Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh merupakan salah satu kawasan pemukiman tertua yang jadi muasal Kota Banda Aceh. Van Swieten menamainya Kutaraja, kotanya para raja.
Oleh Iskandar Norman
Gampong Pande, gampong yang luluh lantak digoyang gempa dan dihempas tsunami 26 Desember 2004 lalu itu makam raja-raja terbujur mengabarkan kemegahannya pada masa lalu.
Saat tsunami akses jalan ke komplek makam tersebut putus total. Jalan itu benar-benar rusak. Beruntung beragam bantuan pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh paska tsunami, Pemerintah Kota Banda Aceh mampu menyulap kembali kawasan tersebut menjadi pemukiman yang baru. Jalan ke situs sejarah seperti makam raja-raja Aceh tempo dulu dibangun kembali.
Komplek makam itu merupakan cagar budaya di bawah naungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Di komplek makam tersebut tampak batu nisan dengan ukiran aksara Arab yang artistik. Zaman dahulu penduduk Kampung Pande memang dikenal sebagai pengrajin batu nisan.
Tak hanya makam para raja dan laksamana yang membuat Gampong Pandee kesohor. Masa lalu, di sini juga ada lokasi pengrajin emas. Tepatnya di Kuta Diblang, yang kini diabadikan menjadi nama salah satu lorong di kampung itu. Hasil kerajinan dijual ke Malaysia, Turki, Perancis, sampai Inggris. Namun, pengrajin emas tidak berasal dari Gampong Pandee.
Para arkeolog dan ahli sejarah pernah melakukan penelitian terhadap batu-batu nisan di komplek pemakaman tersebut. Salah satu bantu nisan disebutkan milik Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah. Dari situ pula kemudian terungkap bawa kampung yang menjadi asal muasal Kota Banda Aceh itu dibangun pada hari Jum’at tanggal 1 Ramadhan tahun 610 Hijriah atai 22 April 1205 Masehi.
Gampong yang menjadi pusat kerajaan itu dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah “Lam Urik” sekarang terletak di Aceh Besar.
Menurut Dr N A Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama “Kandang Aceh”.
Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H.
Berdasarkan temuan itu, Banda Aceh pun kemudian ditabalkan sebagai salah satu kota Islam tertua di Asia Tenggara. Kota ini pernah menjadi sangat terkenal sebagai Bandar Aceh Darussalam ketika masa gemilangnya kerajaan Aceh.
Namun kebesaran itu runtuh pelan-pelan karena pecah “Perang Saudara” antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.
Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam pada saat terjadi Perang di jalan Allah selama 70 tahun yang dilakukan oleh Sultan dan Rakyat Aceh sebagai jawaban atas “ultimatum” Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837.
Sejak itu Bandar Aceh Darussalam diganti namanya menjadi Kutaraja (kotanya para raja) oleh Gubernur Hindia Belanda Van Swieten. Pergantian nama itu dilakukan pada 24 Januari 1874 setelah Belanda berhasil menduduki istana/Kraton.
Pergantian nama itu kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874. Namun pergantian nama tersebut kemudian mendapat penentangan di kalangan tetntara Kolonial Belanda yang pernah bertugas di Aceh. Mereka mengangap Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.
Kota Banda Aceh yang menjadi ibukota Provinsi Aceh pada masa kini, merupakan pusat Kerajaan Aceh Darussalam sebelum Pemerintah Hindia Belanda memerangi kerajaan itu pada tahun 1873. Pada masa penjajahan Belanda terhadap Kerajaan Aceh, nama Banda Aceh hilang berganti dengan Kutaraja yang merupakan sebutan terhadap areal kediaman Sultan Aceh.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 153/1962 Tanggal 28 Desember 1962 terhitung mulai tanggal 1 Januari 1963 nama Kutaraja diganti menjadi Banda Aceh. Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor Des. 52/1/43-43 Tanggal 9 Mei 1963 mengesahkan Banda Aceh menjadi nama ibukota Daerah Istimewa Aceh.
Kota Banda Aceh dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 (drt) Tahun 1956 adalah daerah otonom dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada awal pembentukan terdiri atas dua buah kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Baiturrahman dengan luas 11,08 kilometer.
Kmeudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1983 tentang perubahan batas wilayah Kotamadya Dati II Banda Aceh, luas wilayah menjadi 61,36 Km2 yang dibagi ke dalam empat kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan Meraxa, dan Kecamatan Syiah Kuala.
Selanjutnya pada tahun 2000 terjadi pemekaran wilayah kecamatan sesuai Peraturan Daerah Kota Banda Aceh Nomor 8 Tahun 2000, kecamatan dalam lingkungan Kota Banda Aceh bertambah lagi 5 kecamatan sehingga seluruhnya menjadi 9 kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Syiah Kuala, Kecamatan Banda Raya, Kecamatan Jaya Baru, Kecamatan Ulee Kareng, Kecamatan Kuta Raja, dan Kecamatan Lueng Bata.
Pada masa kini di Kota Banda Aceh masih terdapat peninggalan masa Kerajaan Aceh antara lain berupa makam Sultan Iskandar Muda, gunongan, pintu khob. Selain itu, pendopo gubernur yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda di bekas areal kediaman Sultan Aceh.
Mesjid Raya Baiturrahman merupakan bangunan yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda kendatipun pada masa kemerdekaan Indonesia telah diperluas. Gedung Bank Indonesia merupakan bangunan De Javasche Bank yang didirikan pada tahun 1916 oleh pihak Belanda. Gedung SMA Negeri 1 Banda Aceh juga bekas bangunan pada masa Hindia Belanda.
Hingga sekarang Kota Banda Aceh telah dipimpin oleh 15 walikota, yaitu sebagai berikut.
http://harian-aceh.com/2011/06/30/van-swieten-dan-nama-kutaraja
Oleh Iskandar Norman
Gampong Pande, gampong yang luluh lantak digoyang gempa dan dihempas tsunami 26 Desember 2004 lalu itu makam raja-raja terbujur mengabarkan kemegahannya pada masa lalu.
Saat tsunami akses jalan ke komplek makam tersebut putus total. Jalan itu benar-benar rusak. Beruntung beragam bantuan pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh paska tsunami, Pemerintah Kota Banda Aceh mampu menyulap kembali kawasan tersebut menjadi pemukiman yang baru. Jalan ke situs sejarah seperti makam raja-raja Aceh tempo dulu dibangun kembali.
Komplek makam itu merupakan cagar budaya di bawah naungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Di komplek makam tersebut tampak batu nisan dengan ukiran aksara Arab yang artistik. Zaman dahulu penduduk Kampung Pande memang dikenal sebagai pengrajin batu nisan.
Tak hanya makam para raja dan laksamana yang membuat Gampong Pandee kesohor. Masa lalu, di sini juga ada lokasi pengrajin emas. Tepatnya di Kuta Diblang, yang kini diabadikan menjadi nama salah satu lorong di kampung itu. Hasil kerajinan dijual ke Malaysia, Turki, Perancis, sampai Inggris. Namun, pengrajin emas tidak berasal dari Gampong Pandee.
Para arkeolog dan ahli sejarah pernah melakukan penelitian terhadap batu-batu nisan di komplek pemakaman tersebut. Salah satu bantu nisan disebutkan milik Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah. Dari situ pula kemudian terungkap bawa kampung yang menjadi asal muasal Kota Banda Aceh itu dibangun pada hari Jum’at tanggal 1 Ramadhan tahun 610 Hijriah atai 22 April 1205 Masehi.
Gampong yang menjadi pusat kerajaan itu dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah “Lam Urik” sekarang terletak di Aceh Besar.
Menurut Dr N A Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama “Kandang Aceh”.
Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H.
Berdasarkan temuan itu, Banda Aceh pun kemudian ditabalkan sebagai salah satu kota Islam tertua di Asia Tenggara. Kota ini pernah menjadi sangat terkenal sebagai Bandar Aceh Darussalam ketika masa gemilangnya kerajaan Aceh.
Namun kebesaran itu runtuh pelan-pelan karena pecah “Perang Saudara” antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.
Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam pada saat terjadi Perang di jalan Allah selama 70 tahun yang dilakukan oleh Sultan dan Rakyat Aceh sebagai jawaban atas “ultimatum” Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837.
Van Swieten Menggantinya jadi Kutaraja
Setelah Banda Aceh Darussalam menjadi puing dan diatas puing Kota Islam yang tertua di Nusantara ini Belanda mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal Belanda dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam.Sejak itu Bandar Aceh Darussalam diganti namanya menjadi Kutaraja (kotanya para raja) oleh Gubernur Hindia Belanda Van Swieten. Pergantian nama itu dilakukan pada 24 Januari 1874 setelah Belanda berhasil menduduki istana/Kraton.
Pergantian nama itu kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874. Namun pergantian nama tersebut kemudian mendapat penentangan di kalangan tetntara Kolonial Belanda yang pernah bertugas di Aceh. Mereka mengangap Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.
Berubah Menjadi Banda Aceh
89 tahun kemudian, tepatnya pada 1963 Kutaraja diganti menjadi Banda Aceh. Pergantian nama ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Dan semenjak tanggal tersebut resmilah Banda Aceh menjadi nama ibukota Provinsi Aceh sampai sekarang.Kota Banda Aceh yang menjadi ibukota Provinsi Aceh pada masa kini, merupakan pusat Kerajaan Aceh Darussalam sebelum Pemerintah Hindia Belanda memerangi kerajaan itu pada tahun 1873. Pada masa penjajahan Belanda terhadap Kerajaan Aceh, nama Banda Aceh hilang berganti dengan Kutaraja yang merupakan sebutan terhadap areal kediaman Sultan Aceh.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 153/1962 Tanggal 28 Desember 1962 terhitung mulai tanggal 1 Januari 1963 nama Kutaraja diganti menjadi Banda Aceh. Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor Des. 52/1/43-43 Tanggal 9 Mei 1963 mengesahkan Banda Aceh menjadi nama ibukota Daerah Istimewa Aceh.
Kota Banda Aceh dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 (drt) Tahun 1956 adalah daerah otonom dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada awal pembentukan terdiri atas dua buah kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Baiturrahman dengan luas 11,08 kilometer.
Kmeudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1983 tentang perubahan batas wilayah Kotamadya Dati II Banda Aceh, luas wilayah menjadi 61,36 Km2 yang dibagi ke dalam empat kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan Meraxa, dan Kecamatan Syiah Kuala.
Selanjutnya pada tahun 2000 terjadi pemekaran wilayah kecamatan sesuai Peraturan Daerah Kota Banda Aceh Nomor 8 Tahun 2000, kecamatan dalam lingkungan Kota Banda Aceh bertambah lagi 5 kecamatan sehingga seluruhnya menjadi 9 kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Syiah Kuala, Kecamatan Banda Raya, Kecamatan Jaya Baru, Kecamatan Ulee Kareng, Kecamatan Kuta Raja, dan Kecamatan Lueng Bata.
Pada masa kini di Kota Banda Aceh masih terdapat peninggalan masa Kerajaan Aceh antara lain berupa makam Sultan Iskandar Muda, gunongan, pintu khob. Selain itu, pendopo gubernur yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda di bekas areal kediaman Sultan Aceh.
Mesjid Raya Baiturrahman merupakan bangunan yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda kendatipun pada masa kemerdekaan Indonesia telah diperluas. Gedung Bank Indonesia merupakan bangunan De Javasche Bank yang didirikan pada tahun 1916 oleh pihak Belanda. Gedung SMA Negeri 1 Banda Aceh juga bekas bangunan pada masa Hindia Belanda.
Hingga sekarang Kota Banda Aceh telah dipimpin oleh 15 walikota, yaitu sebagai berikut.
No. | Nama | Tahun | Keterangan |
1. | T. Ali Basjah | 1957 – 1959 | – |
2. | T. Oesman Yacoub | 1959 – 1967 | – |
3. | T. Mohd. Syah | 1967 – 1968 | Penjabat |
4. | T. Ibrahim | 1968 – 1970 | – |
5. | T. Oesman Yacoub | 1970 – 1973 | – |
6. | H. M. Zein Hasjmy | 1973 – 1978 | – |
7. | Drs. Djakfar Ahmad | 1978 – 1983 | – |
8. | Drs. Baharuddin Yahya | 1983 – 1993 | – |
9. | Drs. Sayed Hussain Al Haj | 1993 – 1998 | – |
10. | Muhammad Y | 27 Maret s.d. 29 September 1998 | Pelaksana Tugas |
11. | Drs. Zulkarnain | 1998 – 2004 | – |
12. | Drs. Syarifuddin Latief | 2004 Desember –2004 | Penjabat |
13. | Ir. Mawardi Nurdin, M.Eng | 2005 – 2006 | Penjabat |
14. | Drs. Razaly Yussuf | Februari 2006 – Februari 2007 | Penjabat |
15. | Ir. Mawardi Nurdin, M.Eng | 2007 s.d. sekarang |
http://harian-aceh.com/2011/06/30/van-swieten-dan-nama-kutaraja