Kamis, 01 Desember 2011

KENDURI BLANG



Upacara Kenduri Blang
Khanduri Tron U Blang dilakukan dalam tiga tahapan yaitu menjelang turun ke sawah, ketika padi berbuah dan sesudah masa menuai. Dalam tiap tahapan, upacara tradisional digelar dengan maksud dan tujuan berbeda yang saat ini dapat kita tinjau dalam konteks kekiniannya.
Diawali dari keinginan mengangkat adat budaya kenduri turun ke sawah yang secara turun temurun dilakukan, kenduri blang di Aceh Tamiang masih dilaksanakan hingga sekarang. Adat turun ke sawah ini merupakan tradisi bagi petani yang akan memulai menanam padi.
Zaman dahulu, adat ke sawah yang akrab dikatakan kenduri blang ini merupakan tradisi yang harus dilakukan oleh sekelompok komunitas petani. Sebagai sebuah tradisi turun temurun, tentu dimungkinkan perbedaan seremoni adat tersebut antara zaman dulu dan sekarang. Tulisan ini memotret adat kenduri blang masa kini di salah satu kampung dalam Kabupaten Aceh Tamiang.
Secara khusus cerita ini merupakan rutinitas sebuah kelompok tani “Paya Tualang” di Kampong Paya Meta, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok tani yang masih mengadakan acara adat kenduri blang.
Asal usul kenduri blang atau khanduri blang ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Tradisi ini dilakukan untuk peusejuek bibit yang akan diturunkan setiap tahun (tahun yang akan dilakukan penanaman padi). Sebelum kenduri, terlebih dahulu mufakat pesiapan kenduri oleh kelompok tani tersebut secara patungan (meuripe-ripe). Hasil patungan ini untuk persiapan pelaksanaan. Biasanya mereka sembelih ayam dan menyediakan nasi nasi bungkus atau bu kulah.
Dalam tatacaranya, penyembelihan ayam tersebut harus di sawah. Menurut keyakinan masyarakat di sana, hal itu dilakukan sebagai isyarat darah ayam agar petani selamat dari alat-alat yang tajam seperti cangkul, tajak, babat, dan lain sebagainya. Dalam kenduri blang itu juga dilakukan baca yaasin sekali tamat dan doa semoga tanaman padi tahun ini berkat hingga dapat dizakatkan.
Usai pembacaan yaasin dan doa bersama, dilakukan tepung tawar pada bibit dan alat-alat tani. Tepung tawar atau peusijuek juga dilakukan pada petaninya. Alat-alat yang digunakan sebagai peusijuek antara lain (1) berteh (padi yang digongseng hingga mengembang) digunakan supaya ringan padi keluar, (2) sebutir telur ayam kampong, ini dipercaya sebagai kepala obat, (3) seikat daun peusijuek, digunakan supaya padi mudah berkembang biak.
Jika padi sudah tumbuh dara, petani berkumpul mufakat melakukan kenduri bubur. Hal ini dilakukan agar padi terhindar dari serangan hama seperti ulat dan hama lainnya. Namun, sekarang hal ini sudah jarang dilakukan oleh komunitas petani. Ketika padi sudah bunting (mulai berisi), biasanya juga diadakanlah kenduri. Kali ini kenduri rujak dengan membaca yaasin dan doa.
Menurut kisah orang-orang kampung di sini, kenduri semacam itu dilakukan atas kepercayaan masyarakat bahwa padi dahulunya adalah seorang putri. Perumpamaan dilukiskan sebagai seorang wanita yang sedang hamil dan memiliki keinginan yang disebut sebagai ngidam makanan asam-asam. Maka rujak jadi pilihan.
Jika dilihat sekarang, hampir semua petani menggunakan pestisida untuk menghindari serangan hama. Namun, petuah orang-orang terdahulu untuk menghindari serangan hama, petani menggunakan ranting buluh gading yang masih hidup, daun pinang kuning, daun puding, dan daun ara emas. Daun-daun itu diikat menjadi satu ditancapkan di tengah-tengan sawah. Hal ini dilakukan agar terhindar dari serangan hama seperti ulat, tikus, dan lain sebagainya. Menurut kepercayaan masyarakat, bau daun-daun tersebut menyengat sehingga ulat, tikus, dan hama lainnya tidak berani mendekat.
Pantangan-pantangan bagi petani agar tidak sawah menurut kelompok tani ini adalah hari jumat, hari Rabu Terakhir (rabu abeh) tiap bulan, wanita yang sedang haid. Selain itu, di sawah juga dilarang berbicara takabur.
Mereka juga yakin manfaat dilakukan kenduri blang antara lain: pertama, mengetahui berapa banyak kelompok penanam padi di sawah dan perencanaan penanaman padi. Kedua, mengadakan gotong royong secara bersama-sama. Ketiga mengadakan peraturan pantangan-pantangan di sawah, hal ini dilakukan agar semua petani tetap menjaga pantangan-pantangan secara kebersamaan. Keempat, mengadakan peraturan pananaman, hal ini dilakukan untuk menghindari agar tidak ada petani yang terlambat menanam padinya. Apabila ada salah satu petani yang terlambat menanam padi, ditakutkan nantinya padi yang ditanamnya akan ketinggalan panen, yang mengakibatkan padinya akan terserang hama lebih mudah.
Tata cara bertani yang dilakukan oleh kelompok tani adalah jika telah sampai waktu panen, pemanenannya dimulai pada hari Kamis, lebih baik lagi dimulai pada saat bulan sedang naik. Padi diambil sebanyak tujuh tangkai sebagai tanda menjemput semangat padi dan dibawa pulang ke rumah untuk diselipkan di atas atap. Setelah itu, baru padi dipanen semua. Jika hasil mencapai 100 kaleng, padi itu wajib dizakatkan sebanyak 10 kaleng. Zakat itu dibagikan kepada fakir miskin yang berada di kawasan penanaman padi dan daerah tempat tinggal si petani.
Menjelang Turun ke Sawah
Sebelum masa penanaman benih dimulai, dikenal satu tradisi yang disebut Khanduri ulee Lhueng atau Babah Lhueng yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke dalam alur pengairan dipimpin oleh seorang Kuejren Blang dengan melibatkan para petani yang memiliki areal persawahan di daerah tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan secara masal.

Dalam upacara ini dilaksanakan ritual berupa penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing pada babah Lhueng atau mulut parit pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke parit mengalir bersama air ke lahan-lahan persawahan milik petani tadi.

Menurut para petani, berkah dan doa yang diucapkan agar benih padi yang mereka tanam nantinya akan tumbuh subur akan mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang ada.

Seperti yang kita temui saat ini, pupuk-pupuk tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh pertanian pada umumnya, seperti penggunaan pupuk urea dan pupuk berbahan kimia lainnya, semuanya diberikan pada masa pertumbuhan hingga masa panen dengan hitungan waktu masing-masing.

Sedangkan pada awal, sebelum masa tanam tidak ada pupuk tertentu yang diberikan untuk pengolahan media tanah. Saat itulah darah hewan tadi bekerja memperkaya unsur-unsur hara di dalam tanah.
Namun bila dipandang dari sisi lain, darah kerbau atau kambing juga memiliki fungsi lain pada tahap sebelum penanaman. Darah hewan sebenarnya dapat juga menyuburkan sawah. Dapat diperhatikan, saat ini kaum ibu yag suka menanam bunga di halaman rumah sering menyiram bunganya dengan air basuhan ikan yang mengandung darah, air tersebut dipercaya dapat menyuburkan tanaman sehingga tanaman mereka akan lebih hijau dan cepat berbunga.

Demikian pula dengan darah kerbau yang mengalir ke lahan persawahan tentu dapat membantu menyuburkan tanah yang sebentar lagi akan ditanami padi.
Para petani sering dikarakteristikkan sebagai masyarakat gotong royong. Mereka bergotong royong sejak sebelum padi ditanam. Sebagaimana tergambar dalam Upacara Tron U Blang ini, mereka bekerja bersama-sama menyelenggarakan upacara untuk sawah mereka.

Bersama-sama menyediakan hewan penyembelihan, memasak dan menyediakan lauk pauk lainnya untuk melengkapi Khanduri di lokasi upacara. Untuk itu dibutuhkan tempat yang lebih luas seperti lapangan di dekat areal persawahan atau lahan persawahan itu sendiri yang berada di tengah sebelum penanaman.

Biasanya di daerah-daerah tertentu memang ada satu lahan yang dibiarkan untuk tempat penyelenggaraan Khanduri setiap tahunnya. Di lahan itu di tanam pepohonan yang rindang yang kemudian dapat dijadikan tempat berteduh dan beristirahat bagi petani.

Tidak itu saja, lahan itu juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengumpulkan padi yang telah dipanen (Phui Pade) sebelum digirik. Kemudian disitu pula kaum ibu dapat membantu mengangin-anginkan, membersihkan dan menyiangi padi, setelah itu baru dibawa pulang.

Selesainya upacara Tron U Blang tersebut merupakan pertanda bahwa lahan atau tanah telah siap menerima benih baru, masa tanam dapat segera dilaksanakan. Makna lebih dalam dari hal ini adalah agar para petani dapat dengan serentak menggarap lahan persawahannya, sehingga nanti dapat pula saling menjaga dan mengawasi padinya bersama-sama atau paling tidak setiap proses, mulai masa tanam hingga masa panen dapat terus dilaksanakan bersama-sama, mengeluarkan zakat bahkan hingga menikmati hasilnya. Nilai kekeluargaan yang tumbuh menjadi begitu kental terasa di sawah dan terbawa pula sampai ke lingkungan rumah dan sosial masyarakat.
Masa Padi Berbuah
Pada tahap berikutnya, setelah masa tanam tepatnya saat padi telah setengah umur yaitu ketika batang padi membulat, biji padi mulai berisi atau biasanya disebut masa bunting/dara ada lagi ritual yang harus dijalankan.

Namun pada umumnya tidak lagi diselenggarakan bersama-sama. Khanduri hanya dilakukan oleh keluarga petani yang memiliki kemudahan / rezeki untuk melaksanakannya. Tapi biasanya Khanduri tetap dilakukan walaupun secara sederhana. Bagi mereka yang ekonominya lemah dapat melaksanakannya dengan memberi makan seorang yatim untuk sekali waktu.

Upacara tahap kedua ini dikenal dengan istilah Geuba Geuco dimana dalam ritual pelaksanaan upacaranya dilaksanakan di kuburan yang dianggap keuramat. Hal itu dimaksudkan agar padi terhindar dari hama dan penyakit sehingga dapat panen dengan hasil yang baik.

Namun ritual yang satu ini juga telah mengalami pergeseran. Kepercayaan dinamisme seperti yang dilakukan dalam upacara Geuba Geuco ini sudah sangat jarang ditemui. Sekarang para petani cenderung melakukan hajatan atau syukuran atas kesuburan padi.
Upacara dapat dilakukan dirumah, tetapi ritual itu sendiri tetap dilakukan di sawah, pada beberapa petak saja yang dipeusijuek secara simbolik. Sementara doa disampaikan untuk seluruh lahan si empunya hajatan.

Tidak ada ketentuan seberapa besar Khanduri dilaksanakan, yang jelas tidak boleh sampai memberatkan si petani. Karena yang terpenting adalah niat yang tulus. Sebagaimana pendapat para ulama, bahwa Khanduri boleh dilakukan sejauh tidak berlebihan, memberi kebaikan dan bermanfaat.

Bila dianalisa lebih dalam Khanduri ini memiliki nilai keagamaan. Bukankah Tuhan menjanjikan rezeki yang berlipat ganda atas sebuah keikhlasan? Jadi jika hari ini petani dengan ikhlas membagikan rezekinya, di hari lainnya Tuhan akan membalasnya dengan menggandakan keikhlasannya dan bisa saja imabalan itu diberikan melalui padi yang ditanamnya.
Sesudah Masa Menuai
Tahap kedua usai maka tahap ketiga menanti. Upacara terakhir adalah Khanduri Pade Baro. Upacara ini dilaksanakan sesudah panen atau setelah kegiatan menuai selesai. Saat itu para petani telah sedikit berleha-leha karena tugas di sawah baru selesai.

Upacara tersebut dilaksanakan oleh masing-masing petani di rumah mereka dengan tujuan untuk memperoleh berkah. Artinya setelah imbalan atas keikhlasan diperoleh maka selanjutnya ia harus mengadakan Khanduri lagi agar apa yang ia dpat dalm masa panen kali ini diberkati oleh Allah SWT, bila hasilnya dijual dan diuangkan maka dapat pula digunakan dengan benar an membawa kebaikan lagi bagi si petani dan keluarganya.

Dalam upacara ini digelar kegiatan doa bersama di rumah, mengundang kerabat dekat, anak yatim dan orang yang kurang mampu untuk turut mencicipi padi yang baru dipanen itu sebagai suatu wujud kesyukuran atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT kali ini.

Berbagi, kata ini mengandung arti penting dan sangat dalam bagi masyarakat petani. Lihat saja, betapa senangnya mereka ketika banyak orang dapat mencicipi hasil panennya, padi yang dengan keringatnya selama berbulan-bulan dijaga dan diperhatikannya kini dapat dicicipi. Peluhnya seakan terbayar dengan ucapan syukur dari penikmatnya, karena setelah tamu yang datang merasa kenyang maka kata Alhamdulillah mewakili doa paling makbul akan kesyukuran. Dari setiap kata itu mengalir pula harapan semoga panen di musim tanam yang akan datang hasilnya akan lebih baik lagi.

Tradisi ini memang tidak dilaksanakan secara serentak, bila ada beberapa orang hendak mengadakan Khanduri itu maka waktu pelaksanaannya tidak boleh bersamaan. Oleh karena itu, petani harus memusyawarahkan terlebih dahulu dengan Keujren Blang, Imum Meunasah dan Keuchik untuk menentukan waktunya.

Sebenarnya meskipun setiap petani memulai masa tanam secara bersamaan, masa panen dapat saja berbeda, karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan berdeda. Tapi perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok.
Baiknya, dengan begitu, saudara, tetangga dan kerabat yang tinggal di desa yang sama yang datang tidak bingung kemana harus menghadiri undangan. Khanduri si A atau si B. Satu waktu makan di satu tempat tentunya lebih berkah daripada satu waktu makan di banyak tempat.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam upacara tahap ketiga ini adalah menuanaikan zakat. Bagi hasil panen yang telah sampai hisabnya diwajibkan membayar zakat, sehingga tamu penting yang seharusnya diundang dalam upacara ini adalah pengurus zakat di desa yang bertugas menerima zakat.
Selesainya penyerahan zakat maka berakhir pula tugas petani untuk satu kali masa panen. Dan rentetan upacara ini akan terus diselenggarakan setiap kali petani menggarap sawahnya mulai masa tanam sampai masa panen, begitu seterunsnya.

Namun bila setelah ritual dilaksanakan hasil panen memburuk, apakah itu karena ritual yang tidak benar? Belum tentu, upacara mengandung nilai-nilai yang abstrak. Sedangkan kenyataannya, sangat bergantung pada ketelatenan petani dalam mengelola lahan persawahannya.

Tawakal bukan berarti menanti tanpa usaha. Panen yang melimpah tidak didapat hanya melalui ritual tapi juga jerih payah si petani yang terus berusaha menyuburkan sawah-sawhnya dengan cara-cara yang logis, sementara upacara hanya media yang membantu mewujudkan impian petani menjadi nyata, yaitu memperoleh hasil panen yang melimpah.

JANGAN LUPA