NURMI sedang mengaduk kopi, bunyi gemericik dan suara berisik stainless timbul sendok dan ceret yang beradu. Di depannya ada sepuluh gelas plastik berjejer siap menampung minuman racikan perempuan itu. “Jak tajep kupi!” ajak Nurmi. Dia bergegas meletakkan hidangannya di atas rumput hijau di halaman sebuah balai kayu..
Nurmi adalah ketua kelompok wirid perempuan di Gampong Sagoe, Trienggadeng. Usianya 42 tahun. Pada pagi Jumat (18/2) itu, kelompok wirid Bale Mon Teungku yang dipimpinnya sedang melakukan gotong-royong memugar dan memindah balai pengajian yang selama ini digunakan kelompoknya dalam belajar ilmu agama Islam dan wiridan.
Tampak kekayuan yang membentuk balai yang memiliki lebar 4 meter dan panjang 6 meter itu telah lapuk dilalap rayap dan waktu. Hari itu, sekitar lima belas perempuan paruh baya yang berpeluh secara partisipatif mengangkat bangunan lapuk itu selangkah demi selangkah, mereka ikut dibantu oleh empat pria paruh baya yang punya andil dalam pekerjaan rehab. Pemindahan itu sejarak 10 meter dari tempat semula, lalu menambatnya di pinggir jalan rabat beton di Dusun Balee Mon Teungku.
Banyak kayu bangunan itu yang harus diganti. Kayu yang menjadi bagian dinding balai itu telah dengan mudah terkelupas pada saat dilakukan pengangkatan. “Kami akan gunakan kayu bekas barak tsunami untuk rehabilitasi ini,” ujar Nurmi, jarinya menunjuk pada setumpuk kayu di bagian belakang sisa bangunan barak sementara korban tsunami waktu itu. Hingga saat ini tercatat sekitar 40 ibu-ibu di dusun Balee Mon Teungku menjadi anggota wirid, mereka wiridan setiap Rabu.
“Kalau menunggu bantuan dari pemerintah, bisa-bisa balai kenangan ini punah dan tidak ada lagi jejak perjuangan Tgk. Ulee Gle yang tersisa,” kata Nurmi yang mengaku bukan murid Tgk. Ulee Gle secara langsung. “Kami mendengar Tgk. Ulee Gle yang mendirikan balai ini dari orang tua kami, beliau adalah seorang pejuang pada saat perang muslimin dulu,” lanjutnya.
Harian Aceh yang ingin menggali lebih dalam tentang ketokohan Tgk Ulee Gle tidak memperoleh data yang mendalam dan rinci. Dari cerita pada Jumat menjelang siang itu, Aminah, seorang ibu paruh baya yang mengaku rumah orang tuanya berdekatan dengan tempat pengajian Tgk. Ulee Gle menjelaskan kalau Tgk Ulee Gle itu bukan teungku yang berasal dari daerah Ulee Gle (Nama Gampong di Kecamatan Bandar Dua-Red), namun dipanggil Tgk Ulee Gle dikarenakan ulama tersebut dimakamkan di atas gunung yang terletak di sebelah kiri Bale Mon Teungku. “Karena kubu gobnyan di ateuh gle, kon dari Ulee Gle. Gobnyan Syahid watee prang ngon Beulanda,” cerita Aminah. Sepengetahuannya, tidak ada yang tahu siapa nama asli ulama yang mulia itu.
Disebut Balee Mon Teungku karena di depan balai pengajian yang didirikan ulama itu terdapat sebuah sumur yang konon diceritakan tidak pernah kering, walau pada musim kemarau menghadang. Pada waktu yang tidak diketahui secara pasti oleh kelompok Wirid Mon Teungku itu, dikisahkan dahulu kala di balai pengajian yang kini mereka gunakan itu telah terjadi sebuah proses belajar mengajar tentang Islam dan teknik peperangan dalam melawan penjajahan Belanda yang berhasil mengekspansi Trienggadeng dan beberapa wilayah di seluruh Nanggroe Aceh.
Sudah lumrah, Aceh punya banyak historis yang tidak tercatat, ada banyak situs-situs bersejarah yang punah. Ditengah Pidie Jaya yang sedang membangun, Aminah punya pesan tersendiri, “Bek sagai tanyoe tuwoe keu ulama gon peujuang,” Aminah menengguk kopi dalam cangkir merahnya.(Arif Surahman)
http://harian-aceh.com/2011/02/24/memugar-kenangan-bale-mon-teungku
Nurmi adalah ketua kelompok wirid perempuan di Gampong Sagoe, Trienggadeng. Usianya 42 tahun. Pada pagi Jumat (18/2) itu, kelompok wirid Bale Mon Teungku yang dipimpinnya sedang melakukan gotong-royong memugar dan memindah balai pengajian yang selama ini digunakan kelompoknya dalam belajar ilmu agama Islam dan wiridan.
Tampak kekayuan yang membentuk balai yang memiliki lebar 4 meter dan panjang 6 meter itu telah lapuk dilalap rayap dan waktu. Hari itu, sekitar lima belas perempuan paruh baya yang berpeluh secara partisipatif mengangkat bangunan lapuk itu selangkah demi selangkah, mereka ikut dibantu oleh empat pria paruh baya yang punya andil dalam pekerjaan rehab. Pemindahan itu sejarak 10 meter dari tempat semula, lalu menambatnya di pinggir jalan rabat beton di Dusun Balee Mon Teungku.
Banyak kayu bangunan itu yang harus diganti. Kayu yang menjadi bagian dinding balai itu telah dengan mudah terkelupas pada saat dilakukan pengangkatan. “Kami akan gunakan kayu bekas barak tsunami untuk rehabilitasi ini,” ujar Nurmi, jarinya menunjuk pada setumpuk kayu di bagian belakang sisa bangunan barak sementara korban tsunami waktu itu. Hingga saat ini tercatat sekitar 40 ibu-ibu di dusun Balee Mon Teungku menjadi anggota wirid, mereka wiridan setiap Rabu.
“Kalau menunggu bantuan dari pemerintah, bisa-bisa balai kenangan ini punah dan tidak ada lagi jejak perjuangan Tgk. Ulee Gle yang tersisa,” kata Nurmi yang mengaku bukan murid Tgk. Ulee Gle secara langsung. “Kami mendengar Tgk. Ulee Gle yang mendirikan balai ini dari orang tua kami, beliau adalah seorang pejuang pada saat perang muslimin dulu,” lanjutnya.
Harian Aceh yang ingin menggali lebih dalam tentang ketokohan Tgk Ulee Gle tidak memperoleh data yang mendalam dan rinci. Dari cerita pada Jumat menjelang siang itu, Aminah, seorang ibu paruh baya yang mengaku rumah orang tuanya berdekatan dengan tempat pengajian Tgk. Ulee Gle menjelaskan kalau Tgk Ulee Gle itu bukan teungku yang berasal dari daerah Ulee Gle (Nama Gampong di Kecamatan Bandar Dua-Red), namun dipanggil Tgk Ulee Gle dikarenakan ulama tersebut dimakamkan di atas gunung yang terletak di sebelah kiri Bale Mon Teungku. “Karena kubu gobnyan di ateuh gle, kon dari Ulee Gle. Gobnyan Syahid watee prang ngon Beulanda,” cerita Aminah. Sepengetahuannya, tidak ada yang tahu siapa nama asli ulama yang mulia itu.
Disebut Balee Mon Teungku karena di depan balai pengajian yang didirikan ulama itu terdapat sebuah sumur yang konon diceritakan tidak pernah kering, walau pada musim kemarau menghadang. Pada waktu yang tidak diketahui secara pasti oleh kelompok Wirid Mon Teungku itu, dikisahkan dahulu kala di balai pengajian yang kini mereka gunakan itu telah terjadi sebuah proses belajar mengajar tentang Islam dan teknik peperangan dalam melawan penjajahan Belanda yang berhasil mengekspansi Trienggadeng dan beberapa wilayah di seluruh Nanggroe Aceh.
Sudah lumrah, Aceh punya banyak historis yang tidak tercatat, ada banyak situs-situs bersejarah yang punah. Ditengah Pidie Jaya yang sedang membangun, Aminah punya pesan tersendiri, “Bek sagai tanyoe tuwoe keu ulama gon peujuang,” Aminah menengguk kopi dalam cangkir merahnya.(Arif Surahman)
http://harian-aceh.com/2011/02/24/memugar-kenangan-bale-mon-teungku