Oleh Iskandar Norman
Dayah di Aceh tak lagi identik dengan santri kain sarung, dari salafi beranjak menuju modernisasi. Pengembangan usaha sampingan penguat ekonomi dayah jadi penyokong. Mudi Mesra dan Darussalam Al Waliyah telah melakukan hal itu.
Salah satu dayah salafi yang beranjak moderen adalah Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal`Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya ( LPI MUDI MESRA) Samalanga berlokasi di Desa Mideun Jok, Kemukiman Mesjid Raya, Kecamatan Samalanga.
Dayah ini sudah berdiri sejak masa Iskandar Muda, seiring dengan pembangunan Mesjid Raya yang Pimpinan pesantren pertama dikenal dengan nama Faqeh Abdul Gani sekitar tahun 1900-an. Namun tidak diketahui pasti tahun berapa pesantren itu didirikan.
Dari catatan sejarah diketahui pada tahun 1927 pesantren tersebut dipimpin oleh Al Mukkaram, Tgk H Syihabuddin Bin Idris. Santri yang belajar di sana sekitar 150 orang, yaitu 100 orang santri pria dan 50 orang santri wanita. Mereka diasuh oleh 5 orang tenaga pengajar laki-laki dan 2 orang guru puteri. Saat itu bangunan asrama untuk menampung para santri berupa barak-barak darurat yang terbuat dari batang bambu dan beratap rumbia.
Setelah Tgk H Syihabuddin Bin Idris wafat pada tahun 1937, pimpinan pesantren dipercayakan kepada Tgk H Hanafiah Bin Abbas, yang merupakan adik ipar dari Tgk Syihabuddin. Di masa kepemimpinan Tgk H Hanafiah, jumlah santri pesantren sedikit meningkat, yaitu menjadi 150 orang santri pria dan 50 orang santri wanita.
Sementara kondisi fisik asrama belum berubah, masih berupa barak-barak darurat. Pada saat Tgk Hanafiah, yang dikenal dengan gelar Tgk Abi, menunaikan ibadah haji dan memperdalama ilmunya di sana selama dua tahun, pesantren sempat dipimpin oleh Tgk M.Shaleh.
Pada tahun 1964, pesantren Mudi Mesra dipimpin oleh Tgk H Abdul Aziz Bin Tgk M Shaleh, yang digelar Abon. Abon sendiri merupakan menantu dari Tgk Hanafiah dan juga murid dari Abuya Muda Wali, pimpinan pesantren Bustanul Muhaqqiqien Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Di bawah kepemimpinan Abon, pesantren Mudi Mesra semakin bertambah banyak santrinya, terutama dari Aceh dan Sumatera. Pembangunan asrama pun mulai berkembang dari barak-barak darurat menjadi asrama semi permanen berlantai dua, kemudian dibangun lagi asrama permanen tiga lantai. Asrama putri berlantai dua sanggup menampung 150 orang santri di lantai atas. Sementara lantai bawahnya digunakan sebagai mushalla.
Melalui hasil kesepakatan para alumni dan masyarakat, setelah Tgk H Abdul Aziz wafat pada tahun 1989, pimpinan pesantren dipegang oleh Tgk H Hasanoel Bashry Bin H Gadeng. Tgk Hasanoel adalah menantu Abon, yang juga alumni pesantren tersebut. Saat ini Pesantren Mudi Mesra semakin berkembang pesat. Jumlah santrinya menjadi 2193 orang, terdiri dari 1462 santri lelaki dan 731 santri wanita.
Metode pengajaran dan pendidikan di dayah tersebut terdiri dari Ibtidayah, Tsanawiyah, Aliyah dan takhassus, yang masih-masing lamanya dua tahu. Kurikulum dikonsentrasikan pada Tafsir, Hadist, Fiqh, Usul Fiqh, Kalam, dakwah dan materi lain yang berhubungan dengan kebutuhan belajar dan penunjang ketrampilan hidup mandiri dan pengembangan masyarakat.
Kegiatan ekstra kulikuler, kursus dan ketrampilan yang diajarkan di pesantren tersebut antara lain, kursus komputer, mengetik, menjahit dan bordir, tata boga, ketrampilan, bahasa Inggris dan Arab, pertukangan, pertanian dan kelompok belajar Paket B setara SLTP.
Dayah Mudi Mesra juga telah menjalin kerjasama dengan pukesmas bidang pesantren dalam rangka memberantas penyakit demam berdarah dan diare dengan cara melaksanakan amal sehat, gizi, kesehatan lingkungan, penyuluhan kesehatan masyarakat di setiap desa.
Sedangkan di bidang perekonomian, Mudi Mesra telah membentuk suatu badan usaha koperasi dengan nama kopontren Al-Barkah sejak tahun 1982, yang bergerak di bidang Waserda, kantin dan simpan pinjam. Dayah ini secara intens melakukan pembinaan alumni-alumninya sehingga hubungan pesantren induk dengan pesantren alumninya terjalin secara efektif baik visi dan misinya.
Mudi Mesra hingga sekarang telah banyak menghasilkan alumni yang sebagian dari mereka ada yang melanjutkan studinya baik di dalam maupun luar negeri. Ada juga yang sudah bekerja di instansi pemerintah, wiraswasta. Banyak juga yang mendirikan pesantren di daerah masing-masing yang saat ini mencapai 159 pesantren yang tersebar di daerah Aceh dan luar Aceh.
Seperti Tgk H Usman Ali atau yang lebih dikenal dengan Abu Kuta Krueng, yang mendirikan pesantren Darul Munawarah di Desa Kuta Krueng, kecamatan Bandar Dua kabupaten Pidie. Tgk H Ghazali Muhammad Syam, pesantren Syamsyudh Dhuha di Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, kabupaten Aceh Utara. Tgk H Muhammad Daud Ahmad, pesantren Darul Huda, di Desa Lueng Angen, Kecamatan Tanoh Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara. Tgk H Ibrahim Bardan atau yang lebih dikenal dengan Abu Panton, memimpin pesantren Malikul Saleh, di Desa Rawa Iteik, Panton Labu, Aceh Utara. Tgk Nuruzzahri atau Waled Nu mendirikan pesantren Ummul Ayman di Desa Gampong Putoh, Kecamatan Samalanga, Bireuen.
Alumni Mudi Mesra juga ada yang mendirikan pesantren di luar Aceh, seperti Drs. K.H. Anwar Ulumuddin Daud, pesantren Darussalam Muttaqim di desa Kedaton, Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Tgk Marzuki AG, mendirikan pesantren Mudi Mekar di Kampung Panahan, Pondok Gede, Jakarta. Dan ada juga di beberapa daerah lainnya di luar Aceh bahkan sampai di luar negeri.
Ciri khas pesantren Mudi mesra yaitu kepemimpinan yang kolektif yang dilandasi oleh panca jiwa pesantren/ruhul Ma’had yaitu keiklasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islamiyah dan kebebasan. Panca jiwa tersebut menjadi spirit segala aktivitas, perjuangan dan perngorbanan di dayah dilakukan olen seluruh komponen personilnya. Ini terlihat dalam pengelolaan dayah mulai dari badan wakaf, pimpinan, majelis guru, dewan guru, seluruh pengurus dan seluruh santriwan/santriwati.
Para anak didik berada dalam suasana pendidikan asarama yang religius selama 24 jam. Mereka secara rutin dan kontinyu dibekali dengan ilmu agama yang merupakan kurikulum pendidikan. Di samping itu juga dibekali dengan ilmu-ilmu ketrampilan umum sebagai bekal keahlian mereka dalam lapangan kehidupan.
Saat ini jumlah tenaga guru pendidik pada Dayah Mudi Mesra sebanyak 349 orang guru, dimana 234 guru tetap dan 115 guru cadangan, yang terdiri dari 289 guru laki-laki dan 60 orang perempuan. Keseluruhan guru yang mengajar di pesantren Mudi Mesra merupakan alumni dari pesantren itu sendiri yang telah menguasai dan menjiwai nilai dan sunnah pesantren tersebut.
Dari jumlah santri sebanyak 2.193 orang, 144 diantaranya baru hanya tamatan SD. Bagi santri yang tamatan SD diupayakan untuk melanjutkan pendidikan formal melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait melalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket B, yang setara dengan SLTP sebanyak 80 orang santri.
Pesantren Mudi Mesra melalui yayasan Pendidikan Islam Al-Aziziyah telah mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aziziyah . Pada tahun pertama diikuti oleh 170 orang santri, tahun kedua 80 orang santri dan tahun ketiga sekarang ini diikuti 95 orang santri.
Dayah Darusalam Al Waliyah
Darussalam Al-Waliyah merupakan salah satu dayah ternama di Aceh. Dipimpin secara turun temurun oleh keturunan Abuya Syeh H Muda Waly Al Khalidy. Kini menampung sekitar 900 santri dari berbagai daerah di nusantara.
Dayah ini terletak sekitar 50 kilo meter arah barat Kota Tapak Tuan tepatnya di Desa Blang Poroh, Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan berdiri Pesantren Darussalam Al Waliyah. Untuk menuju ke pesantren itu sangat mudah, bisa menggunakan jalan darat maupun laut, karena letaknya sangat strategis dan mudah dijangkau transportasi.
Pesantren itu didirikan pada tahun 1939 oleh Abuya Syeh H Muda Waly Al-Khalidi, putra dari Tgk H Muhammad Salim Bin Malim Pinto, setelah ia kembali menuntut ilmu di Padang, Sumatera Barat dan Jazirah Arab. Dari Padang ia kembali ke Desa Blang Poroh, Labuhan haji, Aceh Selatan dengan menggunakan perahu layar.
Sampai di kampung halamannya ia pun mendirikan sebuah pesantren. Bangunan surau berlantai dua yang dibangun ayahnya kemudian dimanfaatkan Muda Wali sebagai pesantren yang diberi nama Darussalam. Pesantren itu dipimpin secara turun temurun.
Kata Al-Waliyah ditambah pana nama pesantren itu ketika dipimpin oleh Abuya Prof Muhibuddin Wali, yang kemudian diikuti oleh pesantren lainnya di Aceh. Al Waliyah berasal dari tarekat naksyabandiyah.
Kemudian Darussalam Al Waliyah secara perlahan – lahan dikenal oleh masyarakat luar sehingga berdatangan para santri-santri dari berbagai daerah untuk menuntut ilmu disana. Sampai kini di lambaga pendidikan agama itu telah lahir ulama-ulama terkenal diantaranya: Abu Abdul Aziz Samalanga, Abu Abdullah Tanoh Mirah, Abu Tumin Blang Bladeh, Abu Adnan Bakongan serta beberapa ulama terkenal lainnya di Aceh.
Pada 11 Syawal 1328 atau 28 Maret 1961 M, Abuya Syeh Muda Wali meninggal dunia. Kemudian secara turun temurun pesantren itu dipimpin oleh anak-anaknya. Sebagai penggantinya yang pertama diangkat Abuya Prof Dr Muhibuddin Wali. Kemudian dilanjutkan oleh Abuya K H Djamaluddin Wali.
Berhubung Abuya KH Djamaluddin Waly terpilih sebagai anggota DPR RI di Jakarta maka tampuk pimpinan pesantren diserahkan kepada adiknya, Abuya Amran Waly, yang dikenal sebagai Pimpinan majelis tauhid tasawuf. Ia memimpin pesantren itu selama 11 tahun.
Setelah itu dipimpin oleh Abuya Amran Waly. Setelah itu dialnjutkan oleh Abuya Nasir Waly yang sekarang menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Barat. Ia juga memimpin Pesantren serambi mekah di Meulaboh, Aceh Barat.
Sementara pesantren Darussalam Al-Waliyah kemudian diserahkan kepada Abuya Mawardi Wali. Kemudian sejak tahun 2000 dipimpin oleh Abuya Ruslan Waly. Di bawah kepemimpinannya, areal rawa-rawa di samping pesantren ditimbun dan dibangun bangunan-bangunan penunjang pendidikan dayah. Kini pesantren itu memiliki lebih kurang 900 santri yang berasal dari seluruh daerah di nusantara. Untuk proses belajar mengajar didukung oleh 40 orang tenaga pengajar yang berasal dari dalam maupun luar Aceh.
Beberapa pengajar itu diantaranya, Tgk Erwin Syah dari Manado, Sulawesi Utara, Tgk Abdurrahman Matang dari Bireuen, Tgk Ramazali dari Aceh Barat, Tgk Taufik Al Fakir dari Aceh Besar, Tgk Alfata dari Aceh Selatan, Tgk Jailani dari Bireuen, Tgk Syuib dari Pidie, Tgk Ibrahim dari Aceh Timur, Tgk Idris dari Aceh Tenggara.
Berbagai disiplin ilmu diajarkan di pesantren itu baik ilmu figih, tauhid dan tasawuf dari berbagai kitab, mulai dari kitab matan taqrib, Al- mahalli, tuhfah, kitab matan sanusi, ummul barahain, taisir Akhlak, ihya `ulumuddin. Disamping para santri mempelajari kitab kuning didalam mazhab syafi`i khususnya santri juga tidak tertinggal pengetahuan umum seperti les komputer dab lain sebagainya.
Untuk teraturnya ruang lingkup para santri, pesantren Darussalam membagi tempat tinggal santri dalam 7 Qabilah ( Kelompok ), dimana masing – masing kabilah berasal dari daerah yang berbeda-beda. Ke 7 Qabilah itu adalah : Qabilah Darulmu`alla yang mana qabilah ini santri nya berasal dari Aceh utara, Qabilah Tunas muda berasal dari Aceh utara dan Aceh timur, Qabilah Syamfat ( Syamsul fata ) berasal dari Aceh Pidie, Qabilah Muchlisin berasal dari Aceh tenggara, Aceh tengah , gayo lues dan bener meriah.Qabilah Maspudi dari Aceh Barat , Aceh jaya dan nagan raya. Qabilah Asyyatul qubra dari Aceh besar dan kota banda Aceh.Qabilah permata dari Aceh Selatan, Aceh barat daya, singkil dan Simeulu
http://harian-aceh.com/2011/07/05/dayah-di-aceh-dari-salafi-ke-moderen
Dayah di Aceh tak lagi identik dengan santri kain sarung, dari salafi beranjak menuju modernisasi. Pengembangan usaha sampingan penguat ekonomi dayah jadi penyokong. Mudi Mesra dan Darussalam Al Waliyah telah melakukan hal itu.
Salah satu dayah salafi yang beranjak moderen adalah Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal`Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya ( LPI MUDI MESRA) Samalanga berlokasi di Desa Mideun Jok, Kemukiman Mesjid Raya, Kecamatan Samalanga.
Dayah ini sudah berdiri sejak masa Iskandar Muda, seiring dengan pembangunan Mesjid Raya yang Pimpinan pesantren pertama dikenal dengan nama Faqeh Abdul Gani sekitar tahun 1900-an. Namun tidak diketahui pasti tahun berapa pesantren itu didirikan.
Dari catatan sejarah diketahui pada tahun 1927 pesantren tersebut dipimpin oleh Al Mukkaram, Tgk H Syihabuddin Bin Idris. Santri yang belajar di sana sekitar 150 orang, yaitu 100 orang santri pria dan 50 orang santri wanita. Mereka diasuh oleh 5 orang tenaga pengajar laki-laki dan 2 orang guru puteri. Saat itu bangunan asrama untuk menampung para santri berupa barak-barak darurat yang terbuat dari batang bambu dan beratap rumbia.
Setelah Tgk H Syihabuddin Bin Idris wafat pada tahun 1937, pimpinan pesantren dipercayakan kepada Tgk H Hanafiah Bin Abbas, yang merupakan adik ipar dari Tgk Syihabuddin. Di masa kepemimpinan Tgk H Hanafiah, jumlah santri pesantren sedikit meningkat, yaitu menjadi 150 orang santri pria dan 50 orang santri wanita.
Sementara kondisi fisik asrama belum berubah, masih berupa barak-barak darurat. Pada saat Tgk Hanafiah, yang dikenal dengan gelar Tgk Abi, menunaikan ibadah haji dan memperdalama ilmunya di sana selama dua tahun, pesantren sempat dipimpin oleh Tgk M.Shaleh.
Pada tahun 1964, pesantren Mudi Mesra dipimpin oleh Tgk H Abdul Aziz Bin Tgk M Shaleh, yang digelar Abon. Abon sendiri merupakan menantu dari Tgk Hanafiah dan juga murid dari Abuya Muda Wali, pimpinan pesantren Bustanul Muhaqqiqien Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Di bawah kepemimpinan Abon, pesantren Mudi Mesra semakin bertambah banyak santrinya, terutama dari Aceh dan Sumatera. Pembangunan asrama pun mulai berkembang dari barak-barak darurat menjadi asrama semi permanen berlantai dua, kemudian dibangun lagi asrama permanen tiga lantai. Asrama putri berlantai dua sanggup menampung 150 orang santri di lantai atas. Sementara lantai bawahnya digunakan sebagai mushalla.
Melalui hasil kesepakatan para alumni dan masyarakat, setelah Tgk H Abdul Aziz wafat pada tahun 1989, pimpinan pesantren dipegang oleh Tgk H Hasanoel Bashry Bin H Gadeng. Tgk Hasanoel adalah menantu Abon, yang juga alumni pesantren tersebut. Saat ini Pesantren Mudi Mesra semakin berkembang pesat. Jumlah santrinya menjadi 2193 orang, terdiri dari 1462 santri lelaki dan 731 santri wanita.
Metode pengajaran dan pendidikan di dayah tersebut terdiri dari Ibtidayah, Tsanawiyah, Aliyah dan takhassus, yang masih-masing lamanya dua tahu. Kurikulum dikonsentrasikan pada Tafsir, Hadist, Fiqh, Usul Fiqh, Kalam, dakwah dan materi lain yang berhubungan dengan kebutuhan belajar dan penunjang ketrampilan hidup mandiri dan pengembangan masyarakat.
Kegiatan ekstra kulikuler, kursus dan ketrampilan yang diajarkan di pesantren tersebut antara lain, kursus komputer, mengetik, menjahit dan bordir, tata boga, ketrampilan, bahasa Inggris dan Arab, pertukangan, pertanian dan kelompok belajar Paket B setara SLTP.
Dayah Mudi Mesra juga telah menjalin kerjasama dengan pukesmas bidang pesantren dalam rangka memberantas penyakit demam berdarah dan diare dengan cara melaksanakan amal sehat, gizi, kesehatan lingkungan, penyuluhan kesehatan masyarakat di setiap desa.
Sedangkan di bidang perekonomian, Mudi Mesra telah membentuk suatu badan usaha koperasi dengan nama kopontren Al-Barkah sejak tahun 1982, yang bergerak di bidang Waserda, kantin dan simpan pinjam. Dayah ini secara intens melakukan pembinaan alumni-alumninya sehingga hubungan pesantren induk dengan pesantren alumninya terjalin secara efektif baik visi dan misinya.
Mudi Mesra hingga sekarang telah banyak menghasilkan alumni yang sebagian dari mereka ada yang melanjutkan studinya baik di dalam maupun luar negeri. Ada juga yang sudah bekerja di instansi pemerintah, wiraswasta. Banyak juga yang mendirikan pesantren di daerah masing-masing yang saat ini mencapai 159 pesantren yang tersebar di daerah Aceh dan luar Aceh.
Seperti Tgk H Usman Ali atau yang lebih dikenal dengan Abu Kuta Krueng, yang mendirikan pesantren Darul Munawarah di Desa Kuta Krueng, kecamatan Bandar Dua kabupaten Pidie. Tgk H Ghazali Muhammad Syam, pesantren Syamsyudh Dhuha di Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, kabupaten Aceh Utara. Tgk H Muhammad Daud Ahmad, pesantren Darul Huda, di Desa Lueng Angen, Kecamatan Tanoh Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara. Tgk H Ibrahim Bardan atau yang lebih dikenal dengan Abu Panton, memimpin pesantren Malikul Saleh, di Desa Rawa Iteik, Panton Labu, Aceh Utara. Tgk Nuruzzahri atau Waled Nu mendirikan pesantren Ummul Ayman di Desa Gampong Putoh, Kecamatan Samalanga, Bireuen.
Alumni Mudi Mesra juga ada yang mendirikan pesantren di luar Aceh, seperti Drs. K.H. Anwar Ulumuddin Daud, pesantren Darussalam Muttaqim di desa Kedaton, Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Tgk Marzuki AG, mendirikan pesantren Mudi Mekar di Kampung Panahan, Pondok Gede, Jakarta. Dan ada juga di beberapa daerah lainnya di luar Aceh bahkan sampai di luar negeri.
Ciri khas pesantren Mudi mesra yaitu kepemimpinan yang kolektif yang dilandasi oleh panca jiwa pesantren/ruhul Ma’had yaitu keiklasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islamiyah dan kebebasan. Panca jiwa tersebut menjadi spirit segala aktivitas, perjuangan dan perngorbanan di dayah dilakukan olen seluruh komponen personilnya. Ini terlihat dalam pengelolaan dayah mulai dari badan wakaf, pimpinan, majelis guru, dewan guru, seluruh pengurus dan seluruh santriwan/santriwati.
Para anak didik berada dalam suasana pendidikan asarama yang religius selama 24 jam. Mereka secara rutin dan kontinyu dibekali dengan ilmu agama yang merupakan kurikulum pendidikan. Di samping itu juga dibekali dengan ilmu-ilmu ketrampilan umum sebagai bekal keahlian mereka dalam lapangan kehidupan.
Saat ini jumlah tenaga guru pendidik pada Dayah Mudi Mesra sebanyak 349 orang guru, dimana 234 guru tetap dan 115 guru cadangan, yang terdiri dari 289 guru laki-laki dan 60 orang perempuan. Keseluruhan guru yang mengajar di pesantren Mudi Mesra merupakan alumni dari pesantren itu sendiri yang telah menguasai dan menjiwai nilai dan sunnah pesantren tersebut.
Dari jumlah santri sebanyak 2.193 orang, 144 diantaranya baru hanya tamatan SD. Bagi santri yang tamatan SD diupayakan untuk melanjutkan pendidikan formal melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait melalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket B, yang setara dengan SLTP sebanyak 80 orang santri.
Pesantren Mudi Mesra melalui yayasan Pendidikan Islam Al-Aziziyah telah mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aziziyah . Pada tahun pertama diikuti oleh 170 orang santri, tahun kedua 80 orang santri dan tahun ketiga sekarang ini diikuti 95 orang santri.
Dayah Darusalam Al Waliyah
Darussalam Al-Waliyah merupakan salah satu dayah ternama di Aceh. Dipimpin secara turun temurun oleh keturunan Abuya Syeh H Muda Waly Al Khalidy. Kini menampung sekitar 900 santri dari berbagai daerah di nusantara.
Dayah ini terletak sekitar 50 kilo meter arah barat Kota Tapak Tuan tepatnya di Desa Blang Poroh, Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan berdiri Pesantren Darussalam Al Waliyah. Untuk menuju ke pesantren itu sangat mudah, bisa menggunakan jalan darat maupun laut, karena letaknya sangat strategis dan mudah dijangkau transportasi.
Pesantren itu didirikan pada tahun 1939 oleh Abuya Syeh H Muda Waly Al-Khalidi, putra dari Tgk H Muhammad Salim Bin Malim Pinto, setelah ia kembali menuntut ilmu di Padang, Sumatera Barat dan Jazirah Arab. Dari Padang ia kembali ke Desa Blang Poroh, Labuhan haji, Aceh Selatan dengan menggunakan perahu layar.
Sampai di kampung halamannya ia pun mendirikan sebuah pesantren. Bangunan surau berlantai dua yang dibangun ayahnya kemudian dimanfaatkan Muda Wali sebagai pesantren yang diberi nama Darussalam. Pesantren itu dipimpin secara turun temurun.
Kata Al-Waliyah ditambah pana nama pesantren itu ketika dipimpin oleh Abuya Prof Muhibuddin Wali, yang kemudian diikuti oleh pesantren lainnya di Aceh. Al Waliyah berasal dari tarekat naksyabandiyah.
Kemudian Darussalam Al Waliyah secara perlahan – lahan dikenal oleh masyarakat luar sehingga berdatangan para santri-santri dari berbagai daerah untuk menuntut ilmu disana. Sampai kini di lambaga pendidikan agama itu telah lahir ulama-ulama terkenal diantaranya: Abu Abdul Aziz Samalanga, Abu Abdullah Tanoh Mirah, Abu Tumin Blang Bladeh, Abu Adnan Bakongan serta beberapa ulama terkenal lainnya di Aceh.
Pada 11 Syawal 1328 atau 28 Maret 1961 M, Abuya Syeh Muda Wali meninggal dunia. Kemudian secara turun temurun pesantren itu dipimpin oleh anak-anaknya. Sebagai penggantinya yang pertama diangkat Abuya Prof Dr Muhibuddin Wali. Kemudian dilanjutkan oleh Abuya K H Djamaluddin Wali.
Berhubung Abuya KH Djamaluddin Waly terpilih sebagai anggota DPR RI di Jakarta maka tampuk pimpinan pesantren diserahkan kepada adiknya, Abuya Amran Waly, yang dikenal sebagai Pimpinan majelis tauhid tasawuf. Ia memimpin pesantren itu selama 11 tahun.
Setelah itu dipimpin oleh Abuya Amran Waly. Setelah itu dialnjutkan oleh Abuya Nasir Waly yang sekarang menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Barat. Ia juga memimpin Pesantren serambi mekah di Meulaboh, Aceh Barat.
Sementara pesantren Darussalam Al-Waliyah kemudian diserahkan kepada Abuya Mawardi Wali. Kemudian sejak tahun 2000 dipimpin oleh Abuya Ruslan Waly. Di bawah kepemimpinannya, areal rawa-rawa di samping pesantren ditimbun dan dibangun bangunan-bangunan penunjang pendidikan dayah. Kini pesantren itu memiliki lebih kurang 900 santri yang berasal dari seluruh daerah di nusantara. Untuk proses belajar mengajar didukung oleh 40 orang tenaga pengajar yang berasal dari dalam maupun luar Aceh.
Beberapa pengajar itu diantaranya, Tgk Erwin Syah dari Manado, Sulawesi Utara, Tgk Abdurrahman Matang dari Bireuen, Tgk Ramazali dari Aceh Barat, Tgk Taufik Al Fakir dari Aceh Besar, Tgk Alfata dari Aceh Selatan, Tgk Jailani dari Bireuen, Tgk Syuib dari Pidie, Tgk Ibrahim dari Aceh Timur, Tgk Idris dari Aceh Tenggara.
Berbagai disiplin ilmu diajarkan di pesantren itu baik ilmu figih, tauhid dan tasawuf dari berbagai kitab, mulai dari kitab matan taqrib, Al- mahalli, tuhfah, kitab matan sanusi, ummul barahain, taisir Akhlak, ihya `ulumuddin. Disamping para santri mempelajari kitab kuning didalam mazhab syafi`i khususnya santri juga tidak tertinggal pengetahuan umum seperti les komputer dab lain sebagainya.
Untuk teraturnya ruang lingkup para santri, pesantren Darussalam membagi tempat tinggal santri dalam 7 Qabilah ( Kelompok ), dimana masing – masing kabilah berasal dari daerah yang berbeda-beda. Ke 7 Qabilah itu adalah : Qabilah Darulmu`alla yang mana qabilah ini santri nya berasal dari Aceh utara, Qabilah Tunas muda berasal dari Aceh utara dan Aceh timur, Qabilah Syamfat ( Syamsul fata ) berasal dari Aceh Pidie, Qabilah Muchlisin berasal dari Aceh tenggara, Aceh tengah , gayo lues dan bener meriah.Qabilah Maspudi dari Aceh Barat , Aceh jaya dan nagan raya. Qabilah Asyyatul qubra dari Aceh besar dan kota banda Aceh.Qabilah permata dari Aceh Selatan, Aceh barat daya, singkil dan Simeulu
http://harian-aceh.com/2011/07/05/dayah-di-aceh-dari-salafi-ke-moderen