Oleh Muhammad Yakub Yahya – Walaupun kita namakan hikayat, yang sebagian kisahnya memang cang panah, tapi sepenggal lainnya bisa sahih. Meskipun demikian, tidak bijak juga jika kita malas menyimaknya, untuk mengasah jiwa. Kisah ular tukang sihir Firaun yang ditelan tongkat Musa as, sungguh itu valid episodenya.
Sejenak, mari kita buka hikayat uleue dari Afrika yang lain. Sudan yang dibelah dua lewat referendum—utara dan selatan—oleh ulah “lidah ular bercabang” Barat yang mengobok-obok negara Timur dengan bisanya. Rakyat Tunisia yang sukses “mengusir” sang Presiden Zene Abidin bin Ali hingga harus “tidur” di Arab Saudi, yang berarti “kepala ular” sudah dipotong tapi “badan ular” dari kroni-kroninya masih meliuk-liuk di Tunisia. Mesir yang sedang berdarah-darah, menumbangkan Presiden Hosni Mubarak, menuju reformasi, bagaikan rakyat yang membangunkan “ular tidur” selama 32 tahun lebih dalam sarangnya, dan Mubarak turun. Kini Libya, Qadhafi akan ikut Mubarak.
Asia Barat juga tervirus revolusi ‘antitirani’. Di sini kita tidak pernah menyamakan semua tiran dan diktator itu persis kayak Firaun, dan sosok yang baik itu tidak kita samakan perisi dengan Nabi. Namun, baik di Asia dan Afrika, Eropa dan Amerika, selalu akan ada pertarungan antara Musa dan Firaun: nabi dan tiran, mukjizat dan sihir, kebenaran dan kezaliman, atau tongkat dan ular.
Alkisah, tatkala Hawa dan Adam as “mendarat” ke bumi, Benua Afrika dan kita di Aceh-Sumatera pasti masih sunyi dari anak manusia. Sebelum turun, setan menyerupai ular masuk ke surga dan menggoda nenek kita: konsumsikan khuldi, niscaya anda akan kekal. Namun tipu daya telah mengeluarkannya ke bumi. Putra putri Adam pun lahir, besar dan nikah sesama, ada yang mukmin dan ada yang kafir. Nabi Idris as, mungkin termasuk mukmin yang mula-mula mendiami utara Afrika, Mesir. Kendati wilayah dakwah “nabi penjahit” itu di benua yang ada Nil, piramida, dan mummi itu, tapi kuburan Idris bukan di Mesir, karena dia diangkat ke langit, menurut riwayat sahih, sebagaimana Isa bin Maryam as.
Masa Idris dan nabi lain menebar misi kenabian dan risalah kerasulan, berimanlah beberapa generasi di utara Afrika. Hingga tibalah satu generasi, yang kembali kufur kepada Allah; yang senang memakai pikiran liarnya; memelihara sihir melawan Nabi; calon generasi Firaun yang mendebat Eksistensi Tuhan, melawan mukjizat.
Benua-benua dan kepulauan belum ramai, tapi bah masa Nabi Nuh as amat dahsyat, hingga menenggelamkan wajah bumi, juga memusnahkan semua orang kafir di daratan mana pun, juga Afrika. Kurang dari 100 mukmin, Allah selamatkan di atas perahu kayu, “kapal pesiar” pertama, bersama hewan yang berpasang-pasangan, jantan-betina. Termasuk itik, merpati, anjing, dan babi, orang shalih kira-kira lima bulan tidak menginjak bumi, hingga perahu melabuh atas bukit Judi (QS. Hud (11) ayat 44), sekitar Armenia. Kan’an—putra Nuh yang durhaka, ayah Namruz—ikut ditelan banjir bersama rekan yang angkuh, meskipun ia putra Rasul, meski mendaki dan menaiki ke bukit tinggi.
Lain nasibnya dengan putra Nuh yang taat yang selamat—dalam cerita, itulah Sam (ayah Hud as), Ham, dan Yafiz. Yang pertama (Sam) hijrah ke timur, ke arah matahari terbit. Allah Maha Merancang dan Mendesain semua suku, bangsa, dan ras, hingga lahirlah postur Asia yang kuning langsat dan sawo matang, bersama bulu dan rambut yang lumayan lebat. Termasuk orang Aceh di Sumatera. Juga Arab, Cina, dan Melayu di seberang. Bahasa pun muncul kelak, seperti tulisan ini, huruf Latin (kiri ke kanan), selebihnya ada huruf Arab (kanan ke kiri) dan huruf Kanji (atas ke bawah). Mungkin bahasa tukang sihir Firaun yang bawah ke atas. Putra kedua Nuh merantau ke barat, sekitar Ethiopia (Abbessinia), tenggara Arab.
Rahmat Allah, aneh bin ajaib, kulit cucu dan cicitnya yang mendiami Benua Hitam, belakangan kian hitam (dan manis). Hitam dan putih kawin. Rakyat Amerika Latin dan Tengah, juga banyak yang berkulit hitam, campuran. Sebagiannya dijadikan budak. Sama halnya percampuran orang Afrika di bagian utara (misalnya Mesir, Aljazair, Marokko) dengan Arab (Asia), hingga kelihatan berkulit kuning dan putih. Sebagaimana juga lahir kulit putih di selatan Afrika, itulah buah pahit dari penjajahan salib.
Yafiz, putra lain Nuh hijrah ke utara, sekitar Yunani dan Turki, dan melahirkan postur tinggi berkulit putih. Sejarah cucunya pun pada abad pertengahan sempat kelam, saat Arab dan Selatan-Timur Eropa (Muslimin) cemerlang, dan pernah terang saat Islam giliran meredup. Hingga tiba kesempatan mereka membalas, dalih missi gereja, lantas menjajahlah ke seluruh sudut peta, menunggangi agamanya. Salibi dari Eropa seperti Inggris, menjajah Australia dan Amerika, hingga dua benua itu pun kini berkulit putih.
Hikayat Marcopolo yang dititah rajanya saja, kita masih butuh kejujuran ahli sejarah Barat, bahwa petualangan dia jauh lebih telat dari saudagar Islam yang sukses mengarungi Atlantik, hingga pernah mendirikan Negara Kuba—seperti nama Masjid Quba Spanyol, Andalusia—di Amerika Tengah. Aborigin dan Indian, ras pribumi yang malang, kini masih jadi kelas budak di negaranya, di bawah telapak negara Barat yang berkedok pelopor hak asasi. Bahasa di tanah jajahan pun, pasti bahasa (mantan) penjajah, Inggris misalnya.
Sebelum kolonial, mukmin lain yang hijrah dan berkarir di Afrika (Mesir), misalnya Nabi Yusuf bin Ya’qub as. Pria tampan dan shalih, korban kekerasan rumah tangga, korban fitnah istri raja itu, terus mengilhami banyak pujangga, baik politeis maupun monoteis, setelah dia tiada, untuk menulis kisah cintanya. Doa pernikahan kita pun, kita memohon semoga bahtera rumah tangga lengket kayak pernikahan Yusuf dan Zulaikha, orang Afrika itu. Luqmanul Hakim, filosof berkulit hitam yang bijaksana, jelas dari Afrika, di sekitar Sudan sana. Petuahnya diajarkan guru kita, hingga di kuliahan. Anekdot dari manusia hitam berhidung pesek dan berambut tipis itu, kala menuntun keledai bersama putranya menuju pasar, salah satu pesan: hidup selalu riuh dengan pengkritik, anakku!
Musa dan Harun as, dua saudara yang lama berdakwah di Afrika (Mesir). Akhir episodenya, usai mengawal Bani Israil agar tetap dalam ajaran Yahudi yang monoteis, supaya merdeka dari tirani Fir’aun, lantas mereka menyeberang Laut Merah. Doa saat perkawinan kita pun, sering juga, moga kita damai kayak Musa dan Siti Safura, warga Afrika. Buyut Nabi Yusuf, Siti Hajar as (istri kedua Ibrahim as setelah Siti Sarah as) ialah mukminat dari Afrika juga. Ritual haji, sebagiannya warisan mereka. Lagi-lagi, doa kita juga sama, moga pernikahan kita adem ayem kayak Ibrahim dengan Sarah dan Hajar. Ummul Mukminin, istri Nabi Muhammad saw, Maria al-Qibthiah ra, juga sosok jelita dari Mesir. Putra Nabi, Ibrahim yang meninggal balita, jelas beribukan wanita Afrika, Mariah dari Qibthy itu.
Kelak, ada sahabat yang azan di surga dengan suara merdunya, seperti Daud as, itulah Bilal bin Rabah ra. Budak Afrika ini dipanggil oleh surga untuk memasukinya, saat sosok hitamnya masih berjalan-jalan di Arab. Juga Ammar yang hitam, asal Afrika. Ummu Aiman, ibunda Aiman, pengasuh Nabi saw, juga dari Afrika yang juga shalihah. Putranya yang lain, Usamah bin Zaid, salah satu syuhada dalam Perang Hunai, keturunan Afrika yang hitam, tapi bergelar Panglima Perang zamannya. Misi Nabi setelah ke Thaif itulah ke Habsyi (Ethiopia), Afrika itu amat populer. Habsyi (Habsyah) adalah sebutan orang Arab untuk Negara Ethiopia atau Abbessinia sekarang. Saat Rasulullah hidup, Raja Ashimah Bahri yang bergelar Raja Najasyi (Negus) memerintah di sana. Mayoritas rakyat saat itu menganut Nasrani. Suku yang paling banyak itulah Abbyssinia. Najasyi meninggal, Rasulullah shalat ghaib, sebab dia memang menyembunyikan keimanannya, di Afrika.
Menurut sebuah riwayat, negeri tetangga Sudan, Ethiopia itu, didirikan oleh Raja Askun. Dalam rujukan lain, ia didirikan oleh Menelik I. Dalam kisah lain, negara di timur laut Afrika ini didirikan oleh Raja Sulaiman bin Daud as. Lalu abad ke 4 masehi, Habsyi dikristenkan oleh missionaris, dan awal abad ke 7 diislaman oleh da’i dari Arab. Pengislaman inilah yang ada relevansinya dengan hijrah sahabat Nabi ke sana, yang jumlahnya kayak muatan perahu Nuh, muhajirin awal itu tak ampai 100 jiwa. Lebih 10 abad, benua yang kaya raya mineral itu pernah 70% warganya Muslimin, dan telah menggiurkan kafir menjajah. Sekitar abad 17 hingga 19 masehi, sebagian Afrika dikristenkan lagi oleh Barat dengan siasat yang paling biadab: usai dilaparkan lalu dipaksakan menukarkan aqidah Islam. Sebagian warga tetap beriman hingga meninggal dalam kekurusannya, mengikuti jejak Bilal dan Yassir, mukiminin hitam berhati putih. Hingga abad modern, pemerintahan di beberapa negara di Benua Hitam yang berpopulasi Islam itu merdeka, juga banyak yang nasionalis dan sekuler, warisan penjajah. Mesir dan Nigeria misalnya.
Ada banyak jaringan sejarah Afrika—keturunan Ham bin Nuh—dengan Aceh –kampung kita, keturunan Sam bin Nuh. Putri sulung Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yakni Sulthanah Safiatuddin (kakak Meurah Popok), juga beribukan jelita Afrika nan hitam manis, menurut Drs Tgk Ameer Hamzah, dalam ceramah shubuh di Masjid Raya Baiturrahman (1/7/2010). Ketika Iskandar Muda menjadi bagian dari Angkatan Laut Raja Aceh, gabungan Aceh-Turki yang akrab melabuh di lautan dan merapat di pelabuhan, dipertemukan dengan gadis Afrika, hingga menjadi permaisurinya, masya Allah. Jadi, dulu seorang gadis Afrika menyumbangkan seorang Sulthanah, Sri Ratu Safiatuddin (1641-1675)—istri Iskandar Tsani (1636-1641) itu, lewat petualangan dan perjuangan, tapi kini orang Aceh cuma asyik menyumbangkan sangak dan raheung misal dengan nonton bola ke Afrika tahun lalu, atau liga demi liga, mungkin dalam kemalasannya dan mimpinya. Dulu, Nabi dengan mukjizat bertarung dengan sihir, kini kita bersama syariat sebagai rahmat bertarung dengan setan dan bala yang sedang mencari alamat. Wallahu a’lam.[]
*Penulis Direktur TPQ Plus Baiturrahman Banda Aceh dan Dewan Redaksi Majalah Santunan Kanwil Kemenag Aceh.
http://harian-aceh.com/2011/02/25/hikayat-uleue-dari-afrika
Sejenak, mari kita buka hikayat uleue dari Afrika yang lain. Sudan yang dibelah dua lewat referendum—utara dan selatan—oleh ulah “lidah ular bercabang” Barat yang mengobok-obok negara Timur dengan bisanya. Rakyat Tunisia yang sukses “mengusir” sang Presiden Zene Abidin bin Ali hingga harus “tidur” di Arab Saudi, yang berarti “kepala ular” sudah dipotong tapi “badan ular” dari kroni-kroninya masih meliuk-liuk di Tunisia. Mesir yang sedang berdarah-darah, menumbangkan Presiden Hosni Mubarak, menuju reformasi, bagaikan rakyat yang membangunkan “ular tidur” selama 32 tahun lebih dalam sarangnya, dan Mubarak turun. Kini Libya, Qadhafi akan ikut Mubarak.
Asia Barat juga tervirus revolusi ‘antitirani’. Di sini kita tidak pernah menyamakan semua tiran dan diktator itu persis kayak Firaun, dan sosok yang baik itu tidak kita samakan perisi dengan Nabi. Namun, baik di Asia dan Afrika, Eropa dan Amerika, selalu akan ada pertarungan antara Musa dan Firaun: nabi dan tiran, mukjizat dan sihir, kebenaran dan kezaliman, atau tongkat dan ular.
Alkisah, tatkala Hawa dan Adam as “mendarat” ke bumi, Benua Afrika dan kita di Aceh-Sumatera pasti masih sunyi dari anak manusia. Sebelum turun, setan menyerupai ular masuk ke surga dan menggoda nenek kita: konsumsikan khuldi, niscaya anda akan kekal. Namun tipu daya telah mengeluarkannya ke bumi. Putra putri Adam pun lahir, besar dan nikah sesama, ada yang mukmin dan ada yang kafir. Nabi Idris as, mungkin termasuk mukmin yang mula-mula mendiami utara Afrika, Mesir. Kendati wilayah dakwah “nabi penjahit” itu di benua yang ada Nil, piramida, dan mummi itu, tapi kuburan Idris bukan di Mesir, karena dia diangkat ke langit, menurut riwayat sahih, sebagaimana Isa bin Maryam as.
Masa Idris dan nabi lain menebar misi kenabian dan risalah kerasulan, berimanlah beberapa generasi di utara Afrika. Hingga tibalah satu generasi, yang kembali kufur kepada Allah; yang senang memakai pikiran liarnya; memelihara sihir melawan Nabi; calon generasi Firaun yang mendebat Eksistensi Tuhan, melawan mukjizat.
Benua-benua dan kepulauan belum ramai, tapi bah masa Nabi Nuh as amat dahsyat, hingga menenggelamkan wajah bumi, juga memusnahkan semua orang kafir di daratan mana pun, juga Afrika. Kurang dari 100 mukmin, Allah selamatkan di atas perahu kayu, “kapal pesiar” pertama, bersama hewan yang berpasang-pasangan, jantan-betina. Termasuk itik, merpati, anjing, dan babi, orang shalih kira-kira lima bulan tidak menginjak bumi, hingga perahu melabuh atas bukit Judi (QS. Hud (11) ayat 44), sekitar Armenia. Kan’an—putra Nuh yang durhaka, ayah Namruz—ikut ditelan banjir bersama rekan yang angkuh, meskipun ia putra Rasul, meski mendaki dan menaiki ke bukit tinggi.
Lain nasibnya dengan putra Nuh yang taat yang selamat—dalam cerita, itulah Sam (ayah Hud as), Ham, dan Yafiz. Yang pertama (Sam) hijrah ke timur, ke arah matahari terbit. Allah Maha Merancang dan Mendesain semua suku, bangsa, dan ras, hingga lahirlah postur Asia yang kuning langsat dan sawo matang, bersama bulu dan rambut yang lumayan lebat. Termasuk orang Aceh di Sumatera. Juga Arab, Cina, dan Melayu di seberang. Bahasa pun muncul kelak, seperti tulisan ini, huruf Latin (kiri ke kanan), selebihnya ada huruf Arab (kanan ke kiri) dan huruf Kanji (atas ke bawah). Mungkin bahasa tukang sihir Firaun yang bawah ke atas. Putra kedua Nuh merantau ke barat, sekitar Ethiopia (Abbessinia), tenggara Arab.
Rahmat Allah, aneh bin ajaib, kulit cucu dan cicitnya yang mendiami Benua Hitam, belakangan kian hitam (dan manis). Hitam dan putih kawin. Rakyat Amerika Latin dan Tengah, juga banyak yang berkulit hitam, campuran. Sebagiannya dijadikan budak. Sama halnya percampuran orang Afrika di bagian utara (misalnya Mesir, Aljazair, Marokko) dengan Arab (Asia), hingga kelihatan berkulit kuning dan putih. Sebagaimana juga lahir kulit putih di selatan Afrika, itulah buah pahit dari penjajahan salib.
Yafiz, putra lain Nuh hijrah ke utara, sekitar Yunani dan Turki, dan melahirkan postur tinggi berkulit putih. Sejarah cucunya pun pada abad pertengahan sempat kelam, saat Arab dan Selatan-Timur Eropa (Muslimin) cemerlang, dan pernah terang saat Islam giliran meredup. Hingga tiba kesempatan mereka membalas, dalih missi gereja, lantas menjajahlah ke seluruh sudut peta, menunggangi agamanya. Salibi dari Eropa seperti Inggris, menjajah Australia dan Amerika, hingga dua benua itu pun kini berkulit putih.
Hikayat Marcopolo yang dititah rajanya saja, kita masih butuh kejujuran ahli sejarah Barat, bahwa petualangan dia jauh lebih telat dari saudagar Islam yang sukses mengarungi Atlantik, hingga pernah mendirikan Negara Kuba—seperti nama Masjid Quba Spanyol, Andalusia—di Amerika Tengah. Aborigin dan Indian, ras pribumi yang malang, kini masih jadi kelas budak di negaranya, di bawah telapak negara Barat yang berkedok pelopor hak asasi. Bahasa di tanah jajahan pun, pasti bahasa (mantan) penjajah, Inggris misalnya.
Sebelum kolonial, mukmin lain yang hijrah dan berkarir di Afrika (Mesir), misalnya Nabi Yusuf bin Ya’qub as. Pria tampan dan shalih, korban kekerasan rumah tangga, korban fitnah istri raja itu, terus mengilhami banyak pujangga, baik politeis maupun monoteis, setelah dia tiada, untuk menulis kisah cintanya. Doa pernikahan kita pun, kita memohon semoga bahtera rumah tangga lengket kayak pernikahan Yusuf dan Zulaikha, orang Afrika itu. Luqmanul Hakim, filosof berkulit hitam yang bijaksana, jelas dari Afrika, di sekitar Sudan sana. Petuahnya diajarkan guru kita, hingga di kuliahan. Anekdot dari manusia hitam berhidung pesek dan berambut tipis itu, kala menuntun keledai bersama putranya menuju pasar, salah satu pesan: hidup selalu riuh dengan pengkritik, anakku!
Musa dan Harun as, dua saudara yang lama berdakwah di Afrika (Mesir). Akhir episodenya, usai mengawal Bani Israil agar tetap dalam ajaran Yahudi yang monoteis, supaya merdeka dari tirani Fir’aun, lantas mereka menyeberang Laut Merah. Doa saat perkawinan kita pun, sering juga, moga kita damai kayak Musa dan Siti Safura, warga Afrika. Buyut Nabi Yusuf, Siti Hajar as (istri kedua Ibrahim as setelah Siti Sarah as) ialah mukminat dari Afrika juga. Ritual haji, sebagiannya warisan mereka. Lagi-lagi, doa kita juga sama, moga pernikahan kita adem ayem kayak Ibrahim dengan Sarah dan Hajar. Ummul Mukminin, istri Nabi Muhammad saw, Maria al-Qibthiah ra, juga sosok jelita dari Mesir. Putra Nabi, Ibrahim yang meninggal balita, jelas beribukan wanita Afrika, Mariah dari Qibthy itu.
Kelak, ada sahabat yang azan di surga dengan suara merdunya, seperti Daud as, itulah Bilal bin Rabah ra. Budak Afrika ini dipanggil oleh surga untuk memasukinya, saat sosok hitamnya masih berjalan-jalan di Arab. Juga Ammar yang hitam, asal Afrika. Ummu Aiman, ibunda Aiman, pengasuh Nabi saw, juga dari Afrika yang juga shalihah. Putranya yang lain, Usamah bin Zaid, salah satu syuhada dalam Perang Hunai, keturunan Afrika yang hitam, tapi bergelar Panglima Perang zamannya. Misi Nabi setelah ke Thaif itulah ke Habsyi (Ethiopia), Afrika itu amat populer. Habsyi (Habsyah) adalah sebutan orang Arab untuk Negara Ethiopia atau Abbessinia sekarang. Saat Rasulullah hidup, Raja Ashimah Bahri yang bergelar Raja Najasyi (Negus) memerintah di sana. Mayoritas rakyat saat itu menganut Nasrani. Suku yang paling banyak itulah Abbyssinia. Najasyi meninggal, Rasulullah shalat ghaib, sebab dia memang menyembunyikan keimanannya, di Afrika.
Menurut sebuah riwayat, negeri tetangga Sudan, Ethiopia itu, didirikan oleh Raja Askun. Dalam rujukan lain, ia didirikan oleh Menelik I. Dalam kisah lain, negara di timur laut Afrika ini didirikan oleh Raja Sulaiman bin Daud as. Lalu abad ke 4 masehi, Habsyi dikristenkan oleh missionaris, dan awal abad ke 7 diislaman oleh da’i dari Arab. Pengislaman inilah yang ada relevansinya dengan hijrah sahabat Nabi ke sana, yang jumlahnya kayak muatan perahu Nuh, muhajirin awal itu tak ampai 100 jiwa. Lebih 10 abad, benua yang kaya raya mineral itu pernah 70% warganya Muslimin, dan telah menggiurkan kafir menjajah. Sekitar abad 17 hingga 19 masehi, sebagian Afrika dikristenkan lagi oleh Barat dengan siasat yang paling biadab: usai dilaparkan lalu dipaksakan menukarkan aqidah Islam. Sebagian warga tetap beriman hingga meninggal dalam kekurusannya, mengikuti jejak Bilal dan Yassir, mukiminin hitam berhati putih. Hingga abad modern, pemerintahan di beberapa negara di Benua Hitam yang berpopulasi Islam itu merdeka, juga banyak yang nasionalis dan sekuler, warisan penjajah. Mesir dan Nigeria misalnya.
Ada banyak jaringan sejarah Afrika—keturunan Ham bin Nuh—dengan Aceh –kampung kita, keturunan Sam bin Nuh. Putri sulung Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yakni Sulthanah Safiatuddin (kakak Meurah Popok), juga beribukan jelita Afrika nan hitam manis, menurut Drs Tgk Ameer Hamzah, dalam ceramah shubuh di Masjid Raya Baiturrahman (1/7/2010). Ketika Iskandar Muda menjadi bagian dari Angkatan Laut Raja Aceh, gabungan Aceh-Turki yang akrab melabuh di lautan dan merapat di pelabuhan, dipertemukan dengan gadis Afrika, hingga menjadi permaisurinya, masya Allah. Jadi, dulu seorang gadis Afrika menyumbangkan seorang Sulthanah, Sri Ratu Safiatuddin (1641-1675)—istri Iskandar Tsani (1636-1641) itu, lewat petualangan dan perjuangan, tapi kini orang Aceh cuma asyik menyumbangkan sangak dan raheung misal dengan nonton bola ke Afrika tahun lalu, atau liga demi liga, mungkin dalam kemalasannya dan mimpinya. Dulu, Nabi dengan mukjizat bertarung dengan sihir, kini kita bersama syariat sebagai rahmat bertarung dengan setan dan bala yang sedang mencari alamat. Wallahu a’lam.[]
*Penulis Direktur TPQ Plus Baiturrahman Banda Aceh dan Dewan Redaksi Majalah Santunan Kanwil Kemenag Aceh.
http://harian-aceh.com/2011/02/25/hikayat-uleue-dari-afrika