Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul  “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”,  berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini  digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang  subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini  meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat  dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan,  serta dengan selat Malaka di sebelah utara. 
Sementara  dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai  Pedir, Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai  Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie”  seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok itu  disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus  mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari  perjalanan dari utara ke selatan.
 Menurut M. Junus Jamil, Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa.  Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi.  Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai  Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang  telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.
Menurut M. Junus Jamil, Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa.  Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi.  Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai  Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang  telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.Setelah  berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan  sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka  masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil  diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.
Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri)  menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang  dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.
Kala  itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di  sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di  sebelah timur. Kerajaan Sama Indramengalami goncangan dan perubahan yang  berat kala itu,
Menurut  M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan  SamaIndra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah  kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan  Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa  oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran  hindu dan budha di daerah tersebut. 
Setelah  kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan  Acehselanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja  Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di  bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti  nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie  seperti yang dikenal sekarang.
Meski  sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja  negeri Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis  Mahkamah Rakyat KerajaanAceh Darussalam, sultan tidak memberi cap  geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari  Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik  dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya  menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.
Sementara Prof. D. G. E Hall dari Inggris, dalam bukunya "A History of South East Asia",  mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke  15. Hal itu berdasarklan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di  Varthema, yang pernah singgah di Pidie pada akhir abad 15.
Dalam catatan Varthema, sebagaimana dikutip Muhammad Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah”  pada abad tersebut Pedir, yang masih disebut sebagai negeri Pedir  merupakan sebuah negeri maju yang setiap tahunnya disinggahi  sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang  selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.
Dari  pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat  Pidie dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa  asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan  pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat.
Bahkan vartheme menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. “So  extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting  there, that one of its street contain about 500 honderd moneychanger,” kata Varhtema.
Varthema  oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang Islam  untuk sebuah tujuan penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir,  ia juga telah mempelajari Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga  dilakukan  Snouck Hourgronje dari Belanda, tapi Snouck lebih terkenal  ketimbang Varthema, karena berhasil menulis sejumlah buku tentang Aceh.
Dalam  catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat  itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual  beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang  disebutnya “Strict Administration of Justice,”.
Selain  itu Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang  disebut tongkang, yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas  secara terperinci tentang keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian  kala itu, yang sudah mampu membuat alat-alat peletup atau senjata api.
Dalam  sebuah riwayat Tiongkok (Cina) disebutkan, pada tahun 413 Masehi,  seorang musafir Tiongkok, Fa Hian melawat ke Yeep Po Ti dan singgah Poli  (Pidie-red). Fa Hian menyebutkan Poli sebagai sebuah negeri yang  makmur, yang rajanya berkenderaan gajah, berpakaian sutra dan bermahkota  emas.
Untuk  menjalin hubungan diplomatik dengan Cina, Raja Poli pada tahun 518  Masehi mengirim utusannya ke Tiongkok. Hubungan itu terus berlanjut.  Pada tahun 671 Masehi, I Tsing dari Tiongkok melawat ke Poli.  Ia  disebut tinggal selama lima tahun singgah dan tingagl di enam kerajaan  di pesisir Sumatera, mulai dari Kerajaan Lamuri (Aceh Besar), Poli  (Pidie), Samudra dan Pasai (Aceh Utara), Pereulak (Aceh Timur) dan  kerjaan Dangroian (?).
Poli sebagai Pidie yang dikenal sekarang, menurut H. M Zainuddin  dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara”  disebutkan oleh ahli sejarawan kuno, Winster, sebagai sebuah negeri  yang makmur dan jaya. Menurutnya, setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli lah  Bandar pelabuhan yang terkenal. Pelabuhan Poli disebut-sebut berbentu  genting, yang oleh H M Zainuddin kemudian diduga sebagai sebuah muara  yang kini dikenal sebagai Kuala Batee.
Menurut  Varthema sumber Portugis mengatakan bahwa Sultan Ma’ruf  Syah Raja  Pidie (Pedir, Sjir, Duli) itu pernah menaklukkan Aceh Besar dalam tahun  1479. Masa itu diangkat dua orang wakil di Aceh, seorang di Aceh sendiri  dan seorang di Daya. Mula-mula Pidie dikalahkan oleh Raja Aceh Besar  dan di dudukkan oleh Wali Negara (Gubernur) di Pidie, yaitu Raja Ali dan  adiknya, Ibrahim.
Kemudian  Raja Ibrahim yang menjadi Wali Negara Raja Aceh di Pidie atas Perintah  abangnya menyerbu Benteng Portugis yang baru didirikan di Kuala Gigieng.  Cerita lain menyebutkan bahwa, Kuta Asan, Pidie, merupakan bekas kota  yang didirikan Portugis.
Selanjutnya  dengan sejata yang dirampas dari Portugis, Raja Pidie menyerang Raja  Aceh Besar pada tahun 1514 dan Sultan Salahuddin Ibnu Muzaffar Syah  diturunkan dari tahkta. Raja Ali naik menjadi raja dengan Gelar Sultan  Ali Mughayat Syah, sedang adiknya Raja Ibrahim menjadi Laksamana.
Adapun Silsilah Raja-Raja / Pemimpin Pemerintahan Pidier saat itu adalah Sebagai berikut :
- Maharaja Sulaiman Noer: Anak Sultan Husein Syah.
- Maharaha Sjamsu Syah: Kemudian menjadi Sultan Aceh.
- Maharaja Malik Ma’roef Syah: Putra dari Maharaja Sulaiman Noer. Mangkat pada tahun 1511 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
- Maharaja Ahmad Sjah: Putra Maharaja Ma’roef Syah. Pernah berperang melawan Sulthan Ali Mughayat Syah, tapi kalah. Mangkat pada tahun 1520 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
- Maharaja Husain Syah: Putra Sultan Riayat Syah II (Meureuhom Khaa), kemuian menggantikan ayahnya menjadi Sulthan Aceh.
- Maharaja Saidil Mukamil: Putra dari Maharaja Firman Syah, kemudian menjadi Sulthan Aceh dari 1589 sampai 1604 M. Ayah dari ibu Sulthan Iskandar Muda.
- Maharaja Husain Syah: Putra dari Sulthan Saidil Mukamil
- Maharaja Meurah Poli: Meurah Poli Negri Keumangan dikenal sebagai Laksamana Panglima Pidie yang terkenal dalam perang Malaka (Pran Raja Siujud).
- Maharaja Po Meurah: Syahir Poli, Bentara IX Mukim Keumangan yang bergelar Pang Ulee Peunaroe. Pengatur negeri Pidie.
- Meurah Po Itam : Bentara Kumangan bergelar Pang Ulee Peunaroe.
- Meurah Po Puan : Bentara keumangan bergelar Pang Ulee peunaroe
- Meurah Po Thahir : Bentara Keumangan yang terkenal dalam perang Pocut Muhammad dengan Potue Djemaloiy (Sulthan Djamalul Alam Badrul Munir) pada tahun 1740 M. Ia mempunyai dua orang saudara: Meurah Po Doom dan Meurah Po Djoho.
- Meurah Po Seuman: Pang Ulee Peunaroe dengan nama asli Usman.
- Meurah Po Lateh: Pang Ule peunaroe dengan nama asli Abdul Latif, terkenal dengan sebutan Keumangan Teungeut.
- Teuku Keumangan Yusuf: Sudah masuk masa perang Aceh dengan Belanda.
- Teuku Keumangan Umar: Uleebalang IX Mukim, Pidie.
 

