Tidak bisa dipungkiri bahwa berakhirnya zaman pra sejarah di Indonesia merupakan akibat dari masuknya pengaruh Hindu Budha. Begitu pula yang terjadi di Jawa Tengah. Di tanah Jawa sebenarnya masuknya pengaruh Hindu Budha diketahhui yang paling awal yaitu kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Namun kemudian pusat perkembangan Hindu Budha berpindah ke Jawa Tengah. Pada saat itu di Jawa Tengah ada sebuah kerajaan yaitu kerajaan Kaling. Dari catatan perjalanan I-Tsing, Hwui-ning serta prasati-prasasti yang ditemukan di daerah Jawa Tengah dapat diperopleh informasi bahwa daerah tersebut sudah menjadi pusat peradaban yang cukup maju. Dikabarkan bahwa tanahnya sangat kaya serta rakyatnya hidup makmur dan tentram.
Sesudah zaman Purnawarman pusat agama Hindu berpindah dari tanah pasundan Jawa barat ke tanah Jawa Tengah. Buktinya adalah batu tulis yang terdapat di lereng gunung Merbabu sebelah barat, di desa Dakawu, kawedanan Grabag. Tulisannya menggunakan huruf Palawa, berbahasa Sansekerta dan berangka tahun 500 M. Adapun bunyi huruf-huruf yang masih bisa dibaca yaitu sebagai berikut :
.Usuci amburahanujata
.Kvacic chilavalukanirggateyam
.Kvacit prakirnna subhasitatoya
.Samprastra (e) va ganga
Arti kalimat yang sudah tidak lengkap ini adalah :
"Mata-air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunganya tunjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Setelah menjadi satu lalu mengalir seperti sungai Gangga”.
Gambar : Jawa Tengah
Batu tulis ini ini dilengkapi dengan gambar alat-alat upacara keagamaan seperti gigitiga, kendi, kapak kalasangka dan juga ada gambar roda serta bunga tunjung kembang. Dari gambar tersebut tidak diketahui secara pasti agama orang yang membuatnya. Tetepi jelas bahwa ang membuat tulisan dan gambar tersebut bukan orang-orang Hindu yang beragama Budha.
Orang Tiong Hoa menyebut Jawa dengan sebutan Cho p’o, dan Jawa Tengah disebut Kaling. Mengingat nama Kaling yang hampir sama dengan Kalingga, maka diperkirakan bangsa Hindu yang dating ke Jawa Tengah berasal dari Kalingga. Dikatakan bahwa Maharaja Harsa (606-648) M) di Hindustan Utara selalu menyerang kerajaan Kalingga. Kemungkinan hal tersebut menyebabkan banyak orang Hindu datang ke tanah Jawa.
Menurut batu tulis Mahakuta (601) tertulis bahwa sang Kirtawarman 1 (raja negeri Calukya Barat) ketika hidupnya mengalahkan musuhnya yakni raja-raja di negeri Pandya, Dramila, Colya dan Kalingga. Barangkali peperangan ini menyebabkan orang Hindu pindah ke pulau Jawa. Sehingga menambah berkembangnya kebudayaan Hindu, yang pada tahun 600 M masih nampak sedikit.
Selain itu orang Tiong Hoa mengabarkan tentang tempat yang bersamaan waktunya yakni Jawa, Sumatra dan Dwa-pa-tan. Mengenai Dwa-pa-tan dikatakan bahwa letaknya di sebelah timur Kaling (tanah Jawa). Adatnya hampir sama dengan Kaling seperti panen padi setiap bulan, orang-orangnya menulis huruf di atas daun patra (rontal), mayatnya dihias dengan pakaian emas, di dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar dengan bau-bauan yang harum. Walaupun tidak ada keterangan lain diperkirakan Dwa-pa-tan adalah Bali (orang Tiong Hoa juga menyebutnya P’o Li).
Keadaan Kaling pada saat itu menurut Tiong Hoa kotanya dikelilingi dengan pagar kayu, rajanya beristana di rumah yang bertingkat, tempat duduk raja adalah peterana gading, orang-orangnya sudah pandai menulis dan sudah mengenal perbintangan, makan tidak menggunakan sendok tetapi dengan jarinya, dan membuat minuman keras dari air yang disadap dari tandan bunga kelapa (tuak). Dikatakan juga bahwa pada tahun 640 M atau 648 M dan 666 M kerajaan Jawa menyuruh utusannya ke negeri Tiongkok. Setelah utusan Jawa yang kedua kali ke negeri Tiongkok dikatakan bahwa Jawa diperintah oleh seorang raja perempuan bernama Simo (674-675M) yang memerintah dengan sangat tegas. Pemerintahanya terdengar oleh raja Ta-Che, dia menyuruh seseorang meletakkan sebuah kantong berisi dinar(emas) di suatu jalan. Tidak ada seorang pun yang berani menyentuh apalagi mengambilnya sampai pada suatu hari putra mahkota tidak sengaja menyentuh dengan kakinya. Simo menghukum putra mahkota dengan memotong kakinya. Setelah orang Ta-che mendengar begitu keras dan tegasnya pemerintahan Simo mereka pun takut untuk menyerang kerajaan tersebut.
Seorang Tiong Hoa bernama I-Tsing mengatakan bahwa dimasa itu orang-orang Tiong Hoa yang berziarah ke tempat suci agama Budha di Hindustan sempat singgah ke Jawa. Ada juga seorang Tiong-Hoa datang ke Jawa secara tidak sengaja karena kapalnya diserang angin rebut seperti Fa Hien. Ada juga guru Hwui-ning yang datang ke Jawa tahun 664/665 M. Dia tinggal di Jawa selama tiga tahun, lalu disusul oleh orang-orang Tiong-Hoa lain.
I-tsing menceritakan bahwa Jawa merupakan pusat pengetahuan agama Budha melalui riwayat kehidupan guru Hwi-ning. Guru Hwi-ning bekerja sama dengan seorang pendeta Holing(Jawa) bernama Joh-na-po-to-lo, yakni nama sanskerta yang menurut kata Jawa kuno Janabhadra. Bersama Joh-na-po-t’o-lo guru Hwui-ning menerjemahkan suatu kitab agama Budha bagian belakang dari kitab Nirwana. Yang menceritakan tentang pembakaran mayat sang Budha, lalu abu dan tulang-tulangnya dikumpulkan untuk dibuat jimat. Kitab yang diterjemahkan ini berbeda dengan kitab Mahapartinirwana, yakni cerita pembakaran mayat sang Budha menurut agama Budha Mahayana. Sifat kehinayanaan agama Budha zaman dulu di pulau Jawa dijelaskan juga oleh tulisan I-tsing yang lain yang menceritakan bahwa agama Budha yang dipeluk di kepulauan laut selatan (termasuk Jawa) adalah Budha Hinayana, dan hampir semata-mata Hinayana menurut mazhab Mulasarwastiwadi.
Setelah penerjemahan selesai, Hwui-ning memerintah Yun-ki (pendeta Tiong-Hoa yang masih muda) supaya pulang ke negeri Tiongkok membawa cerita yang telah diterjemahkan itu. Kemudian dia kembali ke Jawa lagi untuk mengucapkan terima kasih kepada Joh-na-po-t’o-lo dan untuk mengikuti guru Hwui-ning. Akan tetapi Hwui-ning sudah melanjutkan perjalanan ke barat dan I-Tsing tidak dapat menceritakan kemana Hwui-ning pergi.
Kitab Sudhacarita yakni tentang sang Budha, karangan pendeta sang Aswaghosa yang sangat termasyur di Jawa. Jadi agama Hinayana sudah dikenal umum masyarakat Jawa. Adapun syair Budhacarita sampai sekarang masih ada di Geylon, Birma, Thai, dan Kamboja.
Dari riwayat kehidupan yang tertulis di dalam zaman kerajaan Sung dapat dinyatakan bahwa Janabhadra adalah orang Jawa dan bahwa pengetahuan agama Budha di Jawa dipelajari oleh bangsa Jawa sendiri dan pasti ada orang Jawa yang memperdalam pengetahuannya. Dan juga dikatakan bahwa pentasbihan Yun-ki menjadi pendeta agama Budha adalah Janabhadra. Jadi pendeta yang seperti Janabhadra itu pandai akan bahasa Sansekerta. Tetapi bahasa ini tentu bukan bahasa yang dipakai sehari-hari. Karenanya bukan hal mustahil bila orang-orang Tiong-Hoa yang berziarah itu pandai berbahasa Sanskerta dan bahasa anak-anak negeri yang didatanginya. Jadi bahasa anak-anak negeri, yakni bahasa pendeta yang mengajar itu tentu dipakai untuk mengajar (menerangkankan) di dalam pekerjaan menerjemahkan bahasa kitab Sanskerta kepada bahasa Tiong-Hoa.
Bangsa Tiong Hoa memberi nama bahasa itu sebagai Kw’un-lun selain dipakai untuk menamai kepulauan ini, dipakai juga untuk menamai pulau Kondor, tanah Campa, Kamboja, Birma, Seluruh Tiongkok Selatan, Madagaskar dan pantai Afrika Timur yang berhadapan dengan Madagaskar. Sedangkan menurut cerita tentang para Arhat (pendeta agama Budha yang termulia) bahwa nama Kw’un-lun yang sebelum tahun 22 masehi sudah diterjemahkan ke bahasa Tiong Hoa adalah sebuah gunung di tanah Hindu. Jadi nama Kwu’un-lun dapat dianggap terjemahan nama Malaya, dan bahwa orang-orang Tiong-Hoa yang datang ke tanah-tanah tersebut itu semua berjumpa dengan sesuatu yang bersifat kemelayuan.
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/03/tanah-jawa-tengah-yang-pertama.html
Sesudah zaman Purnawarman pusat agama Hindu berpindah dari tanah pasundan Jawa barat ke tanah Jawa Tengah. Buktinya adalah batu tulis yang terdapat di lereng gunung Merbabu sebelah barat, di desa Dakawu, kawedanan Grabag. Tulisannya menggunakan huruf Palawa, berbahasa Sansekerta dan berangka tahun 500 M. Adapun bunyi huruf-huruf yang masih bisa dibaca yaitu sebagai berikut :
.Usuci amburahanujata
.Kvacic chilavalukanirggateyam
.Kvacit prakirnna subhasitatoya
.Samprastra (e) va ganga
Arti kalimat yang sudah tidak lengkap ini adalah :
"Mata-air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunganya tunjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Setelah menjadi satu lalu mengalir seperti sungai Gangga”.
Batu tulis ini ini dilengkapi dengan gambar alat-alat upacara keagamaan seperti gigitiga, kendi, kapak kalasangka dan juga ada gambar roda serta bunga tunjung kembang. Dari gambar tersebut tidak diketahui secara pasti agama orang yang membuatnya. Tetepi jelas bahwa ang membuat tulisan dan gambar tersebut bukan orang-orang Hindu yang beragama Budha.
Orang Tiong Hoa menyebut Jawa dengan sebutan Cho p’o, dan Jawa Tengah disebut Kaling. Mengingat nama Kaling yang hampir sama dengan Kalingga, maka diperkirakan bangsa Hindu yang dating ke Jawa Tengah berasal dari Kalingga. Dikatakan bahwa Maharaja Harsa (606-648) M) di Hindustan Utara selalu menyerang kerajaan Kalingga. Kemungkinan hal tersebut menyebabkan banyak orang Hindu datang ke tanah Jawa.
Menurut batu tulis Mahakuta (601) tertulis bahwa sang Kirtawarman 1 (raja negeri Calukya Barat) ketika hidupnya mengalahkan musuhnya yakni raja-raja di negeri Pandya, Dramila, Colya dan Kalingga. Barangkali peperangan ini menyebabkan orang Hindu pindah ke pulau Jawa. Sehingga menambah berkembangnya kebudayaan Hindu, yang pada tahun 600 M masih nampak sedikit.
Selain itu orang Tiong Hoa mengabarkan tentang tempat yang bersamaan waktunya yakni Jawa, Sumatra dan Dwa-pa-tan. Mengenai Dwa-pa-tan dikatakan bahwa letaknya di sebelah timur Kaling (tanah Jawa). Adatnya hampir sama dengan Kaling seperti panen padi setiap bulan, orang-orangnya menulis huruf di atas daun patra (rontal), mayatnya dihias dengan pakaian emas, di dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar dengan bau-bauan yang harum. Walaupun tidak ada keterangan lain diperkirakan Dwa-pa-tan adalah Bali (orang Tiong Hoa juga menyebutnya P’o Li).
Keadaan Kaling pada saat itu menurut Tiong Hoa kotanya dikelilingi dengan pagar kayu, rajanya beristana di rumah yang bertingkat, tempat duduk raja adalah peterana gading, orang-orangnya sudah pandai menulis dan sudah mengenal perbintangan, makan tidak menggunakan sendok tetapi dengan jarinya, dan membuat minuman keras dari air yang disadap dari tandan bunga kelapa (tuak). Dikatakan juga bahwa pada tahun 640 M atau 648 M dan 666 M kerajaan Jawa menyuruh utusannya ke negeri Tiongkok. Setelah utusan Jawa yang kedua kali ke negeri Tiongkok dikatakan bahwa Jawa diperintah oleh seorang raja perempuan bernama Simo (674-675M) yang memerintah dengan sangat tegas. Pemerintahanya terdengar oleh raja Ta-Che, dia menyuruh seseorang meletakkan sebuah kantong berisi dinar(emas) di suatu jalan. Tidak ada seorang pun yang berani menyentuh apalagi mengambilnya sampai pada suatu hari putra mahkota tidak sengaja menyentuh dengan kakinya. Simo menghukum putra mahkota dengan memotong kakinya. Setelah orang Ta-che mendengar begitu keras dan tegasnya pemerintahan Simo mereka pun takut untuk menyerang kerajaan tersebut.
Seorang Tiong Hoa bernama I-Tsing mengatakan bahwa dimasa itu orang-orang Tiong Hoa yang berziarah ke tempat suci agama Budha di Hindustan sempat singgah ke Jawa. Ada juga seorang Tiong-Hoa datang ke Jawa secara tidak sengaja karena kapalnya diserang angin rebut seperti Fa Hien. Ada juga guru Hwui-ning yang datang ke Jawa tahun 664/665 M. Dia tinggal di Jawa selama tiga tahun, lalu disusul oleh orang-orang Tiong-Hoa lain.
I-tsing menceritakan bahwa Jawa merupakan pusat pengetahuan agama Budha melalui riwayat kehidupan guru Hwi-ning. Guru Hwi-ning bekerja sama dengan seorang pendeta Holing(Jawa) bernama Joh-na-po-to-lo, yakni nama sanskerta yang menurut kata Jawa kuno Janabhadra. Bersama Joh-na-po-t’o-lo guru Hwui-ning menerjemahkan suatu kitab agama Budha bagian belakang dari kitab Nirwana. Yang menceritakan tentang pembakaran mayat sang Budha, lalu abu dan tulang-tulangnya dikumpulkan untuk dibuat jimat. Kitab yang diterjemahkan ini berbeda dengan kitab Mahapartinirwana, yakni cerita pembakaran mayat sang Budha menurut agama Budha Mahayana. Sifat kehinayanaan agama Budha zaman dulu di pulau Jawa dijelaskan juga oleh tulisan I-tsing yang lain yang menceritakan bahwa agama Budha yang dipeluk di kepulauan laut selatan (termasuk Jawa) adalah Budha Hinayana, dan hampir semata-mata Hinayana menurut mazhab Mulasarwastiwadi.
Setelah penerjemahan selesai, Hwui-ning memerintah Yun-ki (pendeta Tiong-Hoa yang masih muda) supaya pulang ke negeri Tiongkok membawa cerita yang telah diterjemahkan itu. Kemudian dia kembali ke Jawa lagi untuk mengucapkan terima kasih kepada Joh-na-po-t’o-lo dan untuk mengikuti guru Hwui-ning. Akan tetapi Hwui-ning sudah melanjutkan perjalanan ke barat dan I-Tsing tidak dapat menceritakan kemana Hwui-ning pergi.
Kitab Sudhacarita yakni tentang sang Budha, karangan pendeta sang Aswaghosa yang sangat termasyur di Jawa. Jadi agama Hinayana sudah dikenal umum masyarakat Jawa. Adapun syair Budhacarita sampai sekarang masih ada di Geylon, Birma, Thai, dan Kamboja.
Dari riwayat kehidupan yang tertulis di dalam zaman kerajaan Sung dapat dinyatakan bahwa Janabhadra adalah orang Jawa dan bahwa pengetahuan agama Budha di Jawa dipelajari oleh bangsa Jawa sendiri dan pasti ada orang Jawa yang memperdalam pengetahuannya. Dan juga dikatakan bahwa pentasbihan Yun-ki menjadi pendeta agama Budha adalah Janabhadra. Jadi pendeta yang seperti Janabhadra itu pandai akan bahasa Sansekerta. Tetapi bahasa ini tentu bukan bahasa yang dipakai sehari-hari. Karenanya bukan hal mustahil bila orang-orang Tiong-Hoa yang berziarah itu pandai berbahasa Sanskerta dan bahasa anak-anak negeri yang didatanginya. Jadi bahasa anak-anak negeri, yakni bahasa pendeta yang mengajar itu tentu dipakai untuk mengajar (menerangkankan) di dalam pekerjaan menerjemahkan bahasa kitab Sanskerta kepada bahasa Tiong-Hoa.
Bangsa Tiong Hoa memberi nama bahasa itu sebagai Kw’un-lun selain dipakai untuk menamai kepulauan ini, dipakai juga untuk menamai pulau Kondor, tanah Campa, Kamboja, Birma, Seluruh Tiongkok Selatan, Madagaskar dan pantai Afrika Timur yang berhadapan dengan Madagaskar. Sedangkan menurut cerita tentang para Arhat (pendeta agama Budha yang termulia) bahwa nama Kw’un-lun yang sebelum tahun 22 masehi sudah diterjemahkan ke bahasa Tiong Hoa adalah sebuah gunung di tanah Hindu. Jadi nama Kwu’un-lun dapat dianggap terjemahan nama Malaya, dan bahwa orang-orang Tiong-Hoa yang datang ke tanah-tanah tersebut itu semua berjumpa dengan sesuatu yang bersifat kemelayuan.
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/03/tanah-jawa-tengah-yang-pertama.html