Gunogan salah satu bangunan kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam yang masih tersisa, Nurruddin Ar Raniry dalam Bustanus Salatin meriwayatkannya.
Oleh: Boy Nashruddin Agus
Aceh adalah negeri gemilang yang penuh dengan cerita kejayaan pada masa tampuk pimpinan kerajaan berada di bawah kendali Sultan Iskandar Muda. Menulis sejarah Aceh, bukan berarti kita harus larut dengan masa lalu. Namun setidaknya, dari sejarah kita bisa belajar untuk memperbaiki masa kini dan menyempurnakan masa depan.
Banyak bukti-bukti sejarah Aceh yang hilang ditelan jaman akibat peperangan, penataan ruang kota, ketidakpahaman arti pentingnya sejarah dan keteledoran beberapa oknum masyarakat yang menjarah artefak-artefak kemudian menjualnya ke pasar gelap.
Namun, dari kesekian banyak sejarah Aceh yang hilang itu, masih ada beberapa rekam jejak sejarah yang masih bisa disaksikan oleh masyarakat banyak saat ini. Salah satu bentuk peninggalan kemegahan dan kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam yang masih tersisa saat ini adalah bangunan yang disebut Gunongan.
Bangunan ini terletak hampir tepat di pusat Kota Banda Aceh dan bersisian dengan Dalam (pendopo Gubernur Aceh saat ini), berbatasan dengan Kherkoff (kuburan seradadu Belanda) dan Taman Budaya.
Meskipun begitu, banyak bukti jejak masa lampau kerajaan Aceh yang masih terdapat dalam lingkungan masyarakat kita, di Aceh. Namun yang sangat disayangkan, rekam jejak sejarah atau pun bukti-bukti tersebut kurang mendapat perhatian dari kita bersama, terlebih pihak pemerintah.
Bukti-bukti sejarah yang masih beredar luas dan populer di kalangan masyarakat Aceh tersebut, antaranya adalah Naskah dan makam/nisan (batee jirat). Lainnya adalah mata uang Aceh tempo dulu yang disebut dengan Dirham (terbuat dari emas) dan Keuh (terbuat dari timah).
Ketidak pedulian dari kita semua ini, bisa membuat jejak-jejak sejarah ini akan punah di telan zaman, termasuk bangunan megah sekalipun, sama seperti punahnya Dalam (keraton) Aceh yang kini hanya meninggalkan namanya semata.
Sama halnya dengan Dalam (keraton) Aceh, keberadaan bangunan bersejarah di Aceh lainnya seperti Gunongan ditakutkan juga akan hilang ditelan masa. Terlepas dari segala pendapat siapa yang mendirikan atau menciptakan Gunongan tersebut, baiknya selaku orang Aceh, kita wajib melestarikan jejak sejarah kejayaan nanggroe ini.
Kata sahibu’t-tarikh : Pada zaman baginda-lah berbuat suatu bustan, ia-itu kebun, terlalu indah., kira sa-ribu depa luasnya. Maka di-tanami-nya pelbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Di-gelar baginda bustan itu Taman Ghairah. Ada-lah dewala taman itu daripada batu di-rapati, maka di-turap dengan kapor yang amat perseh seperti perak rupa-nya, dan pintu-nya menghadap ka-istana, dan perbuatan pintu-nya itu berkop, di-atas kop itu batu di-perbuat seperti biram berkelopak dan berkemunchakkan daripada sangga pelinggam, terlalu gemerlap sinar-nya berkerlapan rupa-nya, bergelar Pintu Biram Indera Bangsa.
Dan ada pada samatengah taman itu su-ngai bernama Darul-‘Ishki berturap dengan batu, terlalu jerneh ayer-nya, lagi amat sejok, barang siapa meminum dia sihat-lah tuboh-nya. Dan ada-lah terbit mata ayer itu daripada pehak raaghib di-bawah Gunong Jabalu’l-A’la, keluarnya daripada batu hitam/itu.”
Taman Para Raja
Seorang sejarahwan Indonesia, Raden Dr. Hoesein Djajadiningrat dalam karyanya De Stichting Van Het “Gunongan” Geheeten Monument Te Koetaradja (pembangunan monumen yang dinamakan “Gunongan” di Kutaraja) yang dimuat dalam majalah TBG, 57 (1916), menyebutkan bahwa menurut tradisi lisan seorang raja dari Kerajaan Aceh telah memerintahkan bawahannya (utoih-utoih_dalam bahasa Aceh) untuk membuat sebuah Gunung Buatan yang dikelilingi sebuah taman untuk menyenangi permaisurinya yang berasal dari sebuah tempat jauh, yang selalu merindukan kampung halamannya yang sarat dengan gunung-gunung.
Raja yang memerintah saat itu (dalam penceritaan secara lisan) adalah Sultan Iskandar Muda yang memerintah Kerajaan Aceh dari tahun 1607-1636.
Gunongan itu dibuat untuk menyenangkan permintaan permaisurinya yang berasal dari Pahang dan populer dengan sebutan Putroe Phang atau Putri Pahang. Ada juga yang mengatakan, pembangunan Gunongan merupakan wujud cinta dari Sultan Iskandar Muda pada Putroe Phang yang sering dilanda rindu kampung halamannya.
Dalam pengkisahan secara turun temurun, Hoesein Djajadiningrat mengatakan, untuk mengecat bangunan gedung Gunongan tersebut masing-masing penduduk diperintahkan untuk memberi satu colek (saboh cilet) kapur untuk pewarnaan seluruh bangunan itu.
Namun dalam kitab Bustanul Salatin yang dikarang oleh Nuruddin Ar Raniry dalam Bab XIII buku kedua dari Kitab tersebut yang meriwayatkan tentang sejarah Aceh, menyebutkan bahwa yang mendirikan Gunongan tersebut adalah Sultan Iskandar Thani (1636-1641). Dalam kitab tersebut dijelaskan mengenai pembangunan sebuah taman yang disebut dengan Taman Ghairah oleh Sulthan Aceh.
Shahdan adalah pertemuan dewala Taman Ghairah itu yang pada Sungai Daru’l-Ishki itu, dua buah jambangan, bergelar Rambut Gemalai. Maka kedua belah tebing Sungai Daru’l ‘Ishki itu di-turap-nya dengan batu panchawarna, bergelar Tebing Sangga Saffa.
Dan adalah kiri kanan tebing sungai arah ka-hulu itu dua buah tangga batu hitam di-ikat-nya dengan tembaga semburan seperti emas rupa-nya. Maka ada-lah di-sisi tangga arah ka-kanan itu suatu batu me-ngampar, bergelar Tanjong Indera Bangsa. Di-atas-nya suatu balai dulapan sagi, seperti peterana rupa-nya. Sana-lah hadharat Yang Mahamulia semayam mengail.
Dan di-sisi-nya itu sa-pohon buraksa terlalu rampak, rupa-nya seperti payong hijau. Dan ada-lah sama tengah Sungai Daru’l-‘Ishki itu sa-buah pulau bergelar Pulau Sangga Marmar. Di-kepala pulau itu sabuah batu mengampar, perusahan-nya seperti tembus, bergelar Banar Nila Warna. Dan ada-lah keliling pulau itu karang berbagai warna-nya, bergelar Karang Panchalogam. Di-atas Pulau Sanggar Marmar itu suatu pasu, ia-itu permandian, bergelar Sangga Sumak.
Dan ada-lah isi-nya ayer mawar yazdi yang amat merebak bau-nya, tutup-nya daripada perak, dan kelah-nya daripada perak, dan charak-nya daripada fidhah yang abyadh. Dan ada-lah kersek pulau terlalu elok rupa-nya, puteh seperti kapor barus.
Berdasarkan teks dari kitab tersebut kiranya dapat diketahui pada dasarnya bangunan Gunongan itu berdiri dengan tinggi 9,5 meter, menggambarkan sebuah bunga yang dibangun dalam tiga tingkat.
Tingkat pertama terletak di atas tanah dan tingkat tertinggi bermahkota sebuah tiang berdiri di pusat bangunan. Keseluruhan bentuk Gunongan adalah oktagonal (bersegi delapan). Serambi selatan merupakan lorong masuk yang pendek, tertutup pintu gerbang yang penyangganya sampai ke dalam gunung.
Peterana batu berukir berupa kursi bulat berbentuk kelopak bunga yang sedang mekar dengan lubang cekung di bagian tengah. Kursi batu ini berdiameter 1 m dengan arah hadap ke utara dan mempunyai tinggi sekitar 50 cm. Sekeliling peterana batu berukir berhiaskan arabesque berbentuk motif atau jaring jala.
Peterana batu berukir berfungsi sebagai tahta tempat penobatan sultan. Belum diketahui dengan pasti nama-nama sultan yang pernah dinobatkan di atas peterana batu berukir tersebut. Bustanus as salatin menyebutkan ada dua buah batu peterana, yaitu peterana batu berukir (kembang lela masyhadi) dan peterana batu warna nilam (kembang seroja). Namun yang masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah peterana batu berukir kembang lela masyhadi yang terletak bersebelahan dengan Gunongan dan berada di sisi sungai.
Dalam komplek Gunongan tersebut juga dikatakan terdapat Kandang Baginda. Kandang Baginda ini merupakan sebuah lokasi pemakaman keluarga sultan Kerajaan Aceh, di antaranya makam Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) sebagai menantu Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dan istri Sulthanah Tajul Alam (1641-1670).
Bangunan kandang berupa teras dengan tinggi 2 m dikelilingi oleh tembok dengan ketebalan 45 cm dan lebar 18 m. Bangunan ini dibuat dari bahan bata berspesi kapur serta berdenah persegi empat dengan pintu masuk di sisi selatan.
Areal pemakaman terletak di tengah lahan yang ditinggikan. Konon lahan yang ditinggikan pernah dilindungi oleh sebuah bangunan pelindung. Pagar keliling Kandang mempunyai profil berbentuk tempat sirih dengan tinggi 4 meter.
Pagar ini diperindah dengan beragam ukiran berbentuk nakas, selimpat (segi empat), temboga (seperti hiasan tembaga). Mega arak-arakan (awan mendung) dan dewala (hiasan serumpun bunga dengan kelopak yang runcing dan bintang_seperti teratai), merupakan hiasan. Pada kolom tembok keliling berupa arabesque berbentuk pola suluran mengikuti bentuk segi empat.
Mega arak-arakan yaitu hiasan arabesque berupa awan mendung yang dibentuk dari suluran sebagai hiasan sudut pada bingkai dinding. Dewamala merupakan hiasan yang berbentuk menara-menara kecil berjumlah dua belas buah di atas tembok keliling terutama di bagian sudut, berbentuk bunga dengan kelopak daunnya yang runcing menguncup. Menurut sumber bangunan ini dibuat oleh orang Turki atas perintah Sulthan.
Di sisi barat Taman Ghairah (Gunongan) terdapat Medan Khairani yang merupakan sebuah padang luas dan diisi dengan pasir dan kerikil, dikenal dengan nama kersik batu pelinggam. Sebagian besar lahannya kini digunakan sebagai Kherkoff. Kompleks makam ini digunakan untuk menguburkan prajurit Belanda yang gugur dalam Perang Aceh (1873-1942).
Dalam Taman Ghairah juga dibangun lima unit balai dengan halaman pada tiap-tiap balai beserta teknik pembangunan dan kelengkapan ragam hiasnya. Balai merupakan bangunan panggung terbuka yang dibangun dari kayu dengan fungsi yang berbeda-beda.
Balai-balai tersebut antara lain Balai Kambang yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan. Kemudian Balai Gading yang berfungsi sebagai pelaksanaan kenduri, Balai Rekaan Cina tempat peristirahatan yang dibangun oleh ahli bangunan dari Cina, Balai Keemasan tempat peristirahatan yang dilengkapi dengan pagar keliling dari pasir dan Balai Kembang Caya. Sayangnya, balai-balai yang disebutkan dalam kitab Bustanul Salatin saat ini sudah tidak ada yang tersisa.
Bangunan lain yang terdapat dalam Taman Ghairah ini adalah Pinto Khop (Pintu Biram Indrabangsa) yang secara bebas dapat diartikan dengan pintu mutiara keindraan atau kedewaan/raja-raja. Di dalam Busatanul Salatin disebut dengan Dewala.
Gerbang yang lebih dikenal dengan sebutan Pinto Khop ini merupakan pintu penghubung antara istana dengan Taman Ghairah. Pintu ini berukuran panjang 2 m, lebar 2 m dan tinggi 3 m. Pinto Khop ini terletak pada sebuah lembah sungai Darul Isyki (Krueng Daroy).
Dugaan sementara, tempat ini merupakan tebing yang disebutkan dalam Bustanul Salatin dan bersebelahan dengan sungai tersebut. Dengan adanya perombakan pada tata kota Banda Aceh dikemudian hari, Pinto Khop akhirnya tidak berada lagi dalam satu komplek dengan Taman Sari Gunongan (taman ini juga telah berubah dari arsitektur semula seperti yang digambarkan dalam kitab Bustanul Salatin).
Bangunan Pinto Khop dibuat dari bahan kapur dengan rongga sebagai pintu dan langit-langit berbentuk busur untuk dilalui dengan arah timur dan barat. Bagian atas pintu masuk berhiaskan dua tangkai daun yang disilang, sehingga menimbulkan fantasi (efek) figur wajah dengan mata dan hidung serta rongga pintu sebagai mulut.
Atap bangunan yang bertingkat tiga dihiasi dengan berbagai hiasan dalam bingkai-bingkai antara lain; biram berkelopak (mutiara di dalam kelopak bunga seperti yang ditemukan juga pada bangunan Gunongan) dan bagian puncak dihiasi dengan sangga pelinggam (mahkota berupa topi dengan bagian puncak meruncing).
Bagian atap merupakan pelana dengan modifikasi di empat sisi dan berlapis tiga. Pada sisi utara dan selatan dewala ini berkesinambungan dengan tembok tebal (tebal 50 m dan tinggi 130 meter) yang diduga merupakan pembatas antara lingkungan Dalam (kraton) dengan taman. Namun, lagi-lagi dikemudian hari tembok tersebut tidak diketemukan lagi akibat pembangunan tata ruang kota Banda Aceh.
Komplek Gunongan pernah di eskavasi (penggalian kepurbakalaan) oleh tim dari Direktorat Purbakala, Jakarta yang dipimpin oleh Hasan Muarif Ambary pada tahun 1976. Dalam eskavasi tersebut, ditemukan banyak kepingan-kepingan emas dan juga ditemukan sebuah keranda berlapiskan emas. Diperkirakan, keranda tersebut adalah milik Sultan Iskandar Thani, menantu Sultan Iskandar Muda.
Emas-emas hasil penggalian tersebut kemudian diboyong ke Jakarta untuk disimpan di Museum Nasional Jakarta dan sebahagiannya di Museum Negeri Aceh. Namun, tidak dijelaskan berapa jumlah kepingan emas yang ditemukan tersebut secara terperinci oleh pihak yang berwenang dalam sumber yang digunakan oleh penulis.
“….dan tiada-lah hamba panjangkan kata beberapa dari kekayaan Allah s.w.t yang gharib. Dan sakalian dalam taman itu daripada sarwa bagai buah-buahan daripada buah serbarasa, dan buah tufah, dan buah anggor, dan buah tin, dan delima, dan buah manggista, dan buah rambutan
http://harian-aceh.com/2011/08/26/gunongan-taman-ghairah-para-raja
Oleh: Boy Nashruddin Agus
Aceh adalah negeri gemilang yang penuh dengan cerita kejayaan pada masa tampuk pimpinan kerajaan berada di bawah kendali Sultan Iskandar Muda. Menulis sejarah Aceh, bukan berarti kita harus larut dengan masa lalu. Namun setidaknya, dari sejarah kita bisa belajar untuk memperbaiki masa kini dan menyempurnakan masa depan.
Banyak bukti-bukti sejarah Aceh yang hilang ditelan jaman akibat peperangan, penataan ruang kota, ketidakpahaman arti pentingnya sejarah dan keteledoran beberapa oknum masyarakat yang menjarah artefak-artefak kemudian menjualnya ke pasar gelap.
Namun, dari kesekian banyak sejarah Aceh yang hilang itu, masih ada beberapa rekam jejak sejarah yang masih bisa disaksikan oleh masyarakat banyak saat ini. Salah satu bentuk peninggalan kemegahan dan kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam yang masih tersisa saat ini adalah bangunan yang disebut Gunongan.
Bangunan ini terletak hampir tepat di pusat Kota Banda Aceh dan bersisian dengan Dalam (pendopo Gubernur Aceh saat ini), berbatasan dengan Kherkoff (kuburan seradadu Belanda) dan Taman Budaya.
Meskipun begitu, banyak bukti jejak masa lampau kerajaan Aceh yang masih terdapat dalam lingkungan masyarakat kita, di Aceh. Namun yang sangat disayangkan, rekam jejak sejarah atau pun bukti-bukti tersebut kurang mendapat perhatian dari kita bersama, terlebih pihak pemerintah.
Bukti-bukti sejarah yang masih beredar luas dan populer di kalangan masyarakat Aceh tersebut, antaranya adalah Naskah dan makam/nisan (batee jirat). Lainnya adalah mata uang Aceh tempo dulu yang disebut dengan Dirham (terbuat dari emas) dan Keuh (terbuat dari timah).
Ketidak pedulian dari kita semua ini, bisa membuat jejak-jejak sejarah ini akan punah di telan zaman, termasuk bangunan megah sekalipun, sama seperti punahnya Dalam (keraton) Aceh yang kini hanya meninggalkan namanya semata.
Sama halnya dengan Dalam (keraton) Aceh, keberadaan bangunan bersejarah di Aceh lainnya seperti Gunongan ditakutkan juga akan hilang ditelan masa. Terlepas dari segala pendapat siapa yang mendirikan atau menciptakan Gunongan tersebut, baiknya selaku orang Aceh, kita wajib melestarikan jejak sejarah kejayaan nanggroe ini.
Kata sahibu’t-tarikh : Pada zaman baginda-lah berbuat suatu bustan, ia-itu kebun, terlalu indah., kira sa-ribu depa luasnya. Maka di-tanami-nya pelbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Di-gelar baginda bustan itu Taman Ghairah. Ada-lah dewala taman itu daripada batu di-rapati, maka di-turap dengan kapor yang amat perseh seperti perak rupa-nya, dan pintu-nya menghadap ka-istana, dan perbuatan pintu-nya itu berkop, di-atas kop itu batu di-perbuat seperti biram berkelopak dan berkemunchakkan daripada sangga pelinggam, terlalu gemerlap sinar-nya berkerlapan rupa-nya, bergelar Pintu Biram Indera Bangsa.
Dan ada pada samatengah taman itu su-ngai bernama Darul-‘Ishki berturap dengan batu, terlalu jerneh ayer-nya, lagi amat sejok, barang siapa meminum dia sihat-lah tuboh-nya. Dan ada-lah terbit mata ayer itu daripada pehak raaghib di-bawah Gunong Jabalu’l-A’la, keluarnya daripada batu hitam/itu.”
Taman Para Raja
Seorang sejarahwan Indonesia, Raden Dr. Hoesein Djajadiningrat dalam karyanya De Stichting Van Het “Gunongan” Geheeten Monument Te Koetaradja (pembangunan monumen yang dinamakan “Gunongan” di Kutaraja) yang dimuat dalam majalah TBG, 57 (1916), menyebutkan bahwa menurut tradisi lisan seorang raja dari Kerajaan Aceh telah memerintahkan bawahannya (utoih-utoih_dalam bahasa Aceh) untuk membuat sebuah Gunung Buatan yang dikelilingi sebuah taman untuk menyenangi permaisurinya yang berasal dari sebuah tempat jauh, yang selalu merindukan kampung halamannya yang sarat dengan gunung-gunung.
Raja yang memerintah saat itu (dalam penceritaan secara lisan) adalah Sultan Iskandar Muda yang memerintah Kerajaan Aceh dari tahun 1607-1636.
Gunongan itu dibuat untuk menyenangkan permintaan permaisurinya yang berasal dari Pahang dan populer dengan sebutan Putroe Phang atau Putri Pahang. Ada juga yang mengatakan, pembangunan Gunongan merupakan wujud cinta dari Sultan Iskandar Muda pada Putroe Phang yang sering dilanda rindu kampung halamannya.
Dalam pengkisahan secara turun temurun, Hoesein Djajadiningrat mengatakan, untuk mengecat bangunan gedung Gunongan tersebut masing-masing penduduk diperintahkan untuk memberi satu colek (saboh cilet) kapur untuk pewarnaan seluruh bangunan itu.
Namun dalam kitab Bustanul Salatin yang dikarang oleh Nuruddin Ar Raniry dalam Bab XIII buku kedua dari Kitab tersebut yang meriwayatkan tentang sejarah Aceh, menyebutkan bahwa yang mendirikan Gunongan tersebut adalah Sultan Iskandar Thani (1636-1641). Dalam kitab tersebut dijelaskan mengenai pembangunan sebuah taman yang disebut dengan Taman Ghairah oleh Sulthan Aceh.
Shahdan adalah pertemuan dewala Taman Ghairah itu yang pada Sungai Daru’l-Ishki itu, dua buah jambangan, bergelar Rambut Gemalai. Maka kedua belah tebing Sungai Daru’l ‘Ishki itu di-turap-nya dengan batu panchawarna, bergelar Tebing Sangga Saffa.
Dan adalah kiri kanan tebing sungai arah ka-hulu itu dua buah tangga batu hitam di-ikat-nya dengan tembaga semburan seperti emas rupa-nya. Maka ada-lah di-sisi tangga arah ka-kanan itu suatu batu me-ngampar, bergelar Tanjong Indera Bangsa. Di-atas-nya suatu balai dulapan sagi, seperti peterana rupa-nya. Sana-lah hadharat Yang Mahamulia semayam mengail.
Dan di-sisi-nya itu sa-pohon buraksa terlalu rampak, rupa-nya seperti payong hijau. Dan ada-lah sama tengah Sungai Daru’l-‘Ishki itu sa-buah pulau bergelar Pulau Sangga Marmar. Di-kepala pulau itu sabuah batu mengampar, perusahan-nya seperti tembus, bergelar Banar Nila Warna. Dan ada-lah keliling pulau itu karang berbagai warna-nya, bergelar Karang Panchalogam. Di-atas Pulau Sanggar Marmar itu suatu pasu, ia-itu permandian, bergelar Sangga Sumak.
Dan ada-lah isi-nya ayer mawar yazdi yang amat merebak bau-nya, tutup-nya daripada perak, dan kelah-nya daripada perak, dan charak-nya daripada fidhah yang abyadh. Dan ada-lah kersek pulau terlalu elok rupa-nya, puteh seperti kapor barus.
Berdasarkan teks dari kitab tersebut kiranya dapat diketahui pada dasarnya bangunan Gunongan itu berdiri dengan tinggi 9,5 meter, menggambarkan sebuah bunga yang dibangun dalam tiga tingkat.
Tingkat pertama terletak di atas tanah dan tingkat tertinggi bermahkota sebuah tiang berdiri di pusat bangunan. Keseluruhan bentuk Gunongan adalah oktagonal (bersegi delapan). Serambi selatan merupakan lorong masuk yang pendek, tertutup pintu gerbang yang penyangganya sampai ke dalam gunung.
Peterana batu berukir berupa kursi bulat berbentuk kelopak bunga yang sedang mekar dengan lubang cekung di bagian tengah. Kursi batu ini berdiameter 1 m dengan arah hadap ke utara dan mempunyai tinggi sekitar 50 cm. Sekeliling peterana batu berukir berhiaskan arabesque berbentuk motif atau jaring jala.
Peterana batu berukir berfungsi sebagai tahta tempat penobatan sultan. Belum diketahui dengan pasti nama-nama sultan yang pernah dinobatkan di atas peterana batu berukir tersebut. Bustanus as salatin menyebutkan ada dua buah batu peterana, yaitu peterana batu berukir (kembang lela masyhadi) dan peterana batu warna nilam (kembang seroja). Namun yang masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah peterana batu berukir kembang lela masyhadi yang terletak bersebelahan dengan Gunongan dan berada di sisi sungai.
Dalam komplek Gunongan tersebut juga dikatakan terdapat Kandang Baginda. Kandang Baginda ini merupakan sebuah lokasi pemakaman keluarga sultan Kerajaan Aceh, di antaranya makam Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) sebagai menantu Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dan istri Sulthanah Tajul Alam (1641-1670).
Bangunan kandang berupa teras dengan tinggi 2 m dikelilingi oleh tembok dengan ketebalan 45 cm dan lebar 18 m. Bangunan ini dibuat dari bahan bata berspesi kapur serta berdenah persegi empat dengan pintu masuk di sisi selatan.
Areal pemakaman terletak di tengah lahan yang ditinggikan. Konon lahan yang ditinggikan pernah dilindungi oleh sebuah bangunan pelindung. Pagar keliling Kandang mempunyai profil berbentuk tempat sirih dengan tinggi 4 meter.
Pagar ini diperindah dengan beragam ukiran berbentuk nakas, selimpat (segi empat), temboga (seperti hiasan tembaga). Mega arak-arakan (awan mendung) dan dewala (hiasan serumpun bunga dengan kelopak yang runcing dan bintang_seperti teratai), merupakan hiasan. Pada kolom tembok keliling berupa arabesque berbentuk pola suluran mengikuti bentuk segi empat.
Mega arak-arakan yaitu hiasan arabesque berupa awan mendung yang dibentuk dari suluran sebagai hiasan sudut pada bingkai dinding. Dewamala merupakan hiasan yang berbentuk menara-menara kecil berjumlah dua belas buah di atas tembok keliling terutama di bagian sudut, berbentuk bunga dengan kelopak daunnya yang runcing menguncup. Menurut sumber bangunan ini dibuat oleh orang Turki atas perintah Sulthan.
Di sisi barat Taman Ghairah (Gunongan) terdapat Medan Khairani yang merupakan sebuah padang luas dan diisi dengan pasir dan kerikil, dikenal dengan nama kersik batu pelinggam. Sebagian besar lahannya kini digunakan sebagai Kherkoff. Kompleks makam ini digunakan untuk menguburkan prajurit Belanda yang gugur dalam Perang Aceh (1873-1942).
Dalam Taman Ghairah juga dibangun lima unit balai dengan halaman pada tiap-tiap balai beserta teknik pembangunan dan kelengkapan ragam hiasnya. Balai merupakan bangunan panggung terbuka yang dibangun dari kayu dengan fungsi yang berbeda-beda.
Balai-balai tersebut antara lain Balai Kambang yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan. Kemudian Balai Gading yang berfungsi sebagai pelaksanaan kenduri, Balai Rekaan Cina tempat peristirahatan yang dibangun oleh ahli bangunan dari Cina, Balai Keemasan tempat peristirahatan yang dilengkapi dengan pagar keliling dari pasir dan Balai Kembang Caya. Sayangnya, balai-balai yang disebutkan dalam kitab Bustanul Salatin saat ini sudah tidak ada yang tersisa.
Bangunan lain yang terdapat dalam Taman Ghairah ini adalah Pinto Khop (Pintu Biram Indrabangsa) yang secara bebas dapat diartikan dengan pintu mutiara keindraan atau kedewaan/raja-raja. Di dalam Busatanul Salatin disebut dengan Dewala.
Gerbang yang lebih dikenal dengan sebutan Pinto Khop ini merupakan pintu penghubung antara istana dengan Taman Ghairah. Pintu ini berukuran panjang 2 m, lebar 2 m dan tinggi 3 m. Pinto Khop ini terletak pada sebuah lembah sungai Darul Isyki (Krueng Daroy).
Dugaan sementara, tempat ini merupakan tebing yang disebutkan dalam Bustanul Salatin dan bersebelahan dengan sungai tersebut. Dengan adanya perombakan pada tata kota Banda Aceh dikemudian hari, Pinto Khop akhirnya tidak berada lagi dalam satu komplek dengan Taman Sari Gunongan (taman ini juga telah berubah dari arsitektur semula seperti yang digambarkan dalam kitab Bustanul Salatin).
Bangunan Pinto Khop dibuat dari bahan kapur dengan rongga sebagai pintu dan langit-langit berbentuk busur untuk dilalui dengan arah timur dan barat. Bagian atas pintu masuk berhiaskan dua tangkai daun yang disilang, sehingga menimbulkan fantasi (efek) figur wajah dengan mata dan hidung serta rongga pintu sebagai mulut.
Atap bangunan yang bertingkat tiga dihiasi dengan berbagai hiasan dalam bingkai-bingkai antara lain; biram berkelopak (mutiara di dalam kelopak bunga seperti yang ditemukan juga pada bangunan Gunongan) dan bagian puncak dihiasi dengan sangga pelinggam (mahkota berupa topi dengan bagian puncak meruncing).
Bagian atap merupakan pelana dengan modifikasi di empat sisi dan berlapis tiga. Pada sisi utara dan selatan dewala ini berkesinambungan dengan tembok tebal (tebal 50 m dan tinggi 130 meter) yang diduga merupakan pembatas antara lingkungan Dalam (kraton) dengan taman. Namun, lagi-lagi dikemudian hari tembok tersebut tidak diketemukan lagi akibat pembangunan tata ruang kota Banda Aceh.
Komplek Gunongan pernah di eskavasi (penggalian kepurbakalaan) oleh tim dari Direktorat Purbakala, Jakarta yang dipimpin oleh Hasan Muarif Ambary pada tahun 1976. Dalam eskavasi tersebut, ditemukan banyak kepingan-kepingan emas dan juga ditemukan sebuah keranda berlapiskan emas. Diperkirakan, keranda tersebut adalah milik Sultan Iskandar Thani, menantu Sultan Iskandar Muda.
Emas-emas hasil penggalian tersebut kemudian diboyong ke Jakarta untuk disimpan di Museum Nasional Jakarta dan sebahagiannya di Museum Negeri Aceh. Namun, tidak dijelaskan berapa jumlah kepingan emas yang ditemukan tersebut secara terperinci oleh pihak yang berwenang dalam sumber yang digunakan oleh penulis.
“….dan tiada-lah hamba panjangkan kata beberapa dari kekayaan Allah s.w.t yang gharib. Dan sakalian dalam taman itu daripada sarwa bagai buah-buahan daripada buah serbarasa, dan buah tufah, dan buah anggor, dan buah tin, dan delima, dan buah manggista, dan buah rambutan
http://harian-aceh.com/2011/08/26/gunongan-taman-ghairah-para-raja