Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarkat agraris yang memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan tanah merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Tanah bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset prduksi untuk dapat menghasilkan komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanamanperdagangan. Tingginya apresiasi masyarakat Jawa dalam memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibelameskipun sampai mati, tidak peduli pecahnya dada dan tumpahnya darah.
A. GERAKAN ANTI PEMERASAN PADA KALANGAN PETANI
Pada masa kolonial dikenal sebutan tanah partikelir. Tanah-tanah partikelir itu terjadi sebagai hasil penjualan oleh Belanda, sejak zaman VOC sampai perempat pertama abad XIX. Di tanah-tanah yang dimiliki swasta itu, pemilik memperoleh hak untuk menarik pajak (tjuke) dan layanan (tenaga kerja) pada para petani di atasnya, sehingga kalau pajak dan layanan itu berlebihan dan memberatkan menimbulkan gejolak. Tanah partikelir terdapat di sekitar Batavia di sebagaian besar daerah pedalaman antara Batavia dan Bogor, dan di daerah Banten, Krawang, Cirebon, Semarang, dan Surabaya .Tanah partikelir kemudian tidak hanya dikuasai oleh kumpeni atau kemudian pemerintah kolonial, tatapi juga oleh para tuan tanah. Hal ini karena terjadi pengalihan hak atas tanah partikelir kepada pada tuan tanah baik melalui pemberian ataupun penjualan.
Pada tahun 1915 di Jawa terdapat 582 tanah partikelir yang meliputi luas tanah sekitar 1,3 juta bau (1 bau = 0,8 hektar) dan dengan penduduk sebanyak sekitar 1,8 juta jiwa sebagian besar tanah itu dimiliki oleh persekutuan usaha bersama, oleh tuan-tuan tanah bangsa Eropa yang tinggal di luar Indonesia dan oleh orang-orang Cina. Permasalahan persengketaan tanah yang terjadi pada kalangan masyarakat menurut Sartono Kartodirdjo mampu menggerakan masyarakat, dalam hal ini adalah petani,untuk melakukan gerakan protes petani, sebuah gerakan protes menentang pemaksaan oleh tuan tanah maupun pemerintah , Permasalahan tanah ini pulalah yang dapat memicu gerakan petani lainnya, yakni gerakan messianistis,yakni gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru serba adil, dan gerakan revivalis yakni gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau, menghapuskan pajak-pajak atas tanah.
Gambar : Jawa
Sartono Kartodirdjo dalam bukunya yang berjudul "Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrests in The Nineteenth and Twentieth Centuries" menjelaskan bahwa ada beberapa toplogi gerakan petani. Tipe-tipe itu adalah anti penghisapan (anti-extortion), gerakan mesianistis, gerakan revivalisme, dan gerakan sektarian, dan gerakan lokal Sarekat Islam. Akan tetapi, gerakan petani yang berkaitan dengan perubahan penguasaan tanah pada masa kolonial yang akan diangkat dalam tulisan ini lebih mengarah pada gerakan anti penghisapan (anti-extortion).
Gerakan anti penghisapan (anti-extortion) merupakan gerakan yang terjadi di tanah partikelir, yaitu wilayah yang dibeli oleh swasta dari BelandaAgitasi ,kaum petani yang timbul di tanah partikelir sepanjang abad XIX dan awal XX merupakan suatu gejala historis darimasyarakat petani probumi.
Pada umumnya hampir semua kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di tanah partikelir itu merupakan akibat dari adanya pungutan pajak yang tinggi dan tuntutan pelayanan kerja yang berat terhadap kaum petani daerah itu. Para tuan tanah yang menguasai tanah partikelir senantiasa melakukan eksploitasi dengan cara menarik hasil secara langsung, mengumpulkan uang sewa, dan bagian panen, dan ada pula yang memungut pajak beserta tenaga kerja dari petani-petani yang menanami tanah tersebut. Para tuan tanah dapat bertindak sewenang-wenang seperti memaksakan sefala macam kehendaknya, menuntut penyeahan tenaga kerja, serta mengusir para petani apabila mereka tidak dapat membayar hutangnya atau memenhi pekerjaan yang diminta, serta membayar pajak sebagaimana mestinya.
Salah satu contoh gerakan petani dalam melawan tuan tanah adalah gerakan yang terjadi di Ciomas pada tahun 1886. Perisiwa ini merupakan suatu pertentangan antara petani, tuan tanah dan pemerintah, dan dengan jelas menampilkan situasi yang ricuh. Gerakan ini terjadi ketika di Jawa Barat kepemimpinan gejolak Ciomas direkrut dari petani sendiri. Salah satu pemim pinnya adalah Apan. Apan berperan sebagai imam mahdi dan menyerukan perang suci. Pimpinan yang lain, Mohamad Idris, memakai gelar panembahan yang merupakan tipikal gerakan messianisme.
Sebelum memuncaknya perlawanan di daerah Ciomas terjadi eksploitasi yang sangat meningkat setelah para tuan tanah berusaha mengintensifkan produksiyna untuk kepentingan pasaran di luar desa. Di Ciomas merebak berbagai kerusuhan yang disebabkan oleh penarikan cukai yang berlebihan. Selain itu terjadi ketidakadilan yang berhubungan dengan praktik perbudakan, seperti mewajibkan petani mengangkut hasil panen milik tuan tana dari sawah dengan jarak yang jauh. Selain itu ada pula adanya praktik kerja paksa terhadap masyarakat, adanya kewajiban-kewajiban untuk menyerahkan hasil bumi, adanya penyitaan terhadap aset ketika tidak memenuhi kewajiban, adanya perluasan penguasaan tanah, pengawasan penjualan ternak, rumput, kayu, dan penebangan kayu. Kemudian ada pula kewajiban bagi wanita dan anak-anak untuk bekeja seama sembilan hari setiap bulannya.
Situasi tersebut akhirnya memunculkan situasi yang buruk sampai ahirnya memunculkan situasi konflik yang tajam. Selain itu, adanya hal-hal tersebut meyebabkan terjadinya migrasi sekitar 2000 orang ke luar wilayah untuk menghindari pajak dan timbulnya penolakan para petani untuk bekerja paksa di perkebunan kopi. Ketidakpuasan itu kemudian meletus sebagai perlawanan yang terbuka dan yang penuh kekerasan.
Pada bulan Februari 1886 camat Ciomas terbunuh, kemudian di bawah pimpinan Idris pada 19 Mei 1886 daerah Ciomas selatan berhasil diduduki.Kemudian sehari setelah itu terjadi pembunuhan terhadap kalangan tuan tanah. Selain di Ciomas, ada pula gerakan anti tuan tanah di daerah tangerang pada 1924. Latar belakang gerakan anti tuan tanah di Tangerang Tahun 1924
dipengaruhi oleh keadaan Tangerang pada tahun 1924, yaitu penindasan yang dilakukan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda dan tuan-tuan tanah Cina yang semakin membuat penduduk pribumi menjadi menderita dan dirugikan. Gerakan anti tuan tanah di Tangerang merupakan gerakan radikal dalam persaingan untuk memperoleh dukungan dan kesetiaan kaum tani di daerah Tangerang melawan Pemerintah Kolonial Belanda dan tuan-tuan tanah Cina.Gerakan petani di Tangerang berkembang dengan rasa-rasa identitas kepribumian tentang kemerdekaan, kebebasan dan persamaan untuk masyarakat di Tangerang.
Setelah 10 terjadi gerakan anti tuan tanah petani di Tangerang yang dipimpin oleh Kaiin Bapak Kajah, tanggal 10 Februari 1924 pemerintah kolonial Belanda menjadi bingung. Oleh pemerintah kolonial Belanda gerakan petani ini disimpulkan sebagai gerakan ratu adil yang disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial , politik sebagai faktor kondisional dalam masyarakat petani di tanah partikelir Tangerang sebagai penyebab munculnya gerakan petani di Tangerang untuk menuntut pengembalian tanah partikelir dari tangan orang-orang Cina.
Dari penjelasan di atas, tampak terlihat bahwa terjadi proses perubahan struktur masyarakat seperti hilangnya persekutuan hidup di dalam desa. Pada tanah partikelir tuan tanah melakukan ekspoitasi terhadap tanah dan petani yang hidup di daerahnya. Selain itu, terjadi proses hilangnya persekutuan hidup di dalam desa. Di tanah partikelir terbentuk kehidupan organisasi desa yang lepas dan meletakkan para tuan tanah menjadi lebih kuat dalam kedudukan yang berkuasa, serta menguatkan cengkeramannya atas kaum petani. Pada tanah partikelir tidak ada lagi hubungan yang bersifat mutualisme, tetapi beralih pada aspek komersialisasi pertanian.
B. SAREKAT ISLAM SEBAGAI GERAKAN LOKAL
Sarekat Islam (SI) adalah sebuah organisasi perdagangan berlandaskan hukum Islam. SI adalah salah satu organisasi kebangsaan di Indonesia. Tujuan dari SI awalnya adalah melawan dominasi pedagang asing dan keturunan dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Timur Asing.
Gambar : Hadji Oemar Said Tjokroaminoto
Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:
SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. HOS Tjokroaminoto itulah yang meletakkan nilai-nilai dasar pergerakan kaum terjajah dengan bertumpu pada dimensi religiusitas dengan akar keislaman, nasionalisme keindonesian, dan kerakyatan (demokrasi) bagi kebangunan kaum Bumi Putera (Inlander). Titik tujuanya adalah kehendak mengenyahkan penjajah Belanda, dan diraihnya sebuah pemerintahan sendiri yang dipegang, ditentukan, dan dijalankan oleh bangsa Indonesia secara mandiri.
Serikat Islam adalah perkembangan bentuk dari serikat dagang Islam (SDI), di Solo, oleh H Samanhudi dan kawan-kawan, 16 Oktober 1905. Tahun 1911 oleh haji semanhudi, atas anjuran dari HOS Colkroaminoto, kata dagang dari SDI dihilangkan dengan maksud agar ruang gerkanya lebih luas lagi, tidak hanya dalam perdagangan saja.
Adapun kegiatan politik SI semakin panas ketika terjadinya krisis ekonomi di Hindia Belanda, sebagaimana yang dipaparkan oleh Ulbe Bosma:
“Islamic movements had already been active in nineteenth-century Java, and allegedly played a role in the many rebellions in the countryside. In that respect the early twentieth century showed a marked contrast in that Sarekat Islam had maintained a fairly cordial relationship with the Indies government during its first years of existence. Relations between Sarekat Islam and the colonial government rapidly deteriorated after the War (world war I)—not because of a process of “othering,” but as a result of a fierce economic struggle. It was not a time for politics of identity, but of anti- colonialism in which one could be communist and Muslim at the same time.”
Dalam kongres-kongres SI (Sjarikat Islam) mereka melancarkan kritik-kritik pedas terhadap situasi sosial-ekonomi yang menyedihkan: upah yang sangat rendah, kerja paksa, pajak tanah, tanah partikelir, industri gula, dsb. Sejak kejadian itu, perjuangan ekonomi memperlihatkan sifatnya sebagai gerakan massa, sehingga oleh karenaya menstimulasi pengaruh pada pergerakan politik.
C. GERAKAN PERLAWANAN SOSIAL
Gerakan-gerakan para petani digolongkan menjadi 3 yaitu :
1.Gerakan para Petani (Gerakan melawan ketidakadilan)
Gerakan-gerakan para petani menunjukkan bahwa masyarakat menghendaki perbaikan kehidupan. Gerakan protes ini umumnya baru berakhir setelah para pemimpinnya ditangkap atau dibujuk oleh Pemerintah Belanda.Ideologi pokok yang mendorong gerakan ini adalah adanya rasa dendam terhadap keadaan sosial ekonomi bagi pendukungnya.
2.Gerakan Ratu Adil
Dalam gerakan ini dipercaya akan muncul seorang penyelamat yang disebut Ratu Adil atau Imam Mahdi.Terjadi di desa Sidoharjo, 27 Mei 1903, Pemimpinnya Kasan Mukmin, yang akhirnya terbunuh dalam suatu serangan yang dilakukan Belanda. Terjadi di Kediri dipimpin oleh Dermojoyo yang akhirnya mengalami nasib sama dengan Kyai Kasan Mukmin.
3.Gerakan Keagamaan
Salah satu gerakan keagamaan ini adalah gerakan yang dilakukan oleh kelompok Budiah pada pertengahan abad ke-19, dipimpin oleh Haji Muhammad Rifangi dari Cisalak PekalonganTujuan gerakan ini adalah melawan kebobrokan yang telah merasuki kehidupan rakyat Islam di Jawa dan mengembalikan praktek-praktek keagamaan sesuai ajaran Allah SWT dan Sunnah Rasul.
D. MASA MUNCULNYA PERGERAKAN NASIONAL MENJELANG RUNTUHNYA HINDIA BELANDA (1930-1942)
Sejarah Indonesia sejak tahun 1908 memulai babak baru, yaitu babak pergerakan nasional. Hal itu ditandai dengan berdirinya Budi Utomo. Tiga tahun setelah Boedi Oetomo lahir, tahun 1911 berdiri organisasi bagi orang-orang Islam di Indonesia, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh Haji Samanhudi. Lalu namanya dirubah menjadi Sarekat Islam untuk menarik anggota lebih banyak. Selain organisasi yang disebut diatas masih banyak organisasi lain yang didirikan baik bersifat kooperatif maupun radikal, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tetapi tujuan dari organisasi tersebut hampir sama yaitu kemerdekaan Indonesia walaupun tidak terang-terangan diungkapkan. Masa pergerakan nasional di Indonesia terbagi menjadi tiga masa. Dari masa kooperatif, masa radikal, terakhir masa bertahan.
Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisi ekonomi atau malaise yang melanda dunia. Kedua, diterapkannya pembatasan hak berkumpul dan berserikat yang dilakukan pengawasan ekstra ketat oleh polisi-polisi Hindia Belanda yang diberi hak menghadiri rapat-rapat yang diselenggarakan oleh partai politik.Ketiga, tanpa melalui proses terlebih dahulu Gubernur Jenderal dapat menyatakan suatu organisasi pergerakan atau kegiatan yang dilakukannya bertentangan dengan law and order.
Hal diatas menjadi semakin parah ketika Hindia Belanda diperintah Gubernur Jenderal yang konservatif dan reaksioner yaitu de Jonge (1931-1936). . Periode awal 1932 sampai dengan pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegerasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakin meningkat terutama sebagai dampak politik agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Maka dari itulah gerak-gerik Partindo dan PNI Baru senantiasa diawasi secara ketat.
Pemerintah Hindia Belanda tidak bersedia memulihkan hak politik bagi pergerakan nasional di Indonesia. Tetapi Hindia Belanda masih membiarkan organisasi pergerakan yang moderat untuk hidup. Hal itu juga disebabkan beberapa hal seperti menjamin demokrasi yang makin tumbuh pasca Perang Dunia I, keamanan yang diciptakan organisasi itu, dan sebab-sebab lainnya yang dianggap tidak merugikan pihak Hindia Belanda.
Pemerintah Belanda tidak hendak mematikan pergerakan di Indonesia. Mereka tahu bahwa perasaan rakyat yang tidak tersalurkan karena dibungkam oleh pemerintah akan mencari jalan lain yang dapat menimbulkan gerakan-gerakan eksplosif yang tidak diinginkan. Pemerintah Hindia Belanda hanya hendak melemahkan aktivitas prgerakan yang bersifat radikal-revolusioner. Yang diharapkan oleh pemerintah kolonial adalah semacam nasionalisme yang lunak dan kompromis, yang dapat digunakan sebagai alat untuk membendung perasaan rakyat yang membara dan menyalurkan ke arah pergerakan yang tidak membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda.
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/05/protest-movements-in-rural-java.html
A. GERAKAN ANTI PEMERASAN PADA KALANGAN PETANI
Pada masa kolonial dikenal sebutan tanah partikelir. Tanah-tanah partikelir itu terjadi sebagai hasil penjualan oleh Belanda, sejak zaman VOC sampai perempat pertama abad XIX. Di tanah-tanah yang dimiliki swasta itu, pemilik memperoleh hak untuk menarik pajak (tjuke) dan layanan (tenaga kerja) pada para petani di atasnya, sehingga kalau pajak dan layanan itu berlebihan dan memberatkan menimbulkan gejolak. Tanah partikelir terdapat di sekitar Batavia di sebagaian besar daerah pedalaman antara Batavia dan Bogor, dan di daerah Banten, Krawang, Cirebon, Semarang, dan Surabaya .Tanah partikelir kemudian tidak hanya dikuasai oleh kumpeni atau kemudian pemerintah kolonial, tatapi juga oleh para tuan tanah. Hal ini karena terjadi pengalihan hak atas tanah partikelir kepada pada tuan tanah baik melalui pemberian ataupun penjualan.
Pada tahun 1915 di Jawa terdapat 582 tanah partikelir yang meliputi luas tanah sekitar 1,3 juta bau (1 bau = 0,8 hektar) dan dengan penduduk sebanyak sekitar 1,8 juta jiwa sebagian besar tanah itu dimiliki oleh persekutuan usaha bersama, oleh tuan-tuan tanah bangsa Eropa yang tinggal di luar Indonesia dan oleh orang-orang Cina. Permasalahan persengketaan tanah yang terjadi pada kalangan masyarakat menurut Sartono Kartodirdjo mampu menggerakan masyarakat, dalam hal ini adalah petani,untuk melakukan gerakan protes petani, sebuah gerakan protes menentang pemaksaan oleh tuan tanah maupun pemerintah , Permasalahan tanah ini pulalah yang dapat memicu gerakan petani lainnya, yakni gerakan messianistis,yakni gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru serba adil, dan gerakan revivalis yakni gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau, menghapuskan pajak-pajak atas tanah.
Sartono Kartodirdjo dalam bukunya yang berjudul "Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrests in The Nineteenth and Twentieth Centuries" menjelaskan bahwa ada beberapa toplogi gerakan petani. Tipe-tipe itu adalah anti penghisapan (anti-extortion), gerakan mesianistis, gerakan revivalisme, dan gerakan sektarian, dan gerakan lokal Sarekat Islam. Akan tetapi, gerakan petani yang berkaitan dengan perubahan penguasaan tanah pada masa kolonial yang akan diangkat dalam tulisan ini lebih mengarah pada gerakan anti penghisapan (anti-extortion).
Gerakan anti penghisapan (anti-extortion) merupakan gerakan yang terjadi di tanah partikelir, yaitu wilayah yang dibeli oleh swasta dari BelandaAgitasi ,kaum petani yang timbul di tanah partikelir sepanjang abad XIX dan awal XX merupakan suatu gejala historis darimasyarakat petani probumi.
Pada umumnya hampir semua kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di tanah partikelir itu merupakan akibat dari adanya pungutan pajak yang tinggi dan tuntutan pelayanan kerja yang berat terhadap kaum petani daerah itu. Para tuan tanah yang menguasai tanah partikelir senantiasa melakukan eksploitasi dengan cara menarik hasil secara langsung, mengumpulkan uang sewa, dan bagian panen, dan ada pula yang memungut pajak beserta tenaga kerja dari petani-petani yang menanami tanah tersebut. Para tuan tanah dapat bertindak sewenang-wenang seperti memaksakan sefala macam kehendaknya, menuntut penyeahan tenaga kerja, serta mengusir para petani apabila mereka tidak dapat membayar hutangnya atau memenhi pekerjaan yang diminta, serta membayar pajak sebagaimana mestinya.
Salah satu contoh gerakan petani dalam melawan tuan tanah adalah gerakan yang terjadi di Ciomas pada tahun 1886. Perisiwa ini merupakan suatu pertentangan antara petani, tuan tanah dan pemerintah, dan dengan jelas menampilkan situasi yang ricuh. Gerakan ini terjadi ketika di Jawa Barat kepemimpinan gejolak Ciomas direkrut dari petani sendiri. Salah satu pemim pinnya adalah Apan. Apan berperan sebagai imam mahdi dan menyerukan perang suci. Pimpinan yang lain, Mohamad Idris, memakai gelar panembahan yang merupakan tipikal gerakan messianisme.
Sebelum memuncaknya perlawanan di daerah Ciomas terjadi eksploitasi yang sangat meningkat setelah para tuan tanah berusaha mengintensifkan produksiyna untuk kepentingan pasaran di luar desa. Di Ciomas merebak berbagai kerusuhan yang disebabkan oleh penarikan cukai yang berlebihan. Selain itu terjadi ketidakadilan yang berhubungan dengan praktik perbudakan, seperti mewajibkan petani mengangkut hasil panen milik tuan tana dari sawah dengan jarak yang jauh. Selain itu ada pula adanya praktik kerja paksa terhadap masyarakat, adanya kewajiban-kewajiban untuk menyerahkan hasil bumi, adanya penyitaan terhadap aset ketika tidak memenuhi kewajiban, adanya perluasan penguasaan tanah, pengawasan penjualan ternak, rumput, kayu, dan penebangan kayu. Kemudian ada pula kewajiban bagi wanita dan anak-anak untuk bekeja seama sembilan hari setiap bulannya.
Situasi tersebut akhirnya memunculkan situasi yang buruk sampai ahirnya memunculkan situasi konflik yang tajam. Selain itu, adanya hal-hal tersebut meyebabkan terjadinya migrasi sekitar 2000 orang ke luar wilayah untuk menghindari pajak dan timbulnya penolakan para petani untuk bekerja paksa di perkebunan kopi. Ketidakpuasan itu kemudian meletus sebagai perlawanan yang terbuka dan yang penuh kekerasan.
Pada bulan Februari 1886 camat Ciomas terbunuh, kemudian di bawah pimpinan Idris pada 19 Mei 1886 daerah Ciomas selatan berhasil diduduki.Kemudian sehari setelah itu terjadi pembunuhan terhadap kalangan tuan tanah. Selain di Ciomas, ada pula gerakan anti tuan tanah di daerah tangerang pada 1924. Latar belakang gerakan anti tuan tanah di Tangerang Tahun 1924
dipengaruhi oleh keadaan Tangerang pada tahun 1924, yaitu penindasan yang dilakukan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda dan tuan-tuan tanah Cina yang semakin membuat penduduk pribumi menjadi menderita dan dirugikan. Gerakan anti tuan tanah di Tangerang merupakan gerakan radikal dalam persaingan untuk memperoleh dukungan dan kesetiaan kaum tani di daerah Tangerang melawan Pemerintah Kolonial Belanda dan tuan-tuan tanah Cina.Gerakan petani di Tangerang berkembang dengan rasa-rasa identitas kepribumian tentang kemerdekaan, kebebasan dan persamaan untuk masyarakat di Tangerang.
Setelah 10 terjadi gerakan anti tuan tanah petani di Tangerang yang dipimpin oleh Kaiin Bapak Kajah, tanggal 10 Februari 1924 pemerintah kolonial Belanda menjadi bingung. Oleh pemerintah kolonial Belanda gerakan petani ini disimpulkan sebagai gerakan ratu adil yang disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial , politik sebagai faktor kondisional dalam masyarakat petani di tanah partikelir Tangerang sebagai penyebab munculnya gerakan petani di Tangerang untuk menuntut pengembalian tanah partikelir dari tangan orang-orang Cina.
Dari penjelasan di atas, tampak terlihat bahwa terjadi proses perubahan struktur masyarakat seperti hilangnya persekutuan hidup di dalam desa. Pada tanah partikelir tuan tanah melakukan ekspoitasi terhadap tanah dan petani yang hidup di daerahnya. Selain itu, terjadi proses hilangnya persekutuan hidup di dalam desa. Di tanah partikelir terbentuk kehidupan organisasi desa yang lepas dan meletakkan para tuan tanah menjadi lebih kuat dalam kedudukan yang berkuasa, serta menguatkan cengkeramannya atas kaum petani. Pada tanah partikelir tidak ada lagi hubungan yang bersifat mutualisme, tetapi beralih pada aspek komersialisasi pertanian.
B. SAREKAT ISLAM SEBAGAI GERAKAN LOKAL
Sarekat Islam (SI) adalah sebuah organisasi perdagangan berlandaskan hukum Islam. SI adalah salah satu organisasi kebangsaan di Indonesia. Tujuan dari SI awalnya adalah melawan dominasi pedagang asing dan keturunan dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Timur Asing.
Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan jiwa dagang.
2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.
5. Hidup menurut perintah agama.
SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. HOS Tjokroaminoto itulah yang meletakkan nilai-nilai dasar pergerakan kaum terjajah dengan bertumpu pada dimensi religiusitas dengan akar keislaman, nasionalisme keindonesian, dan kerakyatan (demokrasi) bagi kebangunan kaum Bumi Putera (Inlander). Titik tujuanya adalah kehendak mengenyahkan penjajah Belanda, dan diraihnya sebuah pemerintahan sendiri yang dipegang, ditentukan, dan dijalankan oleh bangsa Indonesia secara mandiri.
Serikat Islam adalah perkembangan bentuk dari serikat dagang Islam (SDI), di Solo, oleh H Samanhudi dan kawan-kawan, 16 Oktober 1905. Tahun 1911 oleh haji semanhudi, atas anjuran dari HOS Colkroaminoto, kata dagang dari SDI dihilangkan dengan maksud agar ruang gerkanya lebih luas lagi, tidak hanya dalam perdagangan saja.
Adapun kegiatan politik SI semakin panas ketika terjadinya krisis ekonomi di Hindia Belanda, sebagaimana yang dipaparkan oleh Ulbe Bosma:
“Islamic movements had already been active in nineteenth-century Java, and allegedly played a role in the many rebellions in the countryside. In that respect the early twentieth century showed a marked contrast in that Sarekat Islam had maintained a fairly cordial relationship with the Indies government during its first years of existence. Relations between Sarekat Islam and the colonial government rapidly deteriorated after the War (world war I)—not because of a process of “othering,” but as a result of a fierce economic struggle. It was not a time for politics of identity, but of anti- colonialism in which one could be communist and Muslim at the same time.”
Dalam kongres-kongres SI (Sjarikat Islam) mereka melancarkan kritik-kritik pedas terhadap situasi sosial-ekonomi yang menyedihkan: upah yang sangat rendah, kerja paksa, pajak tanah, tanah partikelir, industri gula, dsb. Sejak kejadian itu, perjuangan ekonomi memperlihatkan sifatnya sebagai gerakan massa, sehingga oleh karenaya menstimulasi pengaruh pada pergerakan politik.
C. GERAKAN PERLAWANAN SOSIAL
Gerakan-gerakan para petani digolongkan menjadi 3 yaitu :
1.Gerakan para Petani (Gerakan melawan ketidakadilan)
Gerakan-gerakan para petani menunjukkan bahwa masyarakat menghendaki perbaikan kehidupan. Gerakan protes ini umumnya baru berakhir setelah para pemimpinnya ditangkap atau dibujuk oleh Pemerintah Belanda.Ideologi pokok yang mendorong gerakan ini adalah adanya rasa dendam terhadap keadaan sosial ekonomi bagi pendukungnya.
2.Gerakan Ratu Adil
Dalam gerakan ini dipercaya akan muncul seorang penyelamat yang disebut Ratu Adil atau Imam Mahdi.Terjadi di desa Sidoharjo, 27 Mei 1903, Pemimpinnya Kasan Mukmin, yang akhirnya terbunuh dalam suatu serangan yang dilakukan Belanda. Terjadi di Kediri dipimpin oleh Dermojoyo yang akhirnya mengalami nasib sama dengan Kyai Kasan Mukmin.
3.Gerakan Keagamaan
Salah satu gerakan keagamaan ini adalah gerakan yang dilakukan oleh kelompok Budiah pada pertengahan abad ke-19, dipimpin oleh Haji Muhammad Rifangi dari Cisalak PekalonganTujuan gerakan ini adalah melawan kebobrokan yang telah merasuki kehidupan rakyat Islam di Jawa dan mengembalikan praktek-praktek keagamaan sesuai ajaran Allah SWT dan Sunnah Rasul.
D. MASA MUNCULNYA PERGERAKAN NASIONAL MENJELANG RUNTUHNYA HINDIA BELANDA (1930-1942)
Sejarah Indonesia sejak tahun 1908 memulai babak baru, yaitu babak pergerakan nasional. Hal itu ditandai dengan berdirinya Budi Utomo. Tiga tahun setelah Boedi Oetomo lahir, tahun 1911 berdiri organisasi bagi orang-orang Islam di Indonesia, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh Haji Samanhudi. Lalu namanya dirubah menjadi Sarekat Islam untuk menarik anggota lebih banyak. Selain organisasi yang disebut diatas masih banyak organisasi lain yang didirikan baik bersifat kooperatif maupun radikal, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tetapi tujuan dari organisasi tersebut hampir sama yaitu kemerdekaan Indonesia walaupun tidak terang-terangan diungkapkan. Masa pergerakan nasional di Indonesia terbagi menjadi tiga masa. Dari masa kooperatif, masa radikal, terakhir masa bertahan.
Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisi ekonomi atau malaise yang melanda dunia. Kedua, diterapkannya pembatasan hak berkumpul dan berserikat yang dilakukan pengawasan ekstra ketat oleh polisi-polisi Hindia Belanda yang diberi hak menghadiri rapat-rapat yang diselenggarakan oleh partai politik.Ketiga, tanpa melalui proses terlebih dahulu Gubernur Jenderal dapat menyatakan suatu organisasi pergerakan atau kegiatan yang dilakukannya bertentangan dengan law and order.
Hal diatas menjadi semakin parah ketika Hindia Belanda diperintah Gubernur Jenderal yang konservatif dan reaksioner yaitu de Jonge (1931-1936). . Periode awal 1932 sampai dengan pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegerasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakin meningkat terutama sebagai dampak politik agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Maka dari itulah gerak-gerik Partindo dan PNI Baru senantiasa diawasi secara ketat.
Pemerintah Hindia Belanda tidak bersedia memulihkan hak politik bagi pergerakan nasional di Indonesia. Tetapi Hindia Belanda masih membiarkan organisasi pergerakan yang moderat untuk hidup. Hal itu juga disebabkan beberapa hal seperti menjamin demokrasi yang makin tumbuh pasca Perang Dunia I, keamanan yang diciptakan organisasi itu, dan sebab-sebab lainnya yang dianggap tidak merugikan pihak Hindia Belanda.
Pemerintah Belanda tidak hendak mematikan pergerakan di Indonesia. Mereka tahu bahwa perasaan rakyat yang tidak tersalurkan karena dibungkam oleh pemerintah akan mencari jalan lain yang dapat menimbulkan gerakan-gerakan eksplosif yang tidak diinginkan. Pemerintah Hindia Belanda hanya hendak melemahkan aktivitas prgerakan yang bersifat radikal-revolusioner. Yang diharapkan oleh pemerintah kolonial adalah semacam nasionalisme yang lunak dan kompromis, yang dapat digunakan sebagai alat untuk membendung perasaan rakyat yang membara dan menyalurkan ke arah pergerakan yang tidak membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda.
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/05/protest-movements-in-rural-java.html