Oleh: T.A. Sakti
TERTARIK pada artikel ( Humam Hamid ) Harian Merdeka Jum’at, 9 Juli 1982 berjudul ” HIKAYAT MALEM DIWA – Sebuah potret Nilai Masyarakat Aceh” (hlm VII); penulis ingin menambahkan tentang tradisi Aceh. yang pernah disinggung di dalamnya. Tradisi dimaksud adalah Khanduri Bulukat (kenduri ketan).
Sebenarnya, bukan hanya ketika memulai membaca atau membicarakan Hikayat Malem Diwa, masyarakat Aceh mengadakan Khanduri Bulukat. Hampir pada semua upacara, bulukat (ketan) turut dihidangkan. Sudah pasti dengan berbagai tujuan pula. Kalau sewaktu membaca Hikayat Malem Diwa, tujuannya untuk mengambil berkat dan menghindarkan kemurkaan tokoh Malem Diwa; pada acara acara yang lain ada maksud tertentu pula. Ketan, mempunyai arti simbolis, bulukat selain sebagai makanan enak, juga merupakan makanan yang berkah, keramat dan memiliki unsur magis. Tentu saja keberkahan yang diharapkan itu datangnya dari Allah SWT.
Daerah Aceh, terkenal dengan tempat tempat pengajian yang merata disetiap desa. Tempat pengajian ini biasa disebut Dayah Gampong (Pesantren desa). Setiap anak berumur 7 tahun diantarkan orang tuanya ke dayah Gampong, biasanya diadakan di Meunasah atau dirumah seorang Teungku di sebuah desa. Meunasah, berasal dari bahasa Arab; Madrasah artinya tempat belajar. Meunasah (nama Langgar di Aceh), berfungsi sebagai mengantarkan anaknya, baik laki-laki maupun perempuan pasti menjinjing (tijik) piring ketan kerumah Teungku (guru ngaji). Bulukat yang dibawa itu lebih sering orang pakai talam (tafsi). Ini karena; ketan bukan hanya sebagai buah tangan bagi Teungku seorang, melainkan untuk semua murid yang sedang mengaji disitu. Setiap murid, pasti sangat gembira, bila suatu hari ada seorang anak baru, yang diantarkan ketempat pengajiannya. Betapa tidak, selain dapat teman baru, kesempatan makan bulukat adalah suatu kejadian yang selalu dinantikan. Secara simbolis membawa ketan bila mengantar anak mengaji, supaya semua pelajaran melekat di otak, ingatan kuat, karena ketan itu banyak getah, perekat. Anak diantar pada hari Rabu. Ketan yang dibawa biasanya bulukat u tuwot (ketan pakai kelapa yang diaduk gula pasir atau manisan). Kalau diaduk manisan, warna kukuran kelapa memerah. Hingga disebut bulukat u merah. Ketika si orang tua menyerahkan anaknya pada Teungku, ia mengucapkan: Aneuk Ion Ion jak jok keu droe neuh neupeubeut. ‘Neupoh, meubek capiek ngon buta, laen bak nyan hukom Teungku” (Anak saya, saya serahkan pada anda, ajarlah dia; boleh dipukul asal jangan sampai pincang dan buta; lain dari itu terserah sama Teungku). Sejak itu, anak menjadi murid sah dari seorang guru ngaji.
Setelah seorang aneuk miet beuet (anak pengajian) dapat menyelesaikan belajar setengah dari Kitab Al Qur’an, sekali lagi anak anak di pengajian datang kesempatan melahap bulukat. Setengah dari Al Qur’an adalah Juz Subhanal-lazi atau Juz yang ke 15 dari Al Qur’an yang 30 Juzu’ itu. Tepatnya sampal pada kalimat Walya Thalaththaf, yang sering dicetak tebal pada Al Qur’an. Ketan kali ini disebut Bulukat Juz teungoh (ketan Juz tengah). Seterusnya, bila seorang anak telah menamatkan AlQur’an, lagi lagi diadakan khanduri bulukat. Namanya bulukat peutamat Quru’an (ketan khatam Al-Qur’an). Sebelum seseorang anak diajarkan Kitab kibab Fiqah (Hukum Islam), terlebih dulu ia mengulang belajar Al Qur’an beberapa kali khatam (tammat) lagi.
Hubungan pribadi para murid di sebuah pengajian cukup harmonis dan akrab (di Jawa antara para Santri). Kalau di Aceh, besar kemungkinan karena tradisi khanduri bulukat di setiap pengajian, hampir setiap hari seorang murid dapat menikmati bulukat. Kalau tidak dibawa oleh orang tua yang mengantar ngaji anaknya, dibawa oleh mereka yang belajar setengah Al Qur’an (bulukat Juz teungoh) ataupun oleh seorang anak yang sudah khatam Al Qur’an. Lihat, betapa harmoninya hubungan antara mereka. Inilah faktor pendukung kekuatan masyarakat Aceh menahan intervensi Belanda dulu, hingga mereka terpaksa melawan gerilyawan Muslimin selama 70 tahun (1873-1910 perang total, 1910-1942). Setiap syuhada’ Aceh berasal dari Dayah (Pesantren) atau paling kurang pernah belajar di Dayah Gampong (Pesantren Desa). Namun sayang, dewasa ini jumlah Dayah Gampong semakin menciut.
Nazar
Terlepas pro dan kontra, kita tidak boleh membantah kenyataan, bahwa sebagian kecil masyarakat Aceh juga bernazar (meukaoy) pada kuburan ulama. Di Banda Aceh dan sekitarnya terkenal kuburan Teungku Syiah Kuala (Syekh Abdurrauf), yang dianggap masyarakat sebagai seorang Wali pertama yang menyebarkan Islam di Tanah Serambi Mekkah (Aceh). Anggapan masyarakat, tidak kurang seperti penghormatan masyarakat Jawa terhadap Wali Sembilan (Wali Songo). Kalau di Lam Meulo Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie dan sekitarnya, terkenal kubur Teungku Musa. Begitu pula dengan masyarakat di tempat tempat lain. Pada kuburan kuburan Wali ini mereka melepaskan nazar. Dengan mengucapkan “Ya Ilahy Waya Rabby, beureukat Makkah, beureukat Madinah, beureukat Nabi nabi ngon sahabat, beureukat bandum Aulia ngon Ulama, neubri beu puleh aneuk Ion Ya Allah, Ion peulheuh kaoy saboh pingan bulukat ngon seudeukah dua sen, bak kubu Teungku Pulan” (Wahai Ilahy, hai Tuhanku, dengan keberkatan Mekkah, Medinah, Nabi-nabi, para sahabatnya, berkat semua Wali dan Ulama, sembuhkanlah anakku wahai Tuhan, saya lepaskan nazarku satu piring ketan dan sedekah sejumlah uang, pada kuburan Teungku Polan (disebutkan namanya).
Dengan demikian terikatlah seseorang dengan nazarnya. Bila anaknya sembuh misalnya, ia akan melepaskan nazar itu dengan sepiring Bulukat dan uang seperti yang dijanjikan. Ketan itu dibagikan kepada orang orang yang berada disekitar kuburan Wali. Biasanya juga bulukat u tuwot.
Kenduri Selamatan sepanjang tahun, banyak diadakan masyarakat Aceh. Hingga kalau ditinjau dari segi ekonomi merugikan. Namun, sudah berabad-abad, masyarakat tidak pernah menilai dari untung rugi, tapi mengharapkan rasa aman, tenteram, bahagia dengan keberkatan, yang dianugerahkan Allah SWT. Diantara jenis jenis selamatan, ialah Selamatan Tahunan (Khanduri Thon), naik rumah baru (ek u rumoh baro), Kenduri orang mati (Nujoh), Selamatan khitan (Khanduri koh boh aneuk) dan lain lain. Semua jenis selamatan ini bila orang mampu, biasanya menyembelih kambing, biri biri, lembu ataupun kerbau.
Sehari sebelum acara, seluruh penduduk desa di undang untuk datang. Pagi pagi sekali warga desa khususnya laki laki telah berkumpul di bawah rumah atau di balai balai orang yang punya hajat. Sebagai santapan pagi, para tamu disuguhi segelas kopi dan seceper ketan (saboh cupe bulukat). Bulukat yang dihidangkan itu , disebut bulukat u teuprue. Karena kukuran kelapa tidak dimasak dulu, tapi hanya ditaburi gula. Setelah makan bulukat serta menikmati kopi para penduduk desa melaksanakan tugas masing masing, sesuai dengan keahliannya. Bagi yang berbakat menguliti kambing, ia mengikuti Teungku (Imam desa) yang menyembelih ternak. Sebagian lagi mengupas buah nangka, pisang, kates muda sebagai gulai (lauk). Sedangkan sebagian lainnya membuat dapur besar. Selain untuk dimakan sendiri, penduduk desa juga melayani para tamu dari desa lain yang di undang oleh tuan rumah.
Acara tepung tawar (peusijuek) cukup membudaya di Aceh. Setiap mendirikan rumah baru, pengantin baru (Dara Baro & Linto Baro), mendirikan Meunasah, menyukat padi disawah, membuka jalan baru desa, menggali saluran air, membikin empangan sungai (peugot neulop baro) dan lainnya, dimulai dengan acara tepung tawar. Pada acara acara seperti itu satu baki besar (tafsi rayek) bulukat telah siap dihadapan yang hadir ketika itu. Selesai acara peusijuek (arti litterlyk; mendinginkan), bulukat tersebut dimakan bersama sama. Saat rakyat desa paling sering makan bulukat adalah ketika mereka mulai turun kesawah sampai selesai panen. Waktu hari pertama membajak, kenduri ketan disediakan/bagi orang yang lalu lalang disekitar sawah. Bulukat peu phon meu ‘ue (ketan mulai membajak) namanya. Waktu menanam padi (seumula), juga diadakan khanduri bulukat. Anak-anak yang rajin pergi ke sawah tentu kenyang perutnya. Mengirik padi (ceumeulho) sering diadakan secara gotong royong. Selesai bekerja, oleh tuan rumah disuguhi bulukat ceumeulho. Kuah bulukat dibuat dari santan campur pisang, nangka, yang dimasak. Jika pisang, disebut bulukat kuah tuhe, sedang bila pisang tidak dimasak disebut bulukat pisang thok (ketan pisang digiling). Namun dari semuanya yang paling enak adalah bulukat boh drien (ketan durian). Seeedaaaaaappp!.
( Sumber: Harian “Merdeka”, Jakarta, Sabtu, 28 Agustus 1982 halaman VII ).
http://tambeh.wordpress.com/khanduri-bulukat/#comment-366