Sekolah umum yang diprakarsai oleh bangsa Indonesia sendiri semakin berkembang, sebagai contohnya adalah Sekolah Kartini yang merupakan bentuk kegigihan R.A. Kartini dalam memperjuangkan pendidikan kaum perempuan di masanya. Dimana pada masa R.A. Kartini, selain anak-anak bangsawan perempuan tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan seperti halnya kaum laki-laki. Sekolah Kartini ini sebagai simbol rintisan pendidikan bagi rakyat biasa, dengan adanya sekolah ini pendidikan dapat diperoleh dan berkembang di kalangan rakyat biasa, tidak hanya pada kaum bangsawan saja. Maka banyak muncul kaum cendekiawan dari rakyat biasa, yang terus melanjutkan perjuangan R.A. Kartini.
A. BIOGRAFI R.A. KARTINI
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang biasa. Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Gambar : R.A Kartini
B. BERDIRINYA SEKOLAH KARTINI
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Gambar : Sekolah Kartini di Masa Lalu
Nasib Kartini sepenuhnya sudah digariskan oleh kaum dan sejarahnya. Meskipun sangat membenci poligami, Kartini justru dijodohkan dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah tiga kali beristri, pada tanggal 12 November 1903. Beruntung, suaminya memahami minat dan intelektualitas Kartini sehingga mengizinkannya terus membaca, berkorespodensi, dan berusaha mengembangkan pendidikan seperti mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan di kompleks kantor kabupaten Rembang.
Anak-anak perempuan pribumi boleh dikatakan tidak punya kesempatan menempuh pendidikan formal saat itu. Di kalangan pribumi, hanya anak kaum bangsawan/pamong praja yang bisa bersekolah, itu pun biasanya hanya yang laki-laki saja. Kartini merekrut kedua adik perempuannya, Kardinah dan Rukmini, untuk turut mengajar di sekolah yang segera kewalahan menampung anak-anak perempuan yang ingin belajar. Agar dapat menerima sebanyak mungkin murid, sekolah sampai dibuka untuk beberapa kelas dalam sehari.
Pada tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan anak pertamanya dan satu-satunya, RM Soesalit. Namun proses persalinannya cukup sulit, dan Kartini mengalami pendarahan cukup hebat selama berhari-hari sehingga pada 17 September 1904 Kartini tutup usia dalam usia 25 tahun. Sepeninggal Kartini, sekolah khusus perempuan yang didirikan berjalan tersendat karena hilangnya sang inspirator. Kedua adiknya yang semula mengelolanya, tidak mampu menampung semua calon murid yang ada.
Kemajuan berarti justru diteruskan oleh pasangan suami istri Van Deventer yang dalam sejarah dikenal sebagai penganjur “politik etis” atau “politik balas budi” yang memberikan kesempatan pendidikan cukup luas bagi anak-anak jajahan. Sebagai pengagum pemikiran Kartini sebagaimana termuat dalam kumpulan surat yang diterbitkan oleh J.H. dan Rosa Abendanon di tahun 1911, pasangan Van Deventer berusaha terusmendesak pemerintah Hindia Belanda mengalokasikan dana lebih banyak untuk pendidikan.
Selanjutnya, karena merasa tidak sabar dengan perkembangan yang ada, maka Van De Venter mengeluarkan uang sendiri dan berusaha menggalang dana dari berbagai kalangan guna mendirikan sebuah yayasan pendidikan di Semarang pada tahun 1012. Yayasan itu dinamai Yayasan Kartini. Yayasan inilah yang membuka sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak perempuan pribumu di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan beberapa kota lainnya, yang disebut “Sekolah Kartini”.
C. PERKEMBANGAN SEKOLAH KARTINI
Sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda khusus diperuntukkan bagi gadis remaja. Berbeda dengan SD biasa, di Sekolah Kartini diberikan pelajaran tambahan memasak dan menjahit. Terletak di Jl. Kartini, Pasar Baru, Jakarta Pusat, berawal dari "dana Kartini" yang digalakkan beberapa tokoh Belanda menjawab tuntutan politik etis awal abad 20. Sekolah pun mulai berdiri di banyak kota besar dan seluruhnya dikelola swasta. Namun antara Sekolah Kartini di beberapakota tidak saling berhubungan. Dengan semangat Sumpah Pemuda dan berkat perjuangan Ny. Abdurachman (istri wedana Mester Cornelis atau Jatinegara), staf pengelola dan pengajar terdiri dari perempuan Indonesia (1928). Di Jakarta selain Sekolah Kartini I di Jl. Kartini (Kartiniweg) juga ada Sekolah Kartini II di Pasar Nangka dan Kartini III di Jatinegara (1928). Pada masa pendudukan Jepang sekolah ini ditutup karena gedungnya digunakan untuk asrama tentara Jepang. Sekolah dibuka lagi tahun 1953, memperingati 25 tahun Persatuan Gerakan Wanita. Pada masa kemerdekaan, nama sekolah berganti menjadi Sekolah Kerajinan Wanita "Kartini". Bentuknya tidak banyak berbeda dengan Sekolah Kepandaian Puteri milik pemerintah, kecuali gurunya menerima subsidi. Untuk pencarian dana, kemudian didirikan Yayasan Sekolah Kartini (1962) yang diperoleh dari beberapa kalangan di Belanda.
Dalam perkembangannya didirikan sekolah tambahan, berupa Sekolah Kejuruan Industri Pariwisata (SKIP) pada tahun 1971 dan Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK) tahun 1976. Dalam SKIP diajarkan cara memasak menurut standar masakan Indonesia, Eropa, dan Tionghoa. Selain itu juga ada pelajaran tentang tata cara pengaturan belanja, pengaturan kebersihan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan rumah tangga untuk kepentingan pariwisata. Sedang di SMKK, lulusannya diharapkan melanjutkan ke IKIP di Jurusan Kesejahteraan Keluarga. Di beberapa tempat, sekolah Kartini sudah melebur menjadi sekolah negeri. Gedung Sekolah Kartini mempunyai sebuah beranda berbentuk pendopo di bagian tengah dan seluruh tiangnya terbuat dari kayu yang berkualitas. Gedung ini didirikan oleh Bataviasche Kartini School Vereniging (Perkumpulan Sekolah Kartini di Jakarta) pada tahun 1913. Anggota perhimpunan terdiri dari nyonya-nyonya Belanda dan istri para pegawai negeri Pemerintahan Hindia Belanda.
D. GAMBARAN SEKOLAH KARTINI DI MASA INI
Sekolah Kartini pada dewasa ini tidak lagi khusus diperuntukkan bagi perempuan saja, namun lebih pada untuk anak-anak kurang mampu yang tetap mempunyai semangat belajar yang tinggi. Sebagai contoh nyata adalah Sekolah Kartini yang dikelola 2 Ibu kembar, Sri Rosiati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian). Sekolah petak di tengah perkampungan kumuh di bawah jembatan layang yang menjadi cita- cita dari kembar bersaudara, Sri Rosiati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian) ini berdiri pada tahun 1997, sekolah pertama yang mereka dirikan terletak di kolong jembatan, Rawa Bebek, Jakarta Utara. Semua sekolah petak tripleks itu dibangun dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama.
Gambar : Sri Rosiati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian)
Bangunan sekolahan tampak sederhana sekali, pembatas antara kelas yang satu dengan yang lainnya hanya menggunakan tripleks dari kayu. Ruangan seluas 40 meter persegi itu terlihat sesak dengan sekitar 80 anak yang belajar di tiap lantai. Sekolah yang didirikan ibu kembar dinamai “Sekolah Darurat Kartini”. lbu kembar tidak pernah menamai sekolah ini sebagai yayasan ataupun sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sekolah Darurat Kartini ini terdiri dari Paud, TK,SD, SMP, hingga SMA.
Sekolah Kartini sekarang sudah mempunyai lima cabang, yaitu di bawah kolong jembatan Rawa Bebek, bawah jembatan Ancol, bawah jembatan Pluit, bawah jembatan Tambora, dan di pinggir rel kereta api Kampung Janis. Tidak tanggung-tanggung, perempuan kembar kelahiran Semarang, 4 Februari 1950 ini tak hanya menyelenggarakan layanan pendidikan gratis, tapi juga menyediakan perangkat sekolah dari buku sampai pakaian seragam.
Gambar : Sekolah Kartini di Bawah Kolong Jembatan
Semua sekolah petak tripleks itu dibangun dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama. Jumlah murid Sekolah Darurat Kartini kini mencapai hingga 2000 murid, dari taman kanak kanak, hingga SMU. Mereka juga membuka kelas kursus keterampilan, ada kursus menjahit, merangkai kerajinan tangan serta memasak. Bahkan rencana selanjutnya ibu kembar ini akan membangun poliklinik gratis untuk masyarakat.
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/06/sekolah-kartini.html
A. BIOGRAFI R.A. KARTINI
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang biasa. Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
B. BERDIRINYA SEKOLAH KARTINI
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Nasib Kartini sepenuhnya sudah digariskan oleh kaum dan sejarahnya. Meskipun sangat membenci poligami, Kartini justru dijodohkan dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah tiga kali beristri, pada tanggal 12 November 1903. Beruntung, suaminya memahami minat dan intelektualitas Kartini sehingga mengizinkannya terus membaca, berkorespodensi, dan berusaha mengembangkan pendidikan seperti mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan di kompleks kantor kabupaten Rembang.
Anak-anak perempuan pribumi boleh dikatakan tidak punya kesempatan menempuh pendidikan formal saat itu. Di kalangan pribumi, hanya anak kaum bangsawan/pamong praja yang bisa bersekolah, itu pun biasanya hanya yang laki-laki saja. Kartini merekrut kedua adik perempuannya, Kardinah dan Rukmini, untuk turut mengajar di sekolah yang segera kewalahan menampung anak-anak perempuan yang ingin belajar. Agar dapat menerima sebanyak mungkin murid, sekolah sampai dibuka untuk beberapa kelas dalam sehari.
Pada tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan anak pertamanya dan satu-satunya, RM Soesalit. Namun proses persalinannya cukup sulit, dan Kartini mengalami pendarahan cukup hebat selama berhari-hari sehingga pada 17 September 1904 Kartini tutup usia dalam usia 25 tahun. Sepeninggal Kartini, sekolah khusus perempuan yang didirikan berjalan tersendat karena hilangnya sang inspirator. Kedua adiknya yang semula mengelolanya, tidak mampu menampung semua calon murid yang ada.
Kemajuan berarti justru diteruskan oleh pasangan suami istri Van Deventer yang dalam sejarah dikenal sebagai penganjur “politik etis” atau “politik balas budi” yang memberikan kesempatan pendidikan cukup luas bagi anak-anak jajahan. Sebagai pengagum pemikiran Kartini sebagaimana termuat dalam kumpulan surat yang diterbitkan oleh J.H. dan Rosa Abendanon di tahun 1911, pasangan Van Deventer berusaha terusmendesak pemerintah Hindia Belanda mengalokasikan dana lebih banyak untuk pendidikan.
Selanjutnya, karena merasa tidak sabar dengan perkembangan yang ada, maka Van De Venter mengeluarkan uang sendiri dan berusaha menggalang dana dari berbagai kalangan guna mendirikan sebuah yayasan pendidikan di Semarang pada tahun 1012. Yayasan itu dinamai Yayasan Kartini. Yayasan inilah yang membuka sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak perempuan pribumu di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan beberapa kota lainnya, yang disebut “Sekolah Kartini”.
C. PERKEMBANGAN SEKOLAH KARTINI
Sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda khusus diperuntukkan bagi gadis remaja. Berbeda dengan SD biasa, di Sekolah Kartini diberikan pelajaran tambahan memasak dan menjahit. Terletak di Jl. Kartini, Pasar Baru, Jakarta Pusat, berawal dari "dana Kartini" yang digalakkan beberapa tokoh Belanda menjawab tuntutan politik etis awal abad 20. Sekolah pun mulai berdiri di banyak kota besar dan seluruhnya dikelola swasta. Namun antara Sekolah Kartini di beberapakota tidak saling berhubungan. Dengan semangat Sumpah Pemuda dan berkat perjuangan Ny. Abdurachman (istri wedana Mester Cornelis atau Jatinegara), staf pengelola dan pengajar terdiri dari perempuan Indonesia (1928). Di Jakarta selain Sekolah Kartini I di Jl. Kartini (Kartiniweg) juga ada Sekolah Kartini II di Pasar Nangka dan Kartini III di Jatinegara (1928). Pada masa pendudukan Jepang sekolah ini ditutup karena gedungnya digunakan untuk asrama tentara Jepang. Sekolah dibuka lagi tahun 1953, memperingati 25 tahun Persatuan Gerakan Wanita. Pada masa kemerdekaan, nama sekolah berganti menjadi Sekolah Kerajinan Wanita "Kartini". Bentuknya tidak banyak berbeda dengan Sekolah Kepandaian Puteri milik pemerintah, kecuali gurunya menerima subsidi. Untuk pencarian dana, kemudian didirikan Yayasan Sekolah Kartini (1962) yang diperoleh dari beberapa kalangan di Belanda.
Dalam perkembangannya didirikan sekolah tambahan, berupa Sekolah Kejuruan Industri Pariwisata (SKIP) pada tahun 1971 dan Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK) tahun 1976. Dalam SKIP diajarkan cara memasak menurut standar masakan Indonesia, Eropa, dan Tionghoa. Selain itu juga ada pelajaran tentang tata cara pengaturan belanja, pengaturan kebersihan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan rumah tangga untuk kepentingan pariwisata. Sedang di SMKK, lulusannya diharapkan melanjutkan ke IKIP di Jurusan Kesejahteraan Keluarga. Di beberapa tempat, sekolah Kartini sudah melebur menjadi sekolah negeri. Gedung Sekolah Kartini mempunyai sebuah beranda berbentuk pendopo di bagian tengah dan seluruh tiangnya terbuat dari kayu yang berkualitas. Gedung ini didirikan oleh Bataviasche Kartini School Vereniging (Perkumpulan Sekolah Kartini di Jakarta) pada tahun 1913. Anggota perhimpunan terdiri dari nyonya-nyonya Belanda dan istri para pegawai negeri Pemerintahan Hindia Belanda.
D. GAMBARAN SEKOLAH KARTINI DI MASA INI
Sekolah Kartini pada dewasa ini tidak lagi khusus diperuntukkan bagi perempuan saja, namun lebih pada untuk anak-anak kurang mampu yang tetap mempunyai semangat belajar yang tinggi. Sebagai contoh nyata adalah Sekolah Kartini yang dikelola 2 Ibu kembar, Sri Rosiati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian). Sekolah petak di tengah perkampungan kumuh di bawah jembatan layang yang menjadi cita- cita dari kembar bersaudara, Sri Rosiati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian) ini berdiri pada tahun 1997, sekolah pertama yang mereka dirikan terletak di kolong jembatan, Rawa Bebek, Jakarta Utara. Semua sekolah petak tripleks itu dibangun dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama.
Bangunan sekolahan tampak sederhana sekali, pembatas antara kelas yang satu dengan yang lainnya hanya menggunakan tripleks dari kayu. Ruangan seluas 40 meter persegi itu terlihat sesak dengan sekitar 80 anak yang belajar di tiap lantai. Sekolah yang didirikan ibu kembar dinamai “Sekolah Darurat Kartini”. lbu kembar tidak pernah menamai sekolah ini sebagai yayasan ataupun sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sekolah Darurat Kartini ini terdiri dari Paud, TK,SD, SMP, hingga SMA.
Sekolah Kartini sekarang sudah mempunyai lima cabang, yaitu di bawah kolong jembatan Rawa Bebek, bawah jembatan Ancol, bawah jembatan Pluit, bawah jembatan Tambora, dan di pinggir rel kereta api Kampung Janis. Tidak tanggung-tanggung, perempuan kembar kelahiran Semarang, 4 Februari 1950 ini tak hanya menyelenggarakan layanan pendidikan gratis, tapi juga menyediakan perangkat sekolah dari buku sampai pakaian seragam.
Semua sekolah petak tripleks itu dibangun dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama. Jumlah murid Sekolah Darurat Kartini kini mencapai hingga 2000 murid, dari taman kanak kanak, hingga SMU. Mereka juga membuka kelas kursus keterampilan, ada kursus menjahit, merangkai kerajinan tangan serta memasak. Bahkan rencana selanjutnya ibu kembar ini akan membangun poliklinik gratis untuk masyarakat.
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/06/sekolah-kartini.html