Sabtu, 22 Oktober 2011

Dakota, Modal yang Terlupakan

Pesawat jenis Dakota yang bernama RI-001 merupakan armada terbang pertama yang dimiliki republik ini yang dibeli dari hasil sumbangan masyarakat Aceh.
Oleh : Murdani
Kapal Seulawah
Dakota itu kini tinggal rongsokan yang luput bahkan terlupakan dalam gilasan roda zaman yang terus berkembang. Saat ini banyak generasi muda Indonesia yang melupakan peran RI-001 Seulawah. Sangat minim penjelasan maupun catatan sejarah berupa buku atau artikel yang menjelaskan keberadaan benda tersebut, baik di tingkat perguruan tinggi maupun sekolah menengah atas kebawah. Kesalahan ini terus berlangsung hingga sekarang.
Dikisahkan, pada awalnya, KSAU Komodor Udara Suryadarma ditugaskan oleh Presiden Soekarno untuk memprakarsai pembelian pesawat angkut Indonesia melalui Biro Rencana dan Propaganda TNI-AU yang dipimpin oleh OU II Wiweko Supono dan dibantu oleh OMU II Nurtanio Pringgoadisuryo dipercaya sebagai pelaksana ide tersebut.
Biro tersebut kemudian menyiapkan sekira 25 model jenis pesawat Dakota. Setelah rencana tersebut mantang, Kepala Biro Propaganda TNI AU, OMU I J. Salatun ditugaskan mengikuti Presiden Soekarno ke Sumatra dalam rangka mencari dana.
Di sisi lain, Presiden Soekarno merupakan orang pertama yang sebenarnya berhasil membangkitkan jiwa patriotisme dari rakyat Aceh. Bertepatan Pada 16 Juni 1948, di Aceh Hotel, ibukota Bandar Aceh, Soekarno melalui sebuah kepanitiaan kecil yang diketuai Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji, dari Orqanisasi Saudagar Aceh atau disingkat dengan nama Gasida berhasil mengumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh setara dengan 20 kg emas.
Sumbangan ini digalang dari hasil panen masyarakat berupa beras, ubi, padi, perhiasan hingga harta benda lainnya untuk memberikan satu pesawat ke Sukarno. Pesawat sumbangan dari rakyat Aceh itu kemudian diberi nama RI-001 Seulawah. Nama Seulawah sendiri diambil dari nama sebuah gunung di Aceh yang berarti “Gunung Emas” sumbangan Aceh.
Pesawat Seulawah ini disebut juga pesawat Douglas DC-3 ini diproduksi oleh Douglas Aircraft Company pada tahun 1935. Jenis pesawat Dakota “Seulawah” yang disumbangkan itu memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28,96 meter.
Pesawat inilah yang sebenarnya memiliki peranan sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Bisa dikatakan, pesawat yang langkah penentu kemerdekaan Indonesia yang sedang dinikmati oleh ribuan warga pada saat ini. Pasalnya, secara tidak langsung kehadiran Dakota RI-001 Seulawah telah mendorong untuk dibukanya jalur penerbangan Jawa-Sumatra, bahkan hingga ke luar negeri. Dengan ada RI-001 tersebut juga menumbuhkan asumsi kemerdekaan Indonesia bagi masyarakat di negara-negara tetangga.
Keberadaan RI-001 juga sempat digunakan sebagai kendaraan dinas negara Pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah mengadakan perjalanan keliling Sumatra dengan rute Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Maguwo. Sedangkan di Kutaradja, pesawat tersebut digunakan sebagai joy flight bagi para pemuka rakyat Aceh dalam penyebaran pamflet. Pada tanggal 4 Desember 1948 pesawat juga digunakan untuk mengangkut kadet ALRI dari Payakumbuh ke Kutaraja, serta untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi.
Keadaan ini berlangsung hingga pada awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry. Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Sayangnya, ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air. Atas prakarsa Wiweko Supono, dengan modal Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikan perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways, atau cikal bakal dari penerbangan garuda.
Kini, kerangka RI-001 kini di pajang di sisi Lapangan Blang Padang Kota Banda Aceh. Bagi sejumlah orang, keberadaan  kerangka pesawat tersebut tidaklah lebih dari barang rongsokan yang tidak berguna. Selain itu, keberadaan maskapai komersil tersebut kini sangat minim perhatiannya terhadap masyarakat Aceh selaku pemberi modal.
Kenyataan inilah yang membuat sejarahwan dan masyarakat Aceh menjadi terluka. Selain merasa tidak pernah memperoleh keuntungan balik dari sumbangan pesawat tersebut. Pesawat yang kini jadi Maskot penerbangan di Negara Indonesia ini, bahkan menjadi perusahaan komersil yang kini susah dijangkau oleh mayoritas masyarakat miskin di daerah paling ujung Sumatra ini.
Padahal, di sejumlah kesempatan, Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar selalu menegaskan bahwa Perusahaan Garuda seharusnya membayar kompensasi yang tinggi kepada masyarakat Aceh asal setiap keuntungan yang mereka miliki saat ini. Namun wacana yang didukung oleh sejumlah pakar sejarah Aceh ini tidak pernah mendapat respon yang baik dari semua pihak, bahkan pemerintah pusat sendiri.
Kisah ini jelas memperlihatkan betapa besar rasa patriotisme rakyat Aceh dalam perjuangan mempertahankan RI benar-benar heroik, penuh suka-duka dan cerita mengenai kesetiaan. Rakyat Aceh mampu mengorbankan apapun, dan berperang mempertahankan negeri sebagai panggilan suci dari Illahi walaupun akhirnya tidak memperoleh hasil seperti yang diharapkan, serta berakhirkan julukan pemberontak.
Tidak hanya itu, sebenarnya pada tahun yang hampir bersamaan dengan rusaknya pesawat RI-001 Seulawah ketika melakukan Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Presiden Soekarno juga pernah mengucapkan janji di hadapan Daud Beureueh dan perjuang untuk segera memberlakukan Aceh dengan sebuah hukum syariat Islam dan daerah khusus.
Namun pada tahun 1951, Provinsi Aceh malah dibubarkan oleh pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara. Kenjadian ini akhirnya menimbulkan luka yang sangat dalam bagi masyarakat Aceh sehingga pada tahun-tahun berikutnya isi dengan pemberontakan selama puluhan tahun.
Pemberontakan ini dimulai dengan catatan sejarah mengenai sikap Tgk. Daud Beureueh yang mendeklarasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia pada tanggal 21 September 1953 hingga pemberontakan DI/TII seringkali dianggap sebagai awal pembangkangan Aceh terhadap Jakarta.
Hal ini ditambah lagi dengan adanya deklarasi Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976 di Gunung Halimun, Pidie oleh Tgk. Hasan di Tiro yang membangkitkan kembali konflik bersenjata di Aceh sehingga mengakibatkan semakin banyak pemimpin negara ini pada saat itu salah mengerti akan kemauan masyarakat Aceh. Semua kegiatan tadi kemudian di balas dengan darurat militer yang akhirnya menghancurkan daerah Aceh.
Padahal, jika kita mau melihat dengan ’kacamata kejujuran’ serta pandangan yang netral. Jiwa patriotisme dan rasa nasionalisme yang dimiliki oleh masyarakat Aceh terhadap negara ini sebenarnya jauh lebih kuat dari masyarakat lainnya di nusantara.
Bayangkan, keadaan Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih seperti membelikan pesawat RI-001 Seulawah.
Dari catatan sejarah tadi sebenarnya sudah menjawab keraguan pimpinan republik ini tingginya rasa nasionalisme rakyat Aceh terhadap negeri ini. Inti permasalahan sebenarnya bukan terletak pada pengabdian masyarakat Aceh terhadap republik ini, namun sejauh mana pemerintah pusat dapat mempercayai serta menghargai setiap usaha yang dilakukan oleh masyarakat dalam membangun daerah ini.
Saat ini, banyak hal yang belum tuntas dalam usia berdamai Aceh. keadaan ini dikhawatirkan menjadi bara yang dapat membakar kembali daerah Aceh jika tidak segera diselesaikan oleh pemerintah pusat.
Minimnya aturan hukum seperti PP, Perpres serta Keppres untuk penguatan UUPA adalah salah satu kendala penting yang harus segera diselesai. Akibatnya, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak juga terbentuk hingga kini. Padahal, kedua hal tadi merupakan amanah dari perjanjian MoU Helsinki.
Persoalan lain, seperti pembebasan sisa Narapidana Politik (Napol) eks GAM, seperti Ismuhadi Jafar, Ibrahim Hasan, serta Irwan Bin Ilyas yang belum dibebaskan hingga kini. Kecurigaan yang mendalam dari pemerintah pusat terhadap pemerintah lokal di Aceh mengakibat permasalahan tadi belum tertuntaskan.
Selain itu, kedua persoalan ini adalah satu dari sekian banyak persoalan Aceh yang belum dituntaskan oleh pemerintah pusat. Kedua hal ini juga menandakan adanya ketidak-ikhlasan pemerintah pusat dalam perdamaian Aceh sehingga membuat masyarakat seperti Iqbal ragu serta selalu bertanya-tanya. Padahal, semua pihak telah sepakat untuk ’menutup buku’ persoalan tersebut dan membuka lembaran baru yang lebih baik untuk masa yang akan datang.
Kembali kepada keberadaan RI-001 Seulawah. Masyarakat Aceh sebenarnya tidak pernah meminta imbalan besar atas yang pernah dilakukan oleh nenek moyang mereka dimasa lalu. Namun mereka cuma mengharapkan adanya sedikit penghargaan yang di pemerintah pusat, berupa pembukaan kisah herois tersebut dalam buku pelajaran di tiap sekolah.
Selain itu, masyarakat di Provinsi Aceh sebenarnya juga ingin dipercayai sepenuhnya seperti masyarakat di daerah lainnya. Besarnya pengorbanan masyarakat Aceh sejak massa penjajahan hingga kini setidaknya menjadi bukti ketulusan masyarakat untuk republik ini. Hal sebaliknya juga diharapkan terjadi pada pemerintahan pusat, amin.


http://harian-aceh.com/2011/08/23/dakota-modal-yang-terlupakan

JANGAN LUPA