“Tengku Syekh Saman (Tgk Chik Di Tiro-red) menjalani hidup sebagai muslim yang taat. Wibawa dan kekuasaannya melebihi para sultan.” Demikain tulis H C Zantgraaff dalam buku Atjeh.Oleh Iskandar Norman
Zentgraaff menilai, para ulama di Tiro di bawah pimpinan Tgk Chik Di Tiro telah menghantam Belanda secara bertubi-tubi. Baik melalui perang sabil, maupun surat surat perjanjian damai yang mengharuskan Belanda memeluk agama Islam sebelum perjanjian ke arah perdamaian dilakukan.
Kekuasaan Tgk Chik Di Tiro yang melebihi sultan itu dinilai Zentgraaff karena titahnya didengar oleh seluruh rakyat Aceh. “Dia telah mengadakan perjalanan keliling Aceh dan mengajak setiap orang untuk ikut perang sabil. Bagi yang tidak mampu memegang senjata diwajibkan memberikan sumbangan. Para petugas akan memungut ‘uang sabil’ dengan mendapat kuasa dan cap jari dia (Tgk Chik Di Tiro-red),” tulis Zentgraaff.
Tgk Chik Di Tiro selain berhasil mengobarkan perang sabil bersama para ulama, juga mampu memperbesar usaha pengumpulan logistik dan dana untuk keperluan perang. Menurut taksiran Belanda waktu itu, Tgk Chik Di Tiro berhasil mengumpulkan dan mengerahkan 6.000 orang dalam pasukannya.
Pada Maret 1883, Laging Tobias diangkat menjadi Gubernur Sipil Aceh yang kedua. Ia mengakui Tgk Chik Di Tiro dengan pasukannya merupakan pasukan tanggung dengan taktik gerilya yang sangat menyulitkan Belanda.
Tgk Chik Di Tiro yang disokong oleh rakyat mempunyai mobilitas tinggi. Sewaktu-waktu dapat muncul tiba-tiba di Mukim XXII, kemudian menampakkan dirinya pula di Mukim XXV. Pada Agustus 1883 sekitar 500 pejuang dari pantai utara Aceh bergabung dengan pasukan Tgk Chik Di Tiro, mereka melakukan serangan-serangan dadakan terhadap Belanda.
Pada Juli 1884 diperkuat lagi dengan 250 pasukan dari berbagai daerah, mereka dipusatkan di Mukim XXVI. Serangan-serangan terhadap Belanda pun terus dilakukan. Sebulan sebelumnya, 16 dan 17 Juni 1884, Belanda kemudian melakukan sidang rahasia Staten Generaal. Hasilnya, untuk menghadapi pejuang Aceh Belanda kembali menerapkan sistim pertahanan lini.
Dalam Colonial Verslag 1885, Belanda mengakui bahwa perlawanan terhadap Belanda terus meningkat, sementara kekuasaan Belanda semakin surut karena banyak pasukan yang tewas. Dampak lainnya, keuangan Belanda pun bertambah parah. Sampai akhir tahun 1884, anggaran belanja perang Belanda di Aceh naik menjadi 150 juta florin.
Kobaran semangat perang juga digelorakan dengan gubahan hikayat Prang Sabi. Di antara para penggubah hikayat heroic itu adalah: Syaikh Abdul al-Samad al-Falimbany, Tgk Chik Di Tiro, Syaikh Abbas Ibnu Muhammad alias Tgk Chik Kutakarang, Tgk Ahmad Ibnu Mahmud, Tgk Pante Kulu, Abdul Karim alias Dokarim.
Sikap ‘Damai’ Tgk Chik Di Tiro
“Perdamaian baru akan tercapai jika Belanda memeluk agama Islam.” Itulah sikap Tgk Chik Di Tiro dalam suratnya kepada Belanda pada tahun 1885. Surat yang sama kembali dikirimnya pada Mei 1888. HC Zentgraaff dalam buku Atjeh menulis isi surat tersebut sebagai berikut.“Dari kami, Teungku Chik Di Tiro, semoga diterima oleh Zwel Edgest. Asisten Residen, bertempat tinggal di Kutaraja di Negeri Aceh. Dahulu ketika kami berdiam di Mukim XXVI tahun yang lampau, kami ada berkirim surat kepada tuan mengenai perjanjian perdamaian. Dan pada waktu itu telah kami ajukan syarat-syaratnya sebagai berikut: Setelah tuan mengucapkan kalimat dua syahadat, memeluk agama Islam, barulah kita dapat mengadakan perjanjian perdamaian…”
Pemerintah kolonial melalui Gubernur Jenderal van Teijn menolak hal itu. “Kerajaan Belanda tidak melakukan perang agama,” balasnya.
Dalam buku The Dutch Colonial War in Aceh, edisi 2 terbitan The Documentation and Information Centre of Aceh (1990) disebutkan, surat Tgk Chik Di Tiro itu juga mendapat reaksi dari Menteri Jajahan Belanda, Ceuchenius. Melalui surat kabinet tanggal 15 Agustus 1888, surat X nomor 52, Ia meminta Van Teijn untuk menjawab surat tersebut.
Bagi Belanda Tgk Chik Di Tiro merupakan faktor penting dalam perang Aceh. Malah sebelumnya, yakni pada Maret 1882, Belanda mengeluarkan isntruksi yang sangat rahasia dari Gubernur Jenderal Belanda; memberikan hadiah kepada siapa pun yang sanggup menyerahkan para pemimpin Aceh hidup atau mati.
Salah satu dan yang paling utama disasar oleh Belanda adalah Tgk Chik Di Tiro. Belanda menyediakan imbalan 1.000 dolar. Teuku Umar yang kala itu menjalankan politik tipu Aceh dengan pura-pura menyerah pada Belanda juga mendapat surat dari Gubernur Belanda di Aceh untuk membunuh Tgk Chik Di Tiro.
Tgk Chik Di Tiro merupakan bernama asli Muhammad Samam. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat. Mulai mengobarkan perang kepada Belanda sejak tahun 1874 sampai ia meninggal pada 25 Januari 1891.
Dalam buku Marechaussee in Atjeh, H.J. Schmidt menyebutkan Tgk Chik Di Tiro mempunyai lima orang putra yaitu: Tgk Mat Amin (wafat 1896), Tgk Syeh Mayed (wafat 5 September 1910), Tgk Di Toengkob alias Tgk Beb (wafat 1899), Tgk Lambada (wafat 1904) Tgk Di Boeket alias Tgk Moehamad Ali Zainoel Abidin (wafat 21 Mei 1910).
Mengendus Keluarga Tiro
Untuk mengendus keluarga Tgk Chik Di Tiro, Belanda mengutus Kapten H J Schidt, seorang opsir yang mahir berbahasa Aceh. Ia memimpin rencana pembunuhan keluarga Tgk Chik Di Tiro.Berbagai usaha dilakukan Belanda untuk membunuh keluarga Tgk Chik Di Tiro. Selain lewat perang juga melalui imbalan 1.000 dolar bagi siapa saja yang dapat menawan Tgk Chik Di Tiro hidup atau mati. Peranglah yang kemudian membuat para keluarga Tiro tersebut tewas.
H C Zantgraaff dalam buku Atjeh menulis. Pada Januari 1891, ketika Tgk Chik Di Tiro merasakan akhir hayatnya sudah dekat. Ia memanggil putra tertuanya Mat Amin. Kepadanya diberikan ansehat yang tegas untuk melanjutkan perang melawan Belanda. “Secara jujur harus dicatat mereka tewas sebagai pahlawan,” aku Zentgraaff.
Setelah Tgk Chik Di Tiro tewas pada2 5 Januari 1891. Tgk Mat Amin melanjutkan perjuangan. Ia memimpin pertahanan di Aneuk Galoeng, yang ditinggalkan Teuku Umar yang menlankan politik tipu Aceh dengan pura-pura menyerah pada Belanda tahun 1896.
Belanda yang berulang kali menyerang benteng Aneuk Galoeng tidak berhasil merebutnya. “Benar-benar suatu masa yang gila. Setelah masa kesimpang siuaran yang besar itu, di mana kita kadang-kadang harus bertempur mati-matian, untuk merebut kembali apa yang kita lepaskan dengan suka rela,” tulis Zentgraaff.
Tgk Mat Amin bersama Tgk Di Buket dan ratusan pasukannya mempertahankan benteng tersebut. Belanda kemudian membentuk korps marechaussee sebagai korp tentara pilihan untuk memerangi Aceh.
Pada tahun 1896, dibawah komando Graaflannd, benteng Aneuk Galoeng dikepung. Kapten Van Daalen sebagai kepala staff ikut dalam perang tersebut. “Orang Aceh bertarung bagai singa, mereka memilih roboh dalam nyala api yang membakar benteng dari pada menyerah ke pihak kita,” lanjut Zentgraaff.
Tgk Mat Amin tewas dalam pertempuran tersebut. Mayatnya dilarikan oleh pejuang Aceh ke Meureu, Indrapuri dan dikuburkan didekat makam ayahnya, Tgk Chik Di Tiro. Sementara putra Tgk Chik Di Tiro lainnya, Tgk Lambada tewas oleh darling di dekat Alue Keune.
Pengikut dan keluarga Tgk Chik Di Tiro lainnya yang diburu oleh Belanda waktu itu adalah: Tgk Teupin Wan, Tgk Hasyim, Tgk Geudong, Tgk Raja Nanta, Tgk Di Buket, Tgk Mayed, dan beberapa panglima perang lainnya. “Mereka adalah para penglima perang di belantara ulama-ilama Tiro yang memiliki pasukan yang terlatih dengan baik,” tulis Zentgraaff.
Ultimatum dari Amerika
Kiprah keluarga Tiro dalam sejarah Aceh tidak putus meski Tgk Chik Di Tiro dan keluarga besarnya sudah syahid dalam perang melawan Belanda. Kebesaran nama Tiro kembali mencuat ketika Hasan Tiro yang masih punya pertalian dengan keluarga Tgk Chik Di Tiro membuat catatan sejarah pergolakan Aceh berlanjut dengan munculnya gerakan Aceh Merdeka (GAM).Munculnya GAM setelah proses panjang dari berbagai kekecewaan Hasan Tiro terhadap Indonesia. Pada 1 September 1954, dari Amerika Hasan Tiro mengultimatum Pemerintah Indonesia. Hingga ia ditahan ditahan di Ellis Island, tapi bebas dengan jaminan. Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun dikibarkan.
Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam, menyebut Hasan Tiro sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Pada masa kolonial Belanda menjajah Aceh, Hasan Tiro muda merupakan salah seorang murid kesayangan Teungku Muhammad Daud Beure’eh di Madrasah Blang Paseh, Sigli. Sedang dalam masa pendudukan Jepang, Hasan Tiro belajar di pendidikan normal Islam. Sebuah tempat yang kemudian menjadikannya “anak emas” Said Abubakar, seorang tokoh pendidikan Aceh waktu itu.
Setelah Indonesia merdeka, Hasan Tiro berangkat ke Yojakarta untuk belajar di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia. Tamat kuliah ia kembali ke Aceh untuk bekerja pada pemerintah darurat Indonesia, pimpinan Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara.
Pada tahun 1950, Hasan Tiro menjadi salah seorang diantara dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia yang mendapat bea siswa untuk melanjutkan pendidikan pada fakultas hukum, Universitas Columbia, Amerika Selatan. Sambil kuliah Hasan Tiro bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Memasuki tahun 1954, ia melakukan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik Indonesia, dengan manamakan dirinya sebagai Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Besar Republik Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika Serikat.
Puncaknya, pada 1 September 1954, Hasan Tiro mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang dianggapnya telah bertindak fasis komunis. Surat terbuka Hasan Tiro tersebut disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar di Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po.
Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali Sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara.
Hasan Tiro juga mengancam akan mengadukan Pemerintah Indonesia di hadapan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal terhadap para ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia juga akan memperjuangkan pengakuan internasional baik moril maupun materil terhadap Republik Islam Indonesia.
Bila tuntutannya tidak dipenuhi, Hasan Tiro mangancam akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik Indonesia.
Menanggapi surat Hasan Tiro itu, Pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, menolak semua tuntutan Hasan Tiro. Sebaliknya, meminta agar Hasan Tiro kembali ke Indonesia paling lambat 22 September 1954. Bila permintaan itu diabaikan, maka passport Hasan Tiro akan ditarik.
Namun Hasan Tiro mengambil jalan lain. Ia tidak menghiraukan permintaan itu. akhirnya paspornya pun dicabut. Ia kemudian ditahan oleh pihak imigrasi Amerika di Ellis Island. Namun setelah membayar denda sebanyak US$ 500, Hasan Tiro dibebaskan. Setelah bebas, sang wali kembali melakukan upaya politik yang menyerang Pemerintah Indonesia. Ia mengumumkan sepucuk surat di surat kabar New
Pada tahun 1955, Hasan Tiro mengirim surat kepada 12 negara Islam di dunia. Isinya, meminta kepada pemerintah 12 negara Islam itu untuk memboikot Konferensi Asia Afrika (KAA) yang akan dilaksanakan di Bandung pada April 1955.
Secara diam-diam Hasan Tiro kemudian kembali ke Aceh dan pada 4 Desember 1976, bertempat di Gunung Halimun, sebuah daerah pedalamam di Pidie, ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Setelah sekian lama berada di luar negeri, hari ini untuk kesekian kalinya Hasan Tiro kembali ke Aceh. Gerakan yang dikobarkannya dari senjata ke damai telah membuat eksekutif dan legislatif di Aceh didominasi pihaknya. Semoga kepulagannya kali ini dapat memberi semangat baru bagi perdamaian Aceh
http://harian-aceh.com/2011/10/13/kekuasaan-di-tiro