Sabtu, 22 Oktober 2011

Cut Nyak Dhien, Grandes Dames Van Atjeh

Perang Aceh melahirkan perempuan-perempuan perkasa, tidak hanya diakui oleh bangsanya, tapi juga musuhnya. Belanda menyebutnya sebagai Grandes Dames, wanita-wanita besar yang perannya melebihi kaum pria.
Oleh Iskandar Norman
Cut Nyak Dhien
(google)
Cut Nyak Dhien merupakan satu di antara sederetan nama-nama besar itu. Mereka muncul silih berganti menjadi panglima perang selama 60 tahun perlawanan terhadap penjajahan Belanda, mulai Maret 1973 ketika perang dimaklumatkan, sampai Belanda meninggalkan Aceh dengan kekalahannya pada tahun 1942.
H C Zentgraff, penulis Belanda dalam buku “Atjeh” menyebut perempuan-perempuan perkasa itu sebagai de leidster van het verzet, para pemimpin perlawanan yang memegang peranan besar dalam perpolitikan dan peperangan. Zentgraaf menulis.
“Keberanian wanita Aceh dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agamanya. Ia rela hidup dalam kancah perang dan melahirkan putranya di situ. Ia berperang bersama suaminya, kadang-kadang di samping, di hadapan, atau di tangannya yang kecil dan halus itu, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya.”
Salah satu perempuan Aceh yang sangat disegani Zentgraaff dalam bukunya itu adalah Cut Nyak Dhien, yang tampil memimpin peperangan melawan Belanda pada 1896 setelah Teuku Umar, suami keduanya meninggal. Ia lebih memilih melanjutkan perjuangan dalam rimba secara bergerilya dari pada tunduk pada Belanda. Cut Nyak Dhien terus melanjutkan perjuangan meski ia sudah tua, matanya sudah rabun, tapi semangatnya tidak terpatahkan.
Sebagaimana ditulis oleh Rusdi Sufi dalam buku “Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah” keperkasaan Cut Nyak Dhien juga diungkapkan oleh sejarawan Belanda lainnya, M H Szkely Lulafs dalam buku “Tjoet Nja’ Dhien” Ia menilai jiwa kepahlawanan yang menggerakkan semangat juang dalam dada Teuku Umar adalah dorongan halus Cut Nyak Dhien. Sifat kepahlawanan Cut Nyak Dhien diwarisi dari ayahnya yang merupakan salah seorang pejuang penentang kolonialis Belanda.
Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848, ayahnya Teuku Nanta Setia merupakan uleebalang VI Mukim bagian dari wilayah Sagi XXV Mukim. Mereka tinggal di Gampong Lampadang Peukan Bada, Aceh Besar. Ayah Cut Nyak Dhien merupakan keturunan seorang perantau asal Minangkabau Sumatera Barat, yang bernama Machoedoem Sati. Ia diperkirakan datang ke Aceh pada abad XVIII ketika Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir (1711 – 1733).
Sementara ibunya Cut Nyak Dhien merupakan putri uleebalang terkemuka di Kemukiman Lampageu yang juga wilayah Sagi XXV Mukim. Sebagai putri bangsawan, sejak kecil Cut Nyak Dhien sudah memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama dari ulama-ulama di wilayah kekuasaan ayahnya.
Sebagai putri uleebalang, kehidupan Cut Nyak Dhien dipengaruhi oleh gaya hidup bangsawan, tapi pendidikan agama yang didapatkannya membuatnya tumbuh menjadi gadis yang memiliki sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal. Cut Nyak Dhien kemudian dijodohkan dengan anak saudara laki-laki dari ibunya. Pria muda itu bernama Teuku Ibrahim, putra dari Teuku Po Amat, uleebalang Lam Nga XIII Mukim Teungkop di Sagi XXVI Mukim.
Menurut Rusdi Sufi, pada saat Belanda menyerang Aceh dalam bulan Maret 1873, suami Cut Nyak Dhien yang dipanggil dengan sebutan Teuku Nyak Him dan bergelar Teuku Di Bitai, telah ikut berperang melawan agresi Belanda bersama pejuang Aceh lainnya. Meski baru berumahtangga, Cut Nyak Dhien merelakan suaminya untuk terjun ke medan juang. Ia memberi dorongan bagi suaminya dalam setiap peperangan.
Namun, ketika Mesjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, Cut Nyak Dien tidak lagi menjadi perempuan yang hanya menyemangti suaminya untuk berperang, tapi ia sendiri yang turun ke garis depan setiap peperangan mendampingi suaminya. Cut Nyak Dhien sangat marah ketika Belanda membakar Mesjid Raya Baiturrahman.
Kemarahan Cut Nyak Dhien itu digambarkan oleh sejarawan Belanda M H Szkely Lulafs dalam buku “Tjoet Nja’ Dhien” sebagai berikut:
“Cut Nyak Dhien meninggalkan rumah, lalu turun tanah. Dengan rambut tergerai-gerai, kedua tinjunya mengepal dan mengacung-acung, sampailah ia ke halamannya. Kepada sekalian orang kampung yang datang berkerumum melihat apa yang mengolak-olak itu dari jauh, berserulah ia dengan gemas dan mata terbelalak, katanya: Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu, mesjid kita dibakarnya. Mereka menentang Allah subhanahuwata’ala, tempatmu beribadah dibinasakannya, nama Allah dicemarkannya, camkanlah itu! Jangan kita melupa-lupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang mengampuni dosa si kafir itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?”
Perang dengan Belanda terus berkecamuk, karena Belanda lebih unggul dalam persenjataan, Cut Nyak Dhien dan suaminya terdesak hingga kemudian berpindah ke wilayah Leupeung. Dari sana perang terus digelorakan. Tapi pada 29 Juni 1878, Teuku Ibrahim Lam Nga, suami Cut Nyak Dhien tewas bersama beberapa pengikutnya dalam sebuah pertempuran di lembah Beuradeun Gle Tarom, Kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim.
Menurut Szekely Lulofs, penyebab peristiwa tersebut adalah pengkhianatan yang dilakukan oleh Habib Abdurrahman yang telah menyerah dan menerima kompensasi dari Belanda. Kematian suaminya itu membuat kebencian Cut Nyak Dhien terhadap Belanda semakin memuncak. Ia tampil di depan menggantikan suaminya dalam berperang melawan Belanda.
Sejarawan lainnya,  Hazil dalam buku “Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien Sepasang Pahlawan Perang Aceh” mengungkapkan, sangking bencinya Cut Nyak Dhien kepada Belanda, suatu ketika antara sadar dan tidak, Cut Nyak Dhien pernah berucap dan berjanji akan bersedia menikah dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut belas atas kematian suaminya.
Dengan gelora batinnya yang dibaluti kebencian terhadap Belanda itu, Cut Nyak Dhien terus memimpin pelawanan. Pada saat yang sama juga terkenal Teuku Umar yang memimpin peperangan melawan  Belanda di wilayah barat Aceh. Meski antara Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sudah saling mengenal nama, keduanya belum pernah bertemu. Hingga kemudian Teuku Umar dalam suatu peperangan mampun mengalahkan pasukan Belanda yang sebelumnya menewaskan Teuku Ibrahim Lam Nga, suaminya Cut Nyak Dhien.
Berita tentang keberhasilan Teuku Umar itu cepat menyebar dari mulut ke mulut pejuang Aceh. Sampai pada suatu kesempatan keduanya bertemu gerilya di belantara Aceh Besar. Pertemuan Cut Nyak Dhien dengan Teuku Umar itu digambarkan Hazil sebagai berikut:
“Cut Nyak Dhien memandang pada orang yang berbadan tinggi kurus yang berdiri di depannya itu. Seolah-olah mengharap daripadanya pertolongan guna menjalankan maksudnya dengan sempurna; hati Umar terasuk melihat muka wanita yang lusuh oleh geram dan berang itu. Saudara sepupunya ini berdarah bangsawan yang panas, sikapnya seolah-olah harimau betina yang hendak menyerang si pengacau keluarganya, tapi pandangan mata itu mengisyaratkan pula, bahwa ia seorang perempuan. Kata kesetiannya membisikkan padanya untuk membantu wanita yang menjanda ini.”
Pada tahun itu juga (1878) beberapa bulan setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar di Montasik. Perkawinan mereka itu dibicarakan banyak orang, karena keduanya sudah dikenal sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah Belanda. Pasangan ini dinilai sangat cocok untuk memimpin kelanjutan peperangan.
Szekely Lulofs, sejarawan Belanda memberi komentar dalam bukunya tentang pernikahan Cut Nyak Dhien dengan Teuku Umar tersebut. Ia menulis:
“…Jika hati Cut Nyak Dhien, sesudah itu dapat pula melekat pada Teuku Umar, maka yang menjadi dasar dan sebab hanyalah satu: Tertariknya hati oleh seorang laki-laki, yang didalam Sabilillah, melawan kafir, hendak dijadikan kawan seikhwan, rekan seperjuangan. Rekan itulah yang akan mengangkat senjata untuknya, penumpas kafir yang sedang menodai tanah airnya. Kawan itulah yang akan menyertainya dalam ia berhasrat hendak mengusir orang kafir dari tanah Aceh! Bukanlah suami baru pengantin yang hilang hendak dicarinya, penghibur hati yang gundah, melainkan ia hendak mencari rekan berjuang, karena ia kehilangan kawan guna menyambung tangan yang puntung, di dalam ia berhasrat hendak menerkam musuhnya.”
Pada saat Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar usianya sudah 30 tahun, sedikit lebih tua dari Teuku Umar. Tapi paras Cut Nyak Dhien masih menggambarkan seorang perempuan jelita yang menarik hati laki-laki. Sementara bagi Teuku Umar, pernikahan itu mempunyai arti khusus baginya. Pengaruhnya di Aceh Besar menjadi bertambah karena Cut Nyak Dhien merupakan wanita berpengaruh di wilayahnya. Pengaruh Teuku Umar semakin besar dengan pengaruh istrinya itu.
Cut Nyak Dhien merupakan istri ketiga Teuku Umar. Sebelumnya Teuku Umar telah menikah dengan dua wanita lain yakni Cut Nyak Asiah putri Uleebalang Geulumpang, dan Cut Nyak Meuligoe putri Panglima Sagi XXV Mukim. Namun, diantara ketiga istrinya itu, Cut Nyak Dhien yang sangat memberi pengaruh padanya.
Cut Nyak Dhien mampu mempengaruhi dan membatasi tindakan-tindakan buruk yang biasanya dilakukan Teuku Umar seperti menghisap candu. Dari perkawinannya mereka dikaruniai seorang anak perempuan yan diberi nama Cut Gambang, yang ketika dewasa kelak dinikahkan dengan Teungku Mayed Di Tiro alias Teungku Di Buket, putra Teungku Chiek Di Tiro.
Pengaruh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien semakin besar, ketika mereka dengan pasukannya berhasil dalam berbagai peperangan melawan Belanda. Puncaknya ketika mereka yang sudah mengungsi ke Montasik, berhasil merebut kembali wilayah VI Mukim bagian dari Sagi XXV Mukim yang dikuasai Belanda. Wilayah VI Mukim itu sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan ayahnya Cut Nyak Dhien yakni Teuku Nanta Setia. Keberhasilan itu membuat Cut Nyak Dhien bisa kembali
Namun, kekuasaan Cut Nyak Dhien di daerah itu tidak begitu lama karena Belanda dengna pasukan besarnya kemudian mampu merebut kembali daerah tersebut. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar beserta pengikutnya kemudian pindah ke tempat tinggal Teuku Umar di Lampisang yang saat itu belum dikuasai Belanda.

http://harian-aceh.com/2011/07/27/cut-nyak-dhien-grandes-dames-van-atjeh

JANGAN LUPA