Oleh: Rusdi Sufi, pakar sejarah, budaya Aceh
Pada awal abad XX, di Jawa dan daerah-daerah lain di Nusantara termasuk daerah Aceh, mulai timbul gerakan nasionalis dalam bentuk organisasi-organisasi moderen yang berada di bawah pimpinan para Cendekiawan Indonesia. Melalui organisasi-organisasi ini mereka (Cendekiawan Indonesia) berusaha mengantisipasi tindakan-tindakan pemerintah kolonial Belanda yang menekan atau menindas bangsa Indonesia di samping juga berusaha untuk meningkatkan derajat dan martabat bangsa sehingga dapat bebas dari belenggu penjajahan. Namun gerakan-gerakan yang timbul di daerah Aceh pada awal abad XX itu dapat dikatakan unik bila dibandingkan dengan di daerah-daerah lain. Karena di samping munculnya gerakan Nasionalis dalam berbagai organisasi sosial politik seperti di daerah-daerah lain, juga masih ada aksi-aksi perlawanan yang dilakukan dalam bentuk fisik atau berperang secara bergerilya yang terdapat di hampir seluruh wilayah Aceh.Semenjak berdamainya Sultan Muhammad Dawod Syah (1903) yang merupakan Sultan Kerajaan Aceh terakhir, daerah-daerah Aceh secara De Jure telah dinyatakan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian dari wilayah Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Dalam melakukan pemerintahannya di Aceh, pemerintah kolonial Belanda membagi daerah Aceh menjadi dua bagian, yaitu pertama yang disebut Gouvernement Gebied (daerah gubernemen) yang diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda dan kedua disebut Zelfbestuurgebied (derah pemerintahan sendiri) yang diperintah secara tidak langsung. Daerah-daerah ini disebut landschap (kenegerian), dipimpin oleh para Uleebalang (hulubalang) yang telah menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Hindia Belanda atau bagi mereka yang telah menandatangani Korte Verklaring (perjanjian singkat) dengan Belanda. Kedua daerah ini dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda disebut Gouvernement Atjeh en Onderhorigheden) Gubernemen Atjeh dan daerah takluknya), yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
Bersamaan dengan pengaturan sistem pemerintahan, pemerintah kolonial Belanda dalam rangka pelaksanaan Etische Politiek (politik etis) dan politik pasifikasi memperkenalkan pula beberapa budaya barat seperti sistem pendidikan moderen, pengobatan moderen, komunikasi/transportasi, irigasi kepada rakyat Aceh. Dengan demikian, meskipun pada mulanya apa yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda itu sulit diterima, namun dalam perkembangan dan kenyataannya, berbagai unsur budaya barat itu terserap juga ke dalam masyarakat Aceh. Akibatnya timbul gejala adanya kegoncangan sistem tata nilai masyarakat Aceh. Ada masyarakat yang menerima dan mendukung sistem barat tersebut, seperti ikut bekerja dalam struktur birokrasi pemerintahan kolonial Belanda, menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah yang dikelola oleh pemerintah, yang menerima sistem pengobatan moderen dan sebagainya. Di samping itu juga ada masyarakat baik di kalangan Uleebalang, ulama dan rakyat yang terus melanjutkan perang gerilya. Mereka tidak menerima sistem pendidikan Belanda, menolak sistem pengobatan moderen dan tetap bertahan dengan sistem tradisional.
Namun demikian di samping adanya segi-segi yang dianggap tidak membawa kebaikan bagi masyarakat Aceh, ada pula segi-segi positifnya. Diantaranya ialah lahirnya sekelompok kaum cendekiawan Aceh hasil didikan barat, lancarnya hubungan dengan luar daerah sehingga telah membuka cakrawala pikiran masyarakat Aceh secara lebih luas. Kaum cendekiawan atau terpelajar ini mengerti bahwa mereka atau rakyat Aceh senasib dengan rakyat di daerah-daerah lain. Akibat lebih lanjut yaitu, mereka menjadi lebih sadar akan tanggung jawabnya terhadap tanah air, bangsa dan agama serta lebih mengerti mengenai taktik dan strategi perjuangan untuk mencapai cita-cita, yaitu bebas dari belenggu penjajahan atau merdeka. Hal inilah yang mendorong mereka untuk mendirikan berbagai organisasi sosial politik di Aceh. Diantara organisasi ini ada yang bersifat nasional. Dalam upaya untuk mengimbangi sekolah-sekolah bikinan pemerintah kolonial, mereka juga mendirikan sekolah-sekolah swasta seperti sekolah Belanda dan memodernisir sistem pendidikan tradisional yang disebut dayah ke sistem yang moderen yang dinamakan madrasah. Ini berarti di kalangan masyarakat Aceh pada awal abad XX telah mulai tumbuhnya kesadaran nasional.
Dengan demikian selama periode kebangkitan nasional (1900/1942) di daerah Aceh, aksi menentang atau melawan kekuasaan kolonial Belanda berlangsung melalui dua jalur; yaitu, pertama melalui perlawanan secara fisik, berperang secara gerilya dan kedua melalui jalur pergerakan nasional yang ditandai dengan tumbuhnya berbagai organisasi sosial dan politik serta sekolah-sekolah swasta/madrasah yang modernis. Selanjutnya apa yang dilakukan oleh rakyat Aceh pada awal abad XX seperti juga dilakukan oleh rakyat di daerah lain di Indonesia telah membuahkan hasil yaitu hengkangnya pemerintah kolonial Belanda dari bumi Indonesia, sehingga akhirnya tercapai Indonesia Merdeka dan daerah Aceh seperti juga bekas wilayah Hindia Belanda lainnya, menjadi bagian dari wilayah negara Republik Indonesia.
IIDi antara organisasi sosial politik yang lahir dan berkembang di Aceh pada akhir perempatan pertama abad XX yaitu Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini lahir dari hasil keputusan musyawarah ulama seluruh Aceh yang diadakan pada tanggal 5 s/d 8 Mei 1939, bertepatan dengan hari peringatan lahirnya (maulid) Nabi Muhammad S.A.W tanggal 12 Rabi’ul Awal 1358 H, di Kampus Madrasah Al-Muslim Peusangan, Matang Glumpang Dua (Onderafdeeling Bireun, Aceh Utara). Penggagas atau pengambil inisiatifnya ialah: Teungku Abdurrachman Meunasah Meucap dengan mendapat restu dan perlindungan dari Teuku Chiek Muhammad Johan Alamsyah, Uleebalang Peusangan. Adapun pengurus pertama yang berhasil disusun pada waktu itu, terdiri dari Tgk. M. Daud Beureueh dan Tgk. Abdurrachman Meunasah Meucap sebagai ketua dan wakil ketua, Setia Usaha (Sekretaris) I dan II : Tgk. M. Nur El-Ibrahimy dan Tgk. Ismail Yakob, Bendahara T. M. Amin dan Komisaris-komisaris ialah : Tgk. Abd. Wahab Keunalo-Seulimum, Tgk. Syekh Abd Hamid Samalanga, Tgk. Usman Lampoh Awe, Tgk. Yahya Peudada, Tgk. Mahmud Simpang Ulim, Tgk. Ahmad Damhuri Takengon, Tgk. M. Daud, Tgk. Usman Azis. Berhubung ketua I bertugas di Sigli pada Madrasah Sa’adah Abadiyah Blang Paseh, maka untuk sementara waktu, ditetapkan pengurus PUSA berkedudukan di Sigli.
PUSA merupakan sebuah organisasi kedaerahan yang dalam berbagai geraknya tampak watak Aceh yang khas. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila organisasi ini dalam waktu yang relatif singkat sudah meluas ke seluruh daerah Aceh dan menjadi milik masyarakat. Apabila Tgk. Muhammad Daud Beureueh atau pengurus PUSA lainnya mengadakan perjalanan keliling untuk propaganda sampai ke daerah pesisir Barat Aceh selalu mendapat sambutan yang meriah. Hanya dibeberapa tempat saja, yaitu dalam beberapa wilayah di pesisir Selatan mungkin karena corak Minangkabau-Tapanulinya kuat, di sini gerakan PUSA tidak banyak memperoleh pengikutnya. Di samping itu sebagian besar para Uleebalang, pada awal pendirian PUSA di daerahnya; termasuk Tuanku Mahmud (anggota Volksraad), yang begitu besar simpatinya kepada gerakan ini. Bahkan ia telah diangkat menjadi pelindung PUSA seluruh Aceh. Tampaknya dengan lahirnya PUSA, pergerakan nasional di Aceh telah menemukan bentuknya sendiri, dalam pengertian sebagian besar pemimpin pergerakan di daerah ini telah berhasil dipersatukan dalam organisasi tersebut.
Adapun maksud dan tujuan dari pergerakan PUSA, seperti tercantum dalam anggaran dasarnya, adalah:
a. Untuk menyiarkan menegakkan dan mempertahankan Syiar Agama Islam.
b. Menyatukan paham pada penerangan Hukum.
c. Memperbaiki dan menyatukan leerplan-leerpan (Kurikulum) Pelajaran Agama di sekolah-sekolah Agama.
d. Mengusahakan untuk mendirikan Perguruan Islam dan mendidik pemuda-pemuda serta putri-putri Islam dalam keagamaan.
a. Untuk menyiarkan menegakkan dan mempertahankan Syiar Agama Islam.
b. Menyatukan paham pada penerangan Hukum.
c. Memperbaiki dan menyatukan leerplan-leerpan (Kurikulum) Pelajaran Agama di sekolah-sekolah Agama.
d. Mengusahakan untuk mendirikan Perguruan Islam dan mendidik pemuda-pemuda serta putri-putri Islam dalam keagamaan.
Kalau diperhatikan dari apa yang tertulis itu, tampaknya PUSA tidak bergerak dalam bidang politik. Kelihatan bahwa pada mulanya tujuan organisasi ini dibentuk antara lain untuk menyiarkan, menegakkan, dan mempersatukan syiar Islam yang suci, terutama di tanah Aceh. Berusaha sedapat mungkin mempersatukan paham ulama-ulama Aceh dalam menerangkan hukum-hukum dan berusaha memperbaiki dan mempersatukan leerplan (kurikulum) sekolah-sekolah agama di seluruh Aceh. Tetapi ternyata dalam praktek, sejak kongres pertama tahun 1940 mulai kelihatan secara samar-samar bahwa PUSA telah mengarah ke politik. Benih-benih permusuhan terhadap Belanda sungguh-sungguh ditanamkan, terutama kepada pemuda melalui organisasi kepanduannya, Kasyafatul Islam (KI), sehingga pada gilirannya kelak gerakan ini telah menjadikan dirinya sebagai wujud gerakan anti pemerintah Belanda yang cukup membahayakan di Aceh.
Dalam perkembangannya PUSA telah berhasil pula memperjuangkan adanya Mahkamah Agama di Aceh yang pada masa Jepang dinamakan Syukyo Hooin (Mahkamah Agama). Setelah masa pendudukan Jepang diubah namanya menjadi Dewan Agama Islam dan yang menjadi pimpinannya Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Sesudah diadakan Pejabat Agama Daerah Aceh yang dikepalai oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, Dewan Agama Islam dihapus dan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap diangkat menjadi Kepala Pejabat Agama Islam Keresidenan Aceh.
Pada saat pembentukan Propinsi Sumatra Utara pertama kali dan pejabat agama berubah strukturnya, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dicalonkan menjadi kepala bagian tata hukum pada Jabatan Agama Sumatra Utara, namun ia dalam keadaan sakit dan beristirahat di Takengon.
Selain sebagai penggagas organisasi PUSA yang merupakan salah satu organisasi pergerakan di Aceh, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap juga sebagai tokoh pembaharu pendidikan agama. Kiprahnya ini dapat dilihat sejak beliau memulai karirnya sebagai pendidik pada tahun 1920, yaitu sebagai pengajar di Dayah Cot Meurak dan Dayah Ulee Ceue, Samalanga. Setelah mendapatkan pengalaman sebagai pengajar pada Dayah-Dayah tersebut pada tahun 1926 Teungku Abdurrahman membuka sebuah Dayah di kampung kelahirannya Meunasah Meucap. Karena kepopulerannya Teungku Abdurrahman selaku tokoh yang memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, maka dayah ini dikunjungi oleh banyak murid yang ingin menimba ilmu daripadanya. Mereka yang datang ini berasal dari berbagai daerah di Aceh. Karenanya kampung Meunasah Meucap menjadi ramai dengan murid-murid yang datang belajar ke Dayah tersebut. Hal inilah kemudian yang menyebabkan panggilan Teungku Abdurrahman populer dengan sebutan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap atau Teungku Meunasah Meucap. Meskipun para pelajar di Dayah Meunasah Meucap telah menaruh kepercayaan dan merasa puas dengan apa yang telah diajarkan oleh gurunya kepada mereka, tetapi Teungku Abdurrahman sendiri belum puas dengan ilmu yang telah dimilikinya. Oleh karenanya setelah tiga tahun menjadi guru di Dayahnya, Teungku Abdurrahman mengambil keputusan untuk belajar kembali pada Dayah Cot Meurak, yang kemudian diikuti pula oleh hampir sebagian besar muridnya pindah belajar ke Dayah Cot Meurak tersebut.
Akibat pengaruh dari kehadiran pendidikan Barat di Aceh yang kemudian diterima oleh masyarakat Aceh, telah menimbulkan kegelisahan pada figur Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Beliau melihat dan menyadari bagaimana pola pendidikan agama yang sudah ada di Aceh bila dibandingkan dengan sistem pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah Belanda. Untuk hal ini beliau sering mendiskusikannya dengan ulama Aceh lainnya. Dari hasil-hasil diskusi itu, timbullah gagasan dari Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap untuk merombak atau memperbaharui sistem pendidikan agama di Aceh, dari sistem Dayah yang tradisional ke sistem madrasah yang moderen dengan meniru beberapa model dari pendidikan Belanda. Ide ini pada mulanya kurang mendapat sambutan dari sebagian ulama. Hal ini antara lain disebabkan karena pada waktu itu masih banyak orang yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berbau “Belanda”, haram hukumnya.
Ada beberapa sebab yang mendorong Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap berhasrat merubah sistem pendidikan dari bentuk Dayah ke bentuk pendidikan madrasah atau sekolah. Di antaranya adalah saran dari ulama-ulama yang datang berdiskusi dengannya, terutama Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Ayah Hamid Samalanga serta anjuran dari guru-guru sekolah umum (volkschool). Selain itu, ia berpikir bahwa untuk membentuk kader-kader yang berilmu pengetahuan, tidak cukup dengan hanya pengetahuan agama saja, tetapi juga harus mengetahui ilmu pengetahuan umum.
Ide Teungku Abdurrahman mulanya hampir gagal karena kurangnya fasilitas dan dana, terutama bangunan fisik sekolah. Namun uleebalang setempat, yaitu Teuku Chiek Muhammad Johan Alamsyah membantu segala macam fasilitas yang dibutuhkan untuk mendirikan lembaga pendidikan itu. Pada tanggal 24 November 1929 dibentuklah sebuah syarikat yang diberi nama Syarikat Al-Muslim Peusangan, untuk mengelola sekolah yang akan didirikan. Ketua Syarikat itu adalah Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap sendiri., sekretaris Nurdin, dan selaku penasihat adalah uleebalang Peusangan, Teuku Chiek Muhammad Johan Alamsyah.
Pada akhir tahun 1929 syarikat ini membangun 2 buah kelas tempat belajar murid-murid Madrasah Al-Muslim Peusangan. Tempat ini kemudian menjadi cikal bakal dan tonggak sejarah Madrasah Al-Muslim Peusangan. Adapun guru-guru pertama yang mengajar pada lembaga pendidikan Al-Muslim pada waktu itu antara lain: Teungku Habib Mahmud, Teungku Ridwan, Teungku Abed Pante Ara, Teungku Abbas Berdan, Teungku Ibrahim Meunasah Barat, Teungku Hasan Ibrahim Awe Geutah, serta Teungku Abdullah Musa sebagai pemimpin kepanduan. Sedangkan Teungku Abdurrahman sendiri sebagai inspektur yang sewaktu-waktu menggantikan mengajar jika ada guru yang berhalangan hadir.
Pada tahun 1931 lembaga pendidikan Al-Muslim mulai membangun gedung permanen untuk tempat pendidikan. Namun sebelum pembangunan gedung tersebut selesai, Teungku Abdurrahman pergi ke Sumatra Barat untuk meninjau perkembangan pendidikan di sana yang sudah lebih maju, seperti Sumatra Thawalib, Kulliyatul Muballighin Padang, Islamic College Bukittinggi dan Diniyah Putri Kayu Tanam. Tujuan Teungku Abdurrahman selain untuk meninjau sistem pendidikan atau sistem belajar, juga untuk mengambil contoh bangunan gedung Al-Muslim yang akan dibangun di Aceh.
Tidak lama kemudian, Madrasah Al-Muslim berkembang ke daerah lain dengan mendirikan cabang-cabang madrasah. Cabang-cabang madrasah tersebut antara lain di Cot Meurak Bireun, Cot Batee, Balai Setui Jangka, Bugak, Krueng Baro, Uteun Gathom, dan Lueng Leubu.
IIITeungku Abdurrahman Meunasah Meucap lahir di kampung Meunasah Meucap, Kecamatan Peusangan, Matang Glumpang Dua (sekarang bagian wilayah Kabupaten Bireun). Ia adalah putra dari Teungku Muhammad Hanafiah yang lebih terkenal dengan nama panggilan Teungku Let Yah yang menjabat sebagai Teungku Imum di Kampung Meunasah Meucap. Tahun kelahiran Teungku Abdurrahman tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan pada tahun 1897 Masehi atau bertepatan dengan tahun 1316 Hijriah. Nama yang diberikan orang tuanya adalah Abdurrahman. Tetapi sesudah beliau memiliki pengetahuan agama (alim) dan dihormati karena jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan agama, orang mulai menyebut dengan merangkaikan nama kampung di belakang namanya, sehingga panggilannya menjadi Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Hal seperti ini di Aceh lazim digunakan seperti juga Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Pante Kulu, Teungku Hasballah Indrapuri dan lain-lain. Bahkan ada yang tidak menyebut nama aslinya lagi, tetapi cukup hanya menyebut nama tempat tinggalnya atau nama tempat ia mengajar seperti Teungku Meunasah Meucap atau Teungku Di Matang Glumpang Dua.
Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap mempunyai empat orang istri dan tujuh orang anak. Adapun nama-nama istrinya adalah yang pertama Fatimah binti Haji yang dianugerahi empat orang anak, satu anak laki-laki dan tiga putri. Nama putra-putrinya adalah Siti Ramlah, Muhammadar, Azizah, dan Zubaidah. Istri kedua bernama Fadilah yang melahirkan seorang putra yang bernama Afifuddin. Istri ketiga bernama Aisyah yang juga melahirkan seorang putra yang bernama Fakhri. Sementara istri keempat bernama Fatimah. Dari istrinya ini Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap juga mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Khairuddin.
Sebagaimana lazimnya anak-anak yang dilahirkan dari keluarga ulama dan dalam suatu masyarakat yang Islami seperti masyarakat Aceh, Abdurrahman semasa kecilnya bersama anak-anak sekampungnya belajar pendidikan agama (mengaji Al Qur’an, belajar kitab-kitab agama) di kampungnya yang kebetulan orang tuanya sendiri adalah Teungku Imum dan guru agama di kampungnya tersebut. Di samping belajar pendidikan agama, Abdurrahman oleh orang tuanya Teungku Muhammad Hanafiah juga diajarkan bahasa Jawo (bahasa Melayu). Pelajarannya meliputi Malasailal Muhtadi, Bidayatul Mujtahid, Miftahul Jannah, Shiratul Mustaqim, Sabilal Muhatadie, Majmuk, dan Furuk Masail.
Ketika berumur 15 tahun (tahun 1912) Abdurrahman meninggalkan kampung halaman dan berangkat ke Ulee Ceue Samalanga Kabupaten Bireun untuk belajar pendidikan agama di Ulee Ceue Samalanga selama dua tahun. Pada tahun 1915 Abdurrahman pindah belajar ke Peudada (Kabupaten Bireun) pada Teungku Raden Peudada selama satu tahun dan tahun 1916 pindah lagi belajar ke Cot Meurak Bireun pada Teungku Haji Muhammad Amin. Di tempat ini ia belajar sangat tekun dan relatif lama yaitu sampai 13 tahun lamanya.
Sementara itu Abdurrahman berguru pula ke Tanjungan Samalanga, Kuta Blang Samalanga, ke Garut (Kabupaten Pidie) yang kemudian melanjutkan pendidikan ke Dayah di Lhokseumawe di mana keseluruhannya berjumlah tiga tahun lamanya.
Setelah menimba ilmu agama pada beberapa teungku di Aceh, Abdurrahman masih ingin memperdalam ilmu dalam bidang ilmu falak. Beliau mendengar bahwa di Sumatra Timur ada seorang ulama besar yang mahir dalam bidang ilmu falak yaitu Syeikh Hasan Ma’shum, maka pada tahun 1929 dengan tiga orang temannya yaitu Teungku Ahmad Lampupok Indrapuri, Teungku Arifin Samalanga, dan Teungku Muhammad Husen Niron Sibreh Kecamatan Suka Makmur Aceh Besar. Teungku Abdurrahman beserta tiga orang temannya ini selanjutnya berangkat ke Sumatra Timur menuju Tanjung Pura ibukota Kerajaan Langkat. Di sana mereka menemui Syeh Usman, Qadli Sultan Langkat untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka yaitu ingin memperdalam ilmu falak.
Syeh Usman menyuruh Teungku Abdurrahman dan tiga orang temannya menemui kepala sekolah. Namun kepala sekolah tidak dapat menerima mereka dengan alasan karena umur mereka sudah tidak sebaya dengan pelajar-pelajar yang sudah ada dan kedua, mereka dianggap sudah dapat mengajar di sekolah tersebut. Kepala sekolah menganjurkan kepada Teungku Abdurrahman dan tiga temannya supaya berguru kepada tuan Syeh Usman di Medan. Anjuran ini dituruti, sehingga mereka belajar ke Medan. Sesampai di Medan ternyata Tuan Syeh Usman tidak memberi waktu khusus. Teungku Abdurrahman disuruh mengikuti pelajaran bersama pelajar-pelajar lainnya. Sesudah dicoba ternyata pelajaran yang diberikan masih rendah, lalu Teungku Abdurrahman beserta tiga temannya memutuskan untuk kembali ke Tanjung Pura. Di Tanjung Pura, mereka tinggal kurang lebih enam bulan. Di sini Teungku Abdurrahman memperhatikan cara belajar dengan memakai bangku dan papan tulis (secara klasikal), yang jauh lebih efektip dibandingkan dengan cara berhalqah di Dayah. Sepulangnya dari Langkat, Teungku Abdurrahman timbul hasrat untuk mengajar cara sekolah di Dayahnya.
Teungku Abdurrahman adalah seorang ulama yang pergaulannya luas, wawasannya tidak saja di kalangan ulama Dayah, tetapi juga dengan guru-guru Volkschool dan Vervolgschool yang ada di Keude Matang Geulumpang Dua, di antaranya Teungku Nurdin dari Sumatra Utara, Teungku Sutan Mangkudum berasal dari Sumatra Barat, Djakfar Lagutan berasal dari Mandailing Sumatra Utara, Guru Husein Samalanga, dan beberapa orang lainnya.
Dari pergaulannya itu, Teungku Abdurrahman mendapatkan informasi tentang kemajuan agama di luar Aceh. Sistem pendidikannya telah dijalankan melalui sistem sekolah. Tidaklah mengherankan Teungku Abdurrahman adalah seorang ulama Dayah yang dapat menerima ide baru untuk merubah sistem pengajaran agama dari sistem pengajaran tradisional Dayah ke sistem sekolah/madrasah.
Ketika usianya mencapai 52 tahun beliau menderita sakit dan sebagaimana telah disebutkan harus beristirahat di Takengon. Ternyata sakitnya ini tidak sembuh-sembuh hingga akhirnya beliau berpulang kerakhmatullah pada hari Kamis tanggal 24 Maret 1949 di tempat kediamannya Kampung Meunasah Meucap Kecamatan Peusangan. Jenazahnya atas saran masyarakat Peusangan dikebumikan di belakang gedung Perguruan Al-Muslim Peusangan Matang Glumpang Dua Kabupaten Bireun.
IVBiografi merupakan salah satu bentuk karya sejarah yang mendeskripsikan aktivitas individu dalam waktu tertentu. Jika penulisan sejarah lebih menekankan pada aspek tertentu misalnya politik, ekonomi, agama, atau budaya, maka biografi lebih memfokuskan penulisannya pada peran individu dalam pergumulan hidup untuk mewujudkan ide, aktivitas dan karya yang ia lakukan.
Seperti karya tulis sejarah lainnya, biografi juga mengandung nilai-nilai edukatif, sarat dengan pesan-pesan pendidikan bagi generasi mendatang. Melalui biografi, pembaca akan menemukan makna hidup “perjuangan dan pergumulan anak manusia dengan nasibnya” dalam dimensi waktu dan ruang tertentu. Dengan demikian, penulisan biografi menjadi sebuah pekerjaan penting dan perlu dilakukan dalam rangka proses transformasi nilai-nilai edukatif bagi generasi selanjutnya.
Dari apa yang telah diutarakan pada bagian-bagian di atas dapat diketahui bahwa sosok Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap adalah tokoh terkenal pada perempatan pertama abad XX di Aceh. Ketokohan ini telah terlihat di bidang pergerakan dan bidang pendidikan. Karenanyalah maka derap langkah pergerakan nasional yang bermula di pulau Jawa pada perempatan pertama abad XX telah bergema pula di daerah Aceh. Kalau di Jawa Dr. Wahidin Sudiro Husodo telah memprakarsai lahirnya organisasi Budi Utomo, maka di Aceh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap telah pula menggagas lahirnya suatu organisasi pergerakan yang cukup populer dalam sejarah yaitu PUSA. Demikian juga di bidang pendidikan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dengan ide-idenya telah berusaha merubah sistem pendidikan agama di Aceh dengan melakukan pembaharuan sistem pengajaran pada lembaga pendidikan agama, dari bentuk Dayah yang tradisional ke bentuk madrasah yang moderen.
Dengan melihat peranan dan ketokohannya tersebut diharapkan kepada generasi muda agar aktivitas Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dapat dijadikan sebagai suri tauladan dalam upaya meningkatkan kualitas diri agar berguna bagi bangsa dan negara. Mengingat begitu besar jasanya terhadap dunia pendidikan dan kiprahnya dalam pergerakan nasional (politik), maka disarankan kepada pemerintah agar dapat memugar makam Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Selain itu, juga perlu ditulis suatu biografi yang komprehensif tentang figur Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Karena dengan demikian generasi muda dan generasi yang akan datang dapat lebih mengenal sosok dan pribadi Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Dan yang lebih mustahak lagi ialah mensejajarkan beliau dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional sebagai pahlawan bangsa.
Daftar PustakaAlfian (ed.) Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. (Jakarta: LP3ES, 1977).
Ali Hasjmy. Ulama Aceh: Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa. (Jakarta: Bulan Bintang, 1997).
Ibrahim Alfian, T. “Modern Education in Aceh, A Premilinary Note”, Sixth International Conference on Asian Histrory, IAHA, Yogyakarta, 1974.
______________. Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh. (Banda Aceh: Depdikbud, Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh, 1982).
______________. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. (Banda Aceh: PDIA, 1999).
Ismuha. “Teungku Meunasah Meucap Sebagai Pendidik dan Ulama”. Dalam Santunan No. 33 tahun 1977.
_______. “Sejarah Perkembangan Pendidikan Agama di Aceh”. Prasaran Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh. (Banda Aceh: MUI Aceh, 1978).
Nur El Ibrahimy, M. “Penyeragaman Kurikulum dan Penegerian Sekolah-sekolah Agama di Aceh”. Dalam Santunan No. 94 Februari 1984.
Piekar, A.J. Atjeh en de Oorlog Met Japan. (Den Haag, Bandung: W. Van Hoeve, 1949).
Rusdi Sufi . Peranan Tokoh Agama dalam Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950: di Aceh. (Jakarta: Depdikbud, 1997).
Shaleh, Hasballah. “Teungku Meunasah Meucap”. Dalam Santunan No. 16 Februari 1978.
Siegel, James. The Rope of God. (Berkeley: University of California Press, 1969).
Suny, Ismail. Bunga Rampai Tentang Aceh. (Jakarta: Bhratara, 1980).
http://plik-u.com/?p=384