Sabtu, 03 Desember 2011

PERAYAAN RABU ABEH DI BARAT SELATAN ACEH

Dalam tradisi masyarakat di pesisir Barat-Selatan Aceh, perayaan Uroe Rabu Abeeh atau perayaan “tulak bala” dilakukan setiap tahun pada akhir bulan Safar. Uroe Rabu Abeeh biasanya dilaksanakan pada hari rabu terakhir dalam bulan safar. Bulan safar adalah salah satu bulan di dalam kalendar hijriah yang identik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak menentu serta beraura kurang baik terhadap kebugaran fisik maupun psikis yang membuat manusia menjadi rentan oleh ganguan berbagai jenis penyakit sehingga di Aceh sering juga disebut sebagai “bulan panas” atau “buleun seuum”.Bulan safar bagi sebagian masyarakat di Aceh Barat-Selatan diidentikkan dengan bulan “turun bala” dari sang pencipta ke bumi. Dalam kajian empiris, menunjukkan bahwa selama bulan safar belakangan ini, di beberapa daerah khususnya Aceh telah diklaim menjadi salah satu daerah endemis Demam Berdarah Dengue (DBD). Belum lagi berbagai gejala alam yang sangat sulit diprediksi, namun ditenggarai sebagai pengaruh global warming yang memicu semakin seringnya terjadi disharmonisasi alam seperti kebakaran hutan, lahan gambut, dan fenomena semakin sering muncul semburan lumpur panas seperti yang terjadi di Meulaboh dan peningkatan suhu di beberapa ruangan di Rumah Sakit Umum Aceh Barat Daya. Hal ini memberi sinyal, seolah-olah bumi Aceh semakin membara dalam peningkatan intensitas “marabahaya” akibat kerusakan alam.
Merunut kronologis berdasarkan kajian historis dan pandangan masyarakat tempo doeloe, bahwa “Uroe Rabu Abeeh” memang identik dengan bulan bala, dan harus dilakukan prosesi untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dengan melakukan prosesi “tulak bala” yang dirayakan pada akhir bulan ini. Prosesi “tulak bala” pada masa lalu dilakukan dengan cara upacara berdoa bersama-sama baik di meunasah, dayah, sungai, pantai, ataupun pemandian dengan dipimpin oleh seorang teungku atau pemangku adat dengan membacakan doa-doa yang relevan dengan tolak bala. Pada akhir prosesi Tulak Bala dilakukan doa bersama, kemudian kenduri berupa makan bersama-sama dari “bu kulah” dan “eungkot punjot” yang sudah dibawa dari rumah masing-masing. Setelah itu dilakukan ritual mandi kembang dan wangi-wangian dari flora yang terdapat di lingkungan mereka. Mereka bersama-sama dengan keluarga atau kerabat melakukan mandi bersama sebagai simbolisasi pembersihan diri dari “wujud bala”yang datang dengan membuang seluruh aura negatif dari fisik dan psikis dengan “membersihkannya” dari tubuh dan jiwa ke aliran sungai, laut, ataupun pemandian.
Pada tataran kontemporer, Uroe Rabu Abeeh atau tolak bala tidak lagi bermakna sakral namun sudah berwujud provan sebagai salah satu sarana peningkatan kesadaran rekreasi pada tataran lokal, terutama meningkatnya daya tarik wisatawan lokal terhadap tempat-tempat rekreasi yang ada di sana seperti Kreung Seumayam, Kreung Babah Rot, Ceuraceu Kuala Batee, pantai Lama Tuha, Pantai Cemara Indah, Pantai Jilbab, Pantai Bali, Krueng Beukah, Ujong Tanoh, Ujong Pasi Manggeng sampai Krueng Baru.
Dari pemahaman di atas, dapat disimpulkan prosesi uroe rabu abeeh atau tulak bala sudah mengalami diaspora dari aura religiusitas ke provan. Di mana saat ini tolak bala dan uroe rabu abeeh di pesisir Barat-Selatan Aceh telah bergeser menjadi ajang untuk berhura-hura dengan pacar atau sesama saudara atau tetangga sambil berdiwana dengan motif yang berbeda-beda dari esensi kedalaman pemaknaan dari tulak bala itu sendiri.
Pada tataran perayaan uroe rabu abeeh saat ini, WH di Barat-Selatan Aceh harus bekerja ektra dan bertindak preventif untuk mengontrol pendiwana, dalam mengaplikasi syariat dengan meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan korban lainnya. Preventivikasi ini harus ditegakkan, namun kebebasan yang tidak “keblablasan” juga harus diberi ruang bagi publik agar mereka tidak merasa diintipi, dibebani dengan rasa takut yang tak terperi untuk mengunjungi objek-objek terindah yang dimiliki karena apapun alasannya semua manusia merindukan keindahan namun yang paling penting adalah terciptanya nilai kedamaian di dalam masyarakat. Ayo ber-uroe rabu abeeh dengan keluarga atau teman sebagai ajang untuk menolak bala bukan untuk mencari atau membawa pulang bala yang baru hehehe..

http://plik-u.com/?p=805

JANGAN LUPA