Simpul sejarah Aceh tak lekang dari sosok Tgk Muhammad Hasan Di Tiro, yang dalam orgasisasi GAM dikenal sebagai Wali Nanggroe. Menurut Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam, Belanda. Hasan Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Ia dilahirkan di Desa Tiro, Pidie. Pada masa kolonial Belanda berperang dengan Aceh, Hasan Tiro muda merupakan salah seorang murid kesayangan Teungku Muhammad Daud Beure-eh di Madrasah Blang Paseh, Sigli. Sedang dalam masa pendudukan Jepang, Hasan Tiro belajar di pendidikan normal Islam. Sebuah tempat yang kemudian menjadikannya anak emas Said Abubakar, seorang tokoh pendidikan Aceh waktu itu.
Setelah Indonesia merdeka, Hasan Tiro berangkat ke Yojakarta untuk belajar di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia. Tamat kuliah ia kembali ke Aceh untuk bekerja pada pemerintah darurat Indonesia, pimpinan Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara. Pemerintahan darurat Indonesia waktu itu dipindahkan ke Bukittinggi, Sumatera Barat karena Yogjakarta sebagai ibu kota Indonesia telah dikuasai Belanda yang melakukan agresi militernya ke dua.
Pada tahun 1950, Hasan Tiro menjadi salah seorang di antara dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia yang mendapat bea siswa untuk melanjutkan pendidikan pada Fakultas Hukum, Universitas Columbia, Amerika Selatan. Di negeri adidaya tersebut, sambil kuliah Hasan Tiro bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Memasuki tahun 1954, ia melakukan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik Indonesia, dengan manamakan dirinya sebagai Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Besar Republik Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika Serikat.
Puncaknya, 1 September 1954, Hasan Tiro mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang dianggapnya telah bertindak fasis komunis. Surat terbuka Hasan Tiro tersebut kemudian membuat heboh Indonesia, apalagi surat itu disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar di Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po. Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara. Selain itu Ali Sastroamidjojo juga dinilai telah melakukan genocida (pembasmian etnis) di beberapa daerah di Indonesia.
Dalam surat itu, Hasan Tiro menuntut tiga poin penting kepada kabinet Ali Sastroamidjojo, yakni, menghentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Pada poin ke dua suratnya, ia juga menuntut agar semua tawanan politik dari daerah yang disebutkan tadi dibebaskan.
Bukan itu saja, pada poin selanjutnya, Hasan Tiro meminta agar dilakukannya perundingan dengan Teuku Muhammad Daud Beureueh, S M Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. Jika sampai tanggal 20 September 1954, ajuran-ajuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian tuan, maka saya bersama putra-putri Indonesia yang setia akan mengambil tindakan tegas, tulis Hasan Tiro dalam suratnya itu.
Masih dalam surat itu, Hasan Tiro mengatakan akan mengambil beberapa langkah bila tuntutannya itu tidak dipenuhi, diantaranya, akan membuka kedutaan-kedutaan di seluruh dunia Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan semua negara Islam, juga di PBB dan membuka tindak kekerasan Pemerintah Indonesia di depan Majelis Umum PBB, yang dinilainya telah melakukan pelanggaran HAM di Aceh.
Selain itu, Hasan Tiro juga menyebutkan akan mengadukan Pemerintah Indonesia di hadapan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal terhadap para ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia juga akan memperjuangkan pengakuan internasional baik moril maupun materil terhadap Republik Islam Indonesia.
Di samping itu, bila Pemerintah Indonesia tidak memenuhi tuntutannya, Hasan Tiro mangancam akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik Indonesia, serta penghentian bantuan yang diberikan lewat rencana Kolombo atau PBB dan Amerika Serikat.
Menanggapi surat Hasan Tiro dari Amerika Serikat itu, Pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, menolak semua tuntutan Hasan Tiro. Sebaliknya, meminta agar Hasan Tiro kembali ke Indonesia paling lambat 22 September 1954. Bila permintaan itu diabaikan, maka passport Hasan Tiro akan ditarik.
Namun Hasan Tiro mengambil jalan lain. Ia tidak menghiraukan permintaan itu. Akhirnya paspornya pun dicabut. Setelah bebas, Hasan Tiro kembali melakukan upaya politik yang menyerang Pemerintah Indonesia. Ia mengumumkan sepucuk surat di surat kabar New York Time. Isinya, meminta perhatian Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo akan kemajuan komunis di Indonesia, serta menyampaikan sebuah laporan pelanggaran HAM oleh rezim Ali Sastroamidjojo di Indonesia.
Jakarta pun berang terhadap tingkah Hasan Tiro. Berbagai upaya dilakukan untuk membungkamnya, salah satunya berusaha mengekstradisinya dari Amerika. Tapi upaya pemerintah Indonesia tersebut tidak berhasil. Karena itu pula, Hasan Tiro semakin leluasa melanjutkan propaganda anti Indonesia di New York, Amerika Serikat.
Pada tahun 1955, Hasan Tiro mengirim surat kepada 12 negara Islam di dunia. Isinya, meminta kepada pemerintah 12 negara Islam itu untuk memboikot Konferensi Asia Afrika (KAA) yang akan dilaksanakan di Bandung pada April 1955. Hasan Tiro mengatakan, alasannya mengajukan permintaan tersebut adalah, karena pemimpin Islam di beberapa daerah di Indonesia yang tergabung dalam Negara Islam Indonesia (NII) telah dibunuh oleh tentara dan polisi di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang didominasi oleh kaum komunis.
Kiprah Hasan Tiro terus berlanjut. Secara diam-diam ia kembali ke Aceh. Dan pada 4 Desember 1976, bertepatan di Gunung Halimun, sebuah daerah pedalamam di Pidie, ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bermaksud memerdekakan Aceh dari Republik Indonesia. Maka sejak saat itu, sejarah konflik yang sarat dengan aroma mesiu dan anyir darah pun kembali menghiasi tanah Aceh.
Akibat aktivitasnya, Hasan Tiro menjadi buronan nomor wahid Pemerintah Indonesia. Karena terus menerus dikejar oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), Hasan Tiro keluar dari Aceh dan mendirikan pemerintahan GAM di luar negeri. Sampai akhirnya ia mengambil sebuah keputusan politik, yang menjadi salah satu simpul sejarah Aceh. Melalui tangan kanannya, Malik Mahmud, menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) damai dengan Pemerintah Republik Indonesia, pada 15 Agustus 2005, di Helsinky, Finlandia.***
Sumber : http://iskandarnorman.multiply.com/ - http://www.timphan.co.cc/hasan_tiro.php
Ia dilahirkan di Desa Tiro, Pidie. Pada masa kolonial Belanda berperang dengan Aceh, Hasan Tiro muda merupakan salah seorang murid kesayangan Teungku Muhammad Daud Beure-eh di Madrasah Blang Paseh, Sigli. Sedang dalam masa pendudukan Jepang, Hasan Tiro belajar di pendidikan normal Islam. Sebuah tempat yang kemudian menjadikannya anak emas Said Abubakar, seorang tokoh pendidikan Aceh waktu itu.
Setelah Indonesia merdeka, Hasan Tiro berangkat ke Yojakarta untuk belajar di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia. Tamat kuliah ia kembali ke Aceh untuk bekerja pada pemerintah darurat Indonesia, pimpinan Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara. Pemerintahan darurat Indonesia waktu itu dipindahkan ke Bukittinggi, Sumatera Barat karena Yogjakarta sebagai ibu kota Indonesia telah dikuasai Belanda yang melakukan agresi militernya ke dua.
Pada tahun 1950, Hasan Tiro menjadi salah seorang di antara dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia yang mendapat bea siswa untuk melanjutkan pendidikan pada Fakultas Hukum, Universitas Columbia, Amerika Selatan. Di negeri adidaya tersebut, sambil kuliah Hasan Tiro bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Memasuki tahun 1954, ia melakukan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik Indonesia, dengan manamakan dirinya sebagai Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Besar Republik Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika Serikat.
Puncaknya, 1 September 1954, Hasan Tiro mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang dianggapnya telah bertindak fasis komunis. Surat terbuka Hasan Tiro tersebut kemudian membuat heboh Indonesia, apalagi surat itu disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar di Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po. Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara. Selain itu Ali Sastroamidjojo juga dinilai telah melakukan genocida (pembasmian etnis) di beberapa daerah di Indonesia.
Dalam surat itu, Hasan Tiro menuntut tiga poin penting kepada kabinet Ali Sastroamidjojo, yakni, menghentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Pada poin ke dua suratnya, ia juga menuntut agar semua tawanan politik dari daerah yang disebutkan tadi dibebaskan.
Bukan itu saja, pada poin selanjutnya, Hasan Tiro meminta agar dilakukannya perundingan dengan Teuku Muhammad Daud Beureueh, S M Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. Jika sampai tanggal 20 September 1954, ajuran-ajuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian tuan, maka saya bersama putra-putri Indonesia yang setia akan mengambil tindakan tegas, tulis Hasan Tiro dalam suratnya itu.
Masih dalam surat itu, Hasan Tiro mengatakan akan mengambil beberapa langkah bila tuntutannya itu tidak dipenuhi, diantaranya, akan membuka kedutaan-kedutaan di seluruh dunia Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan semua negara Islam, juga di PBB dan membuka tindak kekerasan Pemerintah Indonesia di depan Majelis Umum PBB, yang dinilainya telah melakukan pelanggaran HAM di Aceh.
Selain itu, Hasan Tiro juga menyebutkan akan mengadukan Pemerintah Indonesia di hadapan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal terhadap para ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia juga akan memperjuangkan pengakuan internasional baik moril maupun materil terhadap Republik Islam Indonesia.
Di samping itu, bila Pemerintah Indonesia tidak memenuhi tuntutannya, Hasan Tiro mangancam akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik Indonesia, serta penghentian bantuan yang diberikan lewat rencana Kolombo atau PBB dan Amerika Serikat.
Menanggapi surat Hasan Tiro dari Amerika Serikat itu, Pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, menolak semua tuntutan Hasan Tiro. Sebaliknya, meminta agar Hasan Tiro kembali ke Indonesia paling lambat 22 September 1954. Bila permintaan itu diabaikan, maka passport Hasan Tiro akan ditarik.
Namun Hasan Tiro mengambil jalan lain. Ia tidak menghiraukan permintaan itu. Akhirnya paspornya pun dicabut. Setelah bebas, Hasan Tiro kembali melakukan upaya politik yang menyerang Pemerintah Indonesia. Ia mengumumkan sepucuk surat di surat kabar New York Time. Isinya, meminta perhatian Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo akan kemajuan komunis di Indonesia, serta menyampaikan sebuah laporan pelanggaran HAM oleh rezim Ali Sastroamidjojo di Indonesia.
Jakarta pun berang terhadap tingkah Hasan Tiro. Berbagai upaya dilakukan untuk membungkamnya, salah satunya berusaha mengekstradisinya dari Amerika. Tapi upaya pemerintah Indonesia tersebut tidak berhasil. Karena itu pula, Hasan Tiro semakin leluasa melanjutkan propaganda anti Indonesia di New York, Amerika Serikat.
Pada tahun 1955, Hasan Tiro mengirim surat kepada 12 negara Islam di dunia. Isinya, meminta kepada pemerintah 12 negara Islam itu untuk memboikot Konferensi Asia Afrika (KAA) yang akan dilaksanakan di Bandung pada April 1955. Hasan Tiro mengatakan, alasannya mengajukan permintaan tersebut adalah, karena pemimpin Islam di beberapa daerah di Indonesia yang tergabung dalam Negara Islam Indonesia (NII) telah dibunuh oleh tentara dan polisi di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang didominasi oleh kaum komunis.
Kiprah Hasan Tiro terus berlanjut. Secara diam-diam ia kembali ke Aceh. Dan pada 4 Desember 1976, bertepatan di Gunung Halimun, sebuah daerah pedalamam di Pidie, ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bermaksud memerdekakan Aceh dari Republik Indonesia. Maka sejak saat itu, sejarah konflik yang sarat dengan aroma mesiu dan anyir darah pun kembali menghiasi tanah Aceh.
Akibat aktivitasnya, Hasan Tiro menjadi buronan nomor wahid Pemerintah Indonesia. Karena terus menerus dikejar oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), Hasan Tiro keluar dari Aceh dan mendirikan pemerintahan GAM di luar negeri. Sampai akhirnya ia mengambil sebuah keputusan politik, yang menjadi salah satu simpul sejarah Aceh. Melalui tangan kanannya, Malik Mahmud, menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) damai dengan Pemerintah Republik Indonesia, pada 15 Agustus 2005, di Helsinky, Finlandia.***
Sumber : http://iskandarnorman.multiply.com/ - http://www.timphan.co.cc/hasan_tiro.php