Pendahuluan
Hikayat Raja-Raja Pasai pertama kali diterbitkan oleh seorang Perancis bernama Ed. Dulaurier pada tahun 1849 M dalam Collection Principle Cronique Malayes. Ia menerbitkannya dalam huruf Arab berdasarkan manuskrip yang dibawa oleh Sir Thomas Stanford Raffles ke London yang sampai sekarang masih ada di sana dalam perpustakaan Royal Asiatic Society. Pada tahun 1914 M terbit versi yang dihuruflatinkan oleh J.P. Mead yang juga berasal dari manuskrip London tersebut di atas. Di samping itu, terdapat pula transkripsi Hikayat Raja-Raja Pasai beserta pembicaraannya dalam Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, 1960, yang dikerjakan oleh A.H. Hill. Menurt T. Iskandar, Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan karya sejarah tertua dari zaman Islam.
Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat dua versi. Pertama ialah cerita Pasai yang terdapat dalah naskah Sejarah Melayu, yakni riwayat yang berakhir dengan mangkatnya Sultan Malik al Dzahir dan naiknya tahta kerajaan Sultan Ahmad. Kedua adalah versi Hikayat Raja-Raja Pasai yang diwakili oleh Raffles seperti tersebut di atas. R.O. Winstedt menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai mempunyai persamaan-persamaan, baik dalam pokok pembicaraan maupun susunan ayatnya. Ia mengatakan, penyusun Sejarah Melayu telah meniru, memparafrasakan dan menyalin Hikayat Raja-Raja Pasai. Winstedt berkesimpulan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai ialah teks yang tertua dari kedua karya itu (Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai). Namun, R. Roolvink menyatakan, tidak mudah untuk menentukan antara kedua teks itu dan mungkin sekali penyusun Sejarah Melayu telah menggunakan teks Hikayat Raja-Raja Pasai yang lain, sehingga terjadi perbedaan penting antara kedua teks itu dari segi nama dan detail-detail lainnya.
Menurut A. Teeuw bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai berdasarkan internal evidence tidak mungkin dikarang sebelum Sejarah Melayu, tetapi sebaliknya. Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis berdasarkan suatu versi asal Sejarah Melayu untuk kemegahan kerajaan Pasai dengan berbagai tambahan dan perubahan. Namun, Amin Sweeney menentang pendapat itu dan berdasarkan internal evidence pula menyatakan dengan sangat meyakinkan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang digunakan oleh pengarang bagian pertama Sejarah Melayu.
Ikhtisar
Isi naskah Hikayat Raja-Raja Pasai menyangkut sejarah negeri Pasai sekitar pertengahan abad ke-13, masa pengislaman Tanah Pasai hingga pertengahan abad ke-14, dan waktu penaklukan Pasai oleh Majapahit. Secara lebih rinci isi Hikayat Raja-Raja Pasai dapat dibagi menjadi enam bagian, meskipun dalam manuskrip tersebut tidak ada pembagian ini. Lima bagian pertama adalah cerita mengenai Samudra Pasai, sedangkan yang keenam sama sekali tidak menyinggunga Pasai, tetapi mengenai penaklukan Nusantara oleh Patih Gajah Mada atas perintah Sang Nata Majapahit. Dalam bagian terakhir itu juga dibicarakan penaklukan sebagian pulau Perca, yakni Minangkabau, yang tidak dilakukan dengan peperangan tetapi dengan adu kerbau. Tentara Jawa kalah dalam penaklukan itu. Naskah Hikayat Raja-Raja Pasai yang mula-mula besar kemungkinannya tidak mengandung bagian yang keenam itu. Apabila itu benar, maka bagian yang keenam itu adalah tambahan yang kemudian, mungkin ditulis oleh pengarang lain dan ditambahkannya kepada naskah Hikayat Raja-Raja Pasai.
Hikayat Raja-Raja Pasai dimulai dengan dua kisah bersaudara Raja Muhammad dan Raja Ahmad yang sedang membangun sebuah negeri di Samalanga. Ketika menebas hutan, Raja Muhammad menemukan seorang anak perempuan muncul dari pokok bambu. Anak itu diberi nama Puteri Betung. Raja Ahmad mendapat seorang anak laki-laki yang dibawa oleh seekor gajah, anak itu diberi nama Meurah Gajah. Setelah dewasa keduanya dinikahkan, dan pasangan ini mempunyai dua orang putra, yaitu Meurah Silu dan Meurah Hasum. Pada suatu hari Meurah Gajah melihat sehelai rambut Putri Beutung berwarna emas. Dia minta agar rambut itu dicabut. Istrinya menolak dan mengingatkan, apabila rambut itu dicabut akan terjadi perceraian di antara mereka. Namun, Meurah Gajah memaksa mencabutnya, sehingga keluar darah putih dari kepala Putri Betung dan matilah ia. Karena peristiwa itu, terjadilah peperangan antara Raja Muhammad dan Raja Ahmad. Banyak prajurit dari kedua belah pihak tewas, dan akhirnya kedua raja itu pun menemukan ajalnya dalam peperangan itu.
Setelah perang selesai, Meurah Silu dan Meurah Hasum sepakat meninggalkan Samalanga untuk membuka negeri lain. Mereka berjalan sampai ke Beurana (Bireuen). Di hulu sungai, Meurah Silu menemukan cacing gelang-gelang yang kemudian berubah menjadi emas dan perak. Dengan emas itu ia mengupah orang menangkap kerbau liar untuk dijinakkan. Pekerjaan itu tidak disukai oleh Meurah Hasum. Diusirlah Meurah Silu. Setelah berjalan jauh, Meurah Silu tiba di Bukit Talang, ibu kota sebuah kerajaan yang diperintah oleh Meugat Iskandar.
Di ibu kota itu Meurah Silu diperkenankan tinggal. Ia memperkenalkan adu ayam jago. Atraksi itu menarik perhatian banyak orang dari negeri lain hingga mereka berdatangan ke Bukit Talang.
Meugat Iskandar sangat menyukai Meurah Silu. Dia bermusyawarah dengan orang-orang besar dan sepakat menobatkan Meurah Silu menjadi raja mereka. Saudara Meugat Iskandar, Malik al Nasr, tidak setuju. Terjadi peperangan di antara keduanya. Malik al Nasr kalah.
Tidak lama kemudian, Meurah Silu membuka negeri di atas tanah tinggi, diberi nama Samudra, mengikut nama semut besar yang dijumpainya di situ. Dikisahkan pula bahwa menjelang wafat, Nabi Muhammad mewartakan kepada para sahabatnya bahwa di benua bawah angin kelak akan muncul sebuah negeri bernama Samudra.
Ketika Samudra telah berdiri, segera berita itu terdengar ke Mekah. Syarif Mekah memerintah Syekh Ismail, seorang ulama dan sufi terkemuka, agar berlayar ke Samudra bersama 70 pengikutnya untuk mengislamkan raja Samudra. Dalam pelayaran ke Samudra mereka singgah di Mangiri, yang sultannya keturunan Abubakar Siddiq, sedangkan Abu Bakar telah turun tahta menjadi sufi. Abu Bakar Siddiq lalu ikut berlayar ke Samudra bersama Syekh Ismail.
Sebelum kapal Syehk Ismail berlabuh di Samudra, Meurah Silu bermimpi berjumpa Nabi Muhammad dan mengajarinya mengucapkan syahadat dan tata cara salat. Setelah diislamkan, Meurah Silu diberi gelar Sultan Malik al Saleh, mirip dengan nama Sultan Saljug yang masyhur merebut Anatolia, Turki, dari kaisar Byzantium pada abad ke-12 M, yaitu Malik Syah. Setelah itu seluruh rakyat Samudra berbondong-bondong memeluk agama Islam. Setelah itu Malik al Saleh membuka negeri baru, sebuah kota yang strategis, sebagai pelabuhan dagang di Selat Malaka, diberi nama Pasai mengikuti nama anjing kesayangannya yang berhasil menangkap seekor pelanduk ketika negeri baru itu mulai dibuka.
Tidak lama setelah itu, Malik al Saleh mengawini putri sultan Peurlak bernama Putri Ganggang. Dari perkawinan itu lahir seorang laki-laki, Malik al Zahir. Sultan Malik al Saleh wafat pada 1297 M. Pada batu nisan makamnya dipahatkan syair yang indah dalam bahasa Arab karangan Ali bin Abi Thalib.
Tampuk pemerintahan berpindah ke Malik al Zahir. Pada masa pemerintahan Malik al Zahir inilah Ibn Batutah, musafir Arab dari Tangier dua kali mngunjungi Pasai dalam lawatannya menuju Cina, 1316 M. Selain mencatat raja di kerajaan yang disinggahi itu alim dan bijaksana, ia pun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju dan banyak sekali ulama bermazhab Syafi’i dari negeri Arab serta cendekiawan Persia berdatangan dan tinggal lama untuk mengajar di negeri tersebut.
Malik al Zahir digantikan kedua putranya: Malik al Mahmud yang memarintah Samudra, dan Malik al Mansur yang memerintah Pasai. Di bawah pemerintahan mereka, Pasai bertambah makmur dan maju. Raja Siam yang mendengar berita itu merasa iri dan marah. Lantas ia membawa tentara lautnya menyerbu Pasai. Karena ketangguhan angkatan laut Pasai, tentara Siam dikalahkan dan dihalau dari perairan Selat Malaka tanpa pernah kembali lagi untuk menyerang Pasai.
Setelah penyerangan Siam itu terjadilah serangkaian peristiwa yang mencoreng nama baik kerajaan tersebut dan menyebabkan kejatuhannya. Hal itu bersumber dari ulah penguasa Samudra Pasai sendiri.
Pada suatu hari, adik Sultan Malik al Mansur bertamasya dan melalui depan istana abangnya. Ketika itu Sultan Malik al Mahmud sedang berpergian ke pantai. Sebenarnya, mentrinya telah berupaya mencegah Sultan Malik al Mahmud agar tidak ke pantai, karena mentri itu tahu bahwa adik sultan akan melalui depan istana dalam perjalanan tamasyanya. Mentri itu memperoleh firasat akan terjadi peristiwa yang bisa mendatangkan fitnah.
Ketika Sultan Malik al Mansur melewati jalan di depan istana abangnya, seorang perempuan cantik mucul dari istana. Malik al Mansur terpikat pada wanita itu dan sangat birahi. Lantas dengan paksa perempuan itu dibawanya pulang ke istananya. Mendengar berita itu Malik al Mahmud murka dan mencari jalan bagaimana bisa membalas dendam. Suatu hari ia undang sang adik mengahdiri sebuah pesta. Dalam pesta itu Malik al Mansur dibekuk, dan dipenjarakan ke tempat terpencil. Mentri yang mendampingi Malik al Mansur dipenggal kepalanya.
Tidak berapa lama, sultan Malik al Mahmud pun sadar bahwa perbuatannya keliru. Dia lantas menyuruh Tun Perpatih Tulus Agung menjemput Malik al Mansur pulang. Di tengah perjalanan, setelah berziarah ke makam mentrinya yang dihukum mati oleh kakaknya, Malik al Mansur jatuh sakit dan menghembuskan nafas penghabisan di situ juga.
Setelah Sultan Malik al Mahmud wafat, tahta kerajaan jatuh ke tangan putranya, Sultan Ahmad Permadala Permala. Sultan ini sangat menyukai perempuan dan mengawini wanita kapan saja di mau. Dia dikarunia 30 anak. Lima di antaranya seibu dan sebapa, yaitu Tun Berahim Bapa, Tun Abdul Jalil, Tun Abdul Fadhil, Tun Medan Peria, dan Tun Takiah Dara. Tun Berahim Bapa terkenal karena keperwiraannya dan ketangkasannya di medan perang. Tun Abdul Fadhil sangat alim dan gemar mempelajari ilmu agama. Tun Abdul Jalil seperti ayahnya. Dua adik mereka, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara, sangat cantik. Sultan Ahmad sangat birahi kepada dua putrinya itu dan memberi tahukan niatnya akan mengawini dua putri kandungnya tersebut.
Tun Berahim Bapa mendengar berita itu. Segera ia bawa lari kedua adiknya ke Tukas. Sultan Ahmad murka. Berbagai cara dilakukan sultan untuk membunuh putra sulungnya itu, namun selalu gagal. Sultan bertambah murka setelah mengetahui bahwa putranya itu berseda gurau dengan seorang dayang cantik bernama Fatimah Lampau. Pada suatu kesempatan Sultan Ahmad mengajak Tun Berahim Bapa bertamasya dan memberi makanan yang beracun. Karena tidak mau durhaka kepada ayahnya, Tun Berahim Bapa memakan juga makanan itu walaupun tahu dua adik perempuannya yang dia bawa lari mati karena makan racun. Dia pun mati, jenazahnya dimakamkan di Bukit Fadhillah.
Kezaliman Sultan Ahmad tidak berkurang karenanya, dia nekat membunuh Tun Abdul Jalil hanya karena putranya ini dicintai oleh Putri Gemerancang, anak Ratu Majapahit. Ketika Putri Gemerancang tiba di Pasai dan mendengar kematian kekasihnya, dia pun berdoa supaya mati dengan cepat dan kapalnya tenggelam. Terjadilah yang diharapkan itu. Ini menyebabkan raja Majapahit menyerang Pasai. Karena panglima perangnya yang handal, Tun Berahim Bapa, telah tiada, Pasai pun kalah. Dengan penuh penyesalan Sultan Ahmad melarikan diri ke Menduga.
Setelah itu cerita adu kerbau Jawa dan Minangkabau, dan kerbau raja Majapahit kalah melawan kerbau Patih Ketamanggungan dari Minangkabau, uraian diakhiri dengan daftar negeri-negeri Melayu yang ditaklukan oleh Majapahit.
Perkiraan Waktu
Pada umumnya naskah lama tulisan tangan yang sampai kepada kita bukanlah naskah induk, melainkan naskah salinan. Naskah-naskah itu lazim tidak mencantumkan, baik nama pengarang aslinya maupun tahun penyusunannya. Untuk memperkirakan masa penyusunan sebuah naskah, peneliti naskah lama pada umumnya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Cap kertas,
Pada kertas yang digunakan penulis atau penyalin naskah sering terdapat semacam gambaran yang membayang, yang disebut cap kertas. Misalnya, kertas berukuran folio yang capnya menggambarkan seekor singa yang beridiri di atas sebuah kotak yang bertulisan VRYHEID, menurut Churchill bahwa kertas yang seperti itu dibuat pada tahun 1785 M. Perkiraan seperti itu dapat dilakukan terhadap naskah yang menggunakan kertas. Naskah-naskah lontar atau yang menggunakan alas tulis yang lain tidak dapat diperlakukan demikian. Lagi pula, yang dapat diperkirakan hanya batas awal penulisan, bukan titik waktu yang tertentu.
2. Peristiwa sejarah
Sering terjadi bahwa seorang tokoh sejarah atau sebuah peristiwa sejarah disebut-sebut dalam suatu naskah. Dengan demikian, penyebutan waktu hadirnya tokoh itu atau terjadinya peristiwanya tidak sesuai benar dengan rekaman sejarah yang objektif, tetapi tokoh atau peristiwa itu baru dapat disebut-sebut setelah ada atau terjadi. Itu berarti bahwa naskah tersebut pasti disusun setelah tokoh atau peristiwa itu muncul dalam sejarah, tidak mungkin sebelumnya, sehingga ada batas awal.
3. Ejaan
Ejaan juga dapat digunakan sebagai batasan penentu masa penyusunan atau penyalinan sebuah naskah. Naskah-naskah berbahasa Melayu dengan bertulisan Jawi dari kurun waktu tertentu, misalnya, mencantumkan tasydid di atas huruf yang mengikuti suku kata berbunyi e pepet, misalnya, berrindu. Piniadaan konsonan dasar menghasilkan bentuk-bentuk, seperti menengar, juga merupakan gejala ejaan yang menandai kurun waktu tertentu.
4. Pada bagian naskah salinanan ada penambahan kolofon yang memuat nama penyalin dan tempat serta tanggal penyalinan diselesaikan. Apabila dalam kolofon tanggal itu ditulis secara lengkap sampai dengan angka tahunnya, lazimnya digunakan tarikh Hijriah.
Pada sebagian naskah memang ada dicantumkan tanggal yang lengkap, para pembaca tidak segera terbayang masanya karena dewasa ini orang tidak lagi terbiasa menggunakan tarikh Hijriah dalam perhitungan waktu. Oleh karena itu, angka tahun Hijriah oleh para peneliti naskah lama dikonversikan menjadi angka tahun Masehi. Namun, ada juga yang sekaligus mencantumkan tanggal menurut perhitungan tarikh Hijriah dan Masehi.
Kapan Hiakayat Raja-Raja Pasai itu ditulis ? Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan sejak awalnya kerajaan Samudra Pasai dengan rajanya Malikul Saleh, dan hingga berakhirnya kerajaan Pasai di bawah pemerintahan Raja Ahmad yang porak-poranda diserang oleh laskar Majapahit. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang pertama dikarang, sekurang-kurangnya segera setelah Pasai ditaklukan oleh Majapahit, karena hikayat ini tidak lagi menceritakan tentang Raja-Raja Pasai setelah kalah diserang oleh Majapahit. Kapan Majapahit menaklukan Pasai ? Hikayat Raja-Raja Pasai sama sekali tidak menyebutkan angka tahun, kecuali cerita penyerangan Majapahit ke Pasai. Pada akhirnya naskah terdapat kalimat sebagai berikut: bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu Majapahit pada zaman pecahnya negeri Pasai, ratunya bernama Ahmad”.
Dalam kitab Negarakertagama gubahan Prapanca tahun 1365, Samudra termasuk daerah-daerah yang ditaklukan oleh Majapahit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penaklukan Pasai oleh Majapahit terjadi sebelum tahun 1365. Namun, G.E. Marrison berpendapat bahwa invansi Majapahit ke Pasai terjadi pada tahun 1377, lebih lambat dari waktu ditulisnya kitab Negarakertagama. Seandainya pendapat Marrison benar, tentu nama-nama Samudra tidak terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang takluk kepada Majapahit di dalam Negarakertagama tahun 1365. Namun, Sir Richard mengatakan bahwa sangat mungkin Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis pada abad ke-15, antara tahun 1350 dan 1500.
Manuskrip Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat di London, satu-satunya manuskrip yang ada, yaitu berupa salinan dari satu naskah kepunyaan Kiai Suradimenggala, Bupati Sepuh di Demak, salinan itu selesai dikerjakan pada 21 Muharram 1230 H atau 1825 M. Sir Ricard berpendapat bahwa tahun Hijriah yang tertera di sana adalah tahun 1230 H, sehingga menurutnya salinan itu selesai pada tahun 1814 M. Dr. Roolvink membacanya 1235 H dan kemungkinan ini yang lebih tepat, dan tanggal itu sesuai dengan hari Selasa, 9 November 1819. Timbulnya perbedaan tersebut, karena anggka yang terakhir yang tertulis dengan huruf Arab dalam salinan itu dapat diragukan, mungkin dapat dibaca 0 dan mungkin juga 5, hingga menyebabkan timbulnya bacaan yang berbeda.
Kepengarangan
Konsep pengarang dalam sastra lama tidak dapat dipersamakan dengan konsep pengarang dalam sastra modern. Pangarang karya sastra modern jelas orangnya: nama tercantum pada halaman kulit, dan dialah yang memegang hak cipta atas karangannya itu. Tanpa pengetahuan dan izinnya karyanya tidak boleh dikutip dan diperbanyak, apalagi diubah-ubah, walaupun itu semua dilakukan orang dengan maksud mempopulerkannya dan menyempurnakannya. Sebaliknya, pengarang karya sastra lama hanya sedikit yang dikenal.
Pengarang karya sastra lama tidak biasa mencantumkan namanya jelas-jelas pada halaman kulit, pada awal atau akhir kisahnya. Karena yang penting karangan itu sendiri, bukan siapa pengarangnya. Lagi pula, karya itu bukan milik individu pengarangnya, melainkan milik bersama. Individualisme kepengarangan baru dikenal setelah kedatangan orang Barat.
Orang yang bertembungan dengan sebuah karya sastra berhak dan cenderung mengubahnya, mengurangi bagian-bagian tertentu atau menambah episode-episode yang dianggapnya akan menambah kesempurnaan karya tersebut, termasuk mengubah gaya bahasa penyajiannya. Oleh karena itu, yang berlaku sebagai pengarang bukan hanya pengarang aslinya, yang sudah jarang diketahui orang, melainkan juga orang yang membawakannya (tukang cerita) dan para penyalinnya. Meskipun tidak sebagai penggubah langsung, dalam hal ini tidak boleh dilupakan peran khalayak pendengar atau pembaca. Pengubahan karangan tidak jarang disesuaikan dengan selera khalayak pendengan atau pembacanya, baik yang mengenai bentuknya maupun tentang isinya. Demikian pula panjang pendeknya karangan serta urutan peristiwa dalamnya sering ditentukan dengan memperhatikan keinginan pendengar atau pembaca.
Pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai belum dikenal. Dalam hal ini berkata C. Hooykaas: “Amatlah sayang, bahwa hampir semuanya naskah-naskah Melayu itu dalam masa bertahun-tahun amat banyak berubah, dan bahwa kita sedikit sekali tahu tentang nama, kedudukan dan zaman pengarangnya….” Akan tetapi, meskipun nama pengarangnya tidak diketahui, sekurang-kurangnya dengan meneliti isi naskah-naskah tersebut dapat juga diketahui fungsi, tugas, dan zaman pengarang yang dipancarkan oleh pola kebudayaan zaman itu. Oleh karena itu, mengapa Hikayat Raja-Raja Pasai itu dikarang perlu ditinjau latar belakang tempat Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis. Apabila diikuti uraian pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai dapat disimpulkan bahwa pengarangnya adalah termasuk orang dalam kalangan istana Samudra Pasai yang bertugas menyusun kronika dan daftar silsilah mengenai kerajaan itu. Pada saat itu tujuan pengarang adalah memancarkan cahaya yang diinginkan keluarga raja. Dengan uraian penulis yang memberikan tempat sakral kepada Sultan Malik al Saleh, pendiri Kerajaan Samudra Pasai, tampak ada kultus raja di samping usaha pengarang melukiskan kebesaran negerinya sebagai negeri pilihan Tuhan.
Pengaruh kebudayaan Islam sangat kentara, tidak saja karena naskah itu banyak mengandung kata-kata Arab, tetapi isinya bertujuan menyebarkan dan memperteguh kepercayaan agama Islam dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, apabila diperhatikan nasihat yang panjang lebar dari Sultan Malik as Saleh dan Sultan Malik al Mahmud sebelum kedua baginda mangkat, sangat mungkin pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai bermaksud hendak memberikan sifat pragmatis dari hikayat itu supaya dapat menjadi tauladan bagi raja-raja yang berikutnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa Sultan Malik al Mahmud pada suatu hari sadar bahwa ia telah mengirimkan ke pembuangan saudaranya Sultan Malik al Mansur, ia berkata:
“Wah terlalu ahmak bagiku karena perempuan seorang saudaraku kuturunkan dari atas kerajaannya dan mentrinya pun kubunuh”, maka baginda menyesallah lalu ia menangis maka baginda pun bertitah pada seluruh ulubalangnya: “pergilah kamu segera mengambil saudaranya itu karena aku terlalu sekali rindu dendam akan saudaraku”.
Karya Sastra dalam Pandangan Ilmu Sejarah
Dalam kesusastraan Indonesia Lama terdapat sejumlah naskah yang oleh Winstedt dikategorikan ke dalam Malay Histories, misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Silsilah Melayu, dan Bugis. Istilah Malay Histories masih dipermasalahkan, terutama oleh kalangan sejarawan, walaupun karya-karya sastra tersebut menampilkan tokoh-tokoh yang namanya sangat dikenal dalam sejarah. Namun, belum memenuhi persyaratan untuk menjadi karya sejarah, seperti ketepatan waktu, kronologis, dan kebenaran faktual tidak diperhatikan. Dalam karya sastra tersebut banyak sisipan mitos, dongeng, legenda, menyebabkan sejarawan menghadapi kesulitan untuk menemukan fakta kesejarahannya, sehingga tidak dapat sepenuhnya dijadikan sebagai sumber sejarah.
Karya-karya kesusastraan tersebut memang tidak sepenuhnya dimaksudkan sebagai rekaman sejarah untuk dijadikan acuan penyusunan sejarah yang kritis. Karya-karya tersebut lebih tepat disebut sebagai karya sastra sejarah atau karya sastra yang bertema sejarah. Ada beragam prosa dengan judul yang memuat kata sejarah: Sejarah Melayu, Sejarah Raja-Raja Riau; kata hikayat seperti pada Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Banjar, Hikayat Aceh, dan Hikayat Maulana Hasanuddin; kata silsilah seperti pada Silsilah Melayu dan Bugis. Ada pula yang beragam puisi, yaitu syair, seperti Syair Singapura Dimakan Api dan Syair Himop. Dari judulnya dapat diperkirakan bahwa isinya berkaitan dengan suatu kurun waktu tertentu, peristiwa tertentu, atau tokoh tertentu di dalam sejarah. Adapun tujuan penyusunannya pada umumnya seperti yang konon dititahkan oleh Sultan Abdullah Ma’ayah Syah kepada Bendahara Paduka Raja,
Bahwa beta minta perbuatan hikayat pada Bendahara, peri peristiwa dan peraturan segala raja-raja Melayu dengan istiadatnya sekali, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, diingatkannya oleh mereka itu, syahdan beroleh faidahlah ia daripadanya.
Fakta Historis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai
Mengenai pernyataan yang dikemukakan oleh penulis Hikayat Raja-Raja Pasai tentang sejarah Samudra Pasai hingga penyerangan Majapahit, harus dibandingkan dengan beberapa pembuktian lain, yaitu dengan bekas-bekas peninggalan masa tersebut, sehingga dapat dipisahkan mana yang historis dan yang bukan historis. Motif-motif yang legendaris pada mulanya ada juga yang ada faktanya yang kongkrit. Misalnya, mythe asal mulanya Kerajaan Samudra Pasai dapat menceritakan kepada kita bahwa memang ada fakta-fakta yang kongkrit, mengenai didirikannya Samudra itu. Motif mythis-legendaries itu menjadi dongeng, karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum terdapat kodifikasi sehingga semakin jauh dengan peristiwa terjadinya itu semakin timbullah segala macam dongeng yang semakin lama semakin dilebih-lebihkan oleh cerita turun-temurun, terutama untuk mendewa-dewakan raja pendiri kerajaan atau raja yang pertama sekali memeluk agama Islam itu. Keadaan itu, seperti disebutkan pada awal naskah:
Alkisah peri mengatakan cerita raja yang pertama masuk agama Islam ini Pasai, maka ada diceritakan oleh orang yang punya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah.
Sebagai contoh, dalam Sejarah Melayu sama sekali tidak disebutkan Malikul Mahmud yang oleh Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan sebagai anak Malikul Zahir dan cucu Malikul Saleh. Ayah Sultan Ahmad menurut Hikayat Raja-Raja Pasai adalah Malikul Mahmud, sedangkan menurut Sejarah Melayu adalah Malikul Zahir.
Untuk menilai mana antara kedua sumber itu yang mendekati kebenaran, dapat dipergunakan sumber lain yang dapat dipercaya, yaitu sebuah makam yang terindah dari peninggalan Samudra Pasai. Makam itu terbuat dari batu pualam kepunyaan seorang raja putri, menurut Snouck Hurgronje adalah Bahiyah namanya, namun menurut penelitian lain namanya Nahrasiyah. Nisannya bertulisan Arab dengan bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia berbunyi:
Ini makam seorang wanita yang bercahaya dan suci, baginda yang terhormat, yang meninggal, yang diampunkan dosanya, raja di atas segala raja…dan yang menghidmatkan agama Islam ialah Nahrasiyah anak Sultan Al Sahid Zainul Abidin, anak Sultan Ahmad, anak Sultan Muhammad anak baginda Malikul Saleh. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan ampunan Tuhan dosanya, meninggal dengan rahmat Allah pada hari Senin, empat belas bulan Zulhijjah tahun 811 hijriah Nabi saw.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hal ini geneologi Sejarah Melayu yang lebih dapat diterima. Hal itu, karena ada pembuktian makam yang mendukung geneologi tersebut.
Penutup
Hikayat Raja-Raja Pasai tidak disusun dengan tujuan menyajikan rekaman sejarah dalam arti yang modern walaupun tokoh-tokoh yang ditampilkan, peristiwa-peristiwa yang dikisahkan, dan latar tempat yang digunakan pernah ada dan terjadi. Hikayat Raja-Raja Pasai tidak dapat berfungsi sebagai sumber informasi kesejarahan yang akurat, tetapi dapat menjelaskan pandangan orang-orang Pasai dan nilai-nilai yang berlaku pada masa itu.
Pengetahuan tentang situasi kesejarahan pada waktu penyusunan sebuah karya sastra sangat membantu dalam usaha memahami makna karya itu bagi penyusunan dan khalayak pendukungnya. Hikayat Raja-Raja Pasai digubah untuk menegakkan Kerajaan Pasai melalui penggambaran sifat-sifat terpuji Sultan Malik as Saleh. Selain itu, juga menggambarkan sifat-sifat jelek penguasa selanjutnya dan akibat dari perbuatan jeleknya itu. Hal itu, dimaksudkan untuk menjadi pelajaran bahwa setiap kezaliman itu akibatnya tidak baik.
Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Sudirman [http://dirmanmanggeng.blogspot.com/]. Sudirman atau Dirman Manggeng adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.
http://plik-u.com/?p=766
Hikayat Raja-Raja Pasai pertama kali diterbitkan oleh seorang Perancis bernama Ed. Dulaurier pada tahun 1849 M dalam Collection Principle Cronique Malayes. Ia menerbitkannya dalam huruf Arab berdasarkan manuskrip yang dibawa oleh Sir Thomas Stanford Raffles ke London yang sampai sekarang masih ada di sana dalam perpustakaan Royal Asiatic Society. Pada tahun 1914 M terbit versi yang dihuruflatinkan oleh J.P. Mead yang juga berasal dari manuskrip London tersebut di atas. Di samping itu, terdapat pula transkripsi Hikayat Raja-Raja Pasai beserta pembicaraannya dalam Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, 1960, yang dikerjakan oleh A.H. Hill. Menurt T. Iskandar, Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan karya sejarah tertua dari zaman Islam.
Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat dua versi. Pertama ialah cerita Pasai yang terdapat dalah naskah Sejarah Melayu, yakni riwayat yang berakhir dengan mangkatnya Sultan Malik al Dzahir dan naiknya tahta kerajaan Sultan Ahmad. Kedua adalah versi Hikayat Raja-Raja Pasai yang diwakili oleh Raffles seperti tersebut di atas. R.O. Winstedt menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai mempunyai persamaan-persamaan, baik dalam pokok pembicaraan maupun susunan ayatnya. Ia mengatakan, penyusun Sejarah Melayu telah meniru, memparafrasakan dan menyalin Hikayat Raja-Raja Pasai. Winstedt berkesimpulan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai ialah teks yang tertua dari kedua karya itu (Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai). Namun, R. Roolvink menyatakan, tidak mudah untuk menentukan antara kedua teks itu dan mungkin sekali penyusun Sejarah Melayu telah menggunakan teks Hikayat Raja-Raja Pasai yang lain, sehingga terjadi perbedaan penting antara kedua teks itu dari segi nama dan detail-detail lainnya.
Menurut A. Teeuw bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai berdasarkan internal evidence tidak mungkin dikarang sebelum Sejarah Melayu, tetapi sebaliknya. Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis berdasarkan suatu versi asal Sejarah Melayu untuk kemegahan kerajaan Pasai dengan berbagai tambahan dan perubahan. Namun, Amin Sweeney menentang pendapat itu dan berdasarkan internal evidence pula menyatakan dengan sangat meyakinkan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang digunakan oleh pengarang bagian pertama Sejarah Melayu.
Ikhtisar
Isi naskah Hikayat Raja-Raja Pasai menyangkut sejarah negeri Pasai sekitar pertengahan abad ke-13, masa pengislaman Tanah Pasai hingga pertengahan abad ke-14, dan waktu penaklukan Pasai oleh Majapahit. Secara lebih rinci isi Hikayat Raja-Raja Pasai dapat dibagi menjadi enam bagian, meskipun dalam manuskrip tersebut tidak ada pembagian ini. Lima bagian pertama adalah cerita mengenai Samudra Pasai, sedangkan yang keenam sama sekali tidak menyinggunga Pasai, tetapi mengenai penaklukan Nusantara oleh Patih Gajah Mada atas perintah Sang Nata Majapahit. Dalam bagian terakhir itu juga dibicarakan penaklukan sebagian pulau Perca, yakni Minangkabau, yang tidak dilakukan dengan peperangan tetapi dengan adu kerbau. Tentara Jawa kalah dalam penaklukan itu. Naskah Hikayat Raja-Raja Pasai yang mula-mula besar kemungkinannya tidak mengandung bagian yang keenam itu. Apabila itu benar, maka bagian yang keenam itu adalah tambahan yang kemudian, mungkin ditulis oleh pengarang lain dan ditambahkannya kepada naskah Hikayat Raja-Raja Pasai.
Hikayat Raja-Raja Pasai dimulai dengan dua kisah bersaudara Raja Muhammad dan Raja Ahmad yang sedang membangun sebuah negeri di Samalanga. Ketika menebas hutan, Raja Muhammad menemukan seorang anak perempuan muncul dari pokok bambu. Anak itu diberi nama Puteri Betung. Raja Ahmad mendapat seorang anak laki-laki yang dibawa oleh seekor gajah, anak itu diberi nama Meurah Gajah. Setelah dewasa keduanya dinikahkan, dan pasangan ini mempunyai dua orang putra, yaitu Meurah Silu dan Meurah Hasum. Pada suatu hari Meurah Gajah melihat sehelai rambut Putri Beutung berwarna emas. Dia minta agar rambut itu dicabut. Istrinya menolak dan mengingatkan, apabila rambut itu dicabut akan terjadi perceraian di antara mereka. Namun, Meurah Gajah memaksa mencabutnya, sehingga keluar darah putih dari kepala Putri Betung dan matilah ia. Karena peristiwa itu, terjadilah peperangan antara Raja Muhammad dan Raja Ahmad. Banyak prajurit dari kedua belah pihak tewas, dan akhirnya kedua raja itu pun menemukan ajalnya dalam peperangan itu.
Setelah perang selesai, Meurah Silu dan Meurah Hasum sepakat meninggalkan Samalanga untuk membuka negeri lain. Mereka berjalan sampai ke Beurana (Bireuen). Di hulu sungai, Meurah Silu menemukan cacing gelang-gelang yang kemudian berubah menjadi emas dan perak. Dengan emas itu ia mengupah orang menangkap kerbau liar untuk dijinakkan. Pekerjaan itu tidak disukai oleh Meurah Hasum. Diusirlah Meurah Silu. Setelah berjalan jauh, Meurah Silu tiba di Bukit Talang, ibu kota sebuah kerajaan yang diperintah oleh Meugat Iskandar.
Di ibu kota itu Meurah Silu diperkenankan tinggal. Ia memperkenalkan adu ayam jago. Atraksi itu menarik perhatian banyak orang dari negeri lain hingga mereka berdatangan ke Bukit Talang.
Meugat Iskandar sangat menyukai Meurah Silu. Dia bermusyawarah dengan orang-orang besar dan sepakat menobatkan Meurah Silu menjadi raja mereka. Saudara Meugat Iskandar, Malik al Nasr, tidak setuju. Terjadi peperangan di antara keduanya. Malik al Nasr kalah.
Tidak lama kemudian, Meurah Silu membuka negeri di atas tanah tinggi, diberi nama Samudra, mengikut nama semut besar yang dijumpainya di situ. Dikisahkan pula bahwa menjelang wafat, Nabi Muhammad mewartakan kepada para sahabatnya bahwa di benua bawah angin kelak akan muncul sebuah negeri bernama Samudra.
Ketika Samudra telah berdiri, segera berita itu terdengar ke Mekah. Syarif Mekah memerintah Syekh Ismail, seorang ulama dan sufi terkemuka, agar berlayar ke Samudra bersama 70 pengikutnya untuk mengislamkan raja Samudra. Dalam pelayaran ke Samudra mereka singgah di Mangiri, yang sultannya keturunan Abubakar Siddiq, sedangkan Abu Bakar telah turun tahta menjadi sufi. Abu Bakar Siddiq lalu ikut berlayar ke Samudra bersama Syekh Ismail.
Sebelum kapal Syehk Ismail berlabuh di Samudra, Meurah Silu bermimpi berjumpa Nabi Muhammad dan mengajarinya mengucapkan syahadat dan tata cara salat. Setelah diislamkan, Meurah Silu diberi gelar Sultan Malik al Saleh, mirip dengan nama Sultan Saljug yang masyhur merebut Anatolia, Turki, dari kaisar Byzantium pada abad ke-12 M, yaitu Malik Syah. Setelah itu seluruh rakyat Samudra berbondong-bondong memeluk agama Islam. Setelah itu Malik al Saleh membuka negeri baru, sebuah kota yang strategis, sebagai pelabuhan dagang di Selat Malaka, diberi nama Pasai mengikuti nama anjing kesayangannya yang berhasil menangkap seekor pelanduk ketika negeri baru itu mulai dibuka.
Tidak lama setelah itu, Malik al Saleh mengawini putri sultan Peurlak bernama Putri Ganggang. Dari perkawinan itu lahir seorang laki-laki, Malik al Zahir. Sultan Malik al Saleh wafat pada 1297 M. Pada batu nisan makamnya dipahatkan syair yang indah dalam bahasa Arab karangan Ali bin Abi Thalib.
Tampuk pemerintahan berpindah ke Malik al Zahir. Pada masa pemerintahan Malik al Zahir inilah Ibn Batutah, musafir Arab dari Tangier dua kali mngunjungi Pasai dalam lawatannya menuju Cina, 1316 M. Selain mencatat raja di kerajaan yang disinggahi itu alim dan bijaksana, ia pun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju dan banyak sekali ulama bermazhab Syafi’i dari negeri Arab serta cendekiawan Persia berdatangan dan tinggal lama untuk mengajar di negeri tersebut.
Malik al Zahir digantikan kedua putranya: Malik al Mahmud yang memarintah Samudra, dan Malik al Mansur yang memerintah Pasai. Di bawah pemerintahan mereka, Pasai bertambah makmur dan maju. Raja Siam yang mendengar berita itu merasa iri dan marah. Lantas ia membawa tentara lautnya menyerbu Pasai. Karena ketangguhan angkatan laut Pasai, tentara Siam dikalahkan dan dihalau dari perairan Selat Malaka tanpa pernah kembali lagi untuk menyerang Pasai.
Setelah penyerangan Siam itu terjadilah serangkaian peristiwa yang mencoreng nama baik kerajaan tersebut dan menyebabkan kejatuhannya. Hal itu bersumber dari ulah penguasa Samudra Pasai sendiri.
Pada suatu hari, adik Sultan Malik al Mansur bertamasya dan melalui depan istana abangnya. Ketika itu Sultan Malik al Mahmud sedang berpergian ke pantai. Sebenarnya, mentrinya telah berupaya mencegah Sultan Malik al Mahmud agar tidak ke pantai, karena mentri itu tahu bahwa adik sultan akan melalui depan istana dalam perjalanan tamasyanya. Mentri itu memperoleh firasat akan terjadi peristiwa yang bisa mendatangkan fitnah.
Ketika Sultan Malik al Mansur melewati jalan di depan istana abangnya, seorang perempuan cantik mucul dari istana. Malik al Mansur terpikat pada wanita itu dan sangat birahi. Lantas dengan paksa perempuan itu dibawanya pulang ke istananya. Mendengar berita itu Malik al Mahmud murka dan mencari jalan bagaimana bisa membalas dendam. Suatu hari ia undang sang adik mengahdiri sebuah pesta. Dalam pesta itu Malik al Mansur dibekuk, dan dipenjarakan ke tempat terpencil. Mentri yang mendampingi Malik al Mansur dipenggal kepalanya.
Tidak berapa lama, sultan Malik al Mahmud pun sadar bahwa perbuatannya keliru. Dia lantas menyuruh Tun Perpatih Tulus Agung menjemput Malik al Mansur pulang. Di tengah perjalanan, setelah berziarah ke makam mentrinya yang dihukum mati oleh kakaknya, Malik al Mansur jatuh sakit dan menghembuskan nafas penghabisan di situ juga.
Setelah Sultan Malik al Mahmud wafat, tahta kerajaan jatuh ke tangan putranya, Sultan Ahmad Permadala Permala. Sultan ini sangat menyukai perempuan dan mengawini wanita kapan saja di mau. Dia dikarunia 30 anak. Lima di antaranya seibu dan sebapa, yaitu Tun Berahim Bapa, Tun Abdul Jalil, Tun Abdul Fadhil, Tun Medan Peria, dan Tun Takiah Dara. Tun Berahim Bapa terkenal karena keperwiraannya dan ketangkasannya di medan perang. Tun Abdul Fadhil sangat alim dan gemar mempelajari ilmu agama. Tun Abdul Jalil seperti ayahnya. Dua adik mereka, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara, sangat cantik. Sultan Ahmad sangat birahi kepada dua putrinya itu dan memberi tahukan niatnya akan mengawini dua putri kandungnya tersebut.
Tun Berahim Bapa mendengar berita itu. Segera ia bawa lari kedua adiknya ke Tukas. Sultan Ahmad murka. Berbagai cara dilakukan sultan untuk membunuh putra sulungnya itu, namun selalu gagal. Sultan bertambah murka setelah mengetahui bahwa putranya itu berseda gurau dengan seorang dayang cantik bernama Fatimah Lampau. Pada suatu kesempatan Sultan Ahmad mengajak Tun Berahim Bapa bertamasya dan memberi makanan yang beracun. Karena tidak mau durhaka kepada ayahnya, Tun Berahim Bapa memakan juga makanan itu walaupun tahu dua adik perempuannya yang dia bawa lari mati karena makan racun. Dia pun mati, jenazahnya dimakamkan di Bukit Fadhillah.
Kezaliman Sultan Ahmad tidak berkurang karenanya, dia nekat membunuh Tun Abdul Jalil hanya karena putranya ini dicintai oleh Putri Gemerancang, anak Ratu Majapahit. Ketika Putri Gemerancang tiba di Pasai dan mendengar kematian kekasihnya, dia pun berdoa supaya mati dengan cepat dan kapalnya tenggelam. Terjadilah yang diharapkan itu. Ini menyebabkan raja Majapahit menyerang Pasai. Karena panglima perangnya yang handal, Tun Berahim Bapa, telah tiada, Pasai pun kalah. Dengan penuh penyesalan Sultan Ahmad melarikan diri ke Menduga.
Setelah itu cerita adu kerbau Jawa dan Minangkabau, dan kerbau raja Majapahit kalah melawan kerbau Patih Ketamanggungan dari Minangkabau, uraian diakhiri dengan daftar negeri-negeri Melayu yang ditaklukan oleh Majapahit.
Perkiraan Waktu
Pada umumnya naskah lama tulisan tangan yang sampai kepada kita bukanlah naskah induk, melainkan naskah salinan. Naskah-naskah itu lazim tidak mencantumkan, baik nama pengarang aslinya maupun tahun penyusunannya. Untuk memperkirakan masa penyusunan sebuah naskah, peneliti naskah lama pada umumnya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Cap kertas,
Pada kertas yang digunakan penulis atau penyalin naskah sering terdapat semacam gambaran yang membayang, yang disebut cap kertas. Misalnya, kertas berukuran folio yang capnya menggambarkan seekor singa yang beridiri di atas sebuah kotak yang bertulisan VRYHEID, menurut Churchill bahwa kertas yang seperti itu dibuat pada tahun 1785 M. Perkiraan seperti itu dapat dilakukan terhadap naskah yang menggunakan kertas. Naskah-naskah lontar atau yang menggunakan alas tulis yang lain tidak dapat diperlakukan demikian. Lagi pula, yang dapat diperkirakan hanya batas awal penulisan, bukan titik waktu yang tertentu.
2. Peristiwa sejarah
Sering terjadi bahwa seorang tokoh sejarah atau sebuah peristiwa sejarah disebut-sebut dalam suatu naskah. Dengan demikian, penyebutan waktu hadirnya tokoh itu atau terjadinya peristiwanya tidak sesuai benar dengan rekaman sejarah yang objektif, tetapi tokoh atau peristiwa itu baru dapat disebut-sebut setelah ada atau terjadi. Itu berarti bahwa naskah tersebut pasti disusun setelah tokoh atau peristiwa itu muncul dalam sejarah, tidak mungkin sebelumnya, sehingga ada batas awal.
3. Ejaan
Ejaan juga dapat digunakan sebagai batasan penentu masa penyusunan atau penyalinan sebuah naskah. Naskah-naskah berbahasa Melayu dengan bertulisan Jawi dari kurun waktu tertentu, misalnya, mencantumkan tasydid di atas huruf yang mengikuti suku kata berbunyi e pepet, misalnya, berrindu. Piniadaan konsonan dasar menghasilkan bentuk-bentuk, seperti menengar, juga merupakan gejala ejaan yang menandai kurun waktu tertentu.
4. Pada bagian naskah salinanan ada penambahan kolofon yang memuat nama penyalin dan tempat serta tanggal penyalinan diselesaikan. Apabila dalam kolofon tanggal itu ditulis secara lengkap sampai dengan angka tahunnya, lazimnya digunakan tarikh Hijriah.
Pada sebagian naskah memang ada dicantumkan tanggal yang lengkap, para pembaca tidak segera terbayang masanya karena dewasa ini orang tidak lagi terbiasa menggunakan tarikh Hijriah dalam perhitungan waktu. Oleh karena itu, angka tahun Hijriah oleh para peneliti naskah lama dikonversikan menjadi angka tahun Masehi. Namun, ada juga yang sekaligus mencantumkan tanggal menurut perhitungan tarikh Hijriah dan Masehi.
Kapan Hiakayat Raja-Raja Pasai itu ditulis ? Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan sejak awalnya kerajaan Samudra Pasai dengan rajanya Malikul Saleh, dan hingga berakhirnya kerajaan Pasai di bawah pemerintahan Raja Ahmad yang porak-poranda diserang oleh laskar Majapahit. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang pertama dikarang, sekurang-kurangnya segera setelah Pasai ditaklukan oleh Majapahit, karena hikayat ini tidak lagi menceritakan tentang Raja-Raja Pasai setelah kalah diserang oleh Majapahit. Kapan Majapahit menaklukan Pasai ? Hikayat Raja-Raja Pasai sama sekali tidak menyebutkan angka tahun, kecuali cerita penyerangan Majapahit ke Pasai. Pada akhirnya naskah terdapat kalimat sebagai berikut: bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu Majapahit pada zaman pecahnya negeri Pasai, ratunya bernama Ahmad”.
Dalam kitab Negarakertagama gubahan Prapanca tahun 1365, Samudra termasuk daerah-daerah yang ditaklukan oleh Majapahit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penaklukan Pasai oleh Majapahit terjadi sebelum tahun 1365. Namun, G.E. Marrison berpendapat bahwa invansi Majapahit ke Pasai terjadi pada tahun 1377, lebih lambat dari waktu ditulisnya kitab Negarakertagama. Seandainya pendapat Marrison benar, tentu nama-nama Samudra tidak terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang takluk kepada Majapahit di dalam Negarakertagama tahun 1365. Namun, Sir Richard mengatakan bahwa sangat mungkin Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis pada abad ke-15, antara tahun 1350 dan 1500.
Manuskrip Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat di London, satu-satunya manuskrip yang ada, yaitu berupa salinan dari satu naskah kepunyaan Kiai Suradimenggala, Bupati Sepuh di Demak, salinan itu selesai dikerjakan pada 21 Muharram 1230 H atau 1825 M. Sir Ricard berpendapat bahwa tahun Hijriah yang tertera di sana adalah tahun 1230 H, sehingga menurutnya salinan itu selesai pada tahun 1814 M. Dr. Roolvink membacanya 1235 H dan kemungkinan ini yang lebih tepat, dan tanggal itu sesuai dengan hari Selasa, 9 November 1819. Timbulnya perbedaan tersebut, karena anggka yang terakhir yang tertulis dengan huruf Arab dalam salinan itu dapat diragukan, mungkin dapat dibaca 0 dan mungkin juga 5, hingga menyebabkan timbulnya bacaan yang berbeda.
Kepengarangan
Konsep pengarang dalam sastra lama tidak dapat dipersamakan dengan konsep pengarang dalam sastra modern. Pangarang karya sastra modern jelas orangnya: nama tercantum pada halaman kulit, dan dialah yang memegang hak cipta atas karangannya itu. Tanpa pengetahuan dan izinnya karyanya tidak boleh dikutip dan diperbanyak, apalagi diubah-ubah, walaupun itu semua dilakukan orang dengan maksud mempopulerkannya dan menyempurnakannya. Sebaliknya, pengarang karya sastra lama hanya sedikit yang dikenal.
Pengarang karya sastra lama tidak biasa mencantumkan namanya jelas-jelas pada halaman kulit, pada awal atau akhir kisahnya. Karena yang penting karangan itu sendiri, bukan siapa pengarangnya. Lagi pula, karya itu bukan milik individu pengarangnya, melainkan milik bersama. Individualisme kepengarangan baru dikenal setelah kedatangan orang Barat.
Orang yang bertembungan dengan sebuah karya sastra berhak dan cenderung mengubahnya, mengurangi bagian-bagian tertentu atau menambah episode-episode yang dianggapnya akan menambah kesempurnaan karya tersebut, termasuk mengubah gaya bahasa penyajiannya. Oleh karena itu, yang berlaku sebagai pengarang bukan hanya pengarang aslinya, yang sudah jarang diketahui orang, melainkan juga orang yang membawakannya (tukang cerita) dan para penyalinnya. Meskipun tidak sebagai penggubah langsung, dalam hal ini tidak boleh dilupakan peran khalayak pendengar atau pembaca. Pengubahan karangan tidak jarang disesuaikan dengan selera khalayak pendengan atau pembacanya, baik yang mengenai bentuknya maupun tentang isinya. Demikian pula panjang pendeknya karangan serta urutan peristiwa dalamnya sering ditentukan dengan memperhatikan keinginan pendengar atau pembaca.
Pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai belum dikenal. Dalam hal ini berkata C. Hooykaas: “Amatlah sayang, bahwa hampir semuanya naskah-naskah Melayu itu dalam masa bertahun-tahun amat banyak berubah, dan bahwa kita sedikit sekali tahu tentang nama, kedudukan dan zaman pengarangnya….” Akan tetapi, meskipun nama pengarangnya tidak diketahui, sekurang-kurangnya dengan meneliti isi naskah-naskah tersebut dapat juga diketahui fungsi, tugas, dan zaman pengarang yang dipancarkan oleh pola kebudayaan zaman itu. Oleh karena itu, mengapa Hikayat Raja-Raja Pasai itu dikarang perlu ditinjau latar belakang tempat Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis. Apabila diikuti uraian pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai dapat disimpulkan bahwa pengarangnya adalah termasuk orang dalam kalangan istana Samudra Pasai yang bertugas menyusun kronika dan daftar silsilah mengenai kerajaan itu. Pada saat itu tujuan pengarang adalah memancarkan cahaya yang diinginkan keluarga raja. Dengan uraian penulis yang memberikan tempat sakral kepada Sultan Malik al Saleh, pendiri Kerajaan Samudra Pasai, tampak ada kultus raja di samping usaha pengarang melukiskan kebesaran negerinya sebagai negeri pilihan Tuhan.
Pengaruh kebudayaan Islam sangat kentara, tidak saja karena naskah itu banyak mengandung kata-kata Arab, tetapi isinya bertujuan menyebarkan dan memperteguh kepercayaan agama Islam dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, apabila diperhatikan nasihat yang panjang lebar dari Sultan Malik as Saleh dan Sultan Malik al Mahmud sebelum kedua baginda mangkat, sangat mungkin pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai bermaksud hendak memberikan sifat pragmatis dari hikayat itu supaya dapat menjadi tauladan bagi raja-raja yang berikutnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa Sultan Malik al Mahmud pada suatu hari sadar bahwa ia telah mengirimkan ke pembuangan saudaranya Sultan Malik al Mansur, ia berkata:
“Wah terlalu ahmak bagiku karena perempuan seorang saudaraku kuturunkan dari atas kerajaannya dan mentrinya pun kubunuh”, maka baginda menyesallah lalu ia menangis maka baginda pun bertitah pada seluruh ulubalangnya: “pergilah kamu segera mengambil saudaranya itu karena aku terlalu sekali rindu dendam akan saudaraku”.
Karya Sastra dalam Pandangan Ilmu Sejarah
Dalam kesusastraan Indonesia Lama terdapat sejumlah naskah yang oleh Winstedt dikategorikan ke dalam Malay Histories, misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Silsilah Melayu, dan Bugis. Istilah Malay Histories masih dipermasalahkan, terutama oleh kalangan sejarawan, walaupun karya-karya sastra tersebut menampilkan tokoh-tokoh yang namanya sangat dikenal dalam sejarah. Namun, belum memenuhi persyaratan untuk menjadi karya sejarah, seperti ketepatan waktu, kronologis, dan kebenaran faktual tidak diperhatikan. Dalam karya sastra tersebut banyak sisipan mitos, dongeng, legenda, menyebabkan sejarawan menghadapi kesulitan untuk menemukan fakta kesejarahannya, sehingga tidak dapat sepenuhnya dijadikan sebagai sumber sejarah.
Karya-karya kesusastraan tersebut memang tidak sepenuhnya dimaksudkan sebagai rekaman sejarah untuk dijadikan acuan penyusunan sejarah yang kritis. Karya-karya tersebut lebih tepat disebut sebagai karya sastra sejarah atau karya sastra yang bertema sejarah. Ada beragam prosa dengan judul yang memuat kata sejarah: Sejarah Melayu, Sejarah Raja-Raja Riau; kata hikayat seperti pada Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Banjar, Hikayat Aceh, dan Hikayat Maulana Hasanuddin; kata silsilah seperti pada Silsilah Melayu dan Bugis. Ada pula yang beragam puisi, yaitu syair, seperti Syair Singapura Dimakan Api dan Syair Himop. Dari judulnya dapat diperkirakan bahwa isinya berkaitan dengan suatu kurun waktu tertentu, peristiwa tertentu, atau tokoh tertentu di dalam sejarah. Adapun tujuan penyusunannya pada umumnya seperti yang konon dititahkan oleh Sultan Abdullah Ma’ayah Syah kepada Bendahara Paduka Raja,
Bahwa beta minta perbuatan hikayat pada Bendahara, peri peristiwa dan peraturan segala raja-raja Melayu dengan istiadatnya sekali, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, diingatkannya oleh mereka itu, syahdan beroleh faidahlah ia daripadanya.
Fakta Historis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai
Mengenai pernyataan yang dikemukakan oleh penulis Hikayat Raja-Raja Pasai tentang sejarah Samudra Pasai hingga penyerangan Majapahit, harus dibandingkan dengan beberapa pembuktian lain, yaitu dengan bekas-bekas peninggalan masa tersebut, sehingga dapat dipisahkan mana yang historis dan yang bukan historis. Motif-motif yang legendaris pada mulanya ada juga yang ada faktanya yang kongkrit. Misalnya, mythe asal mulanya Kerajaan Samudra Pasai dapat menceritakan kepada kita bahwa memang ada fakta-fakta yang kongkrit, mengenai didirikannya Samudra itu. Motif mythis-legendaries itu menjadi dongeng, karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum terdapat kodifikasi sehingga semakin jauh dengan peristiwa terjadinya itu semakin timbullah segala macam dongeng yang semakin lama semakin dilebih-lebihkan oleh cerita turun-temurun, terutama untuk mendewa-dewakan raja pendiri kerajaan atau raja yang pertama sekali memeluk agama Islam itu. Keadaan itu, seperti disebutkan pada awal naskah:
Alkisah peri mengatakan cerita raja yang pertama masuk agama Islam ini Pasai, maka ada diceritakan oleh orang yang punya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah.
Sebagai contoh, dalam Sejarah Melayu sama sekali tidak disebutkan Malikul Mahmud yang oleh Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan sebagai anak Malikul Zahir dan cucu Malikul Saleh. Ayah Sultan Ahmad menurut Hikayat Raja-Raja Pasai adalah Malikul Mahmud, sedangkan menurut Sejarah Melayu adalah Malikul Zahir.
Untuk menilai mana antara kedua sumber itu yang mendekati kebenaran, dapat dipergunakan sumber lain yang dapat dipercaya, yaitu sebuah makam yang terindah dari peninggalan Samudra Pasai. Makam itu terbuat dari batu pualam kepunyaan seorang raja putri, menurut Snouck Hurgronje adalah Bahiyah namanya, namun menurut penelitian lain namanya Nahrasiyah. Nisannya bertulisan Arab dengan bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia berbunyi:
Ini makam seorang wanita yang bercahaya dan suci, baginda yang terhormat, yang meninggal, yang diampunkan dosanya, raja di atas segala raja…dan yang menghidmatkan agama Islam ialah Nahrasiyah anak Sultan Al Sahid Zainul Abidin, anak Sultan Ahmad, anak Sultan Muhammad anak baginda Malikul Saleh. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan ampunan Tuhan dosanya, meninggal dengan rahmat Allah pada hari Senin, empat belas bulan Zulhijjah tahun 811 hijriah Nabi saw.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hal ini geneologi Sejarah Melayu yang lebih dapat diterima. Hal itu, karena ada pembuktian makam yang mendukung geneologi tersebut.
Penutup
Hikayat Raja-Raja Pasai tidak disusun dengan tujuan menyajikan rekaman sejarah dalam arti yang modern walaupun tokoh-tokoh yang ditampilkan, peristiwa-peristiwa yang dikisahkan, dan latar tempat yang digunakan pernah ada dan terjadi. Hikayat Raja-Raja Pasai tidak dapat berfungsi sebagai sumber informasi kesejarahan yang akurat, tetapi dapat menjelaskan pandangan orang-orang Pasai dan nilai-nilai yang berlaku pada masa itu.
Pengetahuan tentang situasi kesejarahan pada waktu penyusunan sebuah karya sastra sangat membantu dalam usaha memahami makna karya itu bagi penyusunan dan khalayak pendukungnya. Hikayat Raja-Raja Pasai digubah untuk menegakkan Kerajaan Pasai melalui penggambaran sifat-sifat terpuji Sultan Malik as Saleh. Selain itu, juga menggambarkan sifat-sifat jelek penguasa selanjutnya dan akibat dari perbuatan jeleknya itu. Hal itu, dimaksudkan untuk menjadi pelajaran bahwa setiap kezaliman itu akibatnya tidak baik.
Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Sudirman [http://dirmanmanggeng.blogspot.com/]. Sudirman atau Dirman Manggeng adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.
http://plik-u.com/?p=766