Sabtu, 22 Oktober 2011

Generasi Perang ke Generasi Perang Berikutnya

Catatan sejarah tentang kehidupan dan kiprah tokoh-tokoh ulama dan ulama keramat tempo dulu sangat penting artinya bagi jendela cakrawala pengayaan ilmu pengetahuan di antara sejarah-sejarah tokoh penemu dalam bidang ilmu pengetahuan moderen yang wajib dipelajari generasi terkini.
Mesjid Tgk Chik Di Trueng Campli
Banyak kearifan dalam berbagai bidang hasil penemuan tokoh ulama terdahulu hilang dalam perjalanan sejarah karena catatan-catatan mereka tidak diapresiasi kembali dengan tulisan-tulisan lanjutan oleh generasi berikutnya.
Jamak diketahui, pemikiran-pemikiran filosofis para ahli filsafat zaman Yunani Kuno yang akhirnya menjadi landasan berpijak bagi pengembangan ilmu pengetahuna moderen, pada umumnya dipelajari dari buku-buku yang ditulis terus-menerus oleh generasi-generasi setelah tokoh-tokoh itu.
“Sejauh ini,” kata seorang akademisi muda yang namanya enggan dimediakan dalam sebuah perbincangan bebas dengan Harian Aceh di Kota Sigli, Jumat (22/7), “buku yang banyak ditulis adalah tentang kiprah ulama-ulama dalam konteks perlawanan terhadap pendudukan bangsa asing dan sistem kepenjajahan. Dan itu subtansinya adalah konflik atau perang.”
Menurut pemuda berlatar belakang pendidikan dasar dayah tradisional dan lalu melanjutkan sekolah tingginya di universitas itu, Teungku Chik Di Tiro ada dalam buku sejarah yang ditulis sejumlah pakar lewat beragam sudut pandang, itu karena Chik Di Tiro, pada zamannya berandil besar dalam kiprah perlawanan terhadap penjajah bangsa Belanda.
Begitu juga Teungku Muhammad Daud Beureu’eh (Abu Beureu’eh) dan ulama-ulama lain sebelumnya, buku-buku sejarah tentang mereka ditulis secara resmi dan dari berbagai persepsi oleh sejumlah pakar, akademisi, pemerhati dan bahkan sejarawan asing. Tetapi semua semata-semata karena kiprah dan keberadaan para ulama terebut ada di tengah-tengah lingkaran perang.
“Kenapa perang menyita demikian mendalam gairah kepenulisan sejarah dari zaman ke zaman di negeri kita ini. Apakah di tanah Nanggroe ini tak ada semangat mentalitas lainnya yang patut diwariskan ke generasi berikut dan berikutnya lagi selain mentalitas konflik dan tempur?” tanya dia seraya mengaku bahwa karena soalan-soalan seperti itulah yang membuat identitasnya enggan dipublikasi.
Di sejumlah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya, terdapat beberapa kuburan ulama keramat. Seperti kuburan Teungku Chik Di Pasi di Desa Pasi Ileubeue, Kecamatan Kembang Tanjong, kuburan Teungku Chik Trueng Campli di Desa Ukee, Kecamatan Glumpang Baro, keduanya dalam Kabupaten Pidie dan Teungku Chik Di Pucok Krueng Beuracan di Desa Gampong Mesjid, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya.
Ketiga ulama yang semasa hidupnya dikenal sebagai Wali Allah yang memiliki kekuatan batin dan kearifan psikhologis dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan dan tantangan alam, ini tidak satu pun tercatat sejarah hidupnya dalam bentuk tulisan. Selama ini orang hanya mengetahui riwayat hidup dan perjuangan mereka menegakkan moral keagamaan dan ilmu pengetahuan di tengah-tengah komunitasnya melalui mulut ke mulut.
Bila hanya berpatokan pada cerita dari mulut ke mulut, orisinilitas sejarah tersebut akhirnya diragukan. Padahal sejarah hidup mereka, bila ditulis dengan baik oleh mereka yang ahli bidang ini, akan selalu memberikan inspirasi bagi pembaca pada tiap generasi.
Para mahasiswa Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya yang kini tengah menuntut ilmu di berbagai universitas, baik di Meureudu, Sigli, Banda Aceh atau di luar daerah, hendaknya menyisihkan sedikit perhatian terhadap usaha pendokumentasian sejarah tertulis para ulama dan ulama keramat yang kuburannya terdapat di wilayah-wilayah kecamatan dalam dua kabupaten ini.
Memang penulisan sejarah butuh biaya, baik untuk penelitian maupun pergelaran seminar-seminar di tingkat kabupaten. Tapi bila para mahasiswa itu ada kemauan, pasti ada cara. Misalnya dengan mengajak kerjasama lembaga-lembaga pendonor yang bermisi kebudayaan, lanjut pemuda itu.
Menurut dia, paling kurang di pustaka-pustaka sekolah adalah barang satu-dua buku yang bercerita tentang kisah hidup dan penemuan-penemuan ilmiah orang-orang yang dalam kesehariannya selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan senantiasa berinteraksi antar sesama dengan ketinggian sikap, etika dan moral walaupun tengah disibukkan dengan urusan cari nafkah.
Kalau kepada generasi terus-menerus dijejali buku-buku tentang kisah perjuangan para pahlawan, lanjut sang akademisi muda, itu sangat kental muatan patriotisme yang subtansinya adalah konflik, perlawanan dan perang. Sehingga di tanah yang penuh perseteruan ini, setiap generasi selalu melahirkan generasi perang berikutnya.
“Padahal kalau kita sudah kuat dari segi kearifan dan ketinggian ilmu pengetahunan, kita tak perlu berperang lagi karena tak ada bangsa mana pun yang berani datang ke sini untuk menjajah sebagaiamana penyebab utama dalam semua perang di masa-masa lalu,” katanya.
“Sekarang siapa yang berani datang ke Eropa untuk menjajah negeri-negeri di sana, siapa yang akan datang ke Amerika untuk mengatur-atur orang itu, dan siapa yang berani datang ke Jepang untuk mendekte-dekte mereka? Kalau kita, soal Pemilukada aja belum bisa kita urus sendiri. Ujong cerita, meunyo han eik pikee lee, eik u glee jak meuprang,” demikian pungkas dia.(musmarwan abdullah)

http://harian-aceh.com/2011/07/23/generasi-perang-ke-generasi-perang-berikutnya

JANGAN LUPA