PENDAHULUAN 
Fhoto  di atas adalah sebagian bukti yang tidak jelas keberadaannya, yang  merupakan "peninggalan Kerajaan Linge", ada lagi peninggalan Kerajaan  Linge konon orang desa setempat mengatakan bahwa rumah adat pitu ruang  (tujuh ruang) itu adalah tempat tinggal Kerajaan Linge dari Raja Linge  I-XIII, tapi ini semua di dapatkan berdasarkan hasil wawancara saja.  Pertanyaan yang mungkin timbul salah satu dari kita adalah, siapakah  raja yang I, II, III dan seterusnya sampai ke XIII tersebut yang pernah  menjadi raja di kerajaan linge itu sendiri? Kemudian dalam hal ini juga  ada sedikit yang belum jelas, yaitu tentang Silsilah dari Kerajaan Linge  itu sendiri, yang konon kata penjaga rumah itu ada sampai 13 Raja yang  berkuasa di Kerajaan Linge pada saat itu, tapi apakah benar adanya ini  semua? atau mungkin hanya cerita belaka saja, atau juga mungkin  referensi tentang menyangkut silsilah ini belum ditemukan. 
Siapa  yang harus di salahkan? Pemerintah, Sejarawan, Tokoh Masyarakat, atau  orang tua terdahulu? Semua benar, mengapa demikian? Buktinya: 
Pemerintah  kurang memperhatikan sejarah, bisa dilihat dari tempat kantor kerja  pemerintah Aceh Tengah, contohnya di kantor Bupati Aceh Tengah, di  kantor ini hampir setiap sudut ruangan tidak ada yang bercorak bangunan  Gayo, Misal Kerawang Gayo. Di daerah Pematang Siantar, setiap kantornya  itu ada corak dari pada adat bangunan kantor tempat mereka kerja. Sebab  itulah kota Pematang Siantar menjadi terjaga dan banyak di minati oleh  wisata-wisatawan asing datang kesana, Pertanyaannya adalah mengapa kita  tidak bisa?.
Sejarawan  juga kurang spesifik dalam hal ini, pasalnya sejarawan kurang mengkaji  lebih dalam tentang Kerajaan Linge, akibat dari pada hal tersebut, semua  orang yang ingin mengkaji tentang Kerajaan Linge ini menjadi tidak  berminat, ini lah yang terjadi pada saat sekarang ini, semua generasi  penerus tidak sedikit yang mau meneliti lebih dalam tentang hal ini,  tapi referensi dari Kerajaan Linge ini minim, kalaupun ada, itu tidak  dijadikan sumber utama, karena bukti-bukti dari referensi atau sumber  itu hanya kebanyakan dari hasil wawancara saja.
Tokoh  masyarakat, terkadang kita harus selalu menanyakan tentang apa saja  yang terjadi di masyarakat kita, yang selalu harus di korelasikan dengan  tokoh masyarakat kita. Misalnya saja dalam hal adat, ada pesta  pernikahan, yang selalu di hadiri oleh tokoh masyarakat dimana dia  berdomisili, tetapi akankah tokoh masyarakat itu mengerti bagaimana  dengan adat gayo yang sebenarnya? Akankah Tokoh masyarakat itu mengerti  sejarah adat pernikahan gayo? Inilah yang seharusnya dilakukan oleh  tokoh masyarakat kita, yang mampu memperkenalkan sejarah lebih banyak  kepada masyarakatnya.
Pada  hakikatnya suatu negara, atau suku bangsa itu maju dengan mengerti akan  jati diri mereka. Dewasa ini kita sering mendengar dari kalangan ilmuan  sains yang mengatakan bahwa sejarah tidak memiliki arti penting dalam  ilmu manapun, mereka membuktikan dengan tidak adanya manfaat yang  diberikan oleh ilmu sejarah di dalam berbagai bidang ilmu pada saat ini,  terlebih lagi jaman sekarang telah mengikuti perkembangannya dengan  ilmu pengetahuan yang serba canggih melalui media dunia maya yang banyak  memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan perkembangan jaman itu  sendiri. Hal ini di akibatkan oleh kurangnya peranan dari kalangan  sejarawan atau orang-orang terdahulu yang mengimplementasikan sejarah  itu sendiri. Padahal, apabila kita tinjau dari beberapa pandangan  mengenai arti pentingnya ilmu sejarah itu sendiri adalah : 
Ilmu  sejarah dapat menyadarkan kita kepada jaman terdahulu yang sangat maju  dan berkembang dari berbagai bidang, contohnya saja pada jaman  penjajahan kolonial Belanda, bangsa Belanda sendiri sangat sulit  menguasai daerah Aceh sendiri, hal ini di sebabkan oleh orang-orang Aceh  sendiri yang memegang erat agamanya sendiri, hal itulah yang  menyebabkan penajajahan kolonial Belanda lama menguasai Aceh.
di nasional sendiri kita pernah menguasai sebagian Asia, yaitu dengan kerajaan Majapahit, yang dengan semboyan palapa-nya.
Dari  kedua contoh diatas kita seharusnya mengikuti jejak-jejak dari pada  sejarah tersebut. Yang mana seyogiayanya kita mengeratkan agama kita  agar kita tidak dapat lagi di kuasai oleh penjajahan yang tidak nampak  jelas jika di pandang melalui pandangan kasat mata. Karena dengan agama  lah kita dapat menghambat datangnya penguasa-penguasa yang memandang  sebelah mata kepada kita. 
Kemudian  dari kerajaan Majapahit kita selayaknya selalu membuat semboyan atau  “visi-misi” istilah sekarang yang membuat kita berpegang teguh dengan  tujuan tersebut untuk mencapai suatu tujuan dalam berbagai hal, baik  dalam hal pendidikan, maupun dalam hal politik dan lainnya.
Untuk  mencoba membuat referensi yang "detail" mengenai Kerajaan Linge itu  sangatlah sulit, karena amat sedikitnya referensi atau sumber mengenai  Kerajaan Linge itu sendiri. Kemudian timbul pertanyaan "Mengapa hal itu  bisa terjadi hal seperti itu? Sehingga membuat binggung generasi penerus  dalam memberikan penjelasan tentang jati diri dari suku Gayo itu  sendiri!".
Suatu  titipan bagi generasi muda yang harus mengungkap bagaimana sejarah  Kerajaan Linge itu sebenarnya, apakah benar dengan adanya Kerajaan Linge  itu? Semua kalangan harus mengupas tuntas yang menyangkut hal ini,  karena masalah ini adalah masalah jati diri suku bangsa gayo itu  sendiri. Dalam hal ini kembali kita ingat akan kata pahlawan kita  Jenderal Sudirman,"Tidak ada kemenangan kalau tidak ada kekuatan, tidak  ada kekuatan kalau tidak ada persatuan dan persatuan itu harus disertai  dengan silaturrahmi. Maka dari pernyataan tersebut, bisa dikutip, untuk  membuat suatu pernyataan, kita harus menyatukan perbedaan pendapat dalam  konteks Kerajaan Linge ini, tidak boleh mengutamakan pendapat suatu  individu untuk di jadikan referensi atau sumber yang utama. 
Sangat  sulit untuk membuat suatu referensi tentang Kerajaan Reje Linge,  pasalya semua ini di akibatkan oleh kurangnya sumber-sumber tentang  Kerajaan Linge itu sendiri. Sampai saat ini orang-orang gayo sendiri  sangat kurang dalam menulis tentang Kerajaan Linge itu sendiri. Jika  berbicara lebih luas mengenai Kerajaan Linge, maka harus banyak juga  melakukan penelitian, baik penelitian secara kualitatif, maupun  kuantitatif. 
Sejarah  kerajaan linge ini adalah salah satu hasil penipuan yang dilakukan oleh  penguasa-penguasa yang secara turun temurun mengelapkan kita untuk  bangkit dalam mendalami asal kejadian dari kerajaan linge itu sendiri  yang merupakan juga asal dari pada suku gayo itu sendiri.
| "Cap Stempel Reje Linge" | 
Adanya  Kerjaan Linge itu betul ada, tapi yang diragukan sekarang adalah  sejarah dari pada Kerjaan Linge itu simpang siur. Dengan adanya beberapa  bukti yang sampai saat ini masih ada, kita mempercayai dinasti Kerjaan  Linge itu ada, salah satu pecahanya adalah samudra pasai (pase) yang  merupakan keturunan Raja Lingga (linge). 
Untuk  membicarakan suatu kenyataan sejarah, maka tidak terlepas dengan  bukti-bukti yang harus dikaitkan dalam penulisan. Dari referensi di atas  menurut dapat disimpulkan adanya Kerajaan Linge itu sekitar 60%,  mengapa demikian? Karena ilmu sejarah itu bisa di buktikan dengan 4 hal,  1) Fakta (bukti Peninggalan), 2) Waktu, 3) dimana terjadinya kejadian  tersebut? 4) Wawacara dengan orang yang berhubungan dengan kejadian  tersebut. Dengan demikian Semua kejadian sejarah, di perlukan bukti yang  kuat untuk menjadikannya suatu sejarah yang sah.
Kerajaan  Linge hingga saat ini memang masih di masukkan dalam kemisteriusan  dunia sejarah, terutama di daerah Aceh Tengah sebagai asal dari Kerajaan  Linge itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan belum di resmikannya  hingga saat ini Kerajaan Linge sebagai Kerajaan yang permanen di Aceh  Tengah.
Untuk  mempersatukan bangsa Indonesia, masing-masing individu dari suku bangsa  tersebut harus mengetahui jati diri mereka itu sendiri, tentunya semua  itu harus dengan mengerti sejarah dari suku bangsa itu sendiri. Dengan  dimengertinya sejarah dari pada suku bangsa itu, maka individu tersebut  akan bersatu, itu semua di sebabkan oleh mengerti dengan apa-apa yang  harus mereka lakukan di dalam kehidupan lingkungan masyarakat mereka  sendiri. Mengetahui dan mengenal asal usul suku bangsa sendiri maupun  suku bangsa orang lain merupakan bentuk kepedulian terhadap bangsa yang  sedang di duduki ini. Dengan demikian, individu dapat menghargai dan  mempelajari lebih tentang dari suku sendiri maupu suku orang lain, yang  tujuannya adalah mempererat kebudayaan Indonesia.
ASAL KATA LINGE 
Kata  linge terdiri dari dua kata; "ling" dan "nge". "Ling" dalam bahasa  Indonesia artinya adalah suara, sedangkan "nge" dalam bahasa Indonesia  artinya adalah nya, Jadi, apabila di gabungkan antara dua kata tersebut  adalah suaranya. Yang maknanya adalah suaranya ada, tetapi manusia-nya  tidak jelas, begitulah makna Kerjaan Linge sekarang ini. Artinya suara  orang atau masyarakat setempat bahwa mengatakan Kerjaan Linge itu ada,  tetapi Bukti-Bukti peninggalannya tidak ada. Kalaupun ada, itu semua  berarti hanya sedikit dari yang diharapkan. 
Latar Belakang Kerajaan Linge 
Kerajaan  Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada  tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi  Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empu Beru, Sibayak  Linge, Merah Johan, Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah  pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari sultan Peureulak  Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M). 
Pada  saat Adi Genali membangun Negeri Linge, maka pada saat bersamaan juga  diberikan pusaka tersebut kepadanya yang diberikan gelar "Cik Serule  (Paman Serule)". Nama serule disini adalah salah satu perkampungan yang  ada di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.
Pusaka  ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul  Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh  Sirajuddin yang bergelar Cik Serule". Menjadi suatu perselisihan dan  kebinggungan yang mendalam dari diri saya yang timbul, disebabkan oleh  banyaknya perbedaan-perbedaan pendapat dari semua apa yang telah saya  dapatkan dan saya baca. 
Dari situs http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/21/didong-dimulai-sejak-jaman-reje-linge-xiii/,  saya membaca tentang didong gayo yang  menurut Ismuha, (13/7), Kabid  kebudayaan Pemkab Bener Meriah, kesenian didong dimulai sejak Reje Linge  ke 13. Kemudian, di sini timbul pertanyaan yang besar bagi kita, lantas  kapan Reje Linge I-XII itu terjadi?
Di  situs lain dikatakan juga oleh Fajri, Kokasih Bakar dan Uwein  mengatakan bahwa Reje Linge itu merupakan kekeberen istilah gayo dan  berita rakyat dalam bahasa Indonesia, yang langsung mereka wawancarai  dengan A. Djamil seorang Sejarawan Gayô.Dalam kekeberen ini diceritakan 2  Kerajaan yang merupakan asal dari Gayô yaitu Kerajaan Lingë dan  Kerajaan Malik Ishaq. Kerajaan Lingë berdiri pada abad ke 10, sedangkan  Kerajaan Malik Ishaq pada saat adanya Kerajaan Pérlak (abad ke 8 s.d. 12  M) dan Sri Wijaya (abad ke 6 s.d. 13, sedangkan masa kejatuhannya pada  abad 12 M atau 13 M).Kerajaan Lingë berasal dari Kerajaan Rum atau  Turki, asal kata Lingë berasal dari bahasa Gayô yang berarti Léng Ngé  yang artinya suara yang terdengar. Raja Lingë I ini beragama Islam  bernama Réjé Genali atau Tengku Kawe Tepat (Pancing yang lurus dalam  bahasa Acih).Agama Islam yang dianut bisa dililhat dari bendera Kerajaan  Lingë tersebut, dimana ada Syahadat di atas benderanya dan di bawahnya  bernama 4 sahabat nabi, sedangkan warnanya belum diketahui karena sudah  kusam, antara merah dan putih (bendera ini masih bisa dilihat dan  disimpan di daerah Karô, sebagai pusaka dari anak salah satu Raja Lingë  yang pergi ke Karô).
Raja  Lingë mempunyai 4 anak, 3 laki-laki dan satu perempuan. seorang  perempuan bernama Datu Beru, dan ketiga anak laki-lakinya bernama Djohan  Syah, Ali Syah dan Malam Syah.Ketika besar khusus anak laki-lakinya  akan disunat seperti halnya ajaran Islam, anak yang ke-3 bernama Ali  Syah tidak bisa disunat karena kemaluannya tidak dimakan pisau. Hal ini  tentu saja membuat malu. Hal ini menyebabkan ia meminta ijin kepada Raja  Lingë untuk pergi ke daerah Karô.
Walau  pada mulanya Raja tidak mengijinkan namun akhirnya dengan berat hati  sebelum kepergian mereka dibagikan pusaka untuk anak laki-lakinya yaitu  Kôrô Gônôk, Bawar, Tumak Mujangut, Mérnu dan élém (Bendera Pusaka).  Sedangkan Datu Béru memegang kunci khajanah Kerajaan Lingë.
Ali Syah, anak ke-3 Raja Lingë I
Ali  Syah bersama rombongan berangkat menuju Karô menuju daerah yang disebut  Blang Munté. Pada daerah tersebut Ali Syah bersama rombongannya  memutuskan untuk berhenti dan menetapkan bahwa tempat itu sebagai tempat  ia terakhir bersama rombongan.
Tinggallah  Ali Syah seorang diri selama berbulan-bulan tinggal disitu, dalam  sebuah kesempatan ketika kemudian mencari ikan di Uih Kul Renul, bertemu  dengan gadis dan bujang sedang menyekot (mencari ika) yang kemdian  diketahui berasal dari negeri Pak-Pak. kemudian menjadi teman dan  bergaul, akhirnya menikah dengan beberu pak-pak tersebut sampai  berketurunan. Ali Syah pun akhirnya belajar bahasa dan hidup disana.
Terdapat  sebuah kisah yang menarik yaitu ketika suatu saat Bélah dari Ali Syah  yang sudah tua tersebut akan pergi bersawah yang sebelumnya diadakan  kenduri (dinamai kenduri Mergang merdem). Acara kenduri tersebut  diadakan agak jauh dari tempat Ali Syah tinggal sehingga keturunannya  atau cucunya ditugaskan untuk memberikan nasi beserta ikan kepadanya.  Ternyata ketika sampai di sana didapatinya ikannya hanya tinggal tulang  belulang saja karena telah dihabisi oleh anak cucunya, mendengar ini ia  amat murka dan mengutuk semua (kélém-lémén) anak cucu keturunannya  menjadi batu semua, semua nya masih bisa dilihat buktinya disana di  Blang Munté perbatasan Karô dan Alas.Namun, ternyata ada yang lolos dari  kutukkannya seorang aman mayak (pengantin Pria), inén mayak (Pengantin  Wanita) yang sedang hamil dan satu lagi adiknnya inén mayak tersebut.  Melihat tersebut Aman Mayak pergi meninggalkan daerah tersebut untuk  menceritakan hal ini kepada Raja Lingë. Mendengar hal tersebut segera  dikirimkan rombongan kesana untuk mencari tahu atau menguburkan bila ada  yang meninggal.
Setelah  lantas diketemukan pohon kelapa yang menandakan ada kampông, yang  disebut dengan Kampung Bakal, mereka ingin kesana karena lapar. Saat itu  di pinggir sungai tersebut terlihat Giôngén (Kijang) yang sedang minum,  mereka mecoba menangkap Giôngén tersebut untuk kemudian membantu mereka  berdua melewati sungai tersebut. Dalam suatu ketika mereka hampir  terlepas dari pegangan kepada Giôngen tersebut, sehingga Inen Mayak yang  sedang mengandung tersebut mengucapkan dalam bahasa Karô ‘ngadi ko  lao’, atau ‘berhentilah kau air’, sehingga sampai sekarang ada pusaran  air disana. Dan karena ada kejadian inilah orang-orang Gayô disana  dilarang memakan daging Giôngén.
Sesampai  diseberang sungai Inén Mayak tersebut melahirkan, karena kelelahan iya  dibawa arus air sungai (Wih Kul) tersebut. Sedangkan anaknya  diselamatkan oleh adiknya di pinggir sungai. Pada saat anak tersebut  kehausan datanglah seekor Kerbau atau Kôrô Jégéd, yang kemudian adiknya  membiarkan anak kakaknya untuk menyusu terhadap kerbau tersebut.
Akhirnya  mereka berdua ditangkap oleh orang kampông tersebut, saat itu mereka  sedang mencari Kôrô jégéd (Kerbau berwarna putih Krim) punya Raja yang  hilang. Ketika menemukan kerbaunya sedang menyusui seorang anak manusia  maka orang-orang Kampung tersebut menganggap bahwa Kerbau keramat  tersebut telah melahirkan.
Mereka  lantas melaporkan kepada Raja Bakal, lantas oleh Sang Raja anak  tersebut dianggp sebagai penerusnya, karena ia sampi saat itu tidak  mempunyai seorang anakpun. Adik dari Inen Mayak tersebut di tahan  sekaligus memelihara anak kakaknya yang sudah tiada.
Dalam  keadaan tersebut sampai rombongan Réjé Lingë. Ketika sampai di  kampungnya Aman Mayak mereka sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi,  maka mereka pun berusaha mencari istri dan adik istri dari Aman Mayak  tersebut.Mereka pun akhirnya sampai di perkampungan Bakal tersebut,  lantas merekapun mendengar berita tentang keganjilan-keganjilan yang  terjadi saat itu. Mereka memutuskan untuk dapat menunggu lebih lama  untuk mencari informasi. Sampai akhirnya bertemu dengan adik dari  istrinya dan bercerita tentang desas-desus tersebut serta kebenaran  bahwa sesungguhnya anak dari anak Kôrô jégéd sebagai anak Aman Mayak  atau keturunan Raja Lingë.
Mengetahui  hal tersebut rombongan dari Lingë menghadap Réjé Bakal, menyampaikan  tujuan ke kampông di sini, kemudian menceritakan bahwa anaknya Kôrô  Jégéd itu adalah anaknya atau cucunya Réjé Lingë, bahkan mengatakan ada  saksi dari adiknnya istrinya. Untuk mengambil keputusan maka diambil  keputusan akan ada perkelahian antara Pang untuk bersitengkahan  (bacok-bacokan). Pang Sikucil, dan Pang Réjé Bakal bertengkah, panglima  Réjé Bakal selalu bergeser bila ditengkah. Sedangakan Pang Sikucil dari  Lingë tidak bergeser sedikit pun. Zaman terebut setelah bertengkah maka  bersesebutan antara Réjé Bakal dan Réjé Lingë. Akhirnya anaknya  ditinggal di Kerajaan Bakal tersebut dengan syarat nama Lingë tersebut  jangan ditinggalkan, pagi hari pelaksanaannya. Dukun Kul (Paranormal  Hebat), mengeturunkan si Bayak Lingë Karô. Inilah yang menyebabkan  adanya hubungan antara Réjé Lingë Di Gayô dan Réjé Lingë (Lingga) di  Karô.Djohan Syah, Anak ke 2 Réjé Lingë
Sepeninggal  adiknya Djohan Syah juga ingin pergi mengaji ke Pérlak,Weh Ben, atau  Bayeun (dalam bahasa Aceh) di Kuala Simpang. Ingin belajar kepada Tengku  Abdullah Kan’an dari Arab, seorang Tengku yang terkenal. Cukup lama  Djohan Syah menuntut ilmu hingga mencapai gelar Mualim.
Ketika  jumlah muridnya cukup 300 orang muridnya Ia menanyakankepada  murid-muridnya bahwa ia berencana akan mencoba mengembangkan Agama Islam  ke Kuté Réjé, yang pada waktu itu masih belum Islam.
Ketika  rombongan Tengku tersebut sampai di sana Kutéréjé sedang dalam  peperangan antara Raja-Raja Besar yang ada dengan utusan dari Nan King  atau China yang bernama Nian Niu Lingkë , Pétroneng. Namun kekuatan dari  Puteri Cina tersebut tidak terlawan karena ada ilmu sihir, sehingga  banyak Raja yang berhasil dikuasai dan takluk kepada mereka, sampai  akhirnya sampai kesebuah Kerajaan di Langkrak Sibreh.
Ketika  tiba rombongan tersebut ke daerah tersebut Tengku menawarkan bantuannya  kepada ke Réjé Lamkrak dengan syarat mereka diberikan tempat khusus  serta meminta syahadat dari Raja Langkrak. Dengan alasan tersebut  akhirnya masuk Islam Raja Langkra.
Setelah  itu akhirnya ia melihat siapa yang akan diangkat menjadi Panglima  Perang, satu per satu dilihat hingga akhirnya sampai kepada Djohan Syah,  yang akhirnya menjadi Panglima Perang saat itu. Lantas diberi bekal  oleh Tengku bekalnya, juga kepada semua murid-muridnya untuk berperang.
Ke 300 orang ini kelak disebut sebagai marga Suke Leretuh atau suku 300, asal mulanya dari salah satu Bangsa Aceh ini.
Setelah  itu Djohan Syah memimpin peperangan dengan berbekalkan ilmu Al quran  sehingga akhirnya Puteri dari Cina tersebtu akhirnya berhasil  dikalahkan, Ratu Petromenk kalah, sehingga ia mundur pada basis  pertahannya terakhir di Lingkë.
Melihat  hal tersebut Djohan Syah merubah strateginya dalam memenangkan  peperangan dengan memblockade saja benteng terakhir ini, hingga Putri  Neng meminta damai. Dalam perjanjian damainya Tengku Abdullah megatakan  mau berdamai dengan syarat Putri Neng mengucapkan syahadat.Putri Neng  mengatakan sanggup akan tetapi dilakukan secara rahasia. Akhirnya di  tengah laut mereka berdamai, ntah kenapa setelah pedamaian terjadi dan  sudah memandikan Puteri Cina tersebut Tengku menangis, ia merasa belum  sempurna perdamaian sebelum dilangsungkan pernikahan antara Djohan Syah  dengan Putri Neng. Lalu dinikahkan Keduanya Oleh Tengku Kan’an.
Kemenangan  tersebut megah sampai dengan kerajaan Melayu manapun sehingga diangkat  menjadi Sultan Aceh yang pertama bergelar Djohan Syah. Sehingga  Raja-raja yang bergabung disana mengangkat menjadi Raja Kutéréjé I  Djohan Syah, dan menjadikan Agama Islam berkembang dengan pesat disana.
Malam  Syah dan Datu Beru tetap bersama Raja Lingë I, Malim Syah akan  meneruskan Pemerintahan Kerajaan Lingë sedangkan Datu Beru akan menjadi  pemegang kunci rahasia Kerajaan Lingë.
Kerajaan Malik Ishaq
Islam  pertama kali datang dari Ghujarat dan Arab yang singgah di Perlak,  sehingga menjadi salah satu Kerjaan Islam di Pesisir Utara Sumatera.
Sewaktu  terjadi perangan Kerajaan Perlak dengan Sriwijaya dari Palembang sampai  20 tahun. Sultan Malik Ishaq waktu itu ia menyuruh mengungsikan  perempuan dan anak-anak, ada suatu negeri yang ada Kuté-kuté yang  akhirnya bernama dengan Ishaq, daerah Ishaq sekarang.
Anak  Malik Ishaq adalah Malik Ibrahim, anaknya kemudian adalah lantas Muyang  Mersah. Kuburannya sampai sekarang tempatnya masih ada akan tetapi  tidak bisa diketahui lagi kuburannya karena sudah diratakan dengan  tanah, namun telaga muyang mérsah masih ada.
Muyang  Mérsah menpunyai 7 orang anaknya yaitu Mérah Bacang, Mérah Jérnah,  Mérah Bacam, Mérah Pupuk, Mérah Putih, Mérah Itém, Mérah Silu dan yang  bungsu Mérah Mégé. Namun Mérah Mégé adalah anak kesayangan dari kedua  orang tuanya yang kerap kali membuat iri dari adik-adiknya, sehingga  mereka merencanakan akan membunuhnya.Kesempatan itu datang pada saat  merayakan Maulid Nabi di Ishaq maka pihak perempuannya menyiapkan kreres  (lemang) sedangkan laki-lakinya mungarô (berburu) untuk lauk dari  kreres tersebut. Akhirnya si bengsu diajak ngarô untuk kemudian dibunuh,  namun kakak-kakaknya ternyat tidak sampai hati membunuh adiknya  tersebut sehingga hanya dimasukkan ke Loyang datu. Mengetahui bahwa anak  bungsunya hilang membuat marah orang tuanya.
Ketika  Mérah Mégé ada di Loyang Datu ia ternyata mendapatkan makanan dari  anjingnya yang bernama ‘Pase’. Melihat tuannya dimasukkan kedalam lubang  oleh abang-abangnya anjing tesebut kemudian selalu mencarikan makanan  untuk Mérah Mégé. Bahkan makanan yang diberikan kepadanya. Dibawanya ke  Loyang Datu untuk kemudian diberikan kepada Mérah Mégé.
Keanehan  atau keganjilan dari Pase ini tentunya akhirnya mendapat perhatian dari  Muyang Mérsah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk dapat mengikuti  anjing tesebut dengan berbagai upaya, yaitu ketika memberikan makanan  kepada anjing tersebut ia juga menaruh dedak sehingga kemanapun anjing  tersebut akan meninggalkan jejaknya. Hingga akhirnya diketemukan Mérah  Mégé tersebut. Yang kemudian dirayakan dengan besar-besaran oleh Muyang  Bersah.
Kemudian  Mérah Mégé menjagai pusaka, dan keturunannya tersebar diseluruh Aceh,  Meulaboh, Aceh Selatan daerah Kluet, seluruh perairan diseluruh Aceh,  didahului dengan nama Mérah.
Keenam Anak Muyang Mérsah
Keenam  Saudara Mérah Mégé akhirnyua lari, pertama kali lari ke Ishaq karena  malu. Namun begitu diketahui Raja dan kemudian akan disusul mereka lari  kembali ke Tukél kemudian membuka daerah yang bernama Jagong, dikejar  kembali sampai akhirnya ke Sérbé Jadi (Serbajadi Sekarang). Dikejar  terus anaknya, karena rasa sayang, setelah rasa marahnya Raja tersebut  hilang. Namun mereka sudah amat malu kepada ayahnya akhirnya mereka  sepakat untuk berpisah dengan catatan akan menyebarkan Agama Islam pada  daerah yang akan ditempatinya.
Mérah  Bacang, si sulung, pergi ke batak untuk mengembangkan Islam ke daerah  Barus, Tapanuli.Yang ke-2 Mérah Jérnang ke Kala Lawé, Meulaboh.
Yang ke-3 Mérah Pupuk Mengembangkan agama Islam ke Lamno Déyé antara Meulaboh dan Kutéréjé.
Yang ke- 4 dan 5 Mérah Pôtéh Dan Mérah Itém di Bélacan, di Mérah Dua (sekarang Meureudu) masih ada kuburannya.
Yang ke-6 Mérah Silu ke Gunung Sinabung, Blang Kéjérén
Mérah Sinabung
Mérah  Silu mempunyai seorang anak yang bernama Mérah Sinabung (Dalam bahasa  Gayô Mérah Sinôbông). Mérah Sinambung ternyata lebih berwatak sebagai  Panglima, sehingga hoby adalah mengembara. Sampai ia berada pada suatu  daerah yang sedang berperang. Perang yang terjadi antaran Kerajaan Jémpa  dan Samalanga. Kerajaan Jémpa waktu itu sudah beragama Islam, hingga  akhirnya ia menawarkan bantuan kepada Raja Jempa tersebut dan berhasil  memenangkan peperangan dengan Kerajaan Samalanga. Jasa baiknya tersebut  akhirnya membuat Raja Jémpa menikahkan putrinya kepada Mérah Sinabung.,
Keduanya  mempunya 2 orang anak yang bernama Malik Ahmad dan Mérah Silu. Setelah  Mérah Sinabung wafat maka naiklah Malik Ahmad menjadi Raja Jempa, akan  tetapi ada syak wasangka terhadapa Mérah Silu, karena ia lebih berbakat  dan lebih alim serta lebih dicintai rakyatnya maka timbul kecemburuan  yang terjadi.
Untuk  mencegah hal-hal yang tidak diinginkan maka Mérah Silu akhirnya pergi  ke daerah Arun, Blang Sukun, untuk menghabiskan waktunya ia bekerja  sebagai pande emas, besi dan barang logam lainnya sedangkan malamnya ia  mengajar mengaji.Lama kelamaan orang sekitar menjadi mengenal Mérah Silu  sebagai Mualim, tokoh masyarakat, akhirnya menjadi Réjé di Lhoksmawé.  Sehingga kemudian ia diangkat menjadi Sultan Pase pertama atau disebut  dengan Sultan Malikus Saleh. Sebutan daerahnya Pase merupakan sebutan  yang diambil dari nama anjing yang telah menyelahamatkan Datunya, Mérah  Mégé.
 

