KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM 407 TAHUN ( 1496 - 1903 M )
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai
ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus
mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14
M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan
Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H
(1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai,
dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki
pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya
kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk
membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang
pernah dicapai sebelumnya.
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan
Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat
Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan
dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan
kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan
kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak
(di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di
Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis.
Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk
menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian
ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat
itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan
wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di
sekitarnya.
Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis
dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang
sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan,
Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan.
Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie,
sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian
melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.
Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa,
terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi
serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak
sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah
yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.
Ketika benteng di
Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, Mughayat
Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak
kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa
lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis
mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian melanjutkan
serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil direbut.
Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan itu, Aceh
melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani.
Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam
mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera, sebagian Semenanjung
Malaya hingga Pattani.
Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat,
hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh
yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar
politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu: (1) mencukupi
kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar; (2)
menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara; (3) bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat; (4)
menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar; (5) menjalankan dakwah
Islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal Mughayat Syah,
dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.
Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai
masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam
(1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan
yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga
memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris
dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke
Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh
Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah
meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang
Aceh.
Hubungan dengan Perancis juga terjalin
dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh
dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin
ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini
tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada
benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya
raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya
yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis
tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di
dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan
Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah,
dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal
alirannya.
Sebelum Iskandar Muda berkuasa,
sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik dengan Ratu Elizabeth I
dan penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth
pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa
seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk meminta izin agar
Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Aceh. Sultan Aceh
menjawab positif permintaan itu dan membalasnya dengan mengirim
seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta emas. Sir
James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang Kaya
Putih sebagai penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta Aceh pada
Ratu Inggris bertarikh 1585 M:
I am the mighty ruler of the Regions
below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land
of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from
the sunrise to the sunset.
(Hambalah Sang Penguasa Perkasa
Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh, tanah
Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang
dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam
sebagai hadiah kepada sultan Aceh. Hubungan ini memburuk pada abad ke
18, karena nafsu imperialisme Inggris untuk menguasai kawasan Asia
Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah mengirim utusan yang dipimpin
oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan Pangeran Maurits,
pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid
meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah gereja dengan penuh
penghormatan, dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam
tersebut terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran
Bernhard, suami Ratu Juliana.
Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai
penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah
(1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil
mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi
al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri
Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin
oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki
era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik
internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah
terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan
bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin
bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan
uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya
berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era
sultanah di Aceh.
Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan
Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad
ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu
Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M,
Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret
1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam
perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892
dan 1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal
merebaut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk
merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari
Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah
fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung
perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu,
untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus
diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah
Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak
masjid dan madrasah yang dibakar Belanda.
Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses
menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian
diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir
seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun
1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun
demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda.
Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung.
Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat
orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal
J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir
seiring dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu,
kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar.
Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat
umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama. Ketika
Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap perempuan Aceh dan memaksa
masyarakat untuk membungkuk pada matahari terbit, maka, saat itu pula
mulai timbul perlawanan. Di antara tokoh yang dikenal gigih melawan
Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan para penjajah berakhir
ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
2. Silsilah
Berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Catatan: Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada
dua periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif
al-Alam (1815-1818).
3. Periode Pemerintahan
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri sejak akhir abad ke-15 hingga awal
abad ke-20 M. Dalam rentang masa empat abad tersebut, telah berkuasa 35
orang sultan dan sultanah.
4. Wilayah kekuasaan
Di masa kejayaannya, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup sebagian pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya dan Pattani.
5. Struktur pemerintahan
Pada masa Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589) berkuasa,
kerajaan Aceh sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab
Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Undang-undang ini berbasis pada al-Quran
dan hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya,
terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk
syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah
menunjukkan bahwa, walaupun Aceh telah memiliki undang-undang, ternyata
belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Dalam struktur pemerintahan Aceh, sultan merupakan penguasa tertinggi
yang membawahi jabatan struktural lainnya. Di antara jabatan struktural
lainnya adalah uleebalang yang mengepalai unit pemerintahan nanggroe
(negeri), panglima sagoe (panglima sagi) yang memimpin unit pemerintahan
Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan mukim yang
terdiri dari beberapa gampong, dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi
pimpinan pada unit pemerintahan gampong (kampung). Jabatan struktural
ini mengurus masalah keduniaan (sekuler). Sedangkan pemimpin yang
mengurus masalah keagamaan adalah tengku meunasah, imam mukim, kadli dan
para teungku.
6. Kehidupan Sosial Budaya
a. agama
Dalam sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri
Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui
kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi
Mekah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka
sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu,
para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain
dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam
berlangsung di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin
pendidikan dan pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya
sudah cukup dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru
sebagai Teungku Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat
dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan tengku meunasah.
Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan
sastra Aceh. Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di
Nusantara banyak di antaranya yang berasal dari Aceh, seperti
Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin
ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid yang
merupakan tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel
tahun 1670-an; dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Peninggalan
manuskrip tersebut merupakan bukti bahwa, Aceh sangat berperan dalam
pembentukan tradisi intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra
lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah
Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain
kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.
b. Struktur sosial
Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural,
kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki
jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri,
lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah.
Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk
pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan
keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku
sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa
dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang
perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang
peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai
perdagangan, saat itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang
terpenting adalah lada.
c. Kehidupan sehari-hari
Sebagai tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang
sering disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup,
mereka bercocok tanam di lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi
yang tinggal di kawasan kota pesisir, banyak juga yang berprofesi
sebagai pedagang. Senjata tradisional orang Aceh yang paling terkenal
adalah rencong, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat dari
dekat menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata khas lainnya
adalah Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.
Sumber :http://history.melayuonline.com