Teuku Markam, salah seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya di Indonesia. Dia menyumbang 38 kilogram emas untuk puncak Tugu Monumen Nasioanal (Monas). Kejayaannya runtuh pada masa Orde Baru.
Teuku Markam merupakan salah satu saudagar Aceh yang sukses dimasanya. Ada 38 kilogram emas yang dia sumbangkan untuk membalut puncak Tugu Monas Jakarta, yang merupakan simbol kebesaran Indonesia.
Masyarakat hanya mengetahui, emas tersebut memang benar sumbangan saudagar Aceh. Namun, tak banyak yang tahu, kalau Teuku Markamlah yang dimaksud. Itu baru segelintir karya Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini. Karya lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia.
Tentu saja banyak bantuan Teuku Markam lainnya yang pantas dicatat dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan Teuku Markam dalam sebuah legenda.
Di masa Orde Baru (Orba), karyanya yang terbilang monumental adalah pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan lainnya adalah karya dari Teuku Markam yang didanai Bank Dunia. Sampai sekarang, jalan-jalan itu tetap awet.
Teuku Markam pernah memiliki sejumlah kapal, dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, Palembang. Dia tercatat sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang. Usaha lain adalah mengimpor plat baja, besi beton sampai senjata untuk militer.
Mengingat perannya yang begitu besar dalam kancah bisnis dan perekonomian Indonesia, Teuku Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno.
Peran Teuku Markam menjadi hancur dan runtuh seiring dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto. Ia ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit setelah keluar dari penjara, tapi tidak sempat bertahan lama.
Teuku Markam lahir tahun 1925. Dia merupakan salah satu turunan uleebalang. Ayahnya Teuku Marhaban, berasal dari Kampung Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu. Ketika usia sembilan tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas empat Sekolah Rakyat (SR).
Teuku Markam tumbuh dewasa menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jenderal Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain.
Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon dengan pasukan Manaf Lubis.
Teuku Markam sebagai prajurit penghubung, lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinannya, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu dijalankan dan diemban Teuku Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.
Jenderal Gatot Soebroto juga yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi (pengusaha putra daerah-red) yang betul-betul mampu menghendel masalah perekonomian Indonesia.
Ketika 1957, Teuku Markam berpangkat Kapten (NRP 12276), kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda—red) karena ada orang tidak senang kepadanya dengan membuat berita buruk. Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.
Sejak keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya Pemerintah RI mengelola pampasan perang untuk dijadikan dana revolusi.
Setelah itu, Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar dan Surabaya.
Bisnis Teuku Markam, semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor-impor dengan sejumlah negara. Diantaranya mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.
Komitmen dan tekad Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI, sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno. Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), serta mengumpulkan sejumlah 28 kilogram emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Seperti kita tahu, proyek Monas merupakan salah satu impian Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Peran Teuku Markam, menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil dana yang dikeluarkan, berkat bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu. Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain.
Pada masa Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno. Sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah terlibat PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.
Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan. Pertama-tama ia dimasukkan dalam tahanan bersama Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba, Jalan Percetakan Negara. Lalu dipindahkan lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di Kawasan Pondok Gede Jakarta Timur.
Pada 1972, ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun. Semua terjadi begitu cepat. Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam menjadi sulit dan prihatin.
Dia baru bebas 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa- jasa baik dari sejumlah teman setianya. Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada konpensasi apapun dari pemerintahan Orba. “Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan menuntut hak- haknya. Tapi waktu itu ia tertindas dan teraniaya,” kata Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.
Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT. PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI.
Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman-teman Teuku Markam. Namun, tidak banyak menolong mengembalikan asset PT Teuku Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah bendera PT. PP Berdikari. Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin perusahaan tersebut.
Di jajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Drs Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.
Pada 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974. Isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT. Teuku Karkam atau PT. Aslam atau PT. Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus “pinjaman” yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal negara di PT. PP Berdikari.
Kepres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan. Proyek Bank Dunia saat dia keluar dari penjara (1974), Teuku Markam mendirikan PT. Marjaya dan menggarap proyek-prorek Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat.
Tapi tidak satupun dari proyek-proyek raksasa yang dikerjakan PT. Marjaya baik di Aceh maupun di Jawa Barat, mau diresmikan pemerintahan Soeharto. Proyek PT. Marjaya di Aceh antara lain pembangunan Jalan Bireuen - Takengon, Aceh Barat, Aceh Selatan, Medan-Banda Aceh, PT. PIM dan lain-lain.
Teuku Syauki menduga, Rezim Orba sangat takut apabila Teuku Markam kembali bangkit. Untuk itulah, kata Teuku Syauki, proyek-proyek Markam “dianggap” angin lalu.
Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat komplikasi berbagai penyakit di Jakarta. Sampai akhir hayatnya, pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya. Bahkan sampai sekarang. “Air susu dibalas air tuba,” itulah nasib ayah kami, kata Teuku Syauki mengenai perilaku penguasa Orba.
Untuk mengembalikan aset PT. Karkam yang dikuasai pemerintah. Selaku ahli waris, Teuku Syauki Markam menyurati Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wapres Megawati Soekarnoputri, ketika itu. Kekayaan Teuku Markam yang diambil alih itu ditaksir bernilai Rp 40 triliun lebih. “Kami menuntut kepada pemerintahan sekarang untuk mengembalikan seluruh aset kekayaan orang tua kami,” kata Teuku Syauki Markam.
Selain menyurati Presiden Gus Dur, Wapres Megawati, ahli waris Markam juga menemui Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, Menteri Negara PBUMN dan sejumlah pejabat terkait lain. “Seumur hidup saya akan berjuang mendapatkan kembali hak keluarga kami yang telah dirampas pemerintahan Orba,” tekad Teuku Syauki yanghttp://www.blogger.com/img/blank.gif nampak geram atas tingkah polah kekuasaan Orba yang menyebabkan keluarga mereka menderita lahir batin.
Sejak Teuku Markam meninggal dunia, aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir. Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.***
Sumber : Syamsul Bahri/dbs – Modus Aceh
Teuku Markam merupakan salah satu saudagar Aceh yang sukses dimasanya. Ada 38 kilogram emas yang dia sumbangkan untuk membalut puncak Tugu Monas Jakarta, yang merupakan simbol kebesaran Indonesia.
Masyarakat hanya mengetahui, emas tersebut memang benar sumbangan saudagar Aceh. Namun, tak banyak yang tahu, kalau Teuku Markamlah yang dimaksud. Itu baru segelintir karya Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini. Karya lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia.
Tentu saja banyak bantuan Teuku Markam lainnya yang pantas dicatat dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan Teuku Markam dalam sebuah legenda.
Di masa Orde Baru (Orba), karyanya yang terbilang monumental adalah pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan lainnya adalah karya dari Teuku Markam yang didanai Bank Dunia. Sampai sekarang, jalan-jalan itu tetap awet.
Teuku Markam pernah memiliki sejumlah kapal, dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, Palembang. Dia tercatat sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang. Usaha lain adalah mengimpor plat baja, besi beton sampai senjata untuk militer.
Mengingat perannya yang begitu besar dalam kancah bisnis dan perekonomian Indonesia, Teuku Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno.
Peran Teuku Markam menjadi hancur dan runtuh seiring dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto. Ia ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit setelah keluar dari penjara, tapi tidak sempat bertahan lama.
Teuku Markam lahir tahun 1925. Dia merupakan salah satu turunan uleebalang. Ayahnya Teuku Marhaban, berasal dari Kampung Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu. Ketika usia sembilan tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas empat Sekolah Rakyat (SR).
Teuku Markam tumbuh dewasa menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jenderal Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain.
Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon dengan pasukan Manaf Lubis.
Teuku Markam sebagai prajurit penghubung, lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinannya, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu dijalankan dan diemban Teuku Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.
Jenderal Gatot Soebroto juga yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi (pengusaha putra daerah-red) yang betul-betul mampu menghendel masalah perekonomian Indonesia.
Ketika 1957, Teuku Markam berpangkat Kapten (NRP 12276), kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda—red) karena ada orang tidak senang kepadanya dengan membuat berita buruk. Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.
Sejak keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya Pemerintah RI mengelola pampasan perang untuk dijadikan dana revolusi.
Setelah itu, Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar dan Surabaya.
Bisnis Teuku Markam, semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor-impor dengan sejumlah negara. Diantaranya mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.
Komitmen dan tekad Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI, sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno. Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), serta mengumpulkan sejumlah 28 kilogram emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Seperti kita tahu, proyek Monas merupakan salah satu impian Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Peran Teuku Markam, menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil dana yang dikeluarkan, berkat bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu. Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain.
Pada masa Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno. Sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah terlibat PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.
Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan. Pertama-tama ia dimasukkan dalam tahanan bersama Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba, Jalan Percetakan Negara. Lalu dipindahkan lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di Kawasan Pondok Gede Jakarta Timur.
Pada 1972, ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun. Semua terjadi begitu cepat. Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam menjadi sulit dan prihatin.
Dia baru bebas 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa- jasa baik dari sejumlah teman setianya. Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada konpensasi apapun dari pemerintahan Orba. “Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan menuntut hak- haknya. Tapi waktu itu ia tertindas dan teraniaya,” kata Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.
Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT. PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI.
Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman-teman Teuku Markam. Namun, tidak banyak menolong mengembalikan asset PT Teuku Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah bendera PT. PP Berdikari. Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin perusahaan tersebut.
Di jajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Drs Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.
Pada 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974. Isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT. Teuku Karkam atau PT. Aslam atau PT. Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus “pinjaman” yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal negara di PT. PP Berdikari.
Kepres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan. Proyek Bank Dunia saat dia keluar dari penjara (1974), Teuku Markam mendirikan PT. Marjaya dan menggarap proyek-prorek Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat.
Tapi tidak satupun dari proyek-proyek raksasa yang dikerjakan PT. Marjaya baik di Aceh maupun di Jawa Barat, mau diresmikan pemerintahan Soeharto. Proyek PT. Marjaya di Aceh antara lain pembangunan Jalan Bireuen - Takengon, Aceh Barat, Aceh Selatan, Medan-Banda Aceh, PT. PIM dan lain-lain.
Teuku Syauki menduga, Rezim Orba sangat takut apabila Teuku Markam kembali bangkit. Untuk itulah, kata Teuku Syauki, proyek-proyek Markam “dianggap” angin lalu.
Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat komplikasi berbagai penyakit di Jakarta. Sampai akhir hayatnya, pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya. Bahkan sampai sekarang. “Air susu dibalas air tuba,” itulah nasib ayah kami, kata Teuku Syauki mengenai perilaku penguasa Orba.
Untuk mengembalikan aset PT. Karkam yang dikuasai pemerintah. Selaku ahli waris, Teuku Syauki Markam menyurati Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wapres Megawati Soekarnoputri, ketika itu. Kekayaan Teuku Markam yang diambil alih itu ditaksir bernilai Rp 40 triliun lebih. “Kami menuntut kepada pemerintahan sekarang untuk mengembalikan seluruh aset kekayaan orang tua kami,” kata Teuku Syauki Markam.
Selain menyurati Presiden Gus Dur, Wapres Megawati, ahli waris Markam juga menemui Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, Menteri Negara PBUMN dan sejumlah pejabat terkait lain. “Seumur hidup saya akan berjuang mendapatkan kembali hak keluarga kami yang telah dirampas pemerintahan Orba,” tekad Teuku Syauki yanghttp://www.blogger.com/img/blank.gif nampak geram atas tingkah polah kekuasaan Orba yang menyebabkan keluarga mereka menderita lahir batin.
Sejak Teuku Markam meninggal dunia, aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir. Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.***
Sumber : Syamsul Bahri/dbs – Modus Aceh