Rabu, 04 Januari 2012

Konsepsi Peunyaket Donya dan Ubat Gampong

Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.504 pulau, dan didiami sekitar 740 etnis. Setiap etnis tersebut memiliki sistem pengetahuan dalam menyikapi seluruh aspek kehidupannya. Setiap etnik ini memiliki kearifan untuk mempertahankan diri, baik secara masal maupun individual. Kearifan yang dimaksud dalam konteks ini adalah sistem pengetahuan tentang penyakit lokal dan sistem pengobatan tradisional yang diyakini bermanfaat sehingga menjadi kebiasaan yang tidak terpisahkan dari masyarakat.
Di provinsi Aceh, tradisi pengetahuan tentang penyakit dan pengobatan dalam menyikapi lingkungan sudah sangat lama dikenal. Pengetahuan itu antara lain, pengetahuan terhadap berbagai kategori penyakit. Mereka membagi menjadi dua jenis penyakit, yaitu “penyakit medis” dan “peunyaket donya” . Selain itu, mereka juga telah memahami sistem pengobatan medis dan juga tidak meninggalkan sistem pengobatan dengan ubat gampong terhadap penyakit dan tidak terdeteksi secara medis. Dalam konteks ini tidak dibahas keseluruhan penyakit dan sistem pengobatan penyakit yang sudah dapat ditangani secara tindakan medis, namun lebih ditekankan pada aspek konsep masyarakat Aceh tentang kearifan dalam menyikapi peunyaket donya dan penanganan dengan ubat gampong dalam resep lokal
Konsep Sehat dan Sakit Dalam Konteks Lokal
Konsep sehat dan kesehatan merupakan dua hal yang hampir sama tapi berbeda. Konsep sehat menurut Parkins (1938) adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya . Sementara White (1977) menuturkan bahwa sehat adalah suatu keadaan di mana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit dan kelainan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1957, mendefinisikan konsep sehat sebagai suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang dimiliki. Sementara pada tahun 1974 konsep WHO, menyebutkan bahwa sehat adalah keadaan sempurna dari fisik, mental, sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Pada ranah lokal Moechtar Djalal, dkk., mengatakan bahwa seseorang dikatakan sehat apabila beradam dalam keadaan biasa. Dalam pengertian, tidak mengalami gangguan dalam aktivitas sehari-hari yang berhubungan dengan jasmaninya serta tingkah lakunya dapat diterima oleh masyarakat sekelilingnya.
Sebagai mayoritas penganut muslim, masyarakat Aceh berkeyakinan bahwa kondisi sehat seseorang tidak terlepas dengan takdir yang datang dari Allah SWT. Meskipun sudah berperilaku sehat, namun apabila ditakdirkan terkena penyakit maka seseorang pasti akan menderita sakit. Dengan demikian, anjuran berperilaku sehat (health behaviour) dan berperilaku sakit (illness behaviour) juga berlaku dalam masyarakat Aceh. Tradisi kehidupan dalam masyarakat di daerah yang dijuluki dengan “Serambi Mekkah” ini pengaruh agama dan tradisi seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan seperti ungkapan adat ngon hukom han jeut cree lagee zat deungon sifeut. Artinya permasalahan ini juga sangat diperhatikan dalam Islam dan tentu saja dapat diadopsi oleh masyarakat Aceh.
Menurut pandangan Islam, setiap orang harus memelihara dan menjaga kesehatannya, di samping itu juga melakukan upaya pencegahan agar terhindar dari penyakit atau sakit, seperti ungkapan ta ibadat sigohlom saket, ta keureuja watee na teuga, artinya beribadahlah sebelum sakit, bekerjalah selagi masih kuat. Menurut perspektif masyarakat Aceh, apapun saket (sakit) yang diderita seseorang telah merupakan suatu takdir dari Yang Maha Kuasa. Namun mereka tetap percaya, bahwa tidak ada suatu penyakitpun yang tidak ada obatnya. Hal ini seperti yang tercermin dari ungkapan Hadih Maja “meunyo na umu, teuntee na ubat”, artinya kalau masih diberi panjang usia, tentu ada obat penyembuhnya.
Konsepsi masyarakat Aceh tentang sakit, bahwa apabila seseorang penderita masih diberi kesempatan untuk hidup, pastilah akan ada obat yang dapat menyembuhkannya. Hal ini juga sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang bersabda bahwa, “Allah SWT tidak akan menurunkan suatu penyakit, kecuali telah pula menetapkan obatnya”.
Di sisi lain, masyarakat di daerah ini juga memiliki perspektif yang sangat unik di dalam memaknai “sehat” dalam konteks lokal. Sehat menurut masyarakat Aceh, adalah berkaitan dengan bentuk fisik seseorang. Artinya apabila fisik gemuk, maka diidentifikasikan dengan “sihat” (sehat) atau “tumbon” (tambun). Anggapan ini tidak hanya ditujukan kepada orang yang telah dewasa saja, akan tetapi juga berlaku kepada kanak-kanak. Maka apabila bertemu seseorang dewasa atau kanak-kanak yang gemuk, maka orang Aceh sering mengatakan“sihat that aneuk dron” atau “sehat sekali anak anda”.
Sedangkan pemahaman terhadap konsep sakit adalah kondisi di mana tubuh dan pikiran berada di luar dari kebiasaan atau di luar keadaan normal. Biasanya orang yang sakit akan mengeluh tentang ketidaknormalan atau ketidaknyamanan pada bagian tubuhnya tersebut. Hal demikian dapat juga diamati secara kasat mata, apabila melihat ketidaknormalan sebagaimana lazimnya orang yang normal, maka sekalipun orang tersebut tidak mengeluhkan sesuatu yang sakit atau ganjil pada tubuhnya. Namun masyarakat Aceh mempercayai bahwa muara kesembuhan bagi semua jenis penyakit adalah kehendak Allah SWT, apapun kategori penyakitnya, siapa yang mengobatinya, terapi apa yang digunakannya, atau di mana pun tempat berobatnya. Namun sebagai manusia yang beriman, setiap orang harus terus berusaha dan mencari solusi pengobatannya, baik secara medis maupun ubat gampong (obat tradisonal).
Perbedaan Antara Penyakit Medis dan Peunyaket Donya
Masyarakat Aceh mengklasifikasi jenis penyakit ke dalam dua kategori. Pertama, kategori penyakit medis atau sakit dengan gejala-gejala biasa. Penyakit medis merupakan penyakit yang dapat disembuhkan secara medis dengan penangangan dari paramedis. Kedua, peunyaket donya atau penyakit akibat dari perbuatan dunia. Penyakit ini tidak dapat dideteksi secara medis dan bersifat supranatural, sehingga penanganannya pun harus ditangani oleh dukun, tabib atau teungku (ulama).
Penyakit medis memiliki gejala yang sifatnya natural, seperti batuk, pilek, sakit kepala, demam dan diare. Selain menyerang orang dewasa, penyakit ini rentan terhadap anak-anak apabila terjadi perubahan cuaca ekstrim, seperti ketika terjadi peralihan musim, dari musim barat ke musim timur (musim pancaroba). Dalam konteks lokal, keadaan ini sering terjadi ketika padi di sawah sedang mulai berbuah (padee ka dara).
Selain itu, masyarakat Aceh juga beranggapan bahwa apabila anak-anak sering menderita sakit-sakitan, hal ini dapat juga disebabkan karena ketidakcocokan oleh nama yang disandangnya. Biasanya untuk kesembuhan, nama anak tersebut harus diganti sesuai dengan petunjuk dukun, tabib ataupun teungku. Ada yang beranggapan bahwa anak-anak yang menderita gejala step atau kejang-kejang akibat suhu tubuh panas yang terlalu tinggi dan juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan jen (jin). Hal ini dapat disebabkan oleh meurampot (tersambat) sehingga mengalami intrance makhluk halus dari tempat-tempat yang angker. Terapi penyembuhan biasanya dilakukan dengan dirampot (diruwat).
Peunyaket Donya dan Ubat Gampong
Secara historis peunyaket donya dan ubat gampong telah dikenal sejak zaman dulu di dalam masyarakat Aceh. Di dalam catatan sejarah Aceh telah ditemukan beragam neurajah (mantra) dan simbol-simbol rajah semacam “tato” pada suku Maya dan Inca di Amerika. Di Aceh, neurajah dituliskan pada selembar kain, pedang atau rencong yang menyerupai pahatan atau ukiran pada seni kaligrafi dengan menggunakan simbol seperti angka dan huruf-huruf Arab. Selain itu ada juga yang diperoleh seseorang dari alam, seperti rante bui (rantai babi) dan berbagai seunangkai (penangkal tubuh) lainnya, seperti yang ditemukan pada jasad-jasad para panglima dan tokoh-tokoh perlawanan terhadap Belanda yang syahid dalam periodisasi Perang Aceh melawan Belanda sejak tahun 1873.
Akan tetapi, belum ada kepastian kapan dan di mana pertama kali sistem pengetahuan tentang peunyaket donya dan ubat gampong ini muncul di provinsi Aceh. Berdasarkan dinamika parsial dan temporal pengobatan peunyaket donya dengan ubat gampong terus mengalami perkembangan. Hingga saat ini, di Aceh telah muncul berbagai varian baru akibat dinamika tersebut. Namun pada awalnya, ketika Islam sedang berkembang di Aceh, tradisi lama dalam penanggulangan terhadap “penyakit dunia” dalam masyarakat yang dianggap “khurafat” diminimalisasi penggunaannya. Namun sebagian masih ada yang bertahan sampai saat ini. Pengobatan dan penyakit yang dianggap khurafat sering disebut menggunakan ileumee itam (ilmu hitam), sedangkan yang dapat ditoleransikan disebut pengobatan ileumee puteh (ilmu putih).
Pada dekade terakhir, peunyaket donya dan ubat gampong yang masih bertahan hanya sedikit. Seiring dengan perubahan zaman dan perubahan perilaku serta pola pikir masyarakat dalam pengobatan medis. Namun metode penanganan tehadap peunyaket donya tetap dilakukan dengan ubat gampong. Dalam penanganan “penyakit dunia” di Aceh, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain dengan meminum air rebusan dedaunan obat (ubat teureuboh) atau serbuk ramuan tanaman obat-obatan (ubat seureubok) yang dapat diminum seperti jamu. Selain itu juga ada luluran (ubat lampok). Pengobatan lainnya menggunakan olesan minyak yang berasal dari tumbuhan dan hewan pada bagian tubuh yang sakit. Selain itu untuk membentengi tubuh, biasanya dukun atau tabib yang menangani membuatkan peuneuteun tuboh (pertahanan tubuh), seunangkai (penangkal tubuh dari serangan magis), dan beukam (bekam). Setelah terjadinya gempa bumi dan tsunami di daerah pesisir Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, di provinsi “Serambi Mekah” ini mulai berkembang metode pengobatan tradisional dan terapi dari berbagai daerah dan negara (nasional dan internasional) seperti ceragem, rukiyat, pengobatan India, pengobatan batu giok, pijat tradisional, akupuntur, gurah, pijat refleksi, shiatsu dan lain sebagainya.
Dalam penanganan terhadap suatu jenis penyakit, biasanya seorang pasien memiliki orang yang memiliki chemistry dalam pengobatan terhadap dirinya, baik pengobatan secara medis oleh paramedis maupun pengobatan secara supranatural oleh dukun, tabib atau teungku, maka dalam konteks ini harus terlebih dulu chemistry antara pasien dengan dukun, tabib, atau teungku yang dikenal dengan istilah rasi atau meurasi.
Apabila sudah rasi atau meurasi, baik itu dengan penanganan paramedis maupun dukun, tabib, atau teungku maka proses pengobatan dan penyembuhan pasien akan lebih mudah dilakukan. Namun sebaliknya apabila tidak meurasi atau tidak ada chemistry antara keduanya, maka apapun jenis dan kategori penyakit dan obatnya, pasien tetap tidak dapat disembuhkan oleh yang mengobatinya.
- Sijundai (Intrance Roh Halus)
Sijundai adalah penyakit yang sangat terkenal di daerah pesisir barat dan selatan Aceh pada zaman dulu. Penyakit ini termasuk kategori peunyaket donya yang disebabkan oleh kekuatan supranatural. Penyebab sijundai karena jipeukeunong (dikirim) oleh seseorang laki-laki kepada seorang perempuan dan dapat pula terjadi sebaliknya. Berbagai jenis ini penyakit yang termasuk dalam kategori gila ini adalah sijundai bungong (sijundai bunga), sijundai ie (sijundai air), sijundai angon (sijundai kayu), dan sijundai batee (sijundai batu).
Penyakit ini dilakukan dengan cara mengirimkan makhluk halus ke dalam tubuh seseorang. Ciri-ciri terkena penyakit ini adalah matanya akan terbelalak, bicaranya tidak karuan terus-menerus yang disertai dengan jeritan histeris disertai dengan meronta-ronta. Bahkan ada yang sampai memanjat dinding rumah sehingga kadangkala tidak dapat diterima akal sehat. Apabila sedang mengalami kambuhan (intrance), maka kekuatan si penderita menjadi berlipatganda dan luar biasa. Kadangkala beberapa orang tidak akan sanggup menenangkannya. Penyakit ini sifatnya kambuhan, artinya kadangkala datang, kadangkala hilang sendiri. Saat sedang sakit (intrance), ia menceritakan hal-hal yang menyangkut dengan alam metafisik. Sedangkan di saat berhenti, si sakit seperti orang normal. Ciri-ciri fisik penderita penyakit ini, kuku jari tangan dan kaki menjadi berubah hijau kehitam-hitaman. Penyakit ini tidak dapat diobati dengan cara medis, sehingga ditangani oleh dukun atau tabib dengan cara dirajah dengan doa-doa tertentu atau dengan cara dirajah. Jika tidak ada kecocokan (meurasi), maka penyakit ini agak susah disembuhkan meskipun diobati dengan ubat gampong (pengobatan tradisional). Namun jika meurasi, maka penyakit inipun dapat disembuhkan secara total.
- Teukeunong (Terkena Kiriman Orang)
Penyakit ini hampir sama dengan meurampot, namun lebih bersifat peunyaket donya akibat kiriman dari seseorang yang bertujuan untuk menyakiti seseorang. Penyembuhannya harus dengan ilmu supranatural melalui dukun atau tabib. Sedangkang teungku atau ulama sangat jarang diminta bantuannya untuk menyembuhkan penyakit semacam ini.
Pengobatannya dilakukan dengan metode meurajah dengan pemberian obat-obatan berupa ramu-ramuan. Ramu-ramuan tidaklah selalu sama, tergantung kepada makhluk halus apa yang membuat si pasien menderita sakit.
- Seureubok (Serbuk)
Seureubok merupakan jenis ramuan berbahaya yang diolah seseorang untuk mencelakai orang lain dengan mengirim suatu penyakit kepada orang yang tidak disukainya tersebut. Proses yang dilakukan adalah melalui media dari perangkat yang melekat pada tubuh orang yang akan dibuat sakit, misalnya dari rambut, pakaian dalam, dan lain-lain sebagainya.
Selanjutnya bahan-bahan tersebut dibakar dan abunya dicampur dengan seureubok yang ditambahi dengan serbuk besi, emas, ataupun perak. Pada saat dilakukan ritual pembakaran atas benda-benda tersebut, si pembuat seureubok meniatkan bahwa benda-benda yang dibakar adalah simbolisasi dari diri atau tubuh seseorang yang dibuat supaya menderita sakit.
Ciri-ciri terkena Seureubok adalah sakit yang berlarut-larut atau dalam konteks lokal disebut “meura idee”. Biasanya penyembuhan penyakit ini ditangani oleh dukun atau tabib yang dianggap meurasi atau chemistry dengan si pasien.
- Jipeumalang (Mengirim Kesialan Kepada Seseorang Gadis)
Penyakit ini dikirimkan kepada seseorang gadis sehingga sampai tua tidak akan mendapatkan jodohnya atau tidak akan ada yang meminang karena dibuat menjadi sangat tidak tertarik di mata semua laki-laki. Biasanya penyakit ini dikirimkan oleh seseorang laki-laki yang mendendam dan tidak menyukai seseorang gadis melalui perantara dukun. Pengobatan penyakit ini menggunakan jasa seseorang blien atau bidan gampong (bidan tradisional) yang bisa meurajah (melafalkan doa-doa dan memahami ritual penolak kemalangan tersebut). Ritual pelenyapan kemalangan ini harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak boleh diketahui oleh seorangpun. Perlengkapan ritual pengobatannya menggunakan bu leukat peuleumak atau ketan bersantan. Di dalam ketan tersebut, dimasukkan rambut, kuku, sobekan seluruh pakaian dalam, dan sobekan kain dari si gadis yang terkena kemalangan serta ditambah dengan uang sekedarnya. Semua perlengkapan ritual itu kemudian dirajah lalu dibungkus dalam sebuah bungkusan.
Ritual selanjutnya adalah dipeusa-dua yang dilakukan dengan cara mengibaskan-ngibaskan bungkusan sebanyak tujuh kali yang dilafalkan oleh blien secara berurutan dari satu sampai tujuh untuk menghilangkan kesialan dari tubuh si gadis tersebut. Selanjutnya bungkusan diletakkan di persimpangan jalan yang ramai ketika jalanan masih sepi. Apabila bungkusan tersebut sudah tidak terlihat lagi atau diambil seseorang, maka kesialan dari gadis tersebut biasanya akan menghilang dengan sendirinya.
- Reuhat (Gatal-Gatal di Kulit)
Reuhat adalah penyakit kiriman seseorang yang tidak menyukai seseorang. Ciri-cirinya adalah, kulit terasa gatal yang teramat sangat. Reuhat ini ada mengeluarkan air dan ada yang kering. Apabila yang berair, jika terkena lelehan airnya, maka akan menimbulkan rasa gatal di bagian yang terkena lelehan tersebut. Penyakit reuhat biasa dibuat dengan racikan dari berbagai ramuan natural, seperti minyak ulat bulu, sari sejenis buah aren muda atau boh janeng, daun jilatang, dan benda-benda yang mengantung sifat gatal lainnya. Ramuan itu kemudian dipeusyarat atau disimbolisasikan, misalnya dengan seonggok daging yang telah dibungkus atau kemudian diletakkan di atas pelepah daun keladi sehingga lama-kelamaan akan membusuk dan mengeluarkan air.
Pengobatan penyakit ini dapat dilakukan dengan meurajah ke dukun atau tabib, dengan pemberian ramuan ubat gampong seperti, daun kacang panjang, biji aren yang ditumbuk halus, upih pinang tua, daun pisang kelat, akar pohon kelapa yang masih berwarna merah, jagung, asam jeruk purut, dan belerang. Semua ramuan terlebih dahulu dijemur, kemudian disangrai terus ditumbuk dan dihaluskan. Setelah hancur seperti sambal dan berminyak maka dapat dilumuri pada bagian yang terkena reuhat.
- Beusee (Hantu Anjing)
Penyakit beusee ini juga merupakan peunyaket donya akibat hantu beusee atau makhluk halus yang dipelihara dan dipuja oleh seseorang dukun. Gejala penyakit ini adalah tumbuhnya cabok (borok) pada salah satu bagian dari tubuh si pasien yang terus membengkak dan berwarna hitam kebiru-biruan. Penyakit ini dapat disembuhkan oleh dukun atau tabib dengan ubat gampong melalui terapi yang kontinu sampai benar-benar sembuh. Obat-obatnya berupa ramuan yang terdiri dari buah maja, rumput gajah, minyak tulang kerbau mati, dan daun pandan musang. Keseluruhan ramuan obat ini kemudian dihaluskan, selanjutnya didoakan oleh dukun atau tabib, lalu dioleskan ke tubuh si sakit sampai benar-benar sembuh.
Penutup
Konsepsi masyarakat Aceh terhadap peunyaket donya dengan resep ubat gampong ternyata sudah ada semenjak zaman dahulu, bahkan jauh sebelum pengobatan medis berkembang. Sampai saat ini pemahaman tersebut masih dipertahankan, meskipun terus mengalami degradasi bahkan hampir mengalami kepunahan setelah pengobatan medis berkembang pesat saat ini. Namun, selama masih ada kepercayaan terhadap peunyaket donya, maka tradisi pengobatan dengan ubat gampong melalui dukun, tabib dan teungku masih tetap dilakukan masyarakat.
Kemajuan teknologi pengobatan dalam menangani penyakit medis melalui tindakan paramedis ternyata berhasil signifikan dalam menjawab permasalahan kesehatan masyarakat di Aceh. Namun, dalam hal ini ternyata tidak menutup ruang bagi pengobatan tradisional melalui ubat gampong dengan ramuan-ramuan tradisional, khususnya di dalam menghadapi ancaman peunyaket donya. Kelemahan dan ketidakmampuan medis dalam mendeteksi setiap penyakit yang bersifat supranatural menyebabkan pengobatan tradisional menjadi tidak hilang dalam masyarakat. Selama peunyaket donya masih ada, maka posisi dukun, tabib dan teungku masih tetap dibutuhkan masyarakat Aceh selain pengobatan medis. Di sisi lain, pemahaman terhadap obat-obatan tradisional di dalam masyarakat juga sudah sangat mengakar. Mereka masih memahami dan mendalami manfaat dari berbagai tanaman obat-obatan tradisonal.
Masyarakat Aceh beranggapan bahwa tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya, sehingga berbagai upaya penanganan dan penyembuhan konsisten dilakukan, namun mereka tetap membedakan menurut klasifikasi dan kategori penyakit sehingga ada kejelasan konsepsi, antara penyakit biasa yang dapat diobati secara medis dan peunyaket donya atau penyakit supranatural yang harus diobati dengan ubat gampong.
Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Boelach Goehang  [http://anisabulah.blogspot.com/]. Boelach Goehang adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.

http://plik-u.com/?p=1028

JANGAN LUPA