Rabu, 23 Maret 2011

PERISTIWA SEKITAR REFORMASI

BAB II PEMBAHASAN
PERISTIWA SEKITAR REFORMASI
A. Tragedi Lampung Tragedi Lampung terjadi berawal ketika mahasiswa dari Universitas Lampung (Unila) berjalan menuju Universitas Bandar Lampung (UBL) untuk bergabung dengan rekan mereka melakukan aksi untuk menentang RUU PKB serta unjuk rasa solidaritas bagi rekan mereka yang meninggal dari Universitas Indonesia, Yun Hap, empat hari sebelumnya di Jakarta. Setelah bergabung, mereka melakukan unjuk rasa dan berjalan menuju Makorem 043/Garuda Hitam. Akan tetapi, ketika melewati Markas Koramil Kedaton dekat UBL mahasiswa terprovokasi karena bendera merah putih masih dipasang penuh, dengan segera mereka menurunkannya menjadi setengah tiang demi penghormatan bagi Pahlawan Reformasi mereka yang baru saja gugur. Setelah itu keadaan menjadi tidak terkendali karena Komandan Koramil menolak kehendak mahasiswa untuk menandatangani penolakan diberlakukannya UU PKB sehingga mahasiswa melempari kantornya dengan batu. Anggota Koramil lainnya menghindar untuk kemudian setelah itu membalas dengan melakukan penembakan. Mahasiswa terpencar dan lari menyelamatkan diri ke dalam kampus UBL. Saat itulah diketahui butiran peluru telah mengambil nyawa Muhammad Yusuf Rizal. Hari itu tanggal 28 September 1999 Muhammad Yusuf Rizal, mahasiswa jurusan FISIP Universitas Lampung (Unila) angkatan 1997, meninggal dunia dengan luka tembak di dadanya tembus hingga ke belakang dan juga sebutir peluru menembus lehernya (sumber: Suara Pembaruan 29/9/99). Ia tertembak di depan markas Koramil Kedaton. Puluhan mahasiswa juga mengalami luka-luka sehingga harus masuk rumah sakit. Banyaknya korban disebabkan kampus Universitas Bandar Lampung (UBL) dimasuki oleh aparat keamanan baik yang berseragam maupun yang tidak berseragam, yang melepaskan tembakan saat mahasiswa melakukan demonstrasi yang menentang RUU PKB pada tanggal 28 September 1999 tersebut. Aparat juga melakukan pengejaran dan pemukulan terhadap mahasiswa. Selain itu aparat juga melakukan perusakan di dalam kampus yaitu berupa gedung, kendaraan roda dua dan roda empat. Tindakan anarkis aparat ini sungguh menakutkan mahasiswa maupun dosen di UBL sehingga kampus harus diliburkan untuk beberapa hari. Berbeda dengan kejadian gugurnya mahasiswa lain di luar Lampung, ternyata untuk peristiwa ini ada yang mengakui untuk bertanggung jawab, hanya bagaimana penyelesaian secara hukumnya saja yang sampai kini tak jelas. Komandan Detasemen POM II/3 Sriwijaya Lampung Letkol CPM Bagoes Heroe Sucahyo menyatakan bahwa Dewan Eksekutif Mahasiswa Unila telah menerima surat permintaan maaf dari Kol Inf Mujiono (Danrem 043/Garuda Hitam). Sementara itu ia (Bagoes H. Sucahyo) juga menyita proyektil peluru yang bersarang di tubuh korban. Dengan ini ia merupakan orang yang paling bertanggung jawab akan barang bukti yang membunuh Yusuf Rizal.
B. Tragedi Semanggi Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru. Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru. Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia. Esok harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan kampus Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja. Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat dan saat di jalan itu juga sudah ada mahasiswa yang tertembak dan meninggal seketika di jalan. Ia adalah Teddy Wardhani Kusuma, merupakan korban meninggal pertama di hari itu. Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan dan masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernadus R Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat itu juga lah semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga jumlah korban yang meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat. Indonesia kembali membara tapi kali ini tidak menimbulkan kerusuhan. Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara". Betapa menyakitkan perlakuan mereka kepada masyarakat dan mahasiswa korban peristiwa ini. Kami tidak akan melupakannya, bukan karena kami tak bisa memaafkan, tapi karena kami akhirnya sadar bahwa kami memiliki tujuan yang berbeda dengan mereka. Kami bertujuan memajukan Indonesia sedangkan mereka bertujuan memajukan diri sendiri dan keluarga masing-masing. Sangat jelas!
C. Tragedi Semanggi II Bangsa Indonesia harus mengucurkan air matanya kembali. Untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada mahasiswa dalam menghentikan penolakan sikap mahasiswa terhadap pemerintahan. Lokasi penembakan mahasiswa pun di tempat yang sangat strategis yang dapat dipantau oleh banyak orang awam yaitu di bawah jembatan Semanggi, depan kampus Universitas Atma Jaya Jakarta, dekat pusat sentra bisnis nasional maupun internasional. Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan dan mahasiswa sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB karena ini menentang tuntutan mereka untuk menghilangkan dwifungsi ABRI/TNI. Karena hanya dengan berdemonstrasi, mereka yang mau mensahkan Undang-Undang tersebut baru berpikir, sebab tampaknya mereka sudah tak punya hati nurani lagi dan entah bagaimana membuat mereka peduli dengan bangsanya daripada peduli terhadap perut buncit mereka itu yang duduk di kursi parlemen menggunakan logo Pancasila dengan bangganya di jas mereka. Malang nasib mahasiswa yang selalu harus berkorban, kali ini mahasiswa Universitas Indonesia harus kehilangan seorang pejuang demokrasi mereka, Yun Hap. Sungguh pedih bagi mereka yang terus mengikuti perjuangan mahasiswa karena ketika setiap kali mereka berjuang mereka harus mengorbankan jiwa mereka demi tegaknya demokrasi di Indonesia.

D. Tragedi Trisakti Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi supaya suara mereka didengarkan. Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum (SU) MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan SU MPR 1998 demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek.Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah sakit. Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presinden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997. Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka. Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam.

D. Tragedi Yogyakarta Kerusuhan juga terjadi di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 1998, hampir bersamaan dengan kerusuhan yang terjadi di Medan. Kejadian ini merupakan kerusuhan pertama di Yogyakarta yang terkait dengan tuntutan Reformasi dari masyarakat dan mahasiswa yang bentrok dengan aparat keamanan. Perusakan dan pembakaran terjadi pada hari Selasa hingga malam hari. Kerusuhan kedua di Yogyakarta terjadi pada hari Jumat tanggal 8 Mei 1998. Kerusuhan kali ini lebih besar dari kerusuhan yang terjadi hari Selasa 5 Mei 1998 dan disebabkan adanya korban meninggal dunia. Peristiwa ini berawal dari unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di beberapa Universitas di Yogyakarta. Mahasiswa Yogyakarta sangat aktif menyuarakan Reformasi bersama dengan mahasiswa di Medan. Selesai sholat Jumat tanggal 8 Mei 1998, sekitar 5000 mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta melakukan demonstrasi di Bundaran kampus UGM selama kurang lebih 4 jam lamanya. Demonstrasi yang berlangsung dengan tertib tersebut menyampaikan pernyataan keprihatinan mahasiswa atas kondisi perekonomian saat itu yang dilanda krisis moneter, memprotes kenaikan harga-harga dan mendesak untuk dilakukannya Reformasi. Pada saat yang bersamaan siang itu, ratusan orang juga melakukan demonstrasi di halaman kampus Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta. Menjelang sore hari mereka ingin bergerak menuju kampus UGM untuk menggabungkan diri melakukan unjuk rasa di sana. Ternyata aparat keamanan tidak mengijinkan dan berhadap-hadapan dengan mahasiswa yang bergabung dengan masyarakat. Pelaku unjuk rasa kecewa dan tidak mau membubarkan diri, sehingga terjadi bentrokan. Mahasiswa dan masyarakat melawan aparat dengan batu, petasan, bahkan bom molotov pada sore itu di sekitar Jalan Gejayan. Tempat ini menjadi ajang pertarungan antara pengunjuk rasa dengan aparat yang mencegah mereka bergabung ke UGM. Bentrokan berlangsung hingga malam hari dan setelah bentrokan ternyata ditemukan korban meninggal yaitu Moses Gatotkaca. Ia ditemukan sekarat setelah aparat melakukan pembersihan di daerah kerusuhan sekitar hotel Radisson Yogyakarta. Visum korban dari RS Panti Rapih menyatakan korban mengalami pendarahan telinga dan mulut diduga mengalami retak dalam tulang dasar tengkorak (Sumber: Suara Pembaruan 9/5/98). Hingga dini hari terjadi kerusuhan hingga meluas ke daerah lain di Yogyakarta.
E. Kerusuhan Medan Aksi unjuk rasa yang dikumandangkan setiap hari di berbagai kota besar Indonesia sudah mendekati titik puncaknya. Masyarakat sudah tidak dapat menahan emosi dan rasionalitas lagi. Dalam keadaan seperti ini masyarakat akan sangat mudah untuk dipengaruhi dan diajak melakukan tindakan yang tidak terpuji. Mereka kehilangan kesabaran karena harus menunggu sangat lama reaksi dari wakil rakyat atas kehendak mereka yang disuarakan oleh mahasiswa. Mereka sangat yakin dan selalu mendukung mahasiswa, sayangnya tidak dengan wakil rakyat.. Mahasiswa Medan sangat aktif dan terus reaktif atas tindakan pasif wakil rakyat yang tidak mendegar suara mereka. Padahal mereka melakukan aksi hampir setiap hari dan sudah turun ke jalan bersama masyarakat untuk menuntut Reformasi di segala bidang. Keberhasilan mahasiswa Medan turun ke jalan menyampaikan aspirasinya bergabung dengan masyarakat memiliki efek samping. Masyarakat Medan terlanjur tak terkendali dan mulai melakukan keonaran. Medan merupakan kota besar pertama yang dilanda kerusuhan besar berkaitan dengan Reformasi. Mulai dari hari Senin tanggal 4 Mei 1998 pecah kerusuhan sampai hari Kamis 7 Mei 1998. Pembakaran, perusakan dan penjarahan terhadap toko-toko, bank, pasar, dan kendaraan terjadi selama beberapa hari. Tampaknya mahasiswa tidak mampu mengendalikan perusuh, tidak juga aparat keamanan. Kerusuhan ini menjalar terus sampai keluar kota Medan seperti Lubuk Pakam Kabupaten Derli Serdang dan kota-kota kecil lainnya di sekitar Medan. Kerusuhan masih terus berlanjut walau dalam skala lebih kecil pada hari Kamisnya juga. Dampak dari kerusuhan adalah lumpuhnya perekonomian kota Medan dan sekitarnya. Penduduk Medan keturunan Cina juga pergi meninggalkan kota karena merasa keamanan mereka tidak terjamin, walau ada juga yang tinggal untuk melindungi harta benda mereka supaya tidak dijarah. Selama beberapa hari masyarakat kesulitan mendapat bahan makanan pokok. Setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), yang juga mengeluarkan rekomendasi mengenai keterkaitan peristiwa kerusuhan di Medan ini dengan kerusuhan di berbagai daerah lainnya selama bulan Mei 1998. Disebutkan pula keterlibatan provokator yang mengajak masyarakat untuk melakukan kerusuhan dengan pola yang sama terjadi di berbagai daerah. Rupanya niat suci mahasiswa dikotori oleh orang-orang yang memiliki kemampuan 'lebih' dalam hal management manusia dan yang lebih hebat lagi orang-orang ini memiliki jaringan 'nasional'. Kemarahan masyarakat terhadap kebrutalan aparat keamanan dalam peristiwa Trisakti dialihkan kepada orang Indonesia sendiri yang keturunan, terutama keturunan Cina. Betapa amuk massa itu sangat menyeramkan dan terjadi sepanjang siang dan malam hari mulai pada malam hari tanggal 12 Mei dan semakin parah pada tanggal 13 Mei siang hari setelah disampaikan kepada masyarakat secara resmi melalui berita mengenai gugurnya mahasiswa tertembak aparat. Sampai tanggal 15 Mei 1998 di Jakarta dan banyak kota besar lainnya di Indonesia terjadi kerusuhan besar tak terkendali mengakibatkan ribuan gedung, toko maupun rumah di kota-kota Indonesia hancur lebur dirusak dan dibakar massa. Sebagian mahasiswa mencoba menenangkan masyarakat namun tidak dapat mengendalikan banyaknya massa yang marah. Setelah kerusuhan, yang merupakan terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia pada abad ke 20, yang tinggal hanyalah duka, penderitaan, dan penyesalan. Bangsa ini telah menjadi bodoh dengan seketika karena kerugian material sudah tak terhitung lagi padahal bangsa ini sedang mengalami kesulitan ekonomi. Belum lagi kerugian jiwa di mana korban yang meninggal saat kerusuhan mencapai ribuan jiwa. Mereka meninggal karena terjebak dalam kebakaran di gedung-gedung dan juga rumah yang dibakar oleh massa. Ada pula yang psikologisnya menjadi terganggu karena peristiwa pembakaran, penganiayaan, pemerkosaan terhadap etnis Cina maupun yang terpaksa kehilangan anggota keluarganya saat kerusuhan terjadi. Sangat mahal biaya yang ditanggung oleh bangsa ini. Akhirnya dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini karena saat itu Indonesia benar-benar menjadi sasaran kemarahan dunia karena peristiwa memalukan dengan adanya kejadian pemerkosaan dan tindakan rasialisme yang mengikuti peristiwa gugurnya Pahlawan Reformasi. Demonstrasi terjadi di kota-kota besar dunia mengecam kebrutalan para perusuh. Akhirnya untuk meredam kemarahan dunia luar negri TGPF mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan bahwa adalah benar terjadi peristiwa pemerkosaan terhadap wanita etnis minoritas yang mencapai hampir seratus orang dan juga penganiayaan maupun pembunuhan oleh sekelompok orang yang diduga telah dilatih dan digerakkan secara serentak oleh suatu kelompok terselubung. Sampai saat ini tidak ada tindak lanjut untuk membuktikan kelompok mana yang menggerakkan kerusuhan itu walau diindikasikan keterlibatan personel dengan postur mirip militer dalam peristiwa itu.

E. Pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa Dalam keadaan yang mulai terkendali setelah mencekam selama beberapa hari sejak tertembaknya mahasiswa Trisakti dan terjadinya kerusuhan besar di Indonesia, tanggal 18 Mei 1998 hari Senin siang, ribuan mahasiswa berkumpul di depan gedung DPR/MPR dan dihadang oleh tentara yang bersenjata lengkap, bukan lagi aparat kepolisian. Tuntutan mereka yang utama adalah pengusutan penembakan mahasiswa Trisakti, penolakan terhadap penunjukan Soeharto sebagai Presiden kembali, pembubaran DPR/MPR 1998, pembentukan pemerintahan baru, dan pemulihan ekonomi secepatnya.

Beberapa agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa anatara lain sebagai berikut :
a. Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
b. Amandemen UUD 1945
c. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
d. Otonomi daerah yang seluas-luasnya
e. Supremasi hukum
Kedatangan ribuan mahasiwa ke gedung DPR/MPR saat itu begitu menegangkan dan nyaris terjadi insiden. Suatu saat tentara yang berada di depan gedung atas tangga sempat mengokang senjata mereka sehingga membuat panik para wartawan yang segera menyingkir dari arena demonstrasi. Mahasiswa ternyata tidak panik dan tidak terpancing untuk melarikan diri sehingga tentara tidak dapat memukul mundur mahasiswa dari gedung DPR/MPR. Akhirnya mahasiswa melakukan pembicaraan dengan pihak keamanan selanjutnya membubarkan diri pada sore hari dan pulang dengan menumpang bus umum.
Keesokan harinya mahasiswa yang mendatangi gedung DPR/MPR semakin banyak dan lebih dari itu mereka berhasil menginap dan menduduki gedung itu selama beberapa hari. Keberhasilan meduduki gedung DPR/MPR mengundang semakin banyaknya mahasiswa dari luar Jakarta untuk datang dan turut menginap di gedung tersebut. Mereka mau menunjukkan kalau reformasi itu bukan hanya milik Jakarta tapi milik semua orang Indonesia. Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden. Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Sharma, p. 1998. Sasaran pokok reformasi Indonesia. Jakarta: menara ilmu.
Wonohito, soemandi M.1998. gerakan mahasiswa Indonesia. Yogyakarta : grafika wangsa sakti.
Sabarata. 1999. Kebangkitan nasional Indonesia. Jogyakarta : grafika wangsa sakti.
Enikasih. 2006. Sejarah nasional Indonesia. Jakarta. Media gfafika

JANGAN LUPA