Oleh: Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo
(Baca: Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh-Badan Perpustakaan Prov. NAD)
Yang disebut Aceh ialah daerah yang sekarang dinamakan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Tetapi pada masa Aceh masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh ialah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar atau dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk. Untuk nama ini ada juga orang yang menyebutkan dengan nama Aceh Lhee Sago (Aceh tiga sagi). Selain itu ada juga yang menyebut dengan nama Aceh inti (Aceh Proper), atau Aceh sebenarnya, karena daerah itulah pada mulanya yang menjadi inti Kerajaan Aceh dan juga karena disitulah terletak ibukota kerajaannya . Nama Aceh sering juga digunakan oleh orang-orang Aceh untuk menyebut ibukota kerajaannya, yakni yang bernama Bandar Aceh atau secara lengkapnya Bandar Aceh Darus Salam.(Baca: Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh-Badan Perpustakaan Prov. NAD)
Tentang nama Aceh belum ada suatu kepastian dari mana asalnya dan kapan nama Aceh itu mulai digunakan. Menurut catatan T.Iskandar dalam desertasinya De Hikayat Atjeh, nama Aceh sudah tua sekali, jikapun tidak sama tuanya tetapi tidak lebih dari nama Lamri atau Lamuri . Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang-orang Portugis dan Italia menyebutnya dengan nama Achem, Achen dan Aceh, orang Arab menyebut Asyi, Dachem, Dagin dan Dacin sedang orang Cina menyebutnya dengan nama Atje dan Tashi.
Menurut adat Atjeh yang ditraskripsikan oleh Teungku Anzib Lamnyong pada tahun 1971, yang diambil dari Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land en Volkenkunde jilid XXVI (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1958) , pada Hijrah Nabi S.A.W 601, kerajaan Aceh diislamkan oleh seseorang yang bernama Sulthan Jauha Syah yang datang dari negeri atas angin . Pengislaman ini bersamaan dengan dinobatkannya sultan yang pertama yaitu Sultan Johan Syah yang memerintah sejak tahun 601 H atau 1205 M hingga 631 H atau 1235 M. lebih lanjut Adat Atjeh itu memberitakan bahwa Sulthan Johan Syah memperisterikan seorang anak balu (Raden Husein Djajadiningrat menyebutnya dengan istilah peri, nimf) , yang bertempat tinggal di Kandang Aceh, yaitu sebuah dusun, sekarang tidak berapa jauh dari Banda Aceh. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Sulthan Ahmad dan sesudah naik tahta kerajaan menggantikan orang tuanya digelari dengan nama Paduka Seri Sulthan Riayat Syah . Sulthan ini memerintah hingga tahun 665 H atau tahun 1269 M. Yang menggantikan Sulthan Riayat Syah ialah yang bergelar Paduka Seri Sulthan Mahmud Syah. Sesudah memerintah selama 43 tahun, sulthan ini memindahkan singgasana kesultanan Aceh yang sebelumnya berada di Kandang Aceh ke Kuta Dalam yang bernama Dar ad Dunia .
Tentang nama Kandang Aceh tidak banyak diketahui dan disebut-sebut oleh pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang asing sebelum tahun 1500 M. Hal ini mungkin karena letak Kandang Aceh itu sebagai sebuah tempat yang kurang berarti, karena letaknya lebih dari 1 mil ke arah pedalaman. Dan karena Kerajaan Axeh sebagai sebuah kerajaan kecil yang belum berperanan hingga tahun 1500 M, maka kerajaan ini berada di bawah pengaruh kerajaan tetangganya yang lebih berperanan pada masa itu, yaitu kerajaan Pedir.
Menurut R.A. Hoesein Djajadiningrat, yang mendasarkan penelitiannya atas naskah Adat Atjeh, silsilah sulthan-sulthan yang pernah memerintah di Kerajaan Aceh sebelum tahun 1514 M adalah sebagai berikut:
1. Sulthan Johan Syah [601-631 H]
2. Sulthan Riayat Syah, anak dari Johan Syah yang pada mulanya disebut Sulthan Ahmad [631-665 H]
3. Sulthan Mahmud Syah, anak dari Riayat Syah [665-708 H]
4. Sulthan Firman Syah [708-755 H]
5. Mansur Syah [755-811 H]
6. Sulthan Alaidin Johan Syah dari Mansur Syah [811-870 H]
7. Sulthan Husein Syah [870-901 H]
8. Sulthan Ali Riayat Syah [901-917 H]
9. Sulthan Salahuddin [917-946 H]
10. Sulthan Alaiddin [946-975 H]
1. Sulthan Johan Syah [601-631 H]
2. Sulthan Riayat Syah, anak dari Johan Syah yang pada mulanya disebut Sulthan Ahmad [631-665 H]
3. Sulthan Mahmud Syah, anak dari Riayat Syah [665-708 H]
4. Sulthan Firman Syah [708-755 H]
5. Mansur Syah [755-811 H]
6. Sulthan Alaidin Johan Syah dari Mansur Syah [811-870 H]
7. Sulthan Husein Syah [870-901 H]
8. Sulthan Ali Riayat Syah [901-917 H]
9. Sulthan Salahuddin [917-946 H]
10. Sulthan Alaiddin [946-975 H]
Seperti telah disinggung di atas, hingga sekitar tahun 1500 M Kerajaan Aceh masih berada di bawah pengaruh kerajaan tetangganya Pedir. Tetapi dalam perkembangannya atau pada awal abad ke XVI M, ketika Kerajaan Aceh berada di bawah Sulthan Ali Mughayat Syah (+ 1514-1528 M), kerajaan ini dapat membebaskan diri dari Kerajaan Pedir dan bahkan Pedir sendiri dalam perkembangannya menjadi di bawah pengaruh Kerajaan Aceh. Selain itu juga di bawah sulthan ini Kerajaan Aceh dapat mempersatukan beberapa Kerajaan Islam lainnya yang diperkirakan pernah ada di Aceh (yang karena keterbatasan sumber tidak memungkinkan untuk diuraikan tersendiri dalam tulisan ini), seperti Kerajaan Daya, Pedir, Lingga dan sebagaimana telah disebutkan di atas, Perlak, Tamiang, Samudera Pasai dan Lamuri. Kesemua kerajaan yang tersebut di atas inilah di bawah Sulthan Ali Mughiyat Syah, dipersatukan menjadi Kerajaan Aceh Darus Salam.
http://plik-u.com/?p=566