen-monumen yang serupa dari segi bentuk dan hiasan di kawasan lain di Asia Tenggara.
Kosa Ban Saladaeng Nua
Sebenarnya, peradaban Buddha di Asia Tenggara telah mencipta monumen berkaitan dengan kematian yang dapat dibandingkan dengan “batu Aceh”, yaitu tempat menyimpan abu mayat yang disebut kosa dalam bahasa Thai. Tradisi kesenian ini lebih kuno daripada tradisi “batu Aceh”. Sebuah contoh sangat mirip dengan “batu Aceh” masih kelihatan di Saladaeng Nua, sebuah kampung lama di tepi Sungai Chao Phraya, sekitar 50 km dari Bangkok. Penduduk kampung adalah orang Mon yang berpindah dari Birma ke tempat ini pada awal abad ke-19. Monumen ini terletak di dalam sebuah bangunan kecil dekat sebuah wat. Abu mayat tidak tersimpan dalam monumen sendiri, tetapi di bawahnya, dalam wadah dari logam atau dalam kotak dari keramik. Monumen berbentuk serupa juga digunakan sebagai tempat abu mayat Raja Siam dahulu. Walaupun begitu, dari perbandingan ini tidak dapat langsung disimpulkan bahwa ada pengaruh dari tradisi tempat abu mayat penganut agama Buddha atas jenis “Batu Aceh” yang dimaksud, yaitu jenis J.
Kesimpulan
Hasil berbagai survei yang telah dilakukan di Negeri Johor, Malaysia, dari tahun 1996 hingga tahun 1999, telah membawa penambahan sebanyak 15 tempat atas jumlah situs makam lama dengan batu nisan berbentuk “batu Aceh”, menjadikan jumlahnya 36 sekarang. Temuan batu nisan juga bertambah, melebihi 50% jika dibandingkan dengan penelitian yang sebelumnya pada tahun ‘80-an, sehingga jumlahnya menjadi 211 buah. Dari hasil penelitian yang telah diperoleh hingga sekarang, disimpulkan bahwa Negeri Johor merupakan daerah Semenanjung Melayu yang paling kaya akan “batu Aceh”. Selain itu, keadaan setiap makam juga telah dicatat secara terperinci dan didapatkan bahwa sekitar dua pertiga darinya masih mempunyai sekurang-kurangnya satu batu nisan dalam keadaan sempurna.
Dari segi tipologi, penelitian ini telah dapat memperkenalkan ciri-ciri yang terperinci bagi setiap batu nisan berbentuk “batu Aceh” dan menghasilkan satu cadangan tipologi yang membedakan 16 jenis, berdasarkan perbandingan antara batu nisan. Data ciri-ciri yang dihasilkan untuk memerikan setiap batu nisan ini membantu untuk membuat perbandingan di antara batu nisan dan demikian mengelompokkannya berdasaran jumlah ciri-ciri yang sama. Oleh karena kebanyakan epitaf tidak memuat langsung informasi tentang zaman dan identifikasi makam, pengelompokan ini membantu untuk mengusulkan hipotesis tentang zamannya sebuah batu nisan, ataupun identifikasi makam jika terdapat persamaan yang sangat khusus. Maka, tiga percobaan kronologi dan identifikasi telah dilakukan mengenai makam-makam dari Bukit Seluyut dan Panchor berdasarkan hasil survei yang terbaru ini dan perbandingan antara batu nisan yang telah ditemui di negeri Johor sendiri dan antara batu nisan - batu nisan ini dan batu nisan yang berada di luar negeri Johor.
Penelitian terbaru ini merupakan langkah awal sebuah penelitan lebih luas tentang “batu Aceh” yang akan meliputi seluruh Dunia Melayu dari selatan Thailand sampai ke Indonesia. Diharapkan penelitian ini akan membantu untuk mengerti kemunculan dan simbolisme “batu Aceh” yang tentunya perlu ditinjau dalam konteks kebudayaan Asia Tenggara, melihat bahwa terdapat monumen mirip dengan “batu Aceh” yang digunakan oleh penganut agama Buddha.
__________________
Makalah ini disampaikan dalam seminar Dimensi Budaya dalam Membangun Persatuan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi bekerjasama dengan Kedutaan Besar Prancis di Indonesia, pada tanggal 16-18 Juli 2001 di Palembang, Sumatra Selatan, Indonesia.
Daniel Perret, adalah Direktur Isntitut Prancis untuk Timur Jauh (Ecole française d‘Etreme-Orient/EFEO).
Daftar Pustaka
Abdul Halim Nasir
• 1977 Sejarah Perak, Kuala Lumpur, Jabatan Muzium.
• 1985 “Nisan Aceh Bertulis di Semenanjung Malaysia”, Purba, 4, hlm. 6-22.
• 1990 Kota-Kota Melayu, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.
Abdul Samad bin Ahmad (ed.)
• 1986 Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, [ed. pertama, 1979].
Andaya, Leonard Yuzon
• 1975 The Kingdom of Johore (1641-1728), Kuala Lumpur, Oxford University Press.
Ambary, Hasan Muarif
• 1984 L‘art funéraire musulman en Indonésie des tines au XIXe siècle. Étude épigraphique et ypologique, thése de doctorat, Paris, EHESS.
Cushman, Jennifer W. & Milner, Anthony Crothers
• 1979 “Eighteenth and nineteenth-century chinese accounts of the Malay Peninsula”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 52(1), hlm. 1-56.
Damais, Louis-Charles
• 1968 “L‘épigraphie musulmane dans le sud-est asiatique”, Bulletin de l‘École française d‘Extrême-Orient, LIV, hlm. 567-604.
Gibson-Hill, Carl Alexander
• 1955 “Johore Lama and other ancient sites on the Johore River”, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, 28(2), hlm. 126-198.
Groeneveldt, Willem Pieter
• 1880 Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources, Verhandelingen van de Bataviaasch Genootschap 39, hlm. 1-144.
Han Wai Toon
• 1948 “A Study on Johore Lama”, Journal of the South Seas Society, 5(2), hlm. 17-34.
Kratz, Ernst Ulrich (ed.)
• 1973 Peringatan Sejarah Negeri Johor. Eine Malaiische zu Geschichte Johors im 18. Jahrhundert, Wiesbaden, Otto Harrassowitz.
Lanang, Tun Seri
• 1997 Sulalat al-Salatin, Muhammad Haji Salleh (ed.), Kuala Lumpur, Yayasan Karyawan/Dewan Bahasa dan Pustaka.
Linehan, William
• 1973 A History of Pahang, Kuala Lumpur, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, [ed. pertama, 1936].
Moor, J.H.
• 1837 Notices of the Indian Archipelago and adjacent countries, Singapore.
Norjihan Nordin
• 1994 “Sejarah Kampung Panchor: Peranannya di Awal Kurun Ke-18”, dalam Abdullah Zakaria bin Ghazali & Zainal Abidin Borhan (ed.), Johor dahulu dan sekarang, Kuala Lumpur, Persatuan Muzium Malaysia, hlm. 33-46.
Nuruddin al-Raniri, Syeikh
• 1992 Bustan al-Salatin, Bab. II, Fasal 13, Siti Hawa Haji Salleh (ed.), Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, [ed. pertama, 1966].
Othman bin Mohd. Yatim
• 1985 Batu Aceh: a study of 15th-19th century Islamic gravestones in Peninsular Malaysia, PhD dissertation, University of Durham.
• 1988 Batu Aceh. Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia, Kuala Lumpur, Muzium Negara.
Othman bin Mohd. Yatim & Abdul Halim Nasir
• 1990 Epigrafi Islam Terawal di Nusantara, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.
Perret, Daniel
• 1998 Sejarah Johor-Riau-Lingga sehingga 1914. Sebuah esei bibliografi, Kuala Lumpur, Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Pelancongan Malaysia/EFEO.
Perret, Daniel; Kamarudin Ab. Razak & Ludvik Kalus
• 1999 Batu Aceh. Warisan Sejarah Johor, Johor Bahru, l‘École française d‘Extrême-Orient /Yayasan Warisan Johor.
Purchas, Samuel (ed.)
• 1905 “John Davis the navigator” dalam Purchas, His Pilgrimes, jil. II, Glagow, James MacLehose & Sons.
Ronkel, Philippus Samuel van
• 1920 “Grafmonumenten op het maleische schiereiland in een oud maleisch werk vermeld”, Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 76, hlm. 162-171.
Shellabear, William Girdlestone (ed.)
• 1994 Sejarah Melayu, Kuala Lumpur, Fajar Bakti, [ed. pertama, 1898].
Sudjiman, Panuti H.M. (ed.)
• 1983 Adat Raja-Raja Melayu, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.
Winstedt, Richard Olaf
• 1992 A History of Johore (1365-1941). With a final chapter by Prof. Dato‘ Khoo Kay Kim, Kuala Lumpur, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, reprint no. 6, [ed. pertama, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, X(3), 1932].
[1] Istilah “batu Aceh” muncul pada tahun 1920 berkenan dengan sebuah makam di Pahang (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: xxv, 5).
[2] Pada abad ke-17, diperdagangkan emas dari Jambi dan Indragiri, timah dari Sumatra dan sebagian dari pantai barat Semenanjung Melayu, tambaga dari Jepang, garam dari Siam, gaharu, rotan, lilin lebah, kapur, gading, sarang burung, lada dari Jambi, Idragiri dan Palembang, beras dari Jawa dan Siam, sutra, keramik dan peralatan besi dari Cina, pakaian dari India, benang emas dari Jepang, candu dan budak (Andaya, 1975: 38, 69, 76, 128, 148).
[3] Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, X (3), 1932. Sebagian besar dari buku ini telah diterbitkan kembali oleh The Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society pada tahun 1992 (MBRAS Reprint No. 6).
[4] Lihat Perret, 1988.
[5] Terdapat contoh-contoh “batu Aceh” yang telah dibawa oleh R. O. Winstedt dan G. B. Gardner pada tahun ‘20-an dan ‘30-an untuk disimpan di Museum Nasional Singapura. Mungkin di antaranya terdapat beberapa buah yang berasal dari negeri Johor. Namun, oleh karen artifak-artifak arkeologi yang dikumpulkan sebelum Perang Dunia II oleh bekas Raffles Museum sedang dalam proses inventarisasi, kami tidak sempat menelitinya (lihat juga Othman bin Mohd. Yatim, 1988: 133-134, 185).
[6] Di negeri Kedah terdapat juga satu kuburan dengan batuan batu nisan yang serupa jenis O, tetapi tanpa hiasan pada bagian atas badan dan pada bagian kepala (makam Tok Bomoh Gajah di kota Tok Langgar, Kampung Naga, mukim Naga).
[7] Dipetik oleh Winstedt, 1992: 219.
[8] Silsilah keturunan Kerajaan Johor/Pahang/Riau yang dipegang oleh Raja kamarazaman bin Raja Salim, Kota Tinggi.
[9] Wawancara dengan Abdullah bin Abu Talib (Panchor), 19/12/1995.
[10] Nuruddin al-Raniri, 1992: 40-42. Lihat juga Linehan, 1973: 37-39; Ronkel, 1920: 162-171. Menurut Linehan, tempat makam ini sekarang bernama Makam Chondong atau Makam Tujuh Beradik (berdekatan Kota Pekan). Dia menemukan lima kubur lama dan batu nisan yang telah dibawa oleh Sultan Iskndar Thani berbentuk “Chinese-lantern” (jenis Hikayat Iskandar Zulkarnain). Dia berhasil mengidentifikasi satu makam, yaitu makam Marhum Muda Abdullah (“Marhum Muda Pahang”, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, XII (2), 1934: 171-173) yang dibunuh pada tahun 1614, dan dia menduga terdapat juga makam Puteri Bongsu Chendera Dewi, ibu Sultan Iskandar Thani. Selain itu, Linehan juga menemukan beberapa peninggalan struktur yang yang dipercayai didirikan sebelum kedatangan Sultan Iskandar Thani (Linehan, 1973: 38-39,235-236). Dengan demikian, terdapat satu kemungkinan besar bahwa batu nisan yang dibawa oleh Iskandar Thani menggantikan batu nisan (batu Aceh?) yang diletakkan tidak lama sesudah kemangkatan. Linehan mencatat bahwa satu pecahan batu nisan (yang sejenisnya tidak diketahui) dengan tulisan “Haza al-Kubur Sultan Muda (?) Lah” telah ditemukan di hutan dekat Makam Chondong (Ibid., : 236). Mungkin batu nisan ini adalah batu nisan asal makam Sultan Muda Abdullah. Menurut Othman bin Mohd. Yatim, terdapat 7 makam lama di Makam Chondong (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: xxxvi).
[11] Peristiwa ini terjadi pada tahun 1638, menurut Linehan (1973: 39)
[12] Sekurang-kurangnya dalam satu masalah, istialh “menggantikan” digunakan. Lihat Nuruddin al-Raniri, 1992: 42, catatan kaki 417 dan Ronkel, 1920: 170.
Sumber :http://melayuonline.com
Tradisi kesenian “batu Aceh” sebenarnya tersebar dari wilayah Pattani (selatan Thailand), ke Malaysia, Indonesia, dan Brunei. Di Indonesia, jumlah “batu Aceh” mungkin lebih dari lima ribu buah. Di Semenanjung Melayu sendiri, sekitar 400 makam orang Islam yang ditandai dengan “batu Aceh” dapat ditemukan hingga sekarang. Diselatan Thailand dan di Brunei, jumlahnya beberapa puluhan buah.
Dengan demikian, seni “batu Aceh” merupakan suatu tradisi kesenian Islam yang amat berarti bagi seluruh kawasan Nusantara. Lagipula, di antara batu nisan Islam tertua yang berada di sebelah barat kawasan tersebut (Semenanjung Melayu, Sumatra), jumlah “batu Aceh” jauh lebih besar dari batu nisan yang berasal dari tradisi kesenian Islam lain. Jika ditambah dengan tingkat kemahiran yang tinggi, keanekaragaman bentuk dan kekayaan hiasan, serta langkanya peninggalan Islam di kawasan ini, maka “batu Aceh” merupakan monumen luar biasa untuk sejarah Islam pada umumnya dan sejarah kesenian Islam di Nusantara pada khususnya.
Makalah ini bertujuan menunjukkan bahwa korpus “batu Aceh” yang begitu besar ini perlu diberi perhatian yang mendalam. Pertama-tama, deskripsi yang terperinci dan sistematik akan membantu untuk membuat suatu tipologi yang lengkap berdasarkan bentuk umum, dan mencatat varian-varian hiasan untuk setiap jenis, serta menemukan unsur-unsur dekoratif yang sama bagi berbagai jenis. Selain itu, deskripsi ini akan memudahkan perbandingan di antara semua batu nisan sejenis. Pada tahap yang berikut, dari perbandingan itu, batu nisan yang jumlah ciri-ciri identik cukup besar dapat dikelompokkan untuk membantu interpretasi kronologi dan sejarah. Mengenai “batu Aceh”, tahap ini penting sekali karena tidak banyak “batu Aceh” yang epitafnya mengandungi data-data yang berarti dari segi sejarah. Maka, dari perbandingan tersebut, dapat diusulkan hipotesis mengenai kronologi jenis-jenis dan identifikasi makam.
Penelitian mendalam seperti ini sudah dimulai di Semenanjung Melayu, terutama di negeri Johor, Perak dan Kedah di Malaysia, dan di Provinsi Pattani di selatan Thailand. Di sini akan kami sampaikan beberapa hasil yang didapati dari penelitian terbaru di negeri Johor.
Konteks Sejarah
Dalam sejarah Dunia Melayu, nama Johor biasanya dikaitkan dengan kesultanan yang muncul pada awal abad ke-16 di ujung selatan Semenanjung Melayu. Kesultanan itu adalah pengganti Melaka sebagai penguasa setempat yang besar di wilayah Selat Melaka, dan akan mencapai puncaknya pada paruh kedua abad ke-17, dengan memanfaatkan kemerosotan kesultanan Aceh dan perebutan Melaka oleh orang Belanda pada tahun 1641.
Tidak banyak yang diketahui tentang sejarah daerah tersebut sebelum abad ke-16. Namun demikian, terdapat bukti bahwa ada kampung di sepanjang Sungai Johor pada abad ke-15, dan dua makam dengan nisan berbentuk “batu Aceh” dipastikan dari abad ke-15. Yang pertama adalah makam “nenanda kepada Almarhum Mansur”, yang epitafnya bertanggal Senen bulan Sha‘ban tahun 857 H (Agustus September 1453) di Sayong Pinang (Ludvik Kalus dalam Perret dkk., 1999: 127), dan yang kedua makam Sultan Alauddin Riayat Syah I Melaka di Kampung Raja (Pagoh). Epitafnya tidak rnencantumkan tanggal kemangkatannya, tetapi dari sumber lain dapat diketahui bahwa dia mangkat pada tahun 1488.
Kesultanan Johor muncul pada masa keadaan darurat dan langsung terancam sejak awal pendiriannya. Sesudah perebutan Melaka oleh orang Portugis pada tahun 1511, Sultan Melaka yang terakhir, Mahmud Syah I, berpindah-pindah dari Johor (Muar, Pekan Tua [?], Pagoh), ke Pahang, dan ke Pulau Bintan, dari mana dia akan diusir oleh orang Portugis pada tahun 1526. Penggantinya menetap di tepi Sungai Johor mulai sekitar tahun 1530. Ini titik permulaan suatu seri perpindahan yang akan terjadi sepanjang sejarah kesultanan. Tidak kurang dari 22 perpindahan terjadi antara tahun 1535 dan 1718, di sepanjang Sungai Johor dan di Kepulauan Riau. Sebagian dari perpindahan itu terjadi akibat serangan Portugis atau Aceh. Sebelas sultan silih berganti antara tahun 1511 dan tahun 1718. Sesudah tahun 1718, ibu kota kesultanan Johor-Riau terletak di Kepulauan Riau. Hanya pada tahun 1886, Johor kembali sebagai ibu kota kesultanan itu, ketika Maharaja Abu Bakar mulai menetap di Johor Bahru.
Berkembangnya Kesultanan Johor terutama berdasarkan kemampuannya untuk menarik kapal-kapal dagang, yang kadang-kadang dilakukan dengan cara kekerasan. Ibu kotanya merupakan tempat pertukaran aneka jenis barang[2] dengan kemudahan seperti gudang, yang kemungkinan besar terletak di bawah tanah untuk mencegah kebakaran, pegawai yang mahir dalam penyelenggaraan perdagangan, pajak yang cukup murah, ukuran berat dan panjang yang stabil, kemudahan untuk membaiki kapal-kapal, serta ketidakadaan pembajakan laut di sekitarnya (Andaya, 1975: 38). Yang datang berdagang di Johor adalah orang Cina, orang India (khususnya orang Gujrati), orang Siam, pedagang dari tempat-tempat lain di Semenanjung Melayu, orang Aceh dan pedagang dari seluruh pantai Sumatra, orang Jawa, pedagang dari Borneo, Maluku, Tenassirim, orang Belanda, Inggris, Portugis, serta orang Denmark (ibid: 25, 69, 71, 76, 104, 128, 147-149). Kapal-kapal dari Johor sendiri pergi berdagang sampai ke Teluk Siam, Benggala dan Koromandel (ibid.: 62, 70, 77).
Sewaktu orang Belanda merebut Melaka pada tahun 1641, Johor berkuasa atas seluruh pantai barat Semenanjung Melayu di sebelah selatan Selangor (kecuali daerah Melaka), Siak, Kampar dan Bengkalis di Sumatra, Kepulauan Riau-Lingga dan Singapura. Secara bertahap, sebagian besar dari pantai timur Sumatra, di sebelah selatan Aceh, berada di bawah kekuasaan Johor pada akhir abad ke-17, ditambah Terengganu, Pahang, pantai timur Johor, Pulau Siantan dan Tambelan, serta beberapa pulau di dekat pantai barat Borneo (ibid.: 37, 148-149).
Penelitian Awal Tentang “Batu Aceh” di Negeri Johor
Penelitian pertama diterbitkan pada tahun 1932 dalam buku Richard Olaf Winstedt, A History of Johor (1365-1895 A.D.).[3] Jelas bahwa Winstedt mengutamakan penelitian tentang batu nisan yang memiliki tulisan yang menarik dan tidak berusaha untuk memberikan satu gambaran terperinci bagi setiap batu nisan yang ditemuinya. Edisi asal bukunya menguraikan suatu penelitian epigrafi oleh Engku ‘Abdul-Hamid bin Engku ‘Abdu‘l-Majid (hlm. 159-167) mengenai empat batu nisan dari Kampung Raja (Pagoh) serta beberapa batu nisan dari Sayong Pinang. Winstedt sadar bahwa batu nisan ini berkaitan dengan Aceh tetapi gambaran yang diberikannya amat ringkas, contohnya “Malayo-Achinese type”, “inferiors specimens of the elaborately foliate type”, “European-lantern (or ‘pine-apple‘) type”, “usual XVIIth century type” atau “Chinese-lantern type”. Ini mungkin dapat dimengerti karena penelitian mengenai “batu Aceh” masih kurang di Hindia-Belanda pada waktu itu sehingga tipologi yang terperinci belum dapat dihasilkan. Mungkin juga foto-foto yang diambil serta replika dari semen yang dibuat untuk Museum Raffles di Singapura telah dianggap mencukupi sebagai referensi langsung bagi peneliti setempat. Namun, buku Winstedt amat penting karena mengandungi daftar lokasi situs yang paling lengkap, sebelum penelitian kami, dan karena informasi terperinci yang diberikan bagi setiap situs.
Kita harus menunggu lebih dari setengah abad sebelum satu penelitian penting mengenai “batu Aceh” di negeri Johor dapat dihasilkan, yaitu pada tahun 1985 oleh Othman bin Mohd. Yatim dan diterbitkan tiga tahun kemudian oleh Muzium Negara Malaysia. Penelitian ini amat penting karena didasari atas survei antara tahun 1974 dan 1983 di seluruh Semenanjung Melayu dan dapat menghasilkan satu tipologi batu nisan berbentuk “batu Aceh” yang terperinci, serta membuat hipotesis tentang kronologi jenis-jenis dan simbolisme. Maka 14 jenis batu nisan dibedakan atas 188 kuburan dari seluruh Semenanjung Melayu, termasuk 83 kuburan dari negeri Johor sendiri (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: 102). Buku ini masih merupakan sumber acuan utama bagi siapa saja yang ingin membuat penelitian tentang “batu Aceh” di Malaysia. Pada waktu yang sama, satu penelitian epigrafi dan tipologi kuburan Islam di Indonesia, yang telah dihasilkan oleh Professor Hasan Muarif Ambary (1984), berisi satu esei tipologi “batu Aceh” berdasarkan kuburan-kuburan yang terdapat di Indonesia dan di Malaysia, termasuk beberapa buah kuburan dari Johor. Di samping itu beberapa penelitian ringkas mengenai tulisan-tulisan yang terdapat pada batu nisan berbentuk "batu Aceh" di Johor telah dihasilkan oleh Louis-Charles Damais (1968), Abdul Halim Nasir (1985) sendiri atau bersama Othman bin Mohd. Yatim (1990). Informasi tentang situs tertentu ada pula dalam beberapa buah buku, majalah ilmiah, serta koran dan majalah umum dari Malaysia.[4]
Penelitian Terbaru
Survei terbaru mengenai “batu Aceh” di Johor, telah dilaksanakan oleh École française d‘Extréme-Orient (EFEO) bersama Yayasan Warisan Johor di antara tahun 1996 dan awal tahun 1999. Pilihan negeri Johor memang tidak dilakukan secara kebetulan karena sebenarnya, dalam keadaan pengetahuan sewaktu survei itu dimulai, negeri Johor merupakan kawasan yang paling kaya akan “batu Aceh” di Malaysia. Kerja lapangan telah membawa penambahan situs makam lama dengan batu nisan berbentuk “batu Aceh” dari 15 tempat menjadi 36, bertambah lebih dari 50% jika dibandingkan dengan penelitian yang terdahulu. Jumlah keseluruhan makam yang diteliti di sini diperkirakan 211 buah.[5] Kami mendapati bahwa dari kira-kira dua per tiga dari makam yang telah didaftar, sekurang-kurangnya satu batu nisan masih utuh atau hampir utuh.
Kawasan terpenting yang mengandung paling banyak makam dengan “batu Aceh” adalah lembah Sungai Johor dan anak sungainya, dengan 195 buah makam yang telah ditemukan, diikuti Sungai Simpang Kiri dan anak sungainya di daerah Batu Pahat dengan 10 buah makam, akhirnya Sungai Muar dan anak sungainya di daerah Muar dengan 6 buah makam. Bahwa semua situs terletak berdekatan dengan sungai yang besar atau anak sungainya tidak mengherankan, karena sampai awal abad ke-20, sungai-sungai merupakan jalan utama di semenanjung dan orang biasanya tinggal di tepi sungai.
Tipologi
Metode yang kami lakukan untuk penelitian tipologi didasari oleh metode Othman bin Mohd. Yatim, yaitu dengan membagi setiap batu nisan ke dalam enam bagian: dasar, badan bagian bawah, badan bagian atas, bahu-bahu, kepala dan puncak. Deskripsi ini merupakan deskiripsi paling terperinci sampai sekarang untuk “batu Aceh”. Dari penelitian ini, 252 ciri hiasan dapat diidentifikasikan: 57 ciri pada bagian dasar, 22 ciri pada badan bagian bawah, 61 pada badan bagian atas, 30 pada bagian bahu-bahu, 51 pada bagian kepala, dan 31 pada bagian puncak. Jumlah ciri ini membuktikan keaneka-ragaman dan kekayaan hiasan “batu Aceh”. Daftar ini dilakukan selengkap mungkin, karena dalam keadaan pengetahuan sekarang, belum diketahui ciri-ciri apa yang relevan untuk membantu dalam usaha memberi tanggal dan identifikasi makam. Ciri-ciri ini tidak hanya merupakan varian hiasan untuk sebuah jenis, tetapi dapat juga ditemui pada beberapa jenis. Dalam penelitian ini, misalnya didapati bahwa 112 ciri ditemui pada sekurang-kurangnya dua jenis dan dua ciri ditemui pada delapan jenis. Persamaan ini mengukuhkan lagi hipotesis bahwa semua batu nisan ini merupakan basil dari satu tradisi kesenian yang khas.
Dari bentuk umum batu nisan, dapat dibedakan 16 jenis (lihat ilustrasi): 9 yang berbentuk papan (A, B, C, D, E, F, N, O, Q) dan 7 yang berbentuk tiang (G, H, J, K, L, M, P). 13 jenis di antaranya telah didefinisikan dan ditemukan di Aceh oleh Othman bin Mohd. Yatim (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: 35). Menurut kami, terdapat tiga lagi jenis yang perlu dibedakan, yaitu jenis yang kami namakan O, P dan Q. Jenis O terdapat sekurang-kurangnya di kepulauan Riau.[6] Jenis P terdapat di Aceh (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: hlm. gbr. 8) sedangkan kami telah melihat batu nisan yang menyerupai jenis Q di daerah Pattani, selatan Thailand. Di Johor, jenis yang utama dari segi jumlah kuburan adalah jenis C (89 buah) (42%), yang terdapat di 26 situs, diikuti jenis K (36 buah) (17%), A (9 %), H (7 %) dan 0 (7 %). Hasil penelitian ini memperkuatkan lagi posisi jenis C sebagai jenis “batu Aceh” yang paling banyak di Semenanjung Melayu (ibid.: 46). Dengan dua kekecualian, di semua situs dengan sekurang-kurangnya dua kuburan terdapat lebih dari satu jenis batu nisan.
Korpus data yang dihasilkan untuk memerikan setiap batu nisan ini membantu untuk membuat perbandingan di antara batu nisan dan demikian mengelompokkannya berdasaran jumlah ciri-ciri yang sama. Kemudian pengelompokan ini membantu untuk mengusulkan hipotesis tentang zamannya sebuah batu nisan, ataupun identifikasi makam jika terdapat persamaan yang sangat khusus.
Epigrafi
Dari 211 buah makam yang telah diteliti, terdapat sebuah makam saja yang tanggalnya serta identitasnya termuat di dalam epitaf, yaitu nenek dari Sayyid al-marhum Mansur yang mangkat pada bulan Agustus atau September 1453 di Sayong Pinang. Epitaf yang memuat nama saja ada pada makam Sultan Alauddin Riayat Syah I Melaka Ibni Sultan Mansur Syah Melaka yang berada di Pagoh. Dari sumber lain, diketahui bahwa kemangkatannya terjadi pada tahun 1488 dan baginda kemudian disebut “Marhum Berdarah Puteh” (Linehan, 1973: 15). Terdapat dua makam lagi yang epitafnya memuat sebuah nama, termasuk makam Sulaiman Syah ibni Sultan Mansur Syah Melaka ibni Sultan Muzafar Syah Melaka. Dia adalah kakak atau adik dari Sultan Alauddin Riayat Syah I Melaka.
Batu nisan lain tidak memuat unsur apa pun yang dapat langsung mengidentifikasi makamnya. Sebenarnya data mengenai tulisan yang ada pada “batu Aceh” dari Johor dapat dibagikan ke dalam dua kumpulan yang jauh berbeda. Kumpulan pertama terdiri dari makam yang batu nisannya memuat teks-teks dan epitaf-epitaf yang dapat dibaca, walaupun epitaf-epitaf ini kadangkala hanya berisikan ayat Alquran atau teks-teks keagamaan lain. Kumpulan kedua terdiri dari makam yang pada batu nisannya terdapat tulisan berhuruf yang agak “digayakan” sehingga kadang-kadang sama sekali tidak dapat dibaca. Makanya, walaupun terdapat beberapa tulisan di mana kalimat syahadat cukup jelas kelihatan dan biasanya diulangi beberapa kali pada kedua batu nisan sebuah makam, terdapat pula contoh di mana teks yang sama diukir menurut suatu gaya yang amat menyusahkan pembacaannya. Pada tahap terakhir gaya ini berbentuk seri-seri garis vertikal (Kalus dalam Perret dkk., 1999: 144-146).
Perbandingan untuk Identifikasi
Kekurangan informasi yang diperoleh langsung dari batu nisan sendiri memaksa kami menggunakan sumber-sumber lain serta membuat perbandingan dengan batu nisan lain untuk mencoba mengidentifikasi makamnya. Di bawah ini diberikan beberapa contoh hasil penelitian yang menggunakan sekaligus perbandingan di antara batu nisan, sumber tertulis, dan sumber lisan.
Bukit Seluyut
Di Bukit Seluyut terdapat sekelompok makam yang terdiri dari tiga makam yang mungkin dapat dikaitkan dengan beberapa peristiwa yang diceritakan dalam Sejarah Melayu.
Menurut teks ini, Sultan Muzzafar Syah II telah mangkat di Seluyut dan dikebumikan di Bukit Seluyut. Karena itulah baginda disebut “Marhum di Seluyud” (Abdul Samad bin Ahmad [ed.], 1986: 307; Shellabear [ed.], 1994: 235). Tidak ada tanggal terperinci tentang kemangkatan baginda, dan dari sumber lain dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi sebelum bulan Agustus 1569. Menurut Sejarah Melayu lagi, anak saudaranya, Sultan Abdul Jalil I, mangkat pada usia Sembilan tahun, tidak lama sesudah menaiki takhta. Baginda juga dikebumikan di Bukit Seluyut, bersebelahan dengan makam Sultan Muzzafar Syah II (Abdul Samad bin Ahmad [ed.], 1986: 307-308; Shellabear [ed.], 1994: 235-236). Seperti Sultan Muzzafar Syah II, tidak ada tanggal terperinci tentang kemangkatan Sultan Abdul Jalil I dan dari sumber yang sama dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi sebelum bulan Agustus 1569. Menurut Sejarah Melayu juga, Raja Fatimah, puteri Sultan Alauddin Riayat Syah II, dan adik Sultan Muzzafar Syah II, juga dikuburkan di Bukit Seluyut, bersebelahan dengan makam abangnya (Abdul Samad bin Ahmad [ed.], 1986: 310; Shellabear [ed.], 1994: 238). Peristiwa ini terjadi sebelum kemangkatan Sultan Abdul Jalil Syah II pada tahun 1597.
Makam Bukit Seluyut
Dengan keadaan ini, di mana tiga orang dimakamkan berdekatan satu sama lain, kami berpendapat bahwa makam mereka adalah kumpulan tiga makam tersebut di atas, sekiranya batu nisan - batu nisan betul-betul terletak pada tempat asalnya. Kecuali ukuran yang sedikit berbeda, boleh dikatakan bahwa batu nisan dari dua makam di antaranya adalah sama. Persamaan ini cukup sesuai untuk makam dua kakak-beradik, yaitu Sultan Muzzafar Syah II dan Raja Fatimah. Selain itu, batu nisan yang ketiga kecil, oleh karena itu dapat diduga bahwa ini menandakan makam seorang anak, mungkin Sultan Abdul Jalil I.
Jika dibandingkan dengan batu nisan di luar Johor, batu nisan dari makam-makam yang diduga makam Sultan Muzzafar Syah II dan Raja Fatimah nampaknya mempunyai banyak persamaan dengan Makam Tok Subang di Kampung Kandang (Abdul Halim Nasir, 1977: 125; Othman bin Mohd. Yatim, 1988, hlm. gbr. 11, 54) dekat Sayong, Kuala Kangsar, negeri Perak di Malaysia. Tok Subang diduga gundik Sultan Mansur Syah I Perak (1549?-1577?) yang telah dibunuh dengan perintah baginda karena satu fitnah. Tanggal ini amat sesuai dengan pendapat kami mengenai zaman Sultan Muzzafar Syah II dan Raja Fatimah.
Makam Tengku Dara Putih
Sewaktu kunjungan ke Sungai Johor pada tahun 1826, sekelompok pengunjung dari Singapura sempat mendarat di dekat Bukit Sungai Tukul (Panchor) di mana terdapat sebuah makam yang digambarkan seperti berikut:
“[...] At the N.E. end of the fort we found a tomb formed by piling up large flat stones and filling up the centre with earth; there were two stones standing erect about a foot apart; they were of the same form, 3 feet high, very handsomely carved, and in good state of preservation. They are of hard sand-stone and said by our guide (Inchi Salle) to be the workmanship of a Chinese and to be the tomb of Raja Tungko Putih; but he could not tell us when he lived or anything of his history” (Viator dalam Moor, 1837: 265).
Makam ini masih ada dan namanya sering disebut dalam beberapa variasi. Menurut Winstedt, pada awal tahun ‘30-an, makam ini disebut Makam Raja Puteh (Winstedt, 1992: 213). Kini ia disebut Makam Puteri Putih (Abdul Halim Nasir, 1990: 111), Makam Tengku Dara Putih, atau juga Makam Tengku Putih (Norjihan Nordin, 1994: 38). Terdapat satu kepercayaan setempat yang menceritakan bahwa tokohnya mangkat setelah tertusuk jarum emas pada jarinya.
Semua nama ini tidak memberikan langsung identitas orang yang dikebumikan. Namun, di samping dugaan bahwa dia seorang perempuan, dari gelaran “Tengku” yang digunakan sekurang-kurangnya mulai awal abad ke-19, dapat diduga juga bahwa dia anggota keluarga raja. Kami berpendapat bahwa Panchor pernah sekali menjadi ibu kota kesultanan Johor, mulai tahun 1702 hingga bulan Juni 1709, sewaktu pemerintahan Sultan Abdul Jalil IV. Masuk akal bahwa identitas Tengku Putih perlu dicari terlebih dahulu dalam keluarga raja pada waktu itu. Untuk itu terdapat satu sumber asing yang amat menarik, yaitu laporan seorang Inggris, Vaughan, yang berada di “New Johore” pada tahun 1703. Walaupun nama tempat Panchor tidak disebutnya, adanya istana di “New Johore” cukup meyakinkan untuk mempertahankan bahwa tempat ini adalah Panchor.
Vaughan menceritakan bahwa adik atau kakak perempuan Sultan Abdul Jalil IV, yang juga istri Syahbandar, mangkat sewaktu hendak melahirkan pada tanggal 4 September 1703.[7] Kami berpendapat bahwa kemungkinan besar orang ini adalah orang yang disebut Tengku Putih di dalam tradisi setempat. Hipotesis ini diperkuatkan lagi berdasarkan satu silsilah yang sekarang dipegang oleh seorang keturunan Sultan Abdul Jalil IV. Dokumen ini menyebut bahwa Raja/Tengku Dara Puteh adalah anak Sultan Abdul Jalil Syah III dan mangkat di Panchor, seterusnya disebut “Marhumah Mangkat di Bukit Panchor”.
Batu nisan makam ini, yang berjenis N, mempunyai banyak persamaan dengan batu nisan dari dua makam yang berada dekat Kota Tinggi. Yang satu terletak dalam Kompleks Makam Bendahara Tun Habib Abdul Majid di Kampung Makam, yang lain terletak di seberang Sungai Johor di Kampung Tembeyoh, dan dipercayai sebagai makam seorang perempuan yang hidup sewaktu Sultan Mahmud Syah II bersemayam di Kota Tinggi (1688-1699). Berdasarkan dugaan bahwa Kompleks Makam Bendahara Tun Habib Abdul Majid dibuka sewaktu Sultan Mahmud Syah II pindah ke Kota Tinggi pada bulan Juli 1688, maka zaman ketiga makam ini dapat diletakkan antara tahun 1688 dan tanggal Panchor ditinggalkan sebagai ibu kota, yaitu Juni 1709.
Di Malaysia, kebanyakan “batu Aceh” jenis N ditemukan di Makam Diraja Kampung Langgar, Kedah (9 buah makam) (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: 43). Kompleks makam ini telah dibuka pada tahun 1701 atas perintah Sultan Abdullah Al-Muazzam Shah. Tanggal ini amat sesuai dengan hipotesis kami tentang zaman ketiga makam jenis N yang disebut di atas. Namun kenyataan tidak begitu jelas dari segi itu, karena makam-makam keluarga raja sebelum tahun 1701 pernah dipindahkan ke Kampung Langgar (ibid., 1988: 118), mungkin termasuk batu nisan jenis N juga. Di luar Malaysia, “batu Aceh” jenis N ditemukan juga di Aceh (dipercayai dari abad ke-17), di Pulau Bintan (abad ke-17) dan di Banten pada makam Sultan Ageng Tirtayasa (Ambary, 1984: 416, foto 10 dan 13; 417 dan foto 15) yang mangkat pada tahun 1692.
Makam Bendahara Tun Mas Anom
Terdapat tiga versi berlainan tentang sebuah makam yang juga terletak di Panchor: apakah itu makam Sultan Abdul Jalil I (Abdul Halim Nasir, 1990: 111, foto 7.2 dan 7.3), makam Sultan Abdul Jalil III,[8] atau makam seorang bendahara?[9]
Kami telah menunjukkan di atas bahwa, menurut Sejarah Melayu, Sultan Abdul Jalil I dikebumikan di Bukit Seluyut, bersebelahan dengan makam Sultan Muzzafar Syah II.
Selain itu, menurut Sejarah Melayu lagi, Sultan Ala Jalla Abdul Jalil Riayat Syah II (Raja Omar) mangkat di Makam Tauhid (Abdul Samad bin Ahmad (ed.), 1986: 310; Shellabear (ed.), 1994: 238), Sultan Abdul Jalil Syah III mangkat di Pahang (Andaya, 1975: 114) seperti juga Sultan Abdul Jalil Syah IV (Kratz (ed.), 1973: 46; Gibson-Hill, 1955: 166). Melihat semua uraian ini, kami berpendapat bahwa makam tersebut bukan makam seorang sultan Johor yang bernama Sultan Abdul Jalil.
Versi yang mengatakan bahwa makam tersebut adalah makam seorang bendahara kelihatan jauh lebih kuat. Sebuah sumber setempat, Peringatan Sejarah Negeri Johor, memang menceritakan bahwa Bendahara Tun Mas Anom meninggal dunia sewaktu ibu kota kesultanan Johor terletak di Panchor (Kratz (ed.), 1973: 46). Bendahara ini adalah adik Sultan Abdul Jalil IV (Andaya, 1975: 201), dan satu sumber Belanda memberi tanggal terperinci kematiannya: 29 Mac 1708 (ibid.: 211). Hipotesis bahwa makam tersebut adalah makam Bendahara Tun Mas Anom diperkuatkan lagi jika dilihat dari segi jenis batu nisan. Selain makam ini, kami telah menemukan dua buah makam lain dengan “batu Aceh” jenis P di negeri Johor, yaitu di Kompleks Makam Bendahara Tun Habib Abdul Majid. Salah satunya diduga makam Bendahara Tun Habib Abdul Majid sendiri, yang tidak lain dari ayahnya Bendahara Tun Mas Anom.
“Batu Aceh” dan Adat Kematian
Walaupun kemungkinan besar banyak makam dengan batu nisan berbentuk “batu Aceh” sudah hilang, dari jumlah yang masih kelihatan sekarang, dapat diperkirakan bahwa “batu Aceh” digunakan untuk orang Islam tertentu saja di Semenanjung Melayu mulai abad ke-15. Sebenarnya informasi yang tertera dalam epitaf pada beberapa “batu Aceh” menunjukkan bahwa ia digunakan sebagai tanda makam sultan, kaum kerabatnya serta orang-orang Besar kerajaan.
Adat kematian orang biasa tidak disebut dalam sumber-sumber lokal. Terdapat informasi ringkas dalam beberapa sumber Cina seperti Hai yü (1537), di mana tentang Melaka disebut bahwa orang miskin membakar mayat, juga demikian orang kaya tetapi sebelumnya jenazahnya diletakkan di dalam sebuah peti bersama kapur Barus (Groeneveldt, 1880: 128). Satu lagi sumber Cina, dari akhir abad ke-16 atau awal ke-17, juga mencatat bahwa semua mayat dibakar (ibid.: 135; Han Wai Toon, 1948: 31). John Davis, seorang pelaut yang berada di Aceh pada tahun 1599 mencatatkan bahwa orang biasa dikebumikan (Purchas (ed.), 1905: 321-322).
Hai-lu, sebuah sumber Cina dari akhir abad ke-18, menyebut bahwa di Songkhla (selatan negeri Thailand sekarang) orang Melayu dikebumikan di bawah pohon kelapa dan tidak ada pengorbanan yang dibuat untuknya. Dalam sumber ini juga dicatat bahwa di pantai timur, termasuk Johor, adatnya hampir sama (Cushman & Milner, 1979: 13, 27).
Hai-lu tidak menyebut lagi bahwa mayat dibakar. Maka dapat disimpulkan bahwa pemakaman orang kebanyakan sudah menjadi biasa pada abad ke-18 dan mungkin juga pada abad ke-17 dan kuburannya ditandai dengan batu sungai, batu biasa, atau batang kayu.
Baik sumber setempat, maupun sumber asing, memberi bukti bahwa sultan, kaum kerabatnya serta orang-orang besar kerajaan dimakamkan mulai abad ke-15 di Semenanjung Melayu. Seringkali dalam kesusastraan tradisional Melayu, sewaktu kemangkatan seorang raja atau kematian orang besar, tidak terdapat satu gambaran terperinci mengenai adat pemakamannya dan hanya disebut seperti contoh berikut: “Maka Sultan Mahmud Syah pun ditanamkan oranglah seperti adat raja-raja mangkat” (Tun Seri Lanang, 1997: 247). Namun terdapat beberapa sumber setempat yang memberikan keterangan yang lebih terperinci.
Di antaranya terdapat sebuah teks berjudul Adat Raja-Raja Melayu yang memiliki satu bab sangat menarik mengenai adat yang diikuti sewaktu kemangkatan seorang raja. Teks ini telah dihasilkan di Melaka pada tahun 1779 atas pesan De Bruyn, seorang Belanda yang bertugas sebagai Gubernur Melaka pada waktu itu. Narasumber adalah orang setempat bernama Tuan Lebai Abdulmuhit dan isinya berkenaan dengan adat Raja pada zaman kesultanan Melaka (Sudjiman (ed.), 1983: 55-56). Biarpun informasi ini diperoleh hampir 300 tahun sesudah kejatuhan kesultanan Melaka, isinya cukup meyakinkan, apalagi karena adat yang diikuti di Melaka seterusnya diikuti di kesultanan lain di Semenanjung. Terdapat perincian-perincian amat menarik tentang batu nisan sendiri, terutamanya tentang pembuatan batu nisan oleh tukang-tukang setempat yang pandai. Dari gambaran yang diberikan, jelas bahwa batu nisan berbentuk “batu Aceh” digunakan sebagai batu nisan makam Sultan Melaka. Terdapat satu contoh di Johor sendiri, yaitu makam Sultan Alauddin Riayat Shah (1477-1488) di Kampung Raja, Pagoh, Muar. Satu informasi lain yang menarik adalah bahwa tulisan-tulisan berbagai warna dicat di atas batu nisannya. Dari hasil survei kami, jelas bahwa hiasan seperti ini sudah lama hilang dan cat yang ada sekarang pada beberapa batu nisan kelihatan baru.
Teks Bustan al-Salatin juga memberikan beberapa perincian menarik tentang adat pemakaman raja dan tercatat di dalamnya bahwa sewaktu memerintah di Aceh, Sultan Iskandar Thani memutuskan mengirim batu nisan ke Pahang untuk makam-makam kerabat baginda.[10] Selain itu, terdapat juga beberapa informasi mengenai batu nisan sesudah kemangkatan Sultan Iskandar Thani di Aceh pada tahun 1641, termasuk perhiasan berbentuk lapisan emas dan batu permata (Nuruddin al-Raniri, 1992: 45-46). Bustan al-Salatin siap tertulis oleh Nuruddin al-Raniri pada tahun 1640 (1050 H.)( ibid.: xiv) yaitu 139 tahun sebelum teks Adat Raja-raja Melayu. Terdapat tiga fakta rang menarik di sini.
Pertama, terbukti bahwa ada batu nisan yang dikirim dari Aceh ke Semenanjung Melayu, sekurang-kurangnya pada awal abad ke-17.[11] Fakta ini membawa beberapa persoalan: apakah semua batu nisan yang disebut “batu Aceh” memang berasal dari utara Sumatra? Sekiranya benar, apakah batunya diukir di utara Sumatra atau di tempat pemakaman? Seandainya diukir di luar Sumatra, sejak kapan dan dari mana asal tukangnya? Teks Adat Raja-raja Melayu rnenunjukkan bahwa terdapatnya tukang “batu Aceh” di Semenanjung Melayu merupakan suatu fakta yang disampaikan secara turun-menurun. Selain itu, pada “batu Aceh” dari Johor terdapat batu nisan di mana pembuatan ukiran nampaknya belum selesai, atau juga terdapat makam di mana sebuah batu nisan diukir sedangkan yang lain tidak. Dari situ, kami berpendapat bahwa sekurang-kurangnya sebagian dari “batu Aceh” diukir di Semenanjung.
Fakta yang kedua membawa implikasi mengenai kronologi jenis “batu Aceh” karena keputusan Sultan Iskandar Thani menunjukkan bahwa batu nisan yang menandai satu kubur mungkin bukan batu nisan asal. Penggantian[12] batu nisan asal bisa membawa kekeliruan sekiranya terdapat satu jangka waktu yang cukup panjang (misalnya satu abad) di antara pengebumian dan kejadian meletak batu nisan baru. Teks Adat Raja-Raja Melayu menunjukkan bahwa sebatang nisan sementara ditanam sewaktu upacara pengebumian dan batu nisan tetap ditanam kira-kira sebulan kemudian. Namun, mungkin terdapat keadaan di mana batu nisan tetap berbentuk satu jenis yang dihasilkan jauh sesudah pengebumiannya, sedangkan epitaf, jika ada, pada batu nisan baru ini, menyebutkan bahwa orang tersebut meninggal jauh sebelumnya. Mungkin juga bisa terjadi bahwa satu batu nisan tetap kemudian diganti dengan batu nisan lain, disebabkan alasan tertentu, seperti batu nisan lama rusak atau batu nisan baru dianggap lebih cantik. Oleh karena itu, zaman sejenis “batu Aceh” tidak dapat dipastikan tanpa meneliti sebanyak mungkin batu nisan dari jenis tersebut di berbagai kawasan.
Fakta menarik yang ketiga dalam teks Bustan al-Salatin adalah berkenaan dengan hiasan-hiasan yang terdapat pada batu nisan dalam bentuk emas dan permata. Jelas bahwa sekiranya dahulu terdapat “batu Aceh” dengan hiasan sebegini di Johor, maka hiasan ini sudah lama hilang dan batu nisan yang kelihatan sekarang sudah tidak lengkap lagi.
Apa yang mendasari munculnya “batu Aceh” adalah suatu pertanyaan yang belum terjawab. Biarpun “batu Aceh” belum diteliti secara mendalam dari segi simbolisme, jelas bahwa ia merupakan campuran unsur-unsur pra-Islam dan unsur-unsur Islam. Maka tidak terlalu aneh jika ditemukan monumen-monumen yang serupa dari segi bentuk dan hiasan di kawasan lain di Asia Tenggara.
Kosa Ban Saladaeng Nua
Sebenarnya, peradaban Buddha di Asia Tenggara telah mencipta monumen berkaitan dengan kematian yang dapat dibandingkan dengan “batu Aceh”, yaitu tempat menyimpan abu mayat yang disebut kosa dalam bahasa Thai. Tradisi kesenian ini lebih kuno daripada tradisi “batu Aceh”. Sebuah contoh sangat mirip dengan “batu Aceh” masih kelihatan di Saladaeng Nua, sebuah kampung lama di tepi Sungai Chao Phraya, sekitar 50 km dari Bangkok. Penduduk kampung adalah orang Mon yang berpindah dari Birma ke tempat ini pada awal abad ke-19. Monumen ini terletak di dalam sebuah bangunan kecil dekat sebuah wat. Abu mayat tidak tersimpan dalam monumen sendiri, tetapi di bawahnya, dalam wadah dari logam atau dalam kotak dari keramik. Monumen berbentuk serupa juga digunakan sebagai tempat abu mayat Raja Siam dahulu. Walaupun begitu, dari perbandingan ini tidak dapat langsung disimpulkan bahwa ada pengaruh dari tradisi tempat abu mayat penganut agama Buddha atas jenis “Batu Aceh” yang dimaksud, yaitu jenis J.
Kesimpulan
Hasil berbagai survei yang telah dilakukan di Negeri Johor, Malaysia, dari tahun 1996 hingga tahun 1999, telah membawa penambahan sebanyak 15 tempat atas jumlah situs makam lama dengan batu nisan berbentuk “batu Aceh”, menjadikan jumlahnya 36 sekarang. Temuan batu nisan juga bertambah, melebihi 50% jika dibandingkan dengan penelitian yang sebelumnya pada tahun ‘80-an, sehingga jumlahnya menjadi 211 buah. Dari hasil penelitian yang telah diperoleh hingga sekarang, disimpulkan bahwa Negeri Johor merupakan daerah Semenanjung Melayu yang paling kaya akan “batu Aceh”. Selain itu, keadaan setiap makam juga telah dicatat secara terperinci dan didapatkan bahwa sekitar dua pertiga darinya masih mempunyai sekurang-kurangnya satu batu nisan dalam keadaan sempurna.
Dari segi tipologi, penelitian ini telah dapat memperkenalkan ciri-ciri yang terperinci bagi setiap batu nisan berbentuk “batu Aceh” dan menghasilkan satu cadangan tipologi yang membedakan 16 jenis, berdasarkan perbandingan antara batu nisan. Data ciri-ciri yang dihasilkan untuk memerikan setiap batu nisan ini membantu untuk membuat perbandingan di antara batu nisan dan demikian mengelompokkannya berdasaran jumlah ciri-ciri yang sama. Oleh karena kebanyakan epitaf tidak memuat langsung informasi tentang zaman dan identifikasi makam, pengelompokan ini membantu untuk mengusulkan hipotesis tentang zamannya sebuah batu nisan, ataupun identifikasi makam jika terdapat persamaan yang sangat khusus. Maka, tiga percobaan kronologi dan identifikasi telah dilakukan mengenai makam-makam dari Bukit Seluyut dan Panchor berdasarkan hasil survei yang terbaru ini dan perbandingan antara batu nisan yang telah ditemui di negeri Johor sendiri dan antara batu nisan - batu nisan ini dan batu nisan yang berada di luar negeri Johor.
Penelitian terbaru ini merupakan langkah awal sebuah penelitan lebih luas tentang “batu Aceh” yang akan meliputi seluruh Dunia Melayu dari selatan Thailand sampai ke Indonesia. Diharapkan penelitian ini akan membantu untuk mengerti kemunculan dan simbolisme “batu Aceh” yang tentunya perlu ditinjau dalam konteks kebudayaan Asia Tenggara, melihat bahwa terdapat monumen mirip dengan “batu Aceh” yang digunakan oleh penganut agama Buddha.
__________________
Makalah ini disampaikan dalam seminar Dimensi Budaya dalam Membangun Persatuan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi bekerjasama dengan Kedutaan Besar Prancis di Indonesia, pada tanggal 16-18 Juli 2001 di Palembang, Sumatra Selatan, Indonesia.
Daniel Perret, adalah Direktur Isntitut Prancis untuk Timur Jauh (Ecole française d‘Etreme-Orient/EFEO).
Daftar Pustaka
Abdul Halim Nasir
• 1977 Sejarah Perak, Kuala Lumpur, Jabatan Muzium.
• 1985 “Nisan Aceh Bertulis di Semenanjung Malaysia”, Purba, 4, hlm. 6-22.
• 1990 Kota-Kota Melayu, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.
Abdul Samad bin Ahmad (ed.)
• 1986 Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, [ed. pertama, 1979].
Andaya, Leonard Yuzon
• 1975 The Kingdom of Johore (1641-1728), Kuala Lumpur, Oxford University Press.
Ambary, Hasan Muarif
• 1984 L‘art funéraire musulman en Indonésie des tines au XIXe siècle. Étude épigraphique et ypologique, thése de doctorat, Paris, EHESS.
Cushman, Jennifer W. & Milner, Anthony Crothers
• 1979 “Eighteenth and nineteenth-century chinese accounts of the Malay Peninsula”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 52(1), hlm. 1-56.
Damais, Louis-Charles
• 1968 “L‘épigraphie musulmane dans le sud-est asiatique”, Bulletin de l‘École française d‘Extrême-Orient, LIV, hlm. 567-604.
Gibson-Hill, Carl Alexander
• 1955 “Johore Lama and other ancient sites on the Johore River”, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, 28(2), hlm. 126-198.
Groeneveldt, Willem Pieter
• 1880 Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources, Verhandelingen van de Bataviaasch Genootschap 39, hlm. 1-144.
Han Wai Toon
• 1948 “A Study on Johore Lama”, Journal of the South Seas Society, 5(2), hlm. 17-34.
Kratz, Ernst Ulrich (ed.)
• 1973 Peringatan Sejarah Negeri Johor. Eine Malaiische zu Geschichte Johors im 18. Jahrhundert, Wiesbaden, Otto Harrassowitz.
Lanang, Tun Seri
• 1997 Sulalat al-Salatin, Muhammad Haji Salleh (ed.), Kuala Lumpur, Yayasan Karyawan/Dewan Bahasa dan Pustaka.
Linehan, William
• 1973 A History of Pahang, Kuala Lumpur, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, [ed. pertama, 1936].
Moor, J.H.
• 1837 Notices of the Indian Archipelago and adjacent countries, Singapore.
Norjihan Nordin
• 1994 “Sejarah Kampung Panchor: Peranannya di Awal Kurun Ke-18”, dalam Abdullah Zakaria bin Ghazali & Zainal Abidin Borhan (ed.), Johor dahulu dan sekarang, Kuala Lumpur, Persatuan Muzium Malaysia, hlm. 33-46.
Nuruddin al-Raniri, Syeikh
• 1992 Bustan al-Salatin, Bab. II, Fasal 13, Siti Hawa Haji Salleh (ed.), Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, [ed. pertama, 1966].
Othman bin Mohd. Yatim
• 1985 Batu Aceh: a study of 15th-19th century Islamic gravestones in Peninsular Malaysia, PhD dissertation, University of Durham.
• 1988 Batu Aceh. Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia, Kuala Lumpur, Muzium Negara.
Othman bin Mohd. Yatim & Abdul Halim Nasir
• 1990 Epigrafi Islam Terawal di Nusantara, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.
Perret, Daniel
• 1998 Sejarah Johor-Riau-Lingga sehingga 1914. Sebuah esei bibliografi, Kuala Lumpur, Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Pelancongan Malaysia/EFEO.
Perret, Daniel; Kamarudin Ab. Razak & Ludvik Kalus
• 1999 Batu Aceh. Warisan Sejarah Johor, Johor Bahru, l‘École française d‘Extrême-Orient /Yayasan Warisan Johor.
Purchas, Samuel (ed.)
• 1905 “John Davis the navigator” dalam Purchas, His Pilgrimes, jil. II, Glagow, James MacLehose & Sons.
Ronkel, Philippus Samuel van
• 1920 “Grafmonumenten op het maleische schiereiland in een oud maleisch werk vermeld”, Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 76, hlm. 162-171.
Shellabear, William Girdlestone (ed.)
• 1994 Sejarah Melayu, Kuala Lumpur, Fajar Bakti, [ed. pertama, 1898].
Sudjiman, Panuti H.M. (ed.)
• 1983 Adat Raja-Raja Melayu, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.
Winstedt, Richard Olaf
• 1992 A History of Johore (1365-1941). With a final chapter by Prof. Dato‘ Khoo Kay Kim, Kuala Lumpur, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, reprint no. 6, [ed. pertama, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, X(3), 1932].
[1] Istilah “batu Aceh” muncul pada tahun 1920 berkenan dengan sebuah makam di Pahang (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: xxv, 5).
[2] Pada abad ke-17, diperdagangkan emas dari Jambi dan Indragiri, timah dari Sumatra dan sebagian dari pantai barat Semenanjung Melayu, tambaga dari Jepang, garam dari Siam, gaharu, rotan, lilin lebah, kapur, gading, sarang burung, lada dari Jambi, Idragiri dan Palembang, beras dari Jawa dan Siam, sutra, keramik dan peralatan besi dari Cina, pakaian dari India, benang emas dari Jepang, candu dan budak (Andaya, 1975: 38, 69, 76, 128, 148).
[3] Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, X (3), 1932. Sebagian besar dari buku ini telah diterbitkan kembali oleh The Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society pada tahun 1992 (MBRAS Reprint No. 6).
[4] Lihat Perret, 1988.
[5] Terdapat contoh-contoh “batu Aceh” yang telah dibawa oleh R. O. Winstedt dan G. B. Gardner pada tahun ‘20-an dan ‘30-an untuk disimpan di Museum Nasional Singapura. Mungkin di antaranya terdapat beberapa buah yang berasal dari negeri Johor. Namun, oleh karen artifak-artifak arkeologi yang dikumpulkan sebelum Perang Dunia II oleh bekas Raffles Museum sedang dalam proses inventarisasi, kami tidak sempat menelitinya (lihat juga Othman bin Mohd. Yatim, 1988: 133-134, 185).
[6] Di negeri Kedah terdapat juga satu kuburan dengan batuan batu nisan yang serupa jenis O, tetapi tanpa hiasan pada bagian atas badan dan pada bagian kepala (makam Tok Bomoh Gajah di kota Tok Langgar, Kampung Naga, mukim Naga).
[7] Dipetik oleh Winstedt, 1992: 219.
[8] Silsilah keturunan Kerajaan Johor/Pahang/Riau yang dipegang oleh Raja kamarazaman bin Raja Salim, Kota Tinggi.
[9] Wawancara dengan Abdullah bin Abu Talib (Panchor), 19/12/1995.
[10] Nuruddin al-Raniri, 1992: 40-42. Lihat juga Linehan, 1973: 37-39; Ronkel, 1920: 162-171. Menurut Linehan, tempat makam ini sekarang bernama Makam Chondong atau Makam Tujuh Beradik (berdekatan Kota Pekan). Dia menemukan lima kubur lama dan batu nisan yang telah dibawa oleh Sultan Iskndar Thani berbentuk “Chinese-lantern” (jenis Hikayat Iskandar Zulkarnain). Dia berhasil mengidentifikasi satu makam, yaitu makam Marhum Muda Abdullah (“Marhum Muda Pahang”, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, XII (2), 1934: 171-173) yang dibunuh pada tahun 1614, dan dia menduga terdapat juga makam Puteri Bongsu Chendera Dewi, ibu Sultan Iskandar Thani. Selain itu, Linehan juga menemukan beberapa peninggalan struktur yang yang dipercayai didirikan sebelum kedatangan Sultan Iskandar Thani (Linehan, 1973: 38-39,235-236). Dengan demikian, terdapat satu kemungkinan besar bahwa batu nisan yang dibawa oleh Iskandar Thani menggantikan batu nisan (batu Aceh?) yang diletakkan tidak lama sesudah kemangkatan. Linehan mencatat bahwa satu pecahan batu nisan (yang sejenisnya tidak diketahui) dengan tulisan “Haza al-Kubur Sultan Muda (?) Lah” telah ditemukan di hutan dekat Makam Chondong (Ibid., : 236). Mungkin batu nisan ini adalah batu nisan asal makam Sultan Muda Abdullah. Menurut Othman bin Mohd. Yatim, terdapat 7 makam lama di Makam Chondong (Othman bin Mohd. Yatim, 1988: xxxvi).
[11] Peristiwa ini terjadi pada tahun 1638, menurut Linehan (1973: 39)
[12] Sekurang-kurangnya dalam satu masalah, istialh “menggantikan” digunakan. Lihat Nuruddin al-Raniri, 1992: 42, catatan kaki 417 dan Ronkel, 1920: 170.
Sumber :http://melayuonline.com