Rabu, 19 Oktober 2011

Putri Betung : Sang Putri keturunan Bidadari yang melahirkan Raja-Raja besar di Aceh

Dari bumi Aceh sepanjang abad sepanjang sejarah telah banyak terlahir wanita-wanita perkasa,Ratu-ratu yang memerintah kerjaan Aceh Darussalam,Laksamana tangguh yang memimpin armada laut wanita ,pahlawan-pahlawan dari jaman kerajaan hingga jaman kemerdekaan yang dalam sejarah dunia sekalipun sulit dicari perbandingannya. Salah satunya adalah Putri Betung.

Alkisah dalam Hikayat Aceh dan Hikayat Raja-raja Pasai, asal-usul yang menurunkan kemuliaan dan kebesaran Sultan Iskandar Muda yang bertakhta di Aceh Darussalam dan raja-raja Samudra Pase (Aceh Utara) adalah berasal dari rahim bidadari yang diberi nama Putri Betung.

Tentang hikayat Putri Betung, alkisah ia adalah anak bidadari yang ditemukan Raja Muhammad di hutan. Kemudian Raja mengangkatnya sebagai anak yang kelak dinikahkan dengan Meurah Gajah, yang merupakan anak raja Ahmad, saudara tua Raja Muhammad.

Versi lain Hikayat Aceh menyebutkan, perkawinan Putri Betung dengan Merah Gajah melahirkan dua anak, laki-laki dan perempuan, masing-masing bernama Sultan Ibrahim Syah dan Putri Sapiah. Sementara versi Hikayat Raja-raja Pasai menyatakan bahwa Putri Betung melahirkan dua anak laki-laki bernama Meurah Silu yang selanjutnya bergelar Sultan Malik As Shaleh, pendiri Kerajaan Samudra Pase, dan Meurah Hanum.

Kisah Putri Betung ini menarik untuk disimak karena selain memiliki simbol sebagai Rahim Mulia, yang menjadi perantara lahirnya raja-raja besar, juga memiliki cacat tubuh. Lazimnya, seorang putri adalah perempuan yang digambarkan cantik jelita,dengan tubuh sempurna, dan perilaku patut. Namun, menurut Hikayat Aceh tersebut, di bagian kanan dagu sang putri ditumbuhi sehelai rambut panjang dan berwarna putih mencolok. Sehingga sang suami, Meurah Gajah yang bergelar Raja Syah Muhammad, kurang senang dan merasa malu hati terhadap “ketaksempurnaan” di tubuh istrinya tersebut.

Oleh sebab itu, pada suatu hari sang raja meminta agar istrinya mencabut “rambut asing” di tubuhnya itu. Tapi permintaan sang raja ini ditolak mentah-mentah oleh sang putri. Sang putri beralasan, jika rambut “aneh” itu dicabut dari tubuhnya, maka niscaya akan terjadi perceraian diantara mereka. Serta merta mendengar alasan Putri Betung tersebut, Sang raja diam saja,tapi diamnya sang raja bukan berarti mau mendengarkan alasan sang putri, tapi sang raja sedang mengatur siasat bagaimana supaya rambut “aneh” tersebut tetap harus dicabut, sehingga segala cara dan upaya diusahakan untuk mencari kelengahan sang putri Betung tersebut.

Pada suatu hari niat sang raja kesampaian juga, saat itu ia melihat sang istri sedang tertidur dengan pulas, maka dengan mengendapendap dicabutnya “rambut asing” tadi dari tubuh sang putri. Setelah sang raja mencabut “rambut asing” tadi dari tubuh sang putri, tidak lama kemudian maka terjadilah keanehan yang luar biasa. Dari dagu sang dewi, yaitu dari liang bekas cabutan rambut aneh tadi, mengalir tiga titik darah putih, akhirnya Putri Betung pun meninggal tidak lama kemudian. Kejadian tersebut membuat Raja Muhammad, ayah Putri Betung marah. Lalu serta merta dikirimnya pasukan untuk menyerbu Raja Muhammad Syah, dalam pertempuran tersebut akhirnya Raja Muhammad Syah terbunuh. Ketika mendengar sang raja terbunuh, Raja Ahmad pun marah, lalu mengirim pasukan untuk menyerbu Raja Muhammad. Dua bersaudara itu pun berperang sehingga disebutkan dalam hikayat tersebut bahwa dua kerajaan itu akhirnya musnah.

Dari hikayat tersebut juga diuraikan bahwa dari rahim Putri Betung lah lahir raja-raja, yang uniknya diakui oleh kemaharajaan Aceh Darussalam dan Samudra Pase. Kedua kemaharajaan itu bersaing memperebutkan Putri Betung, yang berasal dari dunia supranatural atau alam gaib, untuk melegitimasi kebesarannya. Entah kebetulan, kisah Putri Betung ini serupa dengan kisah raja-raja Mataram yang selalu dikisahkan beristri Ratu Kidul. Artinya, keadiluhungan seorang raja dikarenakan menguasai dua dunia, supranatural dan natural. Sedangkan Meurah Gajah, selaku ayah yang menurunkan raja-raja besar itu, tak diketahui asal-usulnya.

Putri Betung tidak sendiri, sejarah kegemilangan Aceh telah pula melahirkan wanita-wanita perkasa lainnya, sebut saja misalnya Laksamana Keumalahayati yang memimpin laskar Inong Bale (laskar janda) di zaman Sultan Riayat Alaudin Sjah IV(1589-1604) untuk mengusir angkatan laut Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman (1506-1599). Di masa pemerintahan Sultan Riayat Alaudin Sjah V (1604-1607) dibentuk Suke Kaway Istana (Resimen Pengawal Istana) yang terdiri dari Si Pai’ Inong(prajurit perempuan) di bawah pimpinan Laksamana Meurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseuen. Kedua laksamana perempuan itu berjasa membebaskan Iskandar Muda dari tahanan Sultan Riayat Sjah V yang konon bejat moral dan kelak tahanan itu menjadi raja adiluhung di Kerajaan Aceh Darussalam.

Di zaman Sultan Iskandar Muda, tradisi prajurit pengawal istana perempuan masih dilanjutkan, dan di antara Divisi Pengawal itu yang paling terkenal adalah Divisi Keumala Cahya. Disebutkan pula bahwa perempuan Aceh telah menjabat sebagai Uleebalang(kepala pemerintahan daerah), seperti Cut Asiah, Pocut Meuligoe, dan Cut Nya’ Keureuto. Pada era Aceh berperang melawan Belanda, terdapat seorang panglima perang perempuan sekaligus alim ulama yang lahir di Lam Diran pada tahun 1856 bernama Teungku Fakinah. Tradisi panglima perempuan di medan perang mewarisi ke generasi Tjut Nyak Dhien, Pocut Baren, Cut Meutia, Pocut Biheu, dan Cutpo Fatimah.

Kita juga tidak bisa melupakan tentang kehebatan perempuan Aceh lainnya yang jarang disebut-sebut dalam sejarah Aceh, seperti Darwati Putroe Jeumpa yang merupakan penakluk Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, kemudian sejarah kegemilangan Putroe Jeumpa lainnya seperti Dewi Manyang Seuludongau ada yang menyebutnya dengan sebutan Dewi Ratna Keumala yang akhirnya menjadi Maha Ratu Islam Pertama di Nusantara.

Di Aceh, sejarah kegemilangan dan peran perempuan tidak bisa dinafikan. Tapi sayangnya kekuasaan dan peran perempuan tersebut, sering kalah pamor dengan hegemoni kekuasaan laki-laki, sehingga diyakini oleh sebagian peneliti untuk melenyapkan Putri Betung dibuatlah sebuah paradoks tentang kecacatan tubuh Putri Betung sebagai pemicu penghancuran asketisme.

Politik perempuan Aceh di tengah konflik bersenjata dan kekerasan negara adalah sering dengan menggunakan lheuk jago meulet, yang disebut lheuk jago meulet, (lheuk adalah sejenis burung) yang menggunakan kecerdikan dan daya pikatnya untuk menghadapi musuh, dalam hal yang acapkali tidak serta-merta merupakan kepentingan perempuan untuk menonjolkan kekuasaannya. Gaya politik yang melekat pada perempuan Aceh ini tak jarang menimbulkan ketegangan dengan subyektivitas politik feminisme yang sedang menggeliat di Aceh.

Hikayat Putri Betung sebagai representasi kompromi antara kekuasaan perempuan dalam hegemoni kekuasaan laki-laki terinstitusi dalam sistem sosial Aceh hingga saat ini.Tampilnya pemimpin perempuan Aceh di medan perang masa lalu pada dasarnya adalah
melanjutkan posisi perjuangan suaminya yang telah gugur. Perempuan itu tampil setelah menjanda. Contohnya adalah institusi Inong Balee.

Ratu Nihrasiah, Ratu Safiatuddin, Panglima Keumalahayati, Tjut Nyak Dien, dan lainnya tampil di garis depan menggantikan kepemimpinan dan perjuangan suami masing-masing.Kekuasaan perempuan itu ada di dalam hegemoni kekuasaan yang beridentitas ke-Acehan. Identitas ini sendiri merupakan dialektika dari perkawinan dan persaingan tradisi “indigenous” dengan Islam hingga disebut Islamnya orang Aceh berbeda dengan gerakan politik Islam. Dalam pandangan “Islam-nya orang Aceh”, sistem nilai ini membebaskan perempuan.Tapi hegemoni yang berlapis-lapis ini mengenyahkan perempuan Aceh ke kesunyian yang terdalam. Pemimpin perempuan di masa lalu seperti Keumalahayati, Teungku Fakinah, Tjut Nyak Dhien dibuang ke wilayah mitos(seperti nasib Putri Betung), diagungkan, dipuja, tetapi kehilangan entitas politiknya. Hal ini senada dengan rintihan Tuan Putri Kusuma Dewi, dalam karya Amir Hamzah, Sultan Alauddin Riayat Syah: “… Mak, beginilah rupanya menjadi permaisuri itu, dijunjung tinggi ditayang-tayang, dirum-rum, dipujapuja, tetapi semuanya hampa belaka, aku
sendiri kesunyian…” (hal 72)

Itulah sekelumit hikayat putri Betung yang dituliskan oleh saudara Hamdhani yang saya kutip dari Modus Aceh, semoga menjadi bahan sejarah dan bahan bacaan untuk generasi Aceh baik sekarang maupun masa mendatang sehingga sejarah Aceh tidak punah ditelan jaman
 
http://aneukagamaceh.blogspot.com/2009/01/putri-betung-sang-putri-keturunan.html

JANGAN LUPA