A. Pendahuluan
Setiap komunitas di dunia memiliki karakteristik khas, yang membedakan satu komunitas dengan komunitas lainnya. Pengetahuan terhadap karakteristik khas ini sangat diperlukan tatkala kita akan menjalin hubungan atau komunikasi dengan komunitas tersebut, sehingga kita akan terhindar dari konflik yang tidak diinginkan dan akan mempermudah kita masuk ke dalam dunia budaya komunitas tersebut.
Tulisan ini akan membahas tentang salah satu karakteristik masyarakat Aceh, yaitu tueng bila. Bagi masyarakat Aceh kata ini tidak asing lagi. Akan tetapi, bagi masyarakat luar Aceh tentunya belum banyak mengenal dengan istilah ini. Diharapkan tulisan ini akan membantu pemahaman tentang salah satu aspek dari karakteristik dari masyarakat Aceh, khususnya di era kolonialisme Belanda.
B.Makna Tueng Bila
Tueng bila merupakan bagian dari protipe watak orang Aceh, yang tampak pada pikiran, perilaku, tindakan, sikap, dan tutur kata. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Harun (2008: 16) terhadap hadih maja yang mengandung nilai filosofis, tampak bahwa orang Aceh memiliki prototipe watak yang (1) reaktif, (2) militan, (3) optimis, (4) konsisten, dan (5) loyal. Ciri-ciri tersebut mewarnai pola pikir dan pola tindak mereka dalam kehidupan, salah satunya terkait dengan perilaku tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh. Menurut Syamsuddin (2000) bahwa tueng bila itu sifat dari orang Aceh untuk balas dendam terhadap sesuatu yang mana balas dendam tersebut dapat dilakukan kapanpun juga tergantung kesempatan.
Oleh karena itu, istilah tueng bila merupakan suatu kata yang tidak asing lagi bagi kalangan ureung Aceh. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam adat dan kebiasaan ureueng Aceh perkataan tueng bila sudah sangat terikat dengan kepribadiannya (Sufi, 2003; Adan, 2006: 86). Menurut Aboebakar dkk (2001: 1004) dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, Teung bila berasal dari dua suku kata, yaitu tueng dan bila yang artinya mengambil atau menuntut bela. Akan tetapi, dalam buku Kamus Aceh-Bahasa Indonesia (Aboebakar dkk, 2001: 83) terdapat juga kata bila yang merupakan kata benda dari bela yang artinya pembalasan, menuntut ajal lawan atau keluarganya sedangkan kata Tueng dapat diartikan sebagai menerima (Daud dan Durie, 2002: 42), atau dapat juga diartikan menjemput, Dengan demikian, tueng bila dapat diartikan menjemput atau menuntut balas/ajal terhadap lawan atau keluarganya.
Sufi (2003: 14) mengartikan tueng bila sebagai menuntut bela. Tentunya, seorang Aceh akan menuntut atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela ini hendaknya diartikan dalam kerangka yang positif karena memang dalam bahasa Aceh terdapat pula perkataan menuntut balas (dendam) yang disebut dam dan menyimpan dendam (tr?h dam). Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif. Selanjutnya, Sufi mengatakan bahwa,
“Dalam buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Belanda pada masa lalu ada yang menyebutkan bahwa orang Aceh itu pendendam. Gambaran ini sebenarnya keliru. Orang Aceh sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya sebenarnya hanya mengenal kata tueng bila, maksudnya menuntut bela. Seorang Aceh akan menuntut bela atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Ini dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 178 atau surat Al Maidah ayat 45. Akan tetapi, karena prinsip hidup orang Aceh yang lebih menyukai damai itu, maka menjadi tugas bagi eumbah atau ma di sebuah kampung, sebagai tokoh-tokoh yang berwibawa untuk bertindak, sehingga semua persoalan sengketa dapat dinetralkan kembali dalam pergaulan masyarakat di kampung itu. Memang dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam yang disebut dam. Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif. Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan daripada yang disebut di atas, maka orang ini tidak memahami prinsip hidupnya sebagai orang Aceh”.
Adan (2006: 85) menyatakan bahwa tueng bila yang dalam bahasa Melayu bermakna sebagai balas dendam merupakan sebuah fenomena lama yang dapat dikonotasikan juga sedikit negatif dalam arti sebuah pembalasan dendam. Selanjutnya, apabila kita telusuri lebih jauh makna serta hakikat daripada kata tueng bila, ia tidak terlepas dari sebuah manifestasi imaginasi konkrit dari seseorang yang merasa dikhianati untuk meluruskan persoalan yang sebenarnya. Dalam hal ini, Adan mengatakan bahwa,
“Selalunya tueng bila terjadi sebagai umpan balik dari sesuatu pengkhinatan yang tidak bisa diterima akal sehat dan hukum syara’, seumpama penipuan, pemerkosaan, pembunuhan tanpa syarat, pencurian, dan sebagainya. Dalam kamus orang Aceh lama tueng bila ini merupakan sesuatu yang mesti dilakukan untuk menebus kerugiannya walau apapun risiko yang akan menimpa dirinya, aksi seumpama ini kerap terjadi dalam kehidupan bermasyarakat setelah pihak berkuasa gagal atau tidak tahu menyelesaikan sesuatu konflik yang merugikan salah satu pihak daripada mereka”.
Ajaran agama Islam sebenarnya juga mengenal menuntut balas atau membela kehormatan. Akan tetapi, menuntut balas yang dilakukan adalah atas kerugian yang diderita. Pada masa Nabi Muhammad SAW penyerangan-penyerangan tentara Islam terhadap orang kafir dilakukan setelah lebih dahulu diberikan peringatan serta ajakan untuk memilih agama yang benar. Selain itu, keputusan untuk melaksanakan hukum hudud dan qishas, merajam melalui persetujuan Nabi Muhammad SAW.
Menuntut balas bukan dilakukan berdasarkan pada subjektifitas seseorang dan merupakan wajib bagi umat Islam. Dasar dari menuntut balas ini terdapat pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178, yang artinya,
Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas1 berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (pampasan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rakhmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia mendapat azab yang sangat pedih.
Selain itu juga pada surat Al Maidah ayat 45 disebutkan upaya menuntut balas diwajibkan bagi umat Islam, yang artinya,
Kami telah menetapkan bagi mereka didalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus bagi dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.
Oleh karena itu, menurut Ismail (2006:3), asas tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh harus memenuhi kriteria tertentu, tidak asal melakukannya begitu saja. Selanjutnya Ismail menyatakan sebagai berikut,
“Dalam kehidupan keluarga Aceh, tidak ada ”dendam”, karena amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). ”Tueng bila” dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain”.
C.Tueng Bila Pada Masa Kolonialisme Belanda
Perang Belanda di Aceh merupakan salah satu perang yang dikategorikan cukup lama, membawa korban banyak dan biaya yang besar. Dalam rangka menyelesaikan perang agar tidak terus berkepanjangan ini, Belanda menugaskan Snouck Hurgronje untuk mengadakan penelitian. Hasil penelitian, rakyat Aceh yang taat beragama Islam tidak mungkin menyerah kepada kafir sebelum mereka ditundukkan dengan kekerasan, sikap menunggu dan kompromi tidak akan membawa hasil. Hasil penelitian ini kemudian dijabarkan dengan membentuk korps Marechausee, pasukan berani mati dan sangat kejam. Dengan gerak cepat, pasukan ini akhirnya dapat menaklukkan daerah-daerah sejak dari Aceh Besar sampai ke pantai timur (Doup, 1930; Schmidt, 1942). Setelah Kuta (benteng) Batee Iliek (Samalanga) (1901) menyusul Peukan Baro dan Peukan Sot (1902) (Pidie) jatuh ke tangan Jend. Van Heutsz pasukan reguler Sultan kian terdesak. Akhirnya, karena mendapat tekanan yang terus menerus dan tertangkapnya istri-istri sultan, Pocut Murong dan Pocut Putroe, maka Sultan pun terpaksa menghentikan perlawanan dan berdamai pada tahun 1903 setelah 29 tahun berperang melawan kompeni Belanda.
Walaupun begitu, perlawanan individu-individu masyarakat Aceh tetap berlangsung. Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh Belanda telah memicu dendam yang tidak berkesudahan bagi pribadi-pribadi ureueng Aceh. Menurut Abdullah (1996: 18) tradisi wali dan karong, turunan darah pihak ayah dan turunan darah pihak ibu sebagai pihak pertama dan pihak kedua yang akan bangkit menuntut bela (tueng bila) atas kematian keluarganya.2 Kesiapan menuntut bela ini merupakan prestise dan martabat keluarga. Jika tidak ada seorang pun yang bangkit membalaskan dendam keluarga, takut menghadapi musuh, maka keluarga tersebut dipandang tidak berharga sedikit pun di mata masyarakat. Oleh karena itu, seorang pemuda yang tidak terjun ke medan perang untuk menuntut bela kematian orang tuanya akan menerima sanksi yang berat dari masyarakat. Bahkan istri-istri yang ditinggal gugur oleh suaminya bangkit menuntut bela suami-suaminya (misalnya, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan lain-lain). Tradisi ini ditambah dengan fanatisme agama, perang sabililillah yang dipompakan melalui pembacaan Hikayat Prang Sabi yang termasyur itu lengkaplah pemicu perang yang sulit dipatahkan oleh Belanda. Oleh karena itu, tueng bila pada masa kolonial Belanda mewujud dalam perilaku bertempur habis-habisan sampai menemui syahid dan perlawanan secara sendiri-sendiri, yang disebut oleh ureueng Aceh sebagai aksi poh kaphe atau Aceh Moorden bagi orang Belanda. Untuk itu, R.A. Kern (1994: 75) yang pernah mengadakan penyelidikan tentang motivasi perang dilakukan oleh rakyat, menyatakan tentang latar belakang timbulnya pembunuhan-pembunuhan Aceh dilakukan karena rasa/komplek benci kaphe/kaphe complex yang dimilikinya dengan cara tueng bila. Selanjutnya, Kern mengatakan bahwa,
“Hal itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebencian yang meluap-luap terhadap orang-orang yang dianggap kafir dan adanya hasrat mati syahid. Selain itu, juga karena adanya perasaan ingin tueng bila (semacam balas dendam) terhadap mereka yang telah membunuh keluarganya atau kepada mereka yang telah membuat malu keluarga atau dirinya”.
Motif pembalasan dendam yang dilakukan dengan modus tueng bila, menurut Kern seperti disebut di atas, dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, yaitu perlakuan tidak baik, perampasan kebebasan, melukai perasaan, keresahan karena tidak diperlakukan secara adil, perlakuan yang tidak adil oleh kepala-kepala, patah hati karena asmara, tidak puas menurut perasaan keadilan.
Kebencian yang meluap-luap atas keberadaan kafir Belanda di Aceh yang telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan dan mengakibatkan kematian anggota keluarga membuat seseorang ingin melakukan tueng bila. Hal ini tampak pula pada diri pahlawan nasional Cut Nyak Dhien. Sufi (2008: 10) menyatakan hasrat tueng bila pada diri Cut Nyak Dhien ini tampak pada pernyataan sebagai berikut,
“Hasrat Cut Nyak Dhien untuk melakukan tueng bila atas kematian suaminya yang merupakan salah satu penyebab mengapa ia bersedia nikah lagi dengan Teuku Umar yang telah beristri dua. Di sini jelas bahwa Cut Nyak Dhien memanfaatkan Teuku Umar yang dianggap mempunyai potensi dalam upaya untuk tueng bila atas kematian suaminya yang pertama…”
Berikut ini juga ditampilkan salah satu pembunuhan yang didasari oleh semangat tueng bila terhadap seorang perwira Belanda yang dilaporkan Komandan Divisi 5 Marsose, Anton yang dikutip oleh Sufi (2002: v) yang mengatakan bahwa
“Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten C.E. Schmid, komandan Divisi 5 Korps Marsose di Lhoksukon pada tanggl 11 Juli 1933 yang dilakukan oleh Amat Lepon, sementara pada bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaraja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini. Amat Lepon menyaksikan ayahnya Teungku Beureunuen syahid tewas ditembak serdadu Belanda tatkala ia berumur 10-12 tahun, rasa dendam dengan semangat ingin menuntut bela (tueng bila) dipendamnya selama lebih 20 tahun kemudian”.
Hal tersebut juga diakui pula oleh Adan (2006: 87) yang menyatakan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh melawan Belanda merupakan manifestasi dari tueng bila yang melekat dalam jiwa dan raga para mujahid besar, seperti Teungku Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien, Fakinah, Pocut Baren, dan lain-lain. Beberapa kasus yang dapat ditangkap sebagai wujud perilaku tueng bila tampak dari pernyataan Adan di bawah ini,
“Menghayati proses tueng bila bagi bangsa Aceh memang sungguh sangat menarik serta punya makna tersendiri. Sejarah telah mencatat apabila orang Aceh telah meudarah ate (sakit hait yang sangat mendalam), maka jalan keluarnya adalah tueng bila. Dua contoh yang dikemukakan penulis terkemuka H.M. Zainuddin merupakan rujukan saheh serta akurat walaupun tidak berani dijadikan referensi. Ketika perang melawan Belanda sedang berkecamuk di bumi Aceh seorang kampung Nyong di Kecamatan Geulumpang Minyeuk (sekarang Geulumpang Baro), Pidie, Abdul Hamid dengan bersahaja seorang diri menghadang pasukan Belanda di sebuah jambo (gubuk) di tengah sawah untuk membunuh sebagai sebuah manifestasi tueng bila terhadap pembunuhan orang-orang kampung tersebut oleh pihak Belanda. Dalam kasus lain seorang perempuan setengah baya dalam sebuah kereta api dari arah Langsa ke Sigli dengan geramnya menusuk seorang Belanda yang tengah duduk santai di kursi kereta api tersebut. Ketika ditanyai orang banyak sang wanita menjawab: aku benci kafir itu yang telah menghancur luluhkan Islam dan ummat Islam di bumi ini dan itulah ganjaran tueng bila daripadaku, ujarnya tegas”.
D.Penutup
Salah satu karakteristik ureueng Aceh adalah melakukan tueng bila. Perbuatan ini dilaksanakan dalam rangka menuntut bela atas kerugian yang pernah diderita. Jadi tueng bila dilakukan bukan tanpa alasan. Kalau tidak ada masalah, tentunya tidak ada tueng bila. Oleh karena itu, ketika Belanda masuk ke Aceh dan menimbulkan korban, baik harta maupun nyawa serta harkat dan martabat masyarakat Aceh, uereueng Aceh melakukan tueng bila terhadap pihak Belanda.
Catatan Akhir
1. Qisas ialah hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia.
2. Motivasi berperang melawan Belanda bagi ureueng Aceh dapat dikarenakan mencari syahid, ingin membalas atas kematian anggota keluarga/kawomnya, dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Aboebakar dkk
2001 Kamus Bahasa Aceh-Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Adan, Hasanuddin Yusuf
2006 Politik dan Tamaddun Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Aceh.
Daud, Bukhari dan Mark Durie
2002 Kamus Bahasa Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Harun, Mohd
2008 “Prototipe Watak Orang Aceh”, Jeumala No. 25/2008. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Ismail, Badruzzaman
2006 ”Pengaruh Faktor Budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian dan Rekonstruksi”, Makalah disampai-kan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute, Darussalam, tanggal 20 September 2006.
Kern, R.A.
1994 Hasil-hasil Penyelidikan Sebab-Musabab terjadinya Pembunuhan Aceh (terj. Aboebakar). Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Sufi, Rusdi
1997 “Pembunuhan Khas Aceh dan Sebutan Aceh Pungo”. Serambi Indonesia, 15 Desember.
2000 ”Sikap Pusat Bisa Lahirkan Aceh Pungo”, dalam Kontras No. 95 Tahun II 25 Juli – 2 Agustus 2000.
2002 “Kata Sambutan Pembunuhan Khas Aceh dan Kelirunya Sebutan Aceh Pungo” dalam Ridwan Azwad dan Ramli A. Dally (eds.) Aksi Poh Kaphe di Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
2003 “Etnis Aceh”, dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2008 “Menelusuri Tindak Cut Nyak Dhien melawan Kolonial Belanda (sebagai inspirasi bagi Perempuan di Era Pembangunan)”, Makalah disampaikan pada Seminar di Rumah Cut Nyak Dien Lampisang yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan di Banda Aceh tanggal 6 November.
Syamsuddin, Teuku
2000 “Sayam Itu Langkah Terakhir Setelah Dialog” dalam Kontras No. 95 Tahun II 25 Juli – 2 Agustus 2000.
Tueng bila merupakan bagian dari protipe watak orang Aceh, yang tampak pada pikiran, perilaku, tindakan, sikap, dan tutur kata. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Harun (2008: 16) terhadap hadih maja yang mengandung nilai filosofis, tampak bahwa orang Aceh memiliki prototipe watak yang (1) reaktif, (2) militan, (3) optimis, (4) konsisten, dan (5) loyal. Ciri-ciri tersebut mewarnai pola pikir dan pola tindak mereka dalam kehidupan, salah satunya terkait dengan perilaku tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh. Menurut Syamsuddin (2000) bahwa tueng bila itu sifat dari orang Aceh untuk balas dendam terhadap sesuatu yang mana balas dendam tersebut dapat dilakukan kapanpun juga tergantung kesempatan.
Oleh karena itu, istilah tueng bila merupakan suatu kata yang tidak asing lagi bagi kalangan ureung Aceh. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam adat dan kebiasaan ureueng Aceh perkataan tueng bila sudah sangat terikat dengan kepribadiannya (Sufi, 2003; Adan, 2006: 86). Menurut Aboebakar dkk (2001: 1004) dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, Teung bila berasal dari dua suku kata, yaitu tueng dan bila yang artinya mengambil atau menuntut bela. Akan tetapi, dalam buku Kamus Aceh-Bahasa Indonesia (Aboebakar dkk, 2001: 83) terdapat juga kata bila yang merupakan kata benda dari bela yang artinya pembalasan, menuntut ajal lawan atau keluarganya sedangkan kata Tueng dapat diartikan sebagai menerima (Daud dan Durie, 2002: 42), atau dapat juga diartikan menjemput, Dengan demikian, tueng bila dapat diartikan menjemput atau menuntut balas/ajal terhadap lawan atau keluarganya.
Sufi (2003: 14) mengartikan tueng bila sebagai menuntut bela. Tentunya, seorang Aceh akan menuntut atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela ini hendaknya diartikan dalam kerangka yang positif karena memang dalam bahasa Aceh terdapat pula perkataan menuntut balas (dendam) yang disebut dam dan menyimpan dendam (tr?h dam). Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif. Selanjutnya, Sufi mengatakan bahwa,
“Dalam buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Belanda pada masa lalu ada yang menyebutkan bahwa orang Aceh itu pendendam. Gambaran ini sebenarnya keliru. Orang Aceh sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya sebenarnya hanya mengenal kata tueng bila, maksudnya menuntut bela. Seorang Aceh akan menuntut bela atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Ini dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 178 atau surat Al Maidah ayat 45. Akan tetapi, karena prinsip hidup orang Aceh yang lebih menyukai damai itu, maka menjadi tugas bagi eumbah atau ma di sebuah kampung, sebagai tokoh-tokoh yang berwibawa untuk bertindak, sehingga semua persoalan sengketa dapat dinetralkan kembali dalam pergaulan masyarakat di kampung itu. Memang dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam yang disebut dam. Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif. Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan daripada yang disebut di atas, maka orang ini tidak memahami prinsip hidupnya sebagai orang Aceh”.
Adan (2006: 85) menyatakan bahwa tueng bila yang dalam bahasa Melayu bermakna sebagai balas dendam merupakan sebuah fenomena lama yang dapat dikonotasikan juga sedikit negatif dalam arti sebuah pembalasan dendam. Selanjutnya, apabila kita telusuri lebih jauh makna serta hakikat daripada kata tueng bila, ia tidak terlepas dari sebuah manifestasi imaginasi konkrit dari seseorang yang merasa dikhianati untuk meluruskan persoalan yang sebenarnya. Dalam hal ini, Adan mengatakan bahwa,
“Selalunya tueng bila terjadi sebagai umpan balik dari sesuatu pengkhinatan yang tidak bisa diterima akal sehat dan hukum syara’, seumpama penipuan, pemerkosaan, pembunuhan tanpa syarat, pencurian, dan sebagainya. Dalam kamus orang Aceh lama tueng bila ini merupakan sesuatu yang mesti dilakukan untuk menebus kerugiannya walau apapun risiko yang akan menimpa dirinya, aksi seumpama ini kerap terjadi dalam kehidupan bermasyarakat setelah pihak berkuasa gagal atau tidak tahu menyelesaikan sesuatu konflik yang merugikan salah satu pihak daripada mereka”.
Ajaran agama Islam sebenarnya juga mengenal menuntut balas atau membela kehormatan. Akan tetapi, menuntut balas yang dilakukan adalah atas kerugian yang diderita. Pada masa Nabi Muhammad SAW penyerangan-penyerangan tentara Islam terhadap orang kafir dilakukan setelah lebih dahulu diberikan peringatan serta ajakan untuk memilih agama yang benar. Selain itu, keputusan untuk melaksanakan hukum hudud dan qishas, merajam melalui persetujuan Nabi Muhammad SAW.
Menuntut balas bukan dilakukan berdasarkan pada subjektifitas seseorang dan merupakan wajib bagi umat Islam. Dasar dari menuntut balas ini terdapat pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178, yang artinya,
Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas1 berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (pampasan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rakhmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia mendapat azab yang sangat pedih.
Selain itu juga pada surat Al Maidah ayat 45 disebutkan upaya menuntut balas diwajibkan bagi umat Islam, yang artinya,
Kami telah menetapkan bagi mereka didalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus bagi dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.
Oleh karena itu, menurut Ismail (2006:3), asas tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh harus memenuhi kriteria tertentu, tidak asal melakukannya begitu saja. Selanjutnya Ismail menyatakan sebagai berikut,
“Dalam kehidupan keluarga Aceh, tidak ada ”dendam”, karena amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). ”Tueng bila” dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain”.
C.Tueng Bila Pada Masa Kolonialisme Belanda
Perang Belanda di Aceh merupakan salah satu perang yang dikategorikan cukup lama, membawa korban banyak dan biaya yang besar. Dalam rangka menyelesaikan perang agar tidak terus berkepanjangan ini, Belanda menugaskan Snouck Hurgronje untuk mengadakan penelitian. Hasil penelitian, rakyat Aceh yang taat beragama Islam tidak mungkin menyerah kepada kafir sebelum mereka ditundukkan dengan kekerasan, sikap menunggu dan kompromi tidak akan membawa hasil. Hasil penelitian ini kemudian dijabarkan dengan membentuk korps Marechausee, pasukan berani mati dan sangat kejam. Dengan gerak cepat, pasukan ini akhirnya dapat menaklukkan daerah-daerah sejak dari Aceh Besar sampai ke pantai timur (Doup, 1930; Schmidt, 1942). Setelah Kuta (benteng) Batee Iliek (Samalanga) (1901) menyusul Peukan Baro dan Peukan Sot (1902) (Pidie) jatuh ke tangan Jend. Van Heutsz pasukan reguler Sultan kian terdesak. Akhirnya, karena mendapat tekanan yang terus menerus dan tertangkapnya istri-istri sultan, Pocut Murong dan Pocut Putroe, maka Sultan pun terpaksa menghentikan perlawanan dan berdamai pada tahun 1903 setelah 29 tahun berperang melawan kompeni Belanda.
Walaupun begitu, perlawanan individu-individu masyarakat Aceh tetap berlangsung. Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh Belanda telah memicu dendam yang tidak berkesudahan bagi pribadi-pribadi ureueng Aceh. Menurut Abdullah (1996: 18) tradisi wali dan karong, turunan darah pihak ayah dan turunan darah pihak ibu sebagai pihak pertama dan pihak kedua yang akan bangkit menuntut bela (tueng bila) atas kematian keluarganya.2 Kesiapan menuntut bela ini merupakan prestise dan martabat keluarga. Jika tidak ada seorang pun yang bangkit membalaskan dendam keluarga, takut menghadapi musuh, maka keluarga tersebut dipandang tidak berharga sedikit pun di mata masyarakat. Oleh karena itu, seorang pemuda yang tidak terjun ke medan perang untuk menuntut bela kematian orang tuanya akan menerima sanksi yang berat dari masyarakat. Bahkan istri-istri yang ditinggal gugur oleh suaminya bangkit menuntut bela suami-suaminya (misalnya, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan lain-lain). Tradisi ini ditambah dengan fanatisme agama, perang sabililillah yang dipompakan melalui pembacaan Hikayat Prang Sabi yang termasyur itu lengkaplah pemicu perang yang sulit dipatahkan oleh Belanda. Oleh karena itu, tueng bila pada masa kolonial Belanda mewujud dalam perilaku bertempur habis-habisan sampai menemui syahid dan perlawanan secara sendiri-sendiri, yang disebut oleh ureueng Aceh sebagai aksi poh kaphe atau Aceh Moorden bagi orang Belanda. Untuk itu, R.A. Kern (1994: 75) yang pernah mengadakan penyelidikan tentang motivasi perang dilakukan oleh rakyat, menyatakan tentang latar belakang timbulnya pembunuhan-pembunuhan Aceh dilakukan karena rasa/komplek benci kaphe/kaphe complex yang dimilikinya dengan cara tueng bila. Selanjutnya, Kern mengatakan bahwa,
“Hal itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebencian yang meluap-luap terhadap orang-orang yang dianggap kafir dan adanya hasrat mati syahid. Selain itu, juga karena adanya perasaan ingin tueng bila (semacam balas dendam) terhadap mereka yang telah membunuh keluarganya atau kepada mereka yang telah membuat malu keluarga atau dirinya”.
Motif pembalasan dendam yang dilakukan dengan modus tueng bila, menurut Kern seperti disebut di atas, dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, yaitu perlakuan tidak baik, perampasan kebebasan, melukai perasaan, keresahan karena tidak diperlakukan secara adil, perlakuan yang tidak adil oleh kepala-kepala, patah hati karena asmara, tidak puas menurut perasaan keadilan.
Kebencian yang meluap-luap atas keberadaan kafir Belanda di Aceh yang telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan dan mengakibatkan kematian anggota keluarga membuat seseorang ingin melakukan tueng bila. Hal ini tampak pula pada diri pahlawan nasional Cut Nyak Dhien. Sufi (2008: 10) menyatakan hasrat tueng bila pada diri Cut Nyak Dhien ini tampak pada pernyataan sebagai berikut,
“Hasrat Cut Nyak Dhien untuk melakukan tueng bila atas kematian suaminya yang merupakan salah satu penyebab mengapa ia bersedia nikah lagi dengan Teuku Umar yang telah beristri dua. Di sini jelas bahwa Cut Nyak Dhien memanfaatkan Teuku Umar yang dianggap mempunyai potensi dalam upaya untuk tueng bila atas kematian suaminya yang pertama…”
Berikut ini juga ditampilkan salah satu pembunuhan yang didasari oleh semangat tueng bila terhadap seorang perwira Belanda yang dilaporkan Komandan Divisi 5 Marsose, Anton yang dikutip oleh Sufi (2002: v) yang mengatakan bahwa
“Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten C.E. Schmid, komandan Divisi 5 Korps Marsose di Lhoksukon pada tanggl 11 Juli 1933 yang dilakukan oleh Amat Lepon, sementara pada bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaraja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini. Amat Lepon menyaksikan ayahnya Teungku Beureunuen syahid tewas ditembak serdadu Belanda tatkala ia berumur 10-12 tahun, rasa dendam dengan semangat ingin menuntut bela (tueng bila) dipendamnya selama lebih 20 tahun kemudian”.
Hal tersebut juga diakui pula oleh Adan (2006: 87) yang menyatakan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh melawan Belanda merupakan manifestasi dari tueng bila yang melekat dalam jiwa dan raga para mujahid besar, seperti Teungku Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien, Fakinah, Pocut Baren, dan lain-lain. Beberapa kasus yang dapat ditangkap sebagai wujud perilaku tueng bila tampak dari pernyataan Adan di bawah ini,
“Menghayati proses tueng bila bagi bangsa Aceh memang sungguh sangat menarik serta punya makna tersendiri. Sejarah telah mencatat apabila orang Aceh telah meudarah ate (sakit hait yang sangat mendalam), maka jalan keluarnya adalah tueng bila. Dua contoh yang dikemukakan penulis terkemuka H.M. Zainuddin merupakan rujukan saheh serta akurat walaupun tidak berani dijadikan referensi. Ketika perang melawan Belanda sedang berkecamuk di bumi Aceh seorang kampung Nyong di Kecamatan Geulumpang Minyeuk (sekarang Geulumpang Baro), Pidie, Abdul Hamid dengan bersahaja seorang diri menghadang pasukan Belanda di sebuah jambo (gubuk) di tengah sawah untuk membunuh sebagai sebuah manifestasi tueng bila terhadap pembunuhan orang-orang kampung tersebut oleh pihak Belanda. Dalam kasus lain seorang perempuan setengah baya dalam sebuah kereta api dari arah Langsa ke Sigli dengan geramnya menusuk seorang Belanda yang tengah duduk santai di kursi kereta api tersebut. Ketika ditanyai orang banyak sang wanita menjawab: aku benci kafir itu yang telah menghancur luluhkan Islam dan ummat Islam di bumi ini dan itulah ganjaran tueng bila daripadaku, ujarnya tegas”.
D.Penutup
Salah satu karakteristik ureueng Aceh adalah melakukan tueng bila. Perbuatan ini dilaksanakan dalam rangka menuntut bela atas kerugian yang pernah diderita. Jadi tueng bila dilakukan bukan tanpa alasan. Kalau tidak ada masalah, tentunya tidak ada tueng bila. Oleh karena itu, ketika Belanda masuk ke Aceh dan menimbulkan korban, baik harta maupun nyawa serta harkat dan martabat masyarakat Aceh, uereueng Aceh melakukan tueng bila terhadap pihak Belanda.
Catatan Akhir
1. Qisas ialah hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia.
2. Motivasi berperang melawan Belanda bagi ureueng Aceh dapat dikarenakan mencari syahid, ingin membalas atas kematian anggota keluarga/kawomnya, dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Aboebakar dkk
2001 Kamus Bahasa Aceh-Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Adan, Hasanuddin Yusuf
2006 Politik dan Tamaddun Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Aceh.
Daud, Bukhari dan Mark Durie
2002 Kamus Bahasa Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Harun, Mohd
2008 “Prototipe Watak Orang Aceh”, Jeumala No. 25/2008. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Ismail, Badruzzaman
2006 ”Pengaruh Faktor Budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian dan Rekonstruksi”, Makalah disampai-kan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute, Darussalam, tanggal 20 September 2006.
Kern, R.A.
1994 Hasil-hasil Penyelidikan Sebab-Musabab terjadinya Pembunuhan Aceh (terj. Aboebakar). Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Sufi, Rusdi
1997 “Pembunuhan Khas Aceh dan Sebutan Aceh Pungo”. Serambi Indonesia, 15 Desember.
2000 ”Sikap Pusat Bisa Lahirkan Aceh Pungo”, dalam Kontras No. 95 Tahun II 25 Juli – 2 Agustus 2000.
2002 “Kata Sambutan Pembunuhan Khas Aceh dan Kelirunya Sebutan Aceh Pungo” dalam Ridwan Azwad dan Ramli A. Dally (eds.) Aksi Poh Kaphe di Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
2003 “Etnis Aceh”, dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2008 “Menelusuri Tindak Cut Nyak Dhien melawan Kolonial Belanda (sebagai inspirasi bagi Perempuan di Era Pembangunan)”, Makalah disampaikan pada Seminar di Rumah Cut Nyak Dien Lampisang yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan di Banda Aceh tanggal 6 November.
Syamsuddin, Teuku
2000 “Sayam Itu Langkah Terakhir Setelah Dialog” dalam Kontras No. 95 Tahun II 25 Juli – 2 Agustus 2000.
Oleh: Agus Budi Wibowo, Penulis adalah salah seorang peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh
http://plik-u.com/?p=663