Sabtu, 22 Oktober 2011

Kettingbereb di Aceh

Untuk membantu serangan ke Aceh, ratusan pekerja paksa dikirim dari Jawa. Belanda menyebutnya beer, beeren atau kettingbereb. Orang Aceh menyebutnya Simeuranté. Orang-orang yang dirantai. 
Oleh Iskandar Norman
Simeurante
Simeurante.(ist)
Pada agresi pertama Belanda ke Aceh. Bersama 2.100 tentara pribumi dari Jawa, Belanda mengikutsertakan 1.000 orang hukuman sebagai pekerja. 220 diantarnya wanita. Keberadaan mere di Aceh selains ebagai pekerja paksa yang membangun rel kereta api, juga pennagkut logistik. Sebagian dari budak asal Jawa itu meninggal karena letih dan lapar.
Dalam buku “Atjeh” H C Zentgraaff mengatakan, kuburan para pekerja paksa itu dibuat seadanya. Malah tak jarang mayat-mayat orang hukuman itu dibiarkan tergeletak begitu saja. “Mayat-mayat itu ada yang jadi makanan binatang buas,” tulis Zentgraaff.
Media-media Belanda mengakui keberadaan orang hukuman dari Jawa itu. De Nieuwe Rotterdamsche Couran misalnya. Pada edisi Januari 1983 koran itu menulis. “Usaha yang lainnya adalah usaha-usaha dalam pekerjaan umum, membangun dinas-dinas angkutan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan ekspedisi di wilayah yang akan memberikan sahamnya bagi sejarah kettingbereb (pekerja-pekerja paksa) dalam pekerjaan menentramkan daerah-daerah dan membuka berbagai daerah.”
Selain memngangkut logistik tentara, mereka juga sering dijadikan tameng saat perang di daerah-daerah pedalaman, malah ada yang ikut berperang. Sebagai upah, mereka hanya mengharapkan keringanan hukuman, atau bahkan dibebaskan dari status budak.
Kadang kala untuk resiko yang sangat besar sekalipun, para pekerja paksa itu mempertaruhkan nyawanya, hanya untuk mendapatkan sebatang rokok dari marsose. Lebih beruntung bila mereka diberikan baju bekas milik tentara Belanda tersebut.
Ketika tentara Belanda (Indiche Leger) baru memiliki 18 batalion infantri di Aceh, para pekerja paksa itu yang mengorbankan segalanya untuk mendapat sedikit hadiah atau dikurangi masa hukuman. Kumpulan pekerja paksa ini dijuluki sebagai batalion ke 19 atau batalion merah, sesuai dengan baju yang mereka pakai.

Peristiwa di Meureudu

Saat pos Belanda di Meureudu terkepung pada tahun 1899. Komandan Belanda sangat khawatir karena tidak mampu menghadang serbuan gerilyawan Aceh. Padahal dalam benteng itu terdapat 150 pasukan Belanda yang segar bugar.
Komandan Belanda di Meureudu pun kemudian meminta kepada seorang pekerja paksa (beer) asal Madura untuk mengantarkan surat mohon bantuan tambahan pasukan dari pos Belanda di Panteraja. Beer tersebut harus berlari seorang diri menerobos semak belukar dan menyebrangi tiga sungai (krueng), mulai dari Krueng Beuracan, Krueng Tringgadeng dan Krueng Panteraja.
Dengan wajah letih dan badan penuh goresan duri. Esok pagi beer tersebut berhasil menyampaikan surat itu ke pos Penteraja. Dalam keadaan gawat seperti itu Belanda kemudian mengirim delapan brigade morsase dari Pidie menuju Meureudu.
Para masrsose di Panteraja terkehut ketika mereka sedang mandi muncur beer pengantari surat itu dari dalam air. Ia segera bertanya dimana kapten pasukan Panteraja. Setelah dipertemukan, ia pun mengelurkan sebuah lipatan surat dari dalam ikatan kepalanya. “Dari komandan Mardu (Meureudu-red) kepada tuan komandan Marsose,” kata beer tersebut sambil menyerahkan surat itu.
Dalam surat itu komandan Marsose di Meureudu memberitahukan bahwa dia sudah tidak tidak mempunyai opsir-opsir lagi, dan serdadu-serdadu dalam pos tersebut sudah luntur semangatnya akibat digempur pasukan Aceh.
Beer yang berhasil membawa surat itu kondisinya sangat memprihatinkan, karena keletihan setelah menyerahkan surat itu, ia jatuh pingsan. Ketika sadar kepadanya kemudian diberikan semangkuk coklat, roti dan sepotong daging tebal sebagai imbalan.
Seorang pekerja paksa maklum, bahwa dengan berhasilnya melaksanakan tugas yang berani seperti itu, sudah dapat dipastikan kebebasan penuh. “Namun beberapa banyak dari mereka itu yang tidak pernah dapat kembali dari menjalankan perintah seperti itu? Siapa yang dapat mengetahui bagaimana cara kematian mereka?” tulis Zentgraaff.

Diadu Sesama Beer

Para pekerja paksa (Beer) dari Jawa yang bekerja untuk Belanda di Aceh, kadang bersikap licik dan culas untuk sedikit mengurangi beban kerjanya. Tapi kemudian mereka diadu domba dengan mengangkat seorang mandor dari kalangan beer itu sendiri untuk mengawasi dan menghukum mereka-mereka yang licik.
Hal ini kerap terjadi pada pekerja paksa rombongan transport yang membawa perbekalan dan barang kebutuhan (logistik) marsose ke suatu wilayah. Seperti yang terjadi pada rombongan transpor pimpinan Letnan Jenae yang dikenal sebagai komandan kecil, tuan si cabe rawit.
Jenae merupakan seorang letnan yang masih muda. Pada tahun 1905, dengan kekuatan dua pasukan infantri bersenjata 40 karaben dengan bayonet, mengawasi 400 orang pekerja paksa dari Kuala Simpang ke Penampaan, Blang Kejeren. Barisan pekerja paksa yang mengagkut barang-barang tersebut panjangnya melebihi satu kilometer dan diawasi oleh 40 tentara. Jeane berpendapat sepuluh pekerja paksa diawasi oleh seorang tentara bersenjata.
Para pekerja paksa itu mengangkut jenever (minuman keras-red) untuk para marsose di medan perang, berkaleng-kaleng minyak tanah untuk pasukan di bivak-bivak. Barang bawaan itu tentu sangat memberatkan para pekerja paksa. Dengan mendaki gunung dan menuruni lembah, mereka memikul beban berat itu.  Di punggung mereka barang-barang tersebut diikatkan.
Namun para pekerja paksa yang licik dengan segala cara membuat agar muatan barang yang dibawanya itu berkurang sedikit demi sedikit. Kaleng-kaleng minyak dibuatnya menjadi bocor dengan cara menumbukkan benda keras dan tajam ke kaleng minyak itu, sehingga sedikit demi sedikit minyak itu tumpah.
Begitu juga dengan minuman keras. Poci-poci jenever dibuat berkuarang isinya sedikit demi sedikit. Sementara tenda-tenda perkemahan yang mereka angkut, yang merupakan barang bawaan yang paling dibenci para beer karena besar dan berat, sering dihanyutkan saat menyeberangi sungai. Sehingga ketika sampai ke tujuan barang bawaan mereka tinggal setengahnya saja.
Letnan Jenae kemudian membuat peraturan baru bagi para pekerja paksa penangkut logistik tersebut. Pekerja paksa yang dianggap paling brandal dan ditakuti diangkatnya sebagai mandor untuk mengawasi para pekerja paksa lainnya. Kepada para mandor itu diberi tanggungjawab menjaga agar barang bawaan tidak berkurang satu pun.
Setelah berjalan beberapa hari, pasukan Jenae yang mengawasi 400 pekerja paksa itu kemudian tiba di Brawang Tingkeum, suatu daerah yang diankap angker waktu itu. Di sana mereka harus menyebrangi sungai Wih Ni Oreng. Dari seberang sungai, mereka ditembaki oleh para pejuang Aceh.
Para pekerja paksa yang terjebak dalam sungai saling berpegangan tangan agar tidak hanyut. Sementara 40 tentara Belanda pimpinan Letnan Jenae yang mengawasi pekerja paksa tersebut membalas tembakan para pejuang Aceh yang berada di tebing sungai.
Sementara para pekerja paksa yang membawa barang yang berada paling belakang tidak mendapat pengamanan. Dari rumput alang-alang 20 orang Gayo keluar menyerang dan merampas barang bawaan para pekerja paksa itu.

Kisah si Kimun

Zentgraaff sangat terkesan dengan Kimun, ia dibawa ke Aceh pada tahun 1896 sebagai pekerja paksa dengan hukuman 20 tahun. Kimun berada di Aceh pada masa Teuku Umar melakukan taktik menipu Belanda dengan menyerah pura-pura. Setelah Teuku Umar menyebrang dan memimpin kembali perlawnaan rakyat Aceh terehadap Belanda, Kimun menawarkan dirinya untuk menembus daerah kepungan pasukan Aceh untuk mengantar surat kepada pasukan Belanda di daerah lain.
Tindakan itu diambil Kimun agar Belanda mengurangi masa hukumannya di Aceh dan dia berharap bisa segera dipulangkan ke Jawa. Namun ia Kimun yang menjadi kurir pengantar surat tersebut ditangkap oleh gerilyawan Teuku Umar. Ia mengalami luka parah, badannya yang penuh sabetan pedang dibuang ke sungai.
Dalam keadaan yang hampir tak bernyawa lagi itu, tubuh Kimun ditemukan Belanda terapung di pinggir sungai di daerah Lambaro, Aceh Besar. Belanda kemudian merawat dan mengobatinya. Meski ia gagal mengantar surat, namun ia kemudian dibebaskan dari hukuman. Ia diperbolehkan untuk kembali ke Jawa.
Tapi Kimun menolaknya, karena merasa dendam terhadap orang Aceh yang menyiksanya dengan sabetan pedang dan membuang tubuhnya yang hampir mati ke sungai. Ia tetap tinggal di Aceh dan bekerja sebagai “jongos” pada Grasfland, seorang opsir Belanda.
Ketika Grasfland meninggal, Kimun pindah ke rumah opsir lainnya dan tetap bekerja sebagai “jongos” di Lhokseumawe. Pada suatu hari, ia membeli sebotol limun di Keude Cina, ketika ia hendak minum, seorang polisi datang hendak menangkapnya, karena mengira ia pekerja paksa yang lari dari tugas. Kimun kemudian memukul kepala polisi itu dengan botol limun tersebut.
Atas perbuatannya itu Kimun kemudian dihukum sepuluh tahun. Ia kemudian dikirim ke Jambi sebagai pekerja paksa. Dari Jambi kemudian dia dibawa ke Menado. Dari sana ia kemudian dibawa ke Surabaya dan dibebaskan dari sisa hukumannya.
Namun disana ia meminta kepada Velman, opsir Belanda yang pernah bertugas di Aceh, agar ia dibawa kembali ke Aceh. Veltman pun menerimanya. Ia dipekerjakan sebagai jongos masak memasak di Tapaktuan.
Karena pembawaannya yang agresif itu, Kimun tidak lama berada di Tapaktuan, karena Veltman tak ingin Kimun mengalami gangguan mental akibat traumanya dengan orang-orang Aceh. Ia kemudian diambil oleh Hein Meijer, seorang Belanda, kadet perang di Aceh. Namun disana pun ia membuat masalah sehingga Meijer menghukumnya. Kimun jadi mati kutu dan tanpa pikir panjang dari Tapaktuan kemudian ia mertas pegunungan menuju Sigli. Tak jelas bagaimana nasibnya kemudian dalam perjalanan tersebut.

Beer di Rel Trem

Orang hukuman dari Pulau Jawa yang dibawa ke Aceh, tidak hanya menderita karena kerja paksa dan kelaparan. Sebagian ada yang meninggal karena dicambuk karena ketahuan mencuri.
H C Zentgraaff, manggambarkan penderitaan pekerja paksa tersebut, yang sehari-hari dipanggil dengan nama binatang; si babi lanang. Sebagian besar pekerja paksa pada kelompok ini mati secara mengenaskan di rimba-rimba Aceh. Mayat mereka pun dibiarkan tergeletak begitu saja di jurang-jurang bebatuan, menjadi santapan binatang buas.
Sementara kelompok kereta api, yang bertugas membangun rel, meski tidak harus menggadaikan nyawa dalam perang. Penderitaan mereka lebih berat. Mereka dipaksa bekerja sampai kehabisan tenaga, sedangkan makanan sangat kurang, bahkan tak ada sama sekali.
Ada juga di antara mereka yang tidak masuk hitungan sama sekali, yang senantiasa harus memikul barang bawaan yang berat, sampai-sampai mereka jatuh terkulai karena kehabisan tenaga. Bagi mereka yang enggan melaksanakan perintah, akan didera dengan cambukan rotan. “Saya tidak dapat menghilangkan kenangan saya akan wajah beberapa orang pekerja paksa (beer-beer), masing-masing berdiri pada batang pohon, terikat tali, untuk menerima hukuman sebanyak 25 pukulan cemeti rotan,” ungkap Zentgraaff.
Menurut Zentgraaff mereka yang dicambuk itu biasanya para beer yang kedapatan mencuri makanan atau barang-barang milik Belanda. Kadang-kadang mereka juga mencuri senjata untuk dijual kepada pejuang Aceh. “Penipu-penipu yang tak dapat dipercaya ini terdapat pula dalam pasukan, serta tidak dapat meninggalkan kebiasaan merampok dan mencuri,” lanjutnya.
Diantara beer-beer itu terdapat pula cukup banyak orang –orang pemberani, yang seringkali mendapat perintah–perintah berbahaya. Saat Belanda menerapkan taktik perbentengan terpusat untuk melawan pejuang Aceh, saban pagi para pekerja paksa itu menyusuri rel trem untuk memeriksa ganjalan-ganjalan rel dan memperbaiki sekrup yang longgar.
Hal itu harus mereka lakukan karena pasukan Aceh pernah sering meletakkan bahan peladak di rel trem, yang bila tersentuh roda tren akan meledak dan menyebabkan kematian di pihak Belanda. Bahan-bahan peledak itu didapatkan pejuang Aceh dari serdadu-serdadu Eropa bayaran Belanda yang menyebrang ke pejuang Aceh.
Untuk mebersihkan ranjau-ranjau dan bahan peledak di rel trem, setiap malam para beer harus menjaga lampu yang terdapat di luar benteng pertahanan. Sering kali mereka juga harus mengantarkan surat-surat dari satu pos ke pos lainnya melalui daerah-daerah berbahaya yang dikuasi gerilyawan Aceh.

http://harian-aceh.com/2011/09/12/kettingbereb-di-aceh

JANGAN LUPA