Sabtu, 03 Desember 2011

ADAT BERTAMU MASYARAKAT TAMIANG

Tamiang
Kabupaten Baru yang berada di perbatasan antara NAD – SUMUT ini memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Aceh. Di abad ke-12 wilayah ini merupakan suatu kerajaan yang pernah mencapai puncak kejayaan di bawah pimpinan Raja Muda Sedia (1330–1336). Dalam perjalanannya, Kerajaan Tamiang-demikian sebutan kerajaan itu-mendapat Cap Sikureung dan hak Tumpang Gantung dari Sultan Aceh Darussalam atas wilayah Negeri Karang dan Negeri Kejuruan Muda. Dalam perkembangannya, pada tahun 1908 terjadi perubahan Staatblad No 112 Tahun 1878, yakni wilayah Tamiang dimasukkan ke dalam Geuvernement Aceh en Onderhorigheden. Artinya, wilayah tersebut berada di bawah status hukum Onderafdeling. [1]
Ada beberapa bukti sejarah yang menunjukkan keberadaan Kerajaan Tamiang, seperti Prasasti Sriwijaya, Buku Wee Pei Shih yang mencatat negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan Buku Nagarakretagama menyebut “Tumihang”, serta benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang.[2] Bukti-bukti itulah yang kemudian digunakan untuk memakai nama Tamiang sebagai usulan bagi pemekaran status wilayah Pembantu Bupati Aceh Timur Wilayah III yang meliputi wilayah bekas Kewedanaan Tamiang. Terbentuknya Kabupaten Aceh Tamiang ini berdasarkan UU No 4 Tahun 2002 tertanggal 10 April 2002 dan resmi sebagai kabupaten otonom pada 2 Juli 2002.
Kabupaten ini lahir antara lain juga karena didukung oleh berbagai potensi daerah yang dimilikinya. Di wilayah ini terdapat Perusahaan Minyak Nasional (Pertamina) yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan Kabupaten Tamiang. Selain itu di daerah ini juga terdapat potensi kelautan, berupa tambak udang dan tambak ikan. Potensi ini tergambar dalam lambang kabupaten berupa dua riak air laut dan tujuh anak tangga menara minyak. Angka dua dan tujuh melambangkan hari lahir kabupaten tersebut, 2 Juli.
Masyarakat daerah ini sebagian besar adalah suku Taminag yang merupakan rumpun suku bangsa Melayu yang mendiami pesisir timur Sumatera. Masyarakat Tamiang, seperti halnya suku bangsa lain di NAD, erat kaitannya dengan agama Islam. Islam bagi mereka adalah sebuah agama yang tidak hanya mereka anut sehubungan dengan hubungan mereka dengan Sang Pencipta, akan tetapi telah menjadi sebuah agama yang terserap dalam adat istiadat mereka. Segala kehidupan mereka bersendi kepada agama Islam. Tingkah laku yang dipengaruhi agama dalam masyarakat Tamiang kelihatan menjadi realita dalam struktur masyarakat dan tingkah laku sosial. Sebagian besar tingkah laku sosial tersebut sering disesuaikan dengan mengikuti ketentuan atau norma agama, terutama agama Islam. Pengaruh agama Islam telah sangat berakar dalam jiwa masyarakat Tamiang.
Selain itu, eratnya hubungan Islam dengan kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari pepatah yang berbunyi “bersenouh ke bukan qaddar, muang agame pusake celake” yang berarti bertikai bukan suatu nilai, tinggalkan agama pusaka atau adat istiadat hilang dan hal itu dapat menimbulkan celaka. Pepatah itu masih tetap dipegang oleh masyarakat suku bangsa Tamiang hingga saat ini. Namun masih ada juga sebagian kecil masyarakat Tamiang yang masih mempraktekkan dan terpengaruh pada kepercayaan pra-Islam, animisme, dinamisme, magi dan praktek ilmu sihir[3] (T. Syamsuddin, dkk, 1979/1980 : 141 ).
Saling berkunjung mengunjungi merupakan sebuah adat yang selalu ada pada masyarakat timur khususnya masyarakat Tamiang. Bagi mereka, menjaga tali silaturahmi antar keluarga maupun tetangga merupakan sebuah anjuran yang ada dalam agama Islam.
Bertamu
Bertamu adala salah satu kegiatan mendatangi rumah seseorang denan tujuan ingin bertemu dengan tuan rumah untuk tujuan tertentu. Bertamu merupakan salah satu cara untuk mengenalkan diri dan lebih memperkuat jalinan tali silaturahmi antara tamu dengan tuan rumah. Ada beberapa istilah yang digunakan masyarakat suku bangsa Tamiang untuk bertamu diantaranya adalah menjenguk, tukam, dan nupus. Menjenguk ini biasanya dilakukan dengan sukarela. Tukam merupakan istilah untuk bertamu ke tempat orang yang sedang dilanda musibah (kematian) atau bagi masyarakat yang beragama Islam sering disebut dengan takziah, dan nupus adalah bertamu ke tempat orang yang melahirkan.
Menjenguk
Menjenguk merupakan salah satu bentuk bertamu yang dilakukan masyarakat Tamiang. Menjenguk dilakukan oleh orang yang belum kenal dengan tuan rumah maupun yang sudah kenal atau kerabat tuan rumah. Tujuan Menjenguk ini pada umumnya adalah untuk menjalin tali silaturahmi ataupun ada keperluan lain. Menjenguk yang dilakukan oleh orang yang belum kenal dengan tuan rumah pada umumnya dilakukan karena ada kepentingan-kepentingan khusus, misalnya menanyakan sesuatu hal yang hanya diketahui oleh tuan rumah. Sementara itu, menjenguk yang dilakukan oleh sanak keluarga pada umumnya untuk mengetahui kabar keluarganya karena sudah lama tidak bertemu dengan berbagai macam alasan jarak yang jauh ataupun waktu yang cukup lama.
Pada Masyarakat Tamiang, tata cara menjenguk tidaklah diatur secara ketat. Tamu yang datang menjenguk tidaklah ditentukan waktunya. Mereka boleh datang pada waktu pagi, siang maupun malam. Dengan demikian, sang tamu yang menentukan sendiri kapan waktu yang tepat untuk menjenguk. Walaupun demikian, pagi hari selepas sarapan para warga biasanya banyak yang pergi bekerja dan pada siang hari pergi ke ladang maka sebaiknya datang menjenguk di waktu sore hari sehabis waktu salat Ashar dan setelah waktu salat Maghrib. Pada saat waktu salat khususnya salat Maghrib, merupakan saat yang tabu bagi Masyarakat Tamiang untuk menjenguk karena dianggap mengganggu waktu shalat tuan rumah.
Tata cara bertamu pada masyarakat Tamiang dimulai dengan mengetuk pintu terlebih dahulu sambil mengucapkan assalamu’alaikum. Mengetuk pintu dilakukan dengan cara yang wajar artinya tidak mengetuk dengan ketukan yang sangat keras dan terus menerus. Ketukan pintu yang keras dan terus menerus akan memberi kesan bahwa tamu bermaksud kurang baik atau dianggap tidak sopan. Setelah ada jawaban waalaikumsalam dari dalam rumah, maka tamu harus menunggu hingga dibukakan pintu. Membuka pintu untuk tamu bukanlah merupakan tugas tertentu dari salah seorang anggota rumah, namun merupakan tugas setiap anggota rumah yang kebetulan berada di dalam rumah pada saat tamu datang. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga seperti anak, ibu, bapak atau anggota keluarga lainnya yang ada di rumah dapat membuka pintu saat tamu datang. Meskipun dalam tata krama diperbolehkan, namun sang ibu biasanya jarang menjumpai tamu terlebih tamu yang belum dikenal. Untuk urusan adat dan kemasyarakatan, sebelum tamu datang mereka memberitahukan terlebih dahulu kedatangannya melalui penghubung.
Dalam acara perkawinan, dalam hal negosiasi waktu dan pengantar undangan dilakukan oleh telangke. Sesuai dengan perkembangan zaman, pada saat ini pemakaian jasa telepon sudah umum dilakukan oleh masyarakat untuk menggantikan jasa penghubung.
Tamu yang datang biasanya menunggu di teras rumah sebelum dipersilahkan masuk. Tamu dipersilahkan masuk melalui pintu depan dan duduk di tempat yang sudah disediakan. Setelah tamu duduk barulah ditanyakan maksud dan tujuan sang tamu datang ke rumah ini.
Penerimaan tamu antara anggota keluarga dengan orang yang bukan anggota keluarga pada umumnya dibedakan. Para tamu yang merupakan anggota keluarga masuk melalui pintu samping atau pintu belakang dan langsung menuju ke dapur belakang. Perilaku atau tata krama demikian juga terjadi pada orang yang bukan anggota keluarga tetapi memiliki hubungan sangat akrab dan sering berkunjung. Sementara itu, tata cara masuk ke dalam rumah untuk para tamu yang bukan anggota keluarga adalah melalui pintu depan.
Pada jaman dahulu, tamu yang datang umumnya dipersilahkan duduk di atas tikar atau ambal yang digelar di ruang depan. Pada masyarakat pedesaan kebiasaan menerima tamu di atas tikar atau ambal masih banyak dilakukan hingga saat ini.
Setelah berbincang-bincang beberapa saat, tuan rumah akan menyuguhkan makanan dan minuman ringan atupun sirih.[4] Menjamu tamu merupakan suatu kewajiban bagi tuan rumah yang harus. Apabila tidak ada jamuan, sang tamu biasanya akan menganggap tuan rumah kurang dapat menghormati tamu. Suguhan kepada tamu pada umumnya diantar atau dihidangkan oleh anak perempuan. Apabila tuan rumah belum memiliki anak perempuan, maka tugas tersebut biasanya dilakukan oleh isteri ataupun anggota keluarga lainnya.
Menyuguhkan makan kepada tamu juga merupakan salah satu bentuk penghormatan dari tuan rumah. Tamu yang datang setelah diajak berbincang-bincang dan menikmati makanan serta minuman ringan maka ketika saat waktu makan tiba akan dipersilahkan untuk makan. Telah menjadi kebiasaan pada masyarakat daerah ini bahwa jika tamu berkunjung pada waktu makan maka tamu tersebut juga dipersilahkan untuk makan bersama-sama tuan rumah. Pada umumnya makanan yang dihidangkan adalah makanan yang ada atau yang dimasak pada hari itu. Kadangkala tamu yang datang disuguhi dengan makanan yang dimasak secara khusus atau spesial. Perlakuan seperti ini umumnya ditujukan kepada orang tua atau orang yang sangat dihormati. Makanan berupa nasi dan lauk pauk dihidangkan dalam pinggan dan disusun di atas tikar. Tuan rumah kemudian mempersilahkan tamu untuk makan bersama di atas tikar. Tikar untuk tamu berbentuk persegi empat dan terkadang menggunakan pelekap. Tikar tersebut oleh suku bangsa Tamiang dinamakan tikar ciau. Seandainya tamu yang datang merupakan tamu kehormatan atau istimewa maka tikar ciau tersebut digelar berlapis-lapis. Tikar berlapis-lapin ini merupakan simbol penghormatan kepada tamu tersebut. Untuk tamu terhormat, misalnya pemimpin adat, maka hidangan disusun di atas dalung.[5] Setelah hidangan tersedia, tuan rumah yang duduk dekat tamu tersebut biasanya langsung mempersilahkan sang tamu untuk makan.
Kebiasaan yang terjadi pada para tamu di daerah ini adalah membawa buah tangan. Pada dasarnya membawa buah tangan bukan suatu hal yang harus dilaksanakan, tetapi dilatarbelakangi oleh budaya malu di kalangan masyarakat Tamiang. Buah tangan yang dibawa tergantung dari tingkat kedekatan tamu dan tuan rumah serta keadaan ekonomi sang tamu. Namun biasanya ada semacam kesepakatan tidak tertulis yang mengatakan bahwa bila menjenguk ke rumah orang yang dituakan maka sebaiknya membawa buah tangan berupa gula/ kopi/buah-buahan/membawa makanan hasil buatan sendiri atau hasil kebun sendiri. Hal tersebut dilakukan sebagai tanda penghormatan bagi tuan rumah. Buah tangan yang merupakan hasil kebun sendiri atau buatan sendiri memberikan nilai yang lebih atau memberikan kesan bahwa buah tangan tersebut merupakan sebuah simbol penghormatan yang dalam terhadap orang yang lebih tua.
Tukam
Tukam merupakan istilah yang dipergunakan suku bangsa Tamiang untuk menyebut datang bertamu ke tempat orang yang sedang dilanda musibah (kematian) atau bagi masyarakat yang beragama Islam sering disebut dengan takziah. Disebut tukam jika bertakziah pada hari sebelum dilaksanakan tahlilan hari pertama. Pada umumnya tukam dimulai dengan adanya kabar bahwa ada salah satu anggota masyarakat yang tertimpa musibah. Kabar tersebut bisa disebarkan dari mulut ke mulut atau diumumkan di meunasah atau masjid. Setelah kabar tersebut diketahui oleh tetangga sekitarnya, maka para tetangga tersebut akan datang berkunjung ke rumah yang tertimpa musibah. Umumnya tamu yang datang disambut oleh sanak kerabat dari orang yang tertimpa musibah itu dengan cara menggelar tikar atau ambal di dalam rumah serta meletakkan kursi di pelataran atau halaman rumah. Apabila yang meninggal itu anak dari yang punya rumah, maka sang ibu akan duduk di ruang keluarga atau di ruang dalam dan sang bapak duduk di luar rumah. Apabila yang meninggal adalah si ibu, anak-anak yang sudah dewasa biasanya ikut membantu mempersiapkan keperluan untuk menyelenggarakan jenazah dan bapak duduk di luar rumah. Apabila si bapak yang meninggal, si ibu duduk di ruang dalam bersama anak-anaknya yang masih kecil sedangkan anak-anak yang sudah dewasa ikut membantu menyelenggarakan jenazah si bapak.
Umumnya tamu laki-laki duduk di atas kursi yang telah disediakan di halaman rumah dan tamu perempuan duduk di dalam rumah di atas tikar atau ambal yang telah disediakan. Setelah beberapa saat tamu boleh pulang atau ikut mengantar jenazah ke kuburnya setelah sebelumnya menyelipkan uang ke beras yang ditempatkan di dalam baskom-baskom atau piring yang sudah disediakan di tengah-tengah tikar, ambal dan meja. Para tamu yang datang pada umumnya membawa gula, kopi, atau teh, dan juga dapat membawa uang untuk kaum ibu, sedangkan kaum laki-laki pada umumnya da yang memeberikan sumbangan berupa uang dan juga berupa tenaga dengan cara memepersiapkan segala sesuatu peralatan yang diperlukan dalam penguburan jenazah.
Setelah prosesi pemakaman selesai, keesokan atau beberapa hari setelahnya akan dilanjutkan dengan acara tahlilan. Pada acara ini tamu yang datang dijamu dengan kue atau makanan yang dihidangkan di atas tikar. Tamu yang datang dipersilahkan duduk di atas tikar. Waktu acara ini dilakukan setelah waktu ashar bagi kaum ibu-ibu dan setelah maghrib bagi bapak-bapak. Pada umumnya tamu yang datang terlebih dahulu mengadakan janji untuk bersama-sama datang ke tempat acara.
Nupus
Nupus adalah berkunjung ke tempat orang yang baru melahirkan dan membawa makanan yang bergizi dan baik. Ada beberap aturan yang harus dipatuhi dalam berkunjung ke tempat orang melahirkan. Pada saat isteri tuan rumah melahirkan tamu yang diluar kerabat dilarang bertamu ke rumah tersebut untuk tujuan menengok yang melahirkan. Mereka harus menunggu setelah seminggu melahirkan baru boleh datang bertamu. Setelah waktu seminggu, tamu yang bukan anggota kerabat dapat datang menengok dengan membawa makanan yang bergizi dan baik yang diletakkan dalam sebuah dalung. Sedangkana anggota keluarga diberi kebebasan untuk berkunjung kapan saja pada saat saudaranya melahirkan. Ada juga beberapa tamu yang berkunjung pada saat upacara kendhuri 44 hari. Pada saat kendhuri tersebut diundang tetangga untuk hadir dalam acara tersebut yang berupa acara potong rambut dan juga pemberian nama si jabang bayi.
[1] www.kompas.com, edisi 02 Maret 2004.
[2] Ibid.
[3] Syamsuddin,T, (et al.), 1979, Adat-Istiadat Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Hal. 141.
[4] Sirih merupakan lambang penghormatan dan kemuliaan bagi tamu yang datang. Sirih disusun dan dihidangkan dalam sebuah tempat khusus.
[5] Dalung adalah pinggan tempat menghidangkan makanan yang berbentuk seperti talam bulat dan berkaki
Penulis: T. Lestari, Peneliti BPSNT (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional) Banda Aceh.

http://plik-u.com/?p=375

JANGAN LUPA