Rabu, 04 Januari 2012

Teungku Peukan: Peristiwa 11 September 1926

BAB I
Selintas “Nanggroe Breuh Sigeupai”
Pada tanggal 3 Juni 1899, Letnan H.Colijn,  seorang controleur di Tapaktuan telah menyebutkan dalam catatan harian militer tentang kenegerian Tapaktuan dan pantai Barat Daya Aceh sebagai wilayah kekuasaannya.A.Pendahuluan
Kabupaten Aceh Barat Daya lahir dengan dinamika sejarah yang sangat panjang dan berliku, yang dimulai semenjak dari masa orde baru sampai masa pasca reformasi. Kabupaten ini merupakan integrasi dari enam kecamatan. Dimekarkan dari kabupaten Aceh Selatan pada tanggal 10 April 2002, yang disahkan dengan Undang-Undang.
Setelah menjadi kabupaten, Aceh Barat Daya, terbagi menjadi sembilan kecamatan, yang terdiri dari kecamatan Lembah Sabil, Manggeng, Tangan-Tangan, Suaq Setia, Blangpidie, Susoh, Jeumpa, Kualabatee, dan Babahrot, dengan ibukotanya Blangpidie.
Kabupaten Aceh Barat Daya secara geografis berada antara 3º.05’-3º.80’ Lintang Utara (LU) dan 96º.02’- 97º.23.03º Bujur Timur (BT). Secara garis besar, wilayahnya berada di belahan utara garis khatulistiwa sehingga beriklim tropik. Sebagian besar daerah ini berpanorama sangat indah karena merupakan deretan pegunungan Bukit Barisan dan Taman Nasional Gunung Leuser yang menghijau di bagian Utara dan bentangan maha luas membiru perairan Samudera Indonesia di pesisir Barat Daya dan Selatan.
Dataran rendah adalah bagian sempit berupa lembah-lembah yang terdiri dari perkampungan dan persawahan serta perkebunan rakyat. Sungai-sungai besar dengan air jernih penuh bebatuan yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat. Gemericik air dari sungai-sungai besar, seperti Krueng Seumayam di sebelah Barat yang menjadi perbatasan dengan kabupaten Nagan Raya, Krueng Babahrot, Krueng Beukah atau Krueng Beukah atau Krueng Susoh di Blangpidie dan Krueng Baru di Lembah Sabil di sebelah Timur yang menjadi perbatasan dengan kabupaten Aceh Selatan, merupakan potensi alam yang besar bagi kabupaten Aceh Barat Daya.
Daerah-daerah subur yang terdapat di aliran sungai-sungai tersebut merupakan anugerah dan sumber kehidupan bagi sebagian besar penduduknya yang merupakan masyarakat agraris yang mengandalkan pertanian sistem irigasi untuk pertanian padi, perkebunan kelapa sawit dan tanaman coklat/kakao.
B. Etnografi Aceh Barat Daya
“Meunyo meugo u Blangpidie tajak ligat, meunyoe ibadat bak Teungku Muda”. Maknanya, “kalau bertani ke Blangpidie dengan segera ; kalau beribadat kepada Teungku Muda.
Masyarakat Aceh Barat Daya bermata-pencaharian di sektor agraris dengan pertanian dan perkebunan sebagai lahan pekerjaan dan pendapatan terbesar. Sebagian lagi merupakan komunitas pantai yang bermatapencaharian sebagai nelayan yang menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dan perairan di sekitar air payau serta rawa-rawa. Selebihnya bekerja di sektor perdagangan, pertukangan, buruh, pegawai pemerintah ataupun swasta.
Berdasarkan etnografi, kabupaten Aceh Barat Daya berpenduduk heterogen, yang terdiri dari beberapa etnis pendatang yang menetap di sana. Etnis Batak atau yang disebut leco atau maco adalah penghuni “asli” dari ras Protomelayu. Mereka tinggal di sekitar Guha Batak di hulu Krueng Beukah di pedalaman Blangpidie.
Pada fase selanjutnya, datang etnis Aneuk Jamee yang merupakan penduduk migrasi dari Sumatera Barat. Di samping itu juga ada pendatang dari etnis Melayu pesisir dari bagian selatan Sumatera Utara. Para migran ini cenderung mendiami daerah pesisir pantai dan tepian muara sungai-sungai besar atau di sepanjang garis pantai di Aceh Barat Daya.
Migrasi penduduk selanjutnya, datang dari etnis Aceh khususnya dari Aceh Besar yang membuka perkebunan lada. Kemudian disusul oleh kedatangan para petani dari etnis Pidie yang membuka lahan pertanian padi.
Kedatangan penduduk minoritas lainnya, seperti Jawa, Cina, dan Mandailing. Mereka telah mengalami asimilasi dalam pluralitas sehingga kemudian dapat menyebar ke seluruh kenegerian di Aceh Barat Daya. Sedangkan orang-orang Cina sejak kedatangannya, tetap berkonsentrasi di sekitar kota Blangpidie, karena adanya perbedaan agama dan kepercayaan dengan penduduk lainnya. Pada mulanya zelfbestuurden Blangpidie berada di bawah hegemoni kenegerian Susoh, namun kemudian berdiri sendiri menjadi zelfbestuur.
1. Wilayah Kenegerian Manggeng
Wilayah Manggeng terbentang mulai dari Ujong Lhok Pawoh di perbatasan dengan Tangan-Tangan di bagian Barat sampai tepian Krueng Baru di sebelah Timur. Kenegerian Manggeng terdiri dari dua uleebalang, yaitu uleebalang Bak Weu di Lembah Sabil dan uleebalang Manggeng. Kedua wilayah itu dipimpin oleh Datok Beusa. Setelah Datok Beusa meninggal dunia, anak-anaknya menjadi pewaris menggantikan posisinya. Beberapa pergantian uleebalang terjadi di Manggeng.
Pada masa pemerintahan uleebalang Teuku Sandang, ia melakukan kesalahan sehingga sempat diasingkan ke Batavia (Jakarta). Posisinya digantikan oleh Teuku Mamat, namun kemudian digantikan lagi oleh Teuku Muda Nana dan Pemangku Nyak Blang. Setelah Teuku Sandang selelsai masa pengasingannya, ia diangkat kembali menjadi uleebalang Manggeng. Tidak lama kemudian, ia digantikan oleh Teuku Iskandar sampai tahun 1933, yang merupakan raja yang terakhir di kenegerian Manggeng.
Penduduk di kenegerian Manggeng sebagian besar berasal dari XXV Mukim Aceh Besar yang berbaur dengan orang Minangkabau (etnis Aneuk Jamee). Mereka tersebar di gampong Manggeng (di sebelah Barat Krueng Manggeng) dan di gampong Bak Weu di Lembah Sabil (sebelah Selatan Krueng Manggeng). Mata-pencaharian mereka adalah bertani di ladang dan sedikit yang menanam padi di sawah. Sedangkan lada tidak dapat berkembang dengan baik di sana. Hasil-hasil pertanian di kenegerian Manggeng diekspor melalui pelabuhan di kenegerian Susoh.
2. Wilayah Kenegerian Blangpidie
Pada tahun 1885, Teuku Ben Mahmud Setia Raja mulai memerintah di kenegerian Blangpidie. Besluit Belanda di Blangpidie adalah Teuku Raja Sawang berdasarkan perjanjian Pulo Kayee tahun 1884. Setelah kematian Teuku Raja Cut, keturunan dari Teuku Ben Mahmud yang dianggap sebagai penguasa sah di Blangpidie. Sepuluh tahun kemudian, yakni tahun 1895, Teuku Ben Mahmud menyerang uleebalang Tapaktuan karena dianggap telah bekerjasama dengan Belanda, di bawah pimpinan Teuku Larat.
Dalam penyerangan itu putra Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman ditawan Belanda beserta dengan puteri Teuku Larat, Cut Intan Suadat. Setelah peristiwa itu, mereka kemudian dinikahkan. Penyerangan itu terkenal dengan Perang Jambo Awe, di mana panglima penyerangannya dipimpin oleh Teungku Jambo Awe yang berasal dari Seunagan, Nagan Raya.
Pada awal pendudukan di Aceh Barat Daya, Belanda melakukan politik korte verklaring (perjanjian singkat) kepada setiap kepala negeri yang ada di sana. Pada sisi lain, rakyat serta-merta tidak mau tunduk begitu saja di bawah kekuasaan kolonial. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian pemimpin yang tidak mau dijajah, kemudian bangkit menggerakkan pengikutnya melakukan resistensi untuk mengusir kolonial dari “Bumo Breuh Sigeupai”.
Tahun 1900, pasukan marsose Belanda memasuki kota Blangpidie, setelah memindahkan posisinya dari Susoh. Belanda membangun tangsi bagi marsose dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK). Sejak adanya tangsi Belanda di Blangpidie, kota ini semakin berkembang pesat sebagai pusat perdagangan antar kenegerian di Aceh Barat Daya saat itu.
Perkembangan perdagangan di kota Blangpidie sangat signifikan karena merupakan basis agraris terbesar di wilayah bagian Barat Selatan Aceh terutama sebagai penghasil padi serta didukung situasi keamanan dan kedudukan pusat militer Belanda. Daya tarik ini mendatangkan minat dari para pedagang Cina dari Sibolga (Sumatra Utara) dan Padang (Sumatera Barat) untuk membangun pertokoan di Blangpidie. Perkembangan kota Blangpidie sebagai pusat perdagangan semakin bertambah ramai, semenjak dibukanya akses jalan raya mulai dari Kutaraja sampai ke Tapaktuan Aceh Selatan oleh Belanda.
Pada tahun 1901, Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 orang memporak-porandakan pasukan marsose Belanda di bawah pimpinan Letnan Helb. Pada tahun 1905, tangsi Blangpidie kembali diserang oleh pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 200 pejuang dengan senjata api dan kelewang. Penyerbuan fase kedua ini ke dalam tangsi Belanda itu, telah menewaskan 47 orang pejuang dari Aceh Barat Daya. Hal itu terjadi, karena kurang persiapan dan taktis serta ketidakseimbangan kekuatan antara pejuang dengan pasukan Belanda yang ada di dalam tangsi Marsose di Blangpidie.
Pada tahun 1910, wilayah Blangpidie dibagi menjadi empat landschappen yang dipimpin zelfbetuurden atau uleebalang cut, yaitu Pulo Kayee, Kutatuha, Lampohdrien dan Kutatinggi. Keempat wilayah uleebalang cut ini merupakan rangkaian wilayah yang terbentang, mulai dari Pulo Kayee sampai ke Alue Rambot di sebelah barat dan Panton Seumancang sampai ke Paya di sebelah timur.
BAGIAN II
“Peristiwa 11 September 1926”
Perlawanan Teungku Peukan Terhadap Belanda di Aceh Barat Daya

Pada masa konfrontasi kerajaan Aceh dengan Belanda, tahun 1905 Teuku Ben Mahmud dari Blangpidie telah melakukan penyerangan terhadap posisi Belanda di Meukek, Aceh Selatan. Serangan ini dipimpin oleh Teungku Idris yang menewaskan seorang pegawai sipil yang bernama Abdul Hamid. Pasca penyerangan, Teungku Idris ditangkap dan dibuang ke Ternate. Selanjutnya Teuku Ben Mahmud semakin sering menyerang posisi Belanda bahkan sampai Tapaktuan, Bakongan hingga ke perbatasan Sumatra Utara dengan serangan gerilya. Setelah Teuku Ben Mahmud ditangkap dan diinternir Belanda ke Maluku, perjuangan dari rakyat Aceh Barat Daya tidak kunjung padam dan seperti “apui lam seukeum”. Setelah Teuku Ben Mahmud diasingkan, tanpa diduga-duga terjadi perlawanan Teungku Peukan dari Manggeng yang juga menyerang tangsi Belanda di Blangpidie dalam “Peristiwa 11 September 1926”.
Saat ini nama Teuku Ben Mahmud, Teungku Peukan dan pejuang lainnya di Aceh Barat Daya, kurang begitu populer di masyarakat. Para pejuang tersebut pernah menorehkan “tinta emas” bagi semangat kemandirian dan jatidiri dengan perlawanan rakyat di Aceh Barat Daya terhadap kolonial Belanda. Pada saat Belanda semakin kokoh posisinya, penyerangan sporadis Teungku Peukan dan pejuang lainnya mampu menghantam posisi tangsi marsose Belanda di kota Blangpidie dalam serangan yang dilakukan pada hari Jum’at tanggal 11 September 1926. Serangan ini menjadi saksi dan jejak sejarah keheroikan para pejuang dari Aceh Barat Daya dalam menghadapi eksploitasi dan kolonialisasi.
A. Sekilas Teungku Peukan
Berdasarkan literatur menyebutkan bahwa Teungku Peukan adalah seorang ulama yang karismatis di daerah zelfbestuur Manggeng. Kini Manggeng dan Lembah Sabil adalah nama kecamatan yang secara geografis berada di bagian timur wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya. Orangtua Teungku Peukan merupakan seorang ulama atau pemuka agama Islam yang bernama Teungku Padang Ganting sedangkan ibunya bernama Siti Zulekha. Teungku Peukan dilahirkan di Manggeng pada sekitar tahun 1886, yaitu ketika kerajaan Aceh telah mengalami fase awal peperangan dengan Belanda sejak penyerangan posisi pertahanan Aceh di Mesjid Baiturrahman pada tanggal 18 April 1873, karena kerajaan Aceh tidak menerima isi Perjanjian “Traktaat Sumatera”, yaitu suatu perjanjian antara Belanda dan Inggris dalam menentukan posisi mereka di Sumatera dan sekitar selat Malaka.
Berdasarkan putusan itu, Belanda merasa berhak menguasai Aceh karena masih merupakan wilayah Sumatera. Namun pihak kerajaan Aceh masih menghormati perjanjian Traktaat London yang membebaskan Aceh dalam melakukan perdagangan dengan negara-negara asing, khususnya Inggris, Turki, dan lain-lain.
Teungku Peukan dilahirkan pada fase awal pergolakan Belanda melawan Aceh, hal ini tentu saja mempengaruhi watak beliau semasa dewasa. Terutama dalam pembentukan nilai dan spirit melawan kolonialisme dengan memberi stigma “kaphe” sehingga memeranginya adalah kewajiban bagi setiap muslim. Penolakan keberadaan dan pergolakan terhadap kolonial Belanda yang terbentuk secara psikologis mempengaruhi karakteristik masyarakat Aceh yang sangat antikolonial dengan menyebut mereka kafir (kaphe murakab).
Berangkat dari figur orangtua seorang ulama yang karismatik di kenegerian Manggeng, yang menurunkan watak Teungku Peukan yang tinggi kecintaannya kepada agama dan negerinya seperti yang telah dianjurkan oleh agama Islam, sehingga kewajiban membela Islam dari kolonial sangat kentara mewarnai perjuangan Teungku Peukan. Hal itu terlihat ketika persiapan menjelang penyerangan, di mana diadakan “pembersihan diri” dengan melakukan wirid dan zikir untuk memohon restu dari Allah SWT. Sebagai pemimpin agama dan elit masyarakat di Manggeng tentu saja membuat dimensi lain dari resistensi Teungku Peukan yang bernuansa jihad fisabilillah terhadap kolonialis Belanda di Aceh Barat Daya.
Kenyataan ini diwaspadai oleh Belanda karena kekuatan yang masih bertahan di Aceh hanyalah kekuatan dari ulama seperti Teungku Dayah, Teungku Rangkang dan Teungku Meunasah, karena “bangsawan” sudah dapat “dipengaruhi” dengan pemberian fasilitas dan akses yang besar dalam penguasaan pungutan belasting atau pajak dan juga sistem penyelesaian sengketa di dalam masyarakat di wilayah uleebalangnya, sehingga masyarakat cenderung menjadi oposisi terhadap bangsawan karena kebijakan represifnya.
Posisi Teungku Peukan sebagai leader of spiritual dalam masyarakat di Manggeng menghadapi kolonial Belanda, menjadi pemicu peningkatan moralitas para pendukungnya. Figur ulama menjadi barometer atau motor utama dalam resistensi terhadap kolonialisme di Aceh Barat Daya, di samping perjuangan yang digerakkan oleh kaum feodal atau bangsawan. Namun setelah Belanda berhasil melakukan pengkajian terhadap peta kekuatan dan melihat dua sisi internal yang sangat berpengaruh di dalam masyarakat Aceh yaitu teungku/pemimpin agama dan uleebalang sebagai pemimpin adat. Kedua kekuatan itu dianggap seperti dua sisi mata uang yang saling berkaitan erat antara satu sisi dengan sisi lainnya, sehingga keduanya harus “dipressure” agar mau bekerjasama.
Pengaruh ajaran Islam sangat besar dalam menggerakkan resistensi terhadap kolonial. Islam telah mewanti-wanti kewajiban seseorang atau kaum untuk membela diri, agama dan tanah air hingga ke tetes darah penghabisan dengan imbalan surga sebagai “reward”. Hal inilah yang membuat perang di Aceh menjadi unik dan spesifik ketika melawan kolonial Belanda, yaitu perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah di wilayah Indonesia.
Kondisi ini juga diwaspadai Belanda sehingga perlu dipisahkan kekuatan yang telah menyatu tersebut sebagai upaya menjaga kontrol hegemoni dari kolonial untuk kelanggengan posisinya di Aceh Barat Daya. Upaya mereka terlihat dengan adanya rekrutmen intelijen dan spionase dari masyarakat untuk memantau aktivitas dakwah Teungku Peukan yang dianggap dapat mengancam posisi Belanda di sana. Ulah intelijen dan spionase lokal yang digunakan Belanda tersebut, bermuara kepada pemboikotan terhadap aktivitas-aktivitas dakwah yang dilakukan Teungku Peukan di sekitar kenegerian Manggeng.
Taktik devide et impera sangat ampuh diterapkan Belanda di Aceh Barat Daya, namun belum berhasil membangkitkan amarah Teungku Peukan untuk segera melakukan resistensi. Padahal beberapa kerabat Teungku Peukan ingin menyegerakan resistensi terhadap kolonial tersebut. Belanda terus memancing amarah Teungku Peukan dengan pengajuan penarikan pajak tanah atau belasting yang sudah tiga tahun dibebaskan oleh uleebalang Manggeng kepadanya. Teungku Peukan tetap tidak mau membayar pungutan belasting tersebut. Berdasarkan alasan inilah kolonial Belanda berkeinginan menangkap Teungku Peukan untuk diadili. Namun, beliau terlebih dahulu menyiapkan siasat dengan menyerang secara ofensif tangsi Belanda melalui pengerahan massa, terutama mereka yang beroposisi dengan uleebalang Manggeng. Dalam penyerangan ini Teungku Peukan dibantu kerabat dan simpatisannya.
B.Kondisi Menjelang Penyerangan Tangsi
Pada malam menjelang peristiwa penyerangan, Teungku Peukan dan pasukannya melakukan ritual keagamaan berupa wirid dan zikir untuk pembersihan diri dan penyerahan diri secara sakral yang dilakukan di Meunasah Ayah Gadeng Manggeng. Para pejuang melakukan breefing terhadap pasukannya di daerah Manggeng, pada saat hendak melakukan penyerangan ke tangsi Blangpidie. Setelah pengaturan “setting awal” serangan, Teungku Peukan lalu mengerahkan pasukannya menuju Blangpidie dengan menempuh jalan kaki sejauh 20 kilometer. Longmarch pasukan ini dilakukan pada tengah malam memasuki hari Jum’at tanggal 11 September 1926. Seluruh pasukan memakai pakaian hitam dengan celana hitam. Khusus panglima menggunakan seuleumpang kuneng (selempang kuning), sedangkan para pejuang menggunakan pakaian hitam dengan lilitan ija kuneng (kain kuning) di pinggang mereka.
Seluruh pejuang diwajibkan menyingsingkan celana hingga sejengkal di atas mata kaki atau tumit untuk menciptakan aura kesigapan, kecepatan dan ketidaksombongan. Sebagai colourguard (pengibar panji perang) dipercayakan kepada putranya Talaha untuk mengobarkan semangat jihad dalam menggempur “kaphe Beulanda”. Sepanjang malam hingga menjelang fajar, pekikan suara takbir terus membahana di sepanjang jalan antara Manggeng-Blangpidie.
Menjelang fajar, seluruh anggota pasukan Teungku Peukan telah tiba di Blangpidie. Sambil melepaskan lelah dan dahaga, pasukan melakukan breefing dan mengatur strategi penyerangan ke dalam tangsi Blangpidie.
Setelah beristirahat di Balee Teungku Di Lhoong, Dayah Geulumpang Payong kemukiman Kutatinggi, seluruh pejuang disiapkan dalam siaga penuh. Pasukan pejuang dibagi menjadi tiga sektor, sesuai dengan penentuan arah serangan yang telah ditetapkan oleh Teungku Peukan. Ketiga sektor itu, masing-masing dipimpin oleh seorang panglima sektor. Saat penyerangan itu, Teungku Peukan dibantu oleh Said Umar, Waki Ali dan Nyak Walad.
C. Peristiwa 11 September 1926
Serangan fajar secara sporadis dan dahsyat dilakukan oleh pasukan Teungku Peukan menjelang subuh bertepatan masuknya hari Jum’at tanggal 11 September 1926. Serangan dari pejuang pengikut Teungku Peukan pada Subuh itu membuat serdadu Belanda di dalam tangsi kucar-kacir. Sebagian marsose yang sedang tertidur pulas ditewaskan dengan serangan kelewang dan rencong pejuang Aceh Barat Daya. Sebagian lainnya terluka dan hanya tiga marsose yang selamat dalam serangan fajar itu.
Dikisahkan, dalam serangan itu beberapa kali senapan marsose Belanda tidak dapat meletus ketika akan menembaki para pejuang di pihak Teungku Peukan. Para pejuang dari “Bumo Breueh Sigeupai” terus maju menggempur dan memporak-porandakan marsose dan isi tangsi Belanda. Serangan di pagi itu ke dalam tangsi Belanda membuat “banjir darah” di Blangpidie, baik di pihak pejuang maupun marsose. Sebagai wujud rasa syukur, Teungku Peukan kemudian mengumandangkan azan.
Saat mengumandangkan azan, seorang marsose Belanda melepaskan tembakan yang membuat Teungku Pekan “syahid” ke pangkuan “Bumo Persada”. Dalam situasi dan kondisi yang sangat genting, Teungku Muhammad Kasim (putra Teungku Peukan) menjadi emosional dan dengan serta-merta menyerang dengan semangat “tueng bila”. Ia meraih potongan pecahan kaca yang bertaburan di dalam tangsi untuk menghantam tubuh salah seorang marsose. Sebelum kaca mengenai tubuh lawan, hantaman peluru dari marsose lainnya menembusi tubuhnya yang membuat beliau ikut gugur di dalam serangan itu.
Teungku Peukan kemudian dimakamkan tidak jauh dari lokasi tertembak dan gugur, yaitu di sekitar Mesjid Jamik Blangpidie dekat tangsi Belanda. Beliau meninggal pada hari Jum’at, tanggal 11 September 1926. Dalam serangan itu, bersama Teungku Peukan, gugur lima orang pejuang lainnya.
Beberapa panglima dan pejuang yang selamat, melarikan diri dan kembali bergerilya di hutan-hutan di daerah pedalaman Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan, di antaranya Pang Paneuk dan Sidi Rajab.
Sistem lini konsentrasi yang dilakukan Belanda semakin ketat, membuat para pejuang Aceh Barat Daya banyak yang gugur dan tertangkap. Mereka diinterniran ke pulau Jawa, seperti Waki Ali dan Nyak Walad, sedangkan Said Umar “dibuang” ke Makassar Sulawesi Selatan.
Pada bulan Maret 1927, saat pasukan marsose melakukan sweeping ke markas gerilyawan di Gunong Sabi, mereka kembali disergap oleh pejuang Aceh Barat Daya. Dalam penyergapan itu, beberapa korban jatuh di pihak marsose Belanda. Teuku Nana sebagai uleebalang Manggeng yang dituduh menutup-nutupi laporan tentang aktivitas para gerilyawan kepada Belanda mengakibatkan ia dicopot dari jabatan sebagai uleebalang Manggeng. Setelah itu uleebalang Mangeng dipegang oleh beberapa pengganti, di antaranya Cut Mamat. Baru pada tahun 1933 Belanda mengangkat Teuku Raja Iskandar menjadi uleebalang di Manggeng.
BAB III
P e n u t u p
A. S i m p u l a n
Teungku Peukan sebagai leader of spritual dan sekaligus pejuang dalam masyarakat Manggeng Aceh Barat Daya. Keheroikan dan kearifan beliau dalam memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat lokal dari kebijakan represif kolonial Belanda melalui tekanan uleebalang harus tetap dihargai. Kebijakan Belanda yang eksploitatif dalam mengeksplorasi sumber daya alam dan tenaga, terutama pungutan belasting atau pajak bumi dan rodi untuk kepentingan kolonialisme di “Bumo Breuh Sigeupai” memang harus tetap dilawan.
Setelah Teungku Peukan syahid dan tertangkapnya beberapa tokoh perlawanan dan perjuangan lainnya, di Aceh Barat Daya serangan terhadap marsose Belanda masih saja terjadi dari akhir tahun 1926 hingga tahun 1930-an. Hal ini akibat dari represivitas dari sistem lini konsentrasi yang dilakukan Belanda membuat kepanikan di dalam masyarakat Aceh. Setelah serangan Teungku Peukan di tangsi Blangpidie pada tahun 1926, Guru Ceubeh dan pengikutnya kembali melakukan penyergapan marsose Belanda di Gunong Sabi, pada tahun 1933. Serangan-serangan ini adalah bukti konkret dari eksistensi resistensi masyarakat terhadap kekuasaan kolonial di Aceh Barat Daya.
Sampai akhir kekuasaannya di Aceh Barat Daya kolonial Belanda masih saja menerapkan politik “kekerasan” dalam mengeksploitasi sumber daya alam, terutama dalam pungutan pajak tanah (belasting) dan pengerahan tenaga dalam menggenjot “finansial” mereka. Saat “zaman malaisse” menghantam perekonomian dunia saat itu, perekonomian kolonial semakin fluktuatif sehingga pada tataran lokal peranan uleebalang semakin digenjot. Akibatnya, sebagai puncak kekesalan masyarakat maka lahirlah bentuk-bentuk resistensi lain terhadap kolonial seperti yang dikenal dengan Atjehmoorden, baik yang dilakukan secara individual ataupun secara berkelompok terhadap akses-akses dan kepentingan kolonial di Aceh Barat Daya.
B. S a r a n
Perjuangan Teungku Peukan dan pejuang-pejuang lainnya adalah representasi keheroikan pahlawan Aceh Barat Daya yang telah berjuang dengan kegigihan dan ketabahan hingga titik darah penghabisan terhadap eksistensi kolonialisme. Kiranya perjuangan dan ketabahan itu dapat memberi “spirit” bagi stakeholder dalam membangun daerahnya, bagi kemakmuran rakyat dengan menghargai jasa-jasa perjuangan para pahlawannya demi kejayaan daerah, bangsa dan negara.
Publikasi terhadap keberadaan pejuang atau pahlawan di daerah harus dilakukan, seperti pembangunan monumen dan pembuatan prasasti pada pusara “para syuhada” perlu segera dilakukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Posisi makam Teungku Peukan yang sangat strategis di tengah kota Blangpidie, tepatnya di kompleks sebelah Barat Mesjid Jamik Blangpidie dan sekitar tangsi Belanda merupakan aset potensial bagi “wisata ziarah” dan “wisata sejarah” di kabupaten ini, sehinga harus tetap dilestarikan dan menghindari perilaku vandalisme yang semakin marak dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar. H. Said., 1995, Berjuang Untuk Daerah : Otonomi Hak Azazi Insani, Banda Aceh : Yayasan Nagasakti.
Ahmad, Zakaria,(ed)., 2007, Negeri dan Rakyat Aceh Barat Daya Dalam Lintasan Sejarah Menuju Daerah Otonom, Blangpidie : Pemda ABDYA.
Bappeda Abdya., 2003, Aceh Barat Daya Dalam Angka, Blangpidie : Pemda Aceh Barat Daya.
Doup, A., Beknopt Overzicht van de Krujggeschiedenis van Tapa’toean en de Zuidelijk Achehsche Landschappen Korps Marechausse Atjeh April, 2.1890-1940.
Harian Kompas, 1 April 2004., Kabupaten Aceh Barat Daya, Jakarta: PT Gramedia.
Suara Rakyat Abdya., 2007, Dari Napak Tilas Teuku Peukan 10 September 2007. Edisi Kedua, Blangpidie : DPRK Aceh Barat Daya.
Tarmizi Ismail., Agustus 2004, Gambaran Umum Perintis Kemerdekaan RI Pejuang Daerah dan Cita-Cita Bangsa Saat Ini, Makalah Seminar Sehari Untuk Siswa,SD,SMP, dan SMA Se-Kabupaten ABDYA, Blangpidie : Dinas Sosial Kabupaten ABDYA.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2002, Tanggal 10 April 2002, Lembaran Negara No. 17 Tahun 2002/Tambahan Lembaran Negara No. 4179
Z.Thamrin,M., 2007., Peranan Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan dalam Perang Kemerdekaan di Aceh, Majalah Swadaya Edisi 04/I/April 2007 Jakarta : Swadaya.
Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Boelach Goehang  [http://anisabulah.blogspot.com/]. Boelach Goehang adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.
\
http://plik-u.com/?p=808

JANGAN LUPA