Senin, 24 Oktober 2011

Meunasah Sbg Lembaga Pendidikan Tradisional Islam di Aceh

MEUNASAH SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
TRADISIONAL PADA MASA KESULTANAN ACEH
( Periode Tahun 1520 – 1675 )
Oleh: Muslim A. Djalil, M.S.I [1]
ABSTRAK
Penelitian yang berjudul “Meunasah sebagai Lembaga Pendidikan Islam Tradisional pada Masa Kesultanan Aceh (1520-1675) mempunyai latar belakang menemukan asal-usul dan perkembangan meunasah sebagai lembaga tradisional di Aceh masa Kesultanan periode 1520-1675 dan bagaimana proses pembelajaran yang berlangsung di meunasah tersebut. Berdasarkan penelitian ditemukan bukti bahwa meunasah sudah ada sejak terbentuknya masyarakat Islam di Aceh. Perkembangan meunasah menjadi sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional Aceh baru diketahui pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Munculnya meunasah sebagai lembaga pendidikan berhubungan dengan transfer sistem pendidikan dari Madrasah Nizamiyah ke Aceh Darussalam yang dipadukan dengan sistem pemerintahan sehingga dapat ditemukan hubungan erat antara adat dan agama.
Sistem dan organisasi pendidikan di masa Sultan Iskandar Muda merupakan program pemerintahan yang secara terstruktur mengurusi pendidikan. Berdasarkan tingkatan dan jenjang pendidikan di Aceh diketahui lembaga-lembaga pendidikan Meunasah (tingkat dasar), Rangkang (tingkat menengah pertama), Dayah (tingkat menengah atas), Dayah Teungku Chik (tingkat diploma) dan Jami’ah Bait al-Rahman (tingkat universitas).
Sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, meunasah memiliki sistem pembelajaran; (1) kurikulumnya lebih difokuskan pada penguasaan bacaan al-Qur’an dan pengetahuan dasar agama; (2) Sistem pembelajarannya dengan sistem halaqah dan sorogan, metodenya menggunakan metode mengeja untuk tahap awal dan menghafal pada tahap berikutnya, serta praktek ibadah; (3) hubungan antara teungku dan murib/aneuk miet beut (anak didik) bersifat kekeluargaan, yang terus kontinuitas sampai murib menginjak dewasa; (4) teungku dipilih oleh masyarakat gampong yang dikepalai oleh Keuchik dan usia anak didik meunasah berkisar 6-7 tahun; (5) di meunasah juga diajarkan kesenian (sya’ir) yang  bernafaskan Islam seperti qasidah, rapai, dikê, seulaweut dan dalail khairat.
Kata kunci: meunasah, lembaga pendidikan Islam tradisional, kesultanan Aceh.
A. Pendahuluan
Pendidikan Islam di Indonesia sudah mendapat prioritas utama masyarakat muslim Indonesia sejak awal perkembangan Islam. Hal tersebut sejalan dengan kegiatan pendidikan Islam di Indonesia yang lahir dan tumbuh sejalan dengan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi sangat berperan dalam mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati dengan sistem yang sederhana dan dilaksanakan secara informal. Hal ini disebabkan agama Islam datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim, sambil berdagang mereka menyiarkan agama Islam dan setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam.[1]
Menurut A. Hasjmy (1983: 45) kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Peureulak (225H/840M). Sejak masa Kerajaan Peureulak ini perhatian raja (sultan) terhadap pendidikan agama cukup besar. Hal tersebut ditandai dengan didirikannya pusat pendidikan Islam Dayah[2] Cot Kala (Zawiyah Cot Kala). Hasjmy menuturkan bahwa lembaga pendidikan ini merupakan tertua di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Sementara pada masa Kerajaan Samudera Pasai, pengajaran agama Islam diadakan di mesjid kerajaan yaitu berbentuk halaqah atau zawiyah.[3] Pengajaran ini sangat diminati oleh masyarakat, bahkan Malik al- Shaleh, Raja Pasai, senang mengikuti pertemuan ini yang diadakan setiap sehabis shalat Jum’at.[4] Begitu diminatinya, halaqah ini bukan lagi didatangi oleh orang dewasa saja, melainkan juga anak-anak. Dari sini timbullah kebutuhan untuk memberikan pendidikan khusus bagi anak-anak dan lahirlah institusi pendidikan Islam di Aceh. Dengan lahirnya institusi pendidikan Islam tersebut, semenjak berabad-abad yang lampau, yaitu setelah berdiri kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Samudra-Pasai yang dilanjutkan dengan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam, maka Aceh pada saat itu sudah tidak mengenal lagi buta huruf, seperti yang diakui oleh orang Perancis, Beaulieu, yang pernah berkunjung ke Aceh abad ke-17.[5]
Pengakuan Beaulieu tersebut menunjukkan bahwa perhatian raja-raja Aceh terhadap ilmu pengetahuan amat tinggi, mereka sangat mementingkan pendidikan dan penyiaran Islam. Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, beliau mempunyai minat yang sangat besar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga untuk itu banyaklah dayah-dayah (pesantren-pesantren) yang didirikannya.[6]
Perhatian yang besar dari raja (penguasa) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan di atas, telah menjadikan Aceh sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjananya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Pada saat itu banyak orang luar yang datang ke Aceh untuk menuntut ilmu. Bahkan Ibukota Kerajaan Aceh Darussalam terus berkembang menjadi kota internasional serta menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut telah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan Islam pada masa itu. A. Hasjmy[7] dan Ibrahim[8] mengelompokkan pendidikan Islam di Aceh menjadi 5 tingkatan, yaitu meunasah, rangkang, dayah, dayah Teungku Chik, dan Jami’ah. Ibrahim Husein membaginya menjadi dua kelompok, yaitu meunasah untuk tingkat rendah dan dayah untuk tingkat menengah dan tinggi. Menurutnya lembaga rangkang termasuk ke dalam pendidikan dayah.[9] Namun dalam pembahasan ini penulis memfokuskan pembahasannya yaitu pada tingkat meunasah.
Meunasah dalam sejarahnya, merupakan pusat peradaban masyarakat Aceh. Di sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong (desa, pen.) mendapatkan pendidikan. Di setiap kampung di Aceh dibangun meunasah yang berfungsi sebagai center of culture (pusat kebudayaan) dan center of education (pusat pendidikan) bagi masyarakat. Dikatakan center of culture, karena meunasah ini  memang memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Aceh dan disebutkan center of education, karena secara formal anak-anak masyarakat Aceh memulai pendidikannya di lembaga ini. Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan yang berintikan agama Islam.[10] Dengan pengertian ini terkandung makna bahwa sejak dahulu desa-desa di seluruh Aceh telah ada lembaga sekolah.
Sebagai lembaga pendidikan, meunasah dipimpin  oleh seorang teungku atau kiyai dalam bahasa Jawa. Teungku tersebut pada umumnya adalah lulusan dari pendidikan sistem dayah (pesantren). Sesudah belajar di dayah beberapa tahun, mempelajari hukum-hukum Islam, keterampilan dasar dalam memberikan pelayanan agama ke dalam masyarakat, seperti menjadi imam dalam shalat, menjadi pemimpin dalam membaca do’a bersama dan lain-lain, seseorang sudah dapat menjadi teungku dan mengajar di meunasah.
Pada tingkatan meunasah ini anak didik diberikan ilmu tentang baca tulis Al-Qur’an dan berbagai pelajaran agama lainnya. Sisa-sisa dari jenjang pendidikan rendah ini masih dapat dijumpai sekarang karena hampir setiap gampong di Aceh memiliki meunasah. Sayangnya, pada saat ini fungsi meunasah semakin menyempit. Meunasah hanya terbatas digunakan untuk tempat shalat berjamaah dan musyawarah tingkat gampong. Padahal lebih banyaknya jumlah meunasah dibandingkan dengan jumlah sekolah dasar di Aceh sekarang menunjukkan bahwa pemenuhan sarana pendidikan dasar di Aceh pada masa lalu jauh lebih sempurna dibandingkan dengan masa sekarang.
Dari uraian di atas tampak bahwa meunasah dalam sejarah telah memainkan peran penting dalam proses pencerdasan bangsa. Meunasah juga memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Aceh, karena secara formal anak-anak masyarakat Aceh memulai pendidikannya, yaitu pendidikan yang berintikan agama Islam di lembaga ini.
Oleh karena itu, diargumentasikan bahwa meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tingkat dasar di Aceh, secara tidak langsung, juga berperan dalam melahirkan intelektual muslim (ulama) dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada waktu masih eksisnya kesultanan Aceh tersebut, sehingga Aceh pada saat itu terkenal di seluruh Asia tenggara sebagai pusat ilmu pengetahuan. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji tentang meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional khususnya pada masa kesultanan Aceh periode tahun 1520-1675M.

B.           Makna Universal Meunasah

1.              Pengertian Meunasah
Meunasah, ada yang menyebut meulasah, beunasah, beulasah, seperti dikenal oleh kelompok etnis Aceh. Juga dikenal dengan manasah atau balai, seperti kata orang Aneuk Jameë, dan meurasah (menurut pemukiman etnis Gayo, Alas, dan Kluet). Meunasah merupakan istilah yang asli dari Aceh dan telah lama dikenal di Aceh, tetapi sejak kapan ditemukan belum begitu jelas secara historis. Menurut beberapa ahli pengamat Aceh berasal dari kata madrasah (bahasa Arab)[11], kemudian menjadi meunasah karena masalah dialek orang Aceh yang sulit menyatakan madrasah. Seperti juga kata dayah yang sebenarnya berasal dari bahasa Arab zawiyah.[12]
Meunasah, menurut Snouck Hurgronje identik dengan Langgar, baleë atau tajug, sehingga bangunan ini lebih tua dari nama meunasah yang konon berasal dari bahasa Arab (madrasah).[13] Tetapi menurut Badruzzaman Ismail dan para ahli Aceh sebelumnya dikatakan bahwa kata meunasah, meulasah atau beulasah berasal dari kata madrasah (bahasa Arab) yang mengandung arti lembaga pendidikan.[14]
Menurut pemahaman Taufik Abdullah et..al., meunasah dalam arti terminologis adalah tempat berbagai aktivitas, baik yang berhubungan dengan masalah dunia (adat), maupun yang berhubungan dengan masalah agama, yang dikepalai (diampu) teungku meunasah. Pada pengertian lain, meunasah merupakan tempat penggemblengan masyarakat gampông atau desa, agar masyarakat gampông tersebut menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.[15]
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh T. Syamsuddin dalam Jeumala  bahwa meunasah adalah tempat yang dibangun sebagai pusat kegiatan masyarakat gampông, karena meunasah merupakan suatu lembaga tradisional yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh.[16] Pendapat tersebut mempunyai alasan fundamental karena meunasah mempunyai multi fungsi, di samping sebagai aspek pendidikan, sosial, ekonomi, juga aspek keagamaan.
Terlepas dari pemahaman yang sempit dan luasnya pengertian meunasah, bergantung pada back-ground dan konteks di mana suatu pengamat membahas meunasah. Meunasah adalah lembaga tradisional Aceh, yang telah menyatu dengan masyarakat Aceh di manapun masyarakat Aceh itu tinggal, karena di mana ada orang Aceh disitu ditemukan meunasah. [17]
2.              Bentuk ilustrasi bangunan fisik Meunasah
Meunasah secara fisik, adalah bangunan rumah panggung,[18] yang dibangun pada tiap gampông (desa) yang disekelilingnya dibangun sumur, bak air, dan tempat keperluan buang air. Umumnya meunasah dibangun atau berlokasi di pinggir jalan.[19]
Bangunan yang letaknya (biasanya) di tengah-tengah kampung atau lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Bentuknya seperti rumah tradisional Aceh dengan beratap daun rumbia dan dindingnya dibangun terbuka. Karena terbuat dari kayu, meunasah sering dipenuhi dengan berbagai ukiran yang ada pada rumah tradisional Aceh. Seperti halnya rumah adat atau rumah tradisional Aceh, meunasah dibangun dengan tiang-tiang kayu dan agak tinggi dari tanah atau lantai. Di bagian depan meunasah kadang-kadang dilengkapi dengan beranda yang agak rendah yang sering dipakai sebagai tempat istirahat orang-orang yang datang ke meunasah. Di beranda inilah terjadi suatu proses sosial dalam masyarakat, seperti terjadi komunikasi antar warga masyarakat. Pada tempat beranda inilah, meunasah memiliki fungsi terbuka, karena selalu ada orang yang singgah dan duduk berlama-lama dan menjadikan meunasah sebagai pusat komunikasi sosial yang efektif yang bersifat informal dalam masyarakat Aceh.[20]
Meunasah ini merupakan bangunan yang mirip dengan rumah tradisional Aceh, namun terdapat perbedaan mendasar, antara lain: 1) Pada posisinya, rumah tradisional Aceh membujur ke arah kiblat (Mekkah), sementara meunasah berdiri melintanginya (utara-selatan) atau menghadap menyilangi rumah tradisional; 2) Lantainya, pada meunasah lantainya datar sedang pada rumah tradisional Aceh tampak tinggi di bagian tengahnya; 3) Ruangannya, ruangan pada meunasah terdiri atas ruangan depan (serambi) dan ruangan besar (tungai) sedangkan ruangan rumah Aceh, selain ruangan tersebut masih ada lagi ruangan yang disebut serambi belakang (seramoe likot); 4) Bentuk tiangnya, meunasah bentuknya persegi delapan, sedang tiang rumah Aceh biasanya berbentuk bulat. Pada meunasah tidak terdapat tiang raja dan tiang putri seperti pada rumah Aceh.
3.              Makna universal bangunan Meunasah
Salah satu fenomena proses Islamisasi berkembang pesat di suatu daerah adalah terjadinya perubahan besar, baik dari aspek kehidupan sosial, budaya, maupun ideologi. Begitupun yang terjadi di Aceh, proses Islamisasi telah terjadi proses revolusioner di segala bidang kehidupan. Pada bidang kesenian, termasuk seni arsitektur di daerah Aceh terlihat bagaimana terjadi proses revolusioner, pada masa terutama puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, secara transformatif maupun intruksioner dari pihak kerajaan telah terjadi proses Islamisasi arsitektur Islam (dengan sentral tanah Mekkah). Bangunan-bangunan di Aceh, baik dari istana, tempat ibadah, rumah adat, rumah tradisional, lembaga pendidikan, semua telah disinari oleh seni Islam dan kebudayaan Islam.
Lebih-lebih ditemukan fakta bahwa di masa Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636) telah diintruksikan pada rakyat Aceh agar semua bentuk bangunan diseragamkan, dengan bentuk bangunan yang seragam dalam predikat seni bangunan Islam, persamaan tersebut diantaranya adalah roh tauhid, sebagai landasan setiap bangunan.[21]
Sebagai bentuk yang universal, meunasah tidak dapat dipisahkan dari aspek kesenian Islam dan filosofisnya. Meunasah dalam bentuk fisik adalah rumahnya orang se-gampông dalam berbagai aktifitasnya, karena berfungsi universal, pada aspek keagamaan sebagai tempat ibadah (langgar/mushalla) dan fungsi sosial kemasyarakatan, maka meunasah dapat menjadi pusat (proses kebudayaan). Khususnya sebagai tempat ibadah sebagaimana mesjid, meunasah harus bernafaskan seni Islam, berbagai seni kaligrafi dan ornamen model kesenian turut menjadikan meunasah sebagai bangunan yang berwibawa, yang tidak boleh dipergunakan sebagai tempat maksiat dan asusila.
Rupanya bangunan-bangunan yang di dirikan di Aceh pada masa klasik memang benar-benar memperhatikan aspek budaya Islam, baik dari proses pendiriannya, akhlak mengelolanya dan memaksimalkan aspek fungsional keagamaannya.
Pertama, proses pendiriannya, menurut masyarakat Aceh harus melalui tahap-tahap mengumpulkan bahan-bahan baik dari kayu, bambu, daun rumbia (ôen meuria), pelepah rumbia, dan bahan-bahan lainnya. Setelah bahan-bahan terkumpul dan siap didirikan masyarakat gampông mengadakan kenduri berdo’a kepada Allah agar bangunan ini dapat digunakan untuk peribadatan kepada Allah. Untuk menyempurnakan pendirian, maka segala bentuk upaya agar bangunan yang didirikan dapat tersinari cahaya Ilahi, maka bangunan (meunasah) dihiasi dengan berbagai macam kaligrafi, yang di dalamnya terdapat ajakan dan dakwah Islamiyah, juga petuah-petuah edukatif, agar siapa saja yang masuk ke dalamnya mendapatkan hikmah.
Kedua, aspek pengelolaannya. Pembangunan meunasah akan memiliki nilai universal dan edukatif bagi masyarakat gampông di Aceh bergantung pada Teungku Meunasah-nya. Maka pengelola meunasah dalam hal ini Teungku Meunasah adalah orang yang harus memiliki kemampuan dan memahami masalah-masalah agama, yang dalam istilah Aceh disebut ureung nyang malem atau orang yang ahli/mahir ilmu agama.[22] Ketiga, berfungsinya meunasah secara maksimal di semua aspek kehidupan. Untuk mencapai hal itu maka sebagaimana pandangan hidup orang Aceh perlu adanya kesatuan zat dan sifat antara, pemangku adat, kepala gampông (Keuchik) dengan pemangku agama (Teungku) dalam mengembangkan fungsi dan semangat meunasah dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

C.          Fungsi Meunasah dalam Masyarakat Aceh

Meunasah sebagai bagian struktural Kesultanan Aceh merupakan daerah ujung tombak (terendah) yang menjadi bagian masyarakat Aceh. Posisi tersebut memberikan gambaran bahwa segala program pemerintah pusat akan terealisasi dengan mudah, umpamanya raja bertitah tentang peningkatan pangan, maka pelaksanaan terbawah dan ujung tombaknya adalah gampông atau tempat meunasah sebagai pusat komunikasi masyarakat Aceh.
Mengingat kompleksitas fungsi meunasah, maka perlu untuk di indentifikasi satu persatu fungsi tersebut baik dalam aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, maupun fungsi kelembagaan agama dan pendidikan. Mengambil pendapat dari Abd. Rahman Gani dalam Kerajaan Aceh Darussalam meunasah mempunyai fungsi, antara lain; 1) Sebagai Balai Musyawarah Rakyat; 2) Sebagai lembaga pendidikan; 3) Sebagai taman hiburan yang selaras dengan budaya Islam; 4) Sebagai wisma yang baru aqil baligh (menginjak dewasa); 5) Wisma bagi musafir; 6) Sebagai tempat upacara nikah/ruju’; 7) Sebagai Mahkamah Pengadilan Damai; 8) Sebagai tempat upacara-upacara keagamaan dan ritual lainnya (upacara maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, tadarrus, qasidah, dan sebagainya).[23]
Pendapat tersebut senada dengan Badruzzaman Ismail bahwa meunasah mempunyai berbagai fungsi praktis pada masa dahulu; antara lain: 1) Lembaga musyawarah; 2) Lembaga pendidikan dan pengajian; 3) Lembaga ibadah (shalat/ibadah lainnya); 4) Lembaga hiburan dan kesenian, seperti Dalail Khairat, Meusifeut, Meurukôn, Ratép Duek dan sebagainya; 5) Asah terampil (asah otak) meucabang (catur tradisional Aceh) sambil diskusi; 6) Lembaga buka puasa bersama (dengan “ie bu da peudah”).[24]
Pertama, meunasah sebagai lembaga musyawarah rakyat, artinya desa (gampông) dalam struktur masyarakat di Aceh sebagai kedudukan terbawah dan para penghuni gampông pada saat pemerintahan Aceh Darussalam masih jaya dapat memanfaatkan meunasah sebagai lembaga musyawarah, baik dalam forum pengangkatan Keuchik dan jabatan lain maupun musyawarah lainnya, sehingga masyarakat Aceh menempatkan meunasah sebagai badan sentral pengendalian pemerintah gampông.
Kedua, meunasah sebagai lembaga pendidikan (pengajian) atau madrasah berarti fungsi meunasah yang diampu oleh Teungku Meunasah adalah menyelenggarakan pengajaran (pengajian) pada generasi muda dan generasi dini (anak usia 6-8 tahun) masyarakat gampông (desa) yang berupa membaca dan menulis huruf Arab, membaca al-Qur’an, cara beribadat, rukun Islam, rukun Iman, dan diajarkan pula Kitab Perukunan, Risalah Masailal Muhtadin.[25]
Ketiga, meunasah sebagai lembaga peribadatan, memiliki fungsi sebagaimana tempat ibadah berarti menempatkan meunasah sebagai fungsi mushalla, rumah ibadah, tempat untuk mengabdi pada Allah, atau tempat untuk bersujud, pada realitas lapangan bergantung pada Teungku Meunasah sebagai Imam Meunasah. Biasanya masyarakat gampông dapat maksimal memanfaatkan meunasah untuk tempat ibadah (seumayang) saat matahari terbenam (maghrib) setelah pembantu teungku memukul tambô (bedug) kemudian masyarakat berbondong-bondong menuju meunasah. Juga pada bulan puasa, shalat dilakukan secara teratur, tepat pada waktunya di waktu malam menjelang tarawih.[26] Namun Snouck menambahkan bahwa shalat Jum’at tidak pernah dilaksanakan di meunasah sebagaimana juga di Jawa tidak dilakukan di langgar.
Keempat, meunasah sebagai lembaga kesenian Islam dan hiburan. Beberapa fenomena yang nampak di masyarakat Aceh, terdapat kebiasaan menyanyikan ratéb saman, menurut Snouck (ratib samman sesuai dengan nama wali (aulia) yang hidup beberapa abad lalu di Madinah), juga pemukulan tambô secara ritmis dan berirama, yang lain juga ada pulet, rebana atau rapa’i yang pada umumnya dimainkan malam Jum’at setelah acara inti ibadah. Jumpa dijumpai kesenian seperti dalail khairat, meusifeut, ratéb duek dan sebagainya.
Kelima, menurut Snouck, meunasah juga berfungsi sebagai tempat pelaksanaan aqad nikah (perkawinan).[27] Mendukung pendapat tersebut menurut Abd. Rahman Gani, meunasah juga berfungsi sebagaimana Kantor Urusan Agama, yaitu berfungsi sebagai lembaga nikah dan ruju’, hal itu dimungkinkan karena persoalan kesediaan Teungku Meunasah dan persetujuan Keuchik tentang perlunya kelembagaan nikah/ruju’/fasakh di gampông, agar tidak perlu lagi ke KUA yang tempatnya lebih jauh, maka dapat memanfaatkan meunasah sebagai sekaligus fungsi lembaga KUA.
Masih banyak fungsi meunasah yang secara historis dapat digunakan multi fungsi yang mencakup semua aspek kehidupan antara lain; 1) tempat menginap musafir; 2) tempat transaksi jual beli; 3) tempat mahkamah damai atau mendamaikan jika ada warga masyarakat gampông yang bertikai; 4) tempat berzikir, berdo’a, tempat praktek tarekat (suluk) dan sebagainya.

D.          Perkembangan Meunasah Masa Kesultanan Aceh Darussalam (1520-1675)

1.              Sebelum Pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1520-1606)
Seperti dijelaskan pada pendahuluan tulisan ini bahwa sejak awal perkembangan Islam, pendidikan telah mendapat perhatian dan prioritas utama masyarakat muslim Indonesia. Hal itu karena besarnya arti pendidikan dan kepentingan dakwah Islamiyah (Islamisasi) yang mendorong umat Islam mengadakan pengajaran agama Islam. Sistem pembelajarannya  dilakukan secara sederhana yaitu diberikan dengan sistem halaqah. Pengajaran tersebut dilaksanakan di tempat-tempat ibadah semacam mesjid, mushalla/langgar, juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada ke dalam lembaga pendidikan Islam.[28] Di Jawa umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha (padepokan) menjadi pesantren, umat Islam Minangkabau mangambil alih surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam.
Di Aceh, berdirinya kerajaan-kerajaan Islam Aceh sangat berpengaruh bagi perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Berdirinya meunasah (madrasah), rangkang, dayah (zāwiyah) dan berdirinya mesjid-mesjid  (termasuk Bait al-Rahman) semua tidak lepas dari proses islamisasi sebagai kebijakan Sultan-Sultan di Aceh, baik Kerajaan Peureulak (Perlak), Samudera-Pasai (Aceh Utara), maupun Kerajaan Aceh Darussalam.
Kapan munculnya meunasah?. Dari hasil penelitian yang dilakukan Muhammad Ibrahim dkk.,  tampaknya ada dua asumsi tentang kapan munculnya meunasah di Aceh, yaitu: 1) meunasah itu sudah ada sejak terbentuknya masyarakat gampông (desa) Islam; 2) lembaga serupa meunasah sudah dikenal oleh masyarakat Aceh jauh sebelum datangnya Islam, namun nama aslinya sampai sekarang belum diketahui.[29] Pendapat kedua ini senada dengan asumsi Snouck Hurgronje[30] bahwa meunasah sudah amat tua, lebih tua dari nama “meunasah” itu sendiri.
Memang, ditinjau dari segi namanya “meunasah” yang berasal dari bahasa Arab “madrasah”, sebagai lembaga keagamaan dikenal pada waktu terbentuknya masyarakat Islam di Aceh. Namun lembaga serupa meunasah mungkin saja telah ada sejak sebelum terbentuknya masyarakat Islam (walaupun namanya tidak diketahui). Asumsi ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh  Asrohah bahwa kebutuhan terhadap lembaga pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia.[31] Di Jawa misalnya, umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu/Budha menjadi pesantren. Umat Islam di Minangkabau mengambil alih surau sebagai peninggalan adat menjadi lembaga pendidikan Islam. Berdasarkan teori ini dapat diargumentasikan bahwa mungkin saja masyarakat Islam di Aceh yang baru terbentuk saat itu mentransfer lembaga keagamaan sebelumnya (Hindu-Budha) menjadi meunasah.
Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamirkan pada 12 Zulkaedah 916 H (1511 M)[32] oleh Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah.[33] Pada masa awal Kerajaan Aceh Darussalam ini telah terjadi transformasi (perubahan) budaya dalam skala besar di Aceh. Setelah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah (1511-1530) menyatukan Aceh dan memberantas musuh Aceh (Portugis), Aceh menjadi kerajaan yang bercita-cita besar dengan mengambil Islam menjadi dasar negara, membangun tamaddun dan kebudayaan yang tinggi di kawasan kepulauan Nusantara. Zakaria Ahmad menjelaskan bahwa untuk mengimbangi semangat agresor Portugis di kalangan rakyat Aceh dibangun dan dibangkitkan semangat jihad dengan memperhebat pengajaran agama Islam di kalangan rakyat.[34]
Perkembangan pendidikaan Islam di Kerajaaan Aceh Darussalam masa pra (sebelum) Sultan Iskandar Muda (dari pemerintahan Ali Mughayat Syah sampai dengan pemerintahan Ali Ri’ayat Syah) mengalami pasang surut, seiring dengan perkembangan ekonomi dan politik pemerintahan pada saat itu.
Perkembangan yang membanggakan terjadi pada masa pemerintahan Alaiddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (1538-1571), Sultan Husin (1571-1579), dan Mansur Syah Perak (1579-1586). Pada masa Sultan al-Qahhar terjadi perkembangan pesat dalam hubungan dengan luar negeri. Al-Qahhar telah melakukan hubungan dagang dan militer dengan negara-negara Turki, India dan Persia dengan jalan tukar menukar barang (ekspor-impor), pembelian senjata, dan kerja sama pertahanan. Tercatat tahun 1562 Sultan al-Qahhar mengirim utusan ke Istambul untuk meminta bantuan dari Turki. Sultan Turki mengirim utusan-utusan dan ahli-ahli, tukang-tukang untuk membuat alat senjata dan meriam.[35] Selanjutnya Zakaria Ahmad mengutip Pinto, seorang Portugis yang mencatat hasil-hasil perjalanannya ke Timur, mencatat bahwa dari hubungan demikian tadi Aceh mendapat sumbangan 300 orang ahli dari Turki dan alat-alat senjata yang dibawa oleh kapal-kapal Aceh sendiri.[36]
Perkembangan ekonomi dan politik (militer) tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan dan lembaga pendidikan pada saat itu. Perkembangan pendidikan pada masa pemerintahan al-Qahhar ini cukup signifikan. Hal tersebut ditandai dengan didatangkannya para ulama dari India dan Persia. Mereka mengajarkan keilmuan dan mendakwahkan Islam ke pedalaman Sumatera, mendirikan pusat dakwah Islam di Ulakan, dan membawa Islam ke Minangkabau dan Indrapura. Sampai wafatnya tanggal 28 September 1571 Sultan al-Qahhar telah memberikan andil besar terhadap perkembangan pendidikan Islam di Aceh Darussalam.[37]
Demikian pula halnya pada masa pemerintahan Sultan Husein (1571-1579) telah datang ke Aceh seorang ulama dari Mekkah yaitu Muhammad Azhari yang berasal dari Mesir dan bermazhab Syafi’i. Ia mengajar ilmu metafisika di Ibukota Kerajaan Aceh Darussalam sampai dengan meninggalnya.[38] Kebijakan untuk mendatangkan ulama-ulama (para ahli ilmu pengetahuan) tersebut menandakan bahwa perhatian sultan (baik pada masa Sultan al-Qahhar maupun masa Sultan Husein) sangat besar dalam memajukan pendidikan Islam di dalam wilayah kekuasaannya. Menurut peneliti hal ini cukup untuk dijadikan alasan bahwa perkembangan lembaga pendidikan Islam tradisional (baik meunasah, rangkang dan dayah) cukup membanggakan.
Selanjutnya, perkembangan pendidikan mengalami hambatan walaupun tidak begitu berpengaruh secara keseluruhan, yaitu dengan terjadi perebutan kekuasaan dalam Kerajaan Aceh Darussalam pra Iskandar Muda. Said menceritakan sepeninggal Sultan Husein, kesultanan Aceh mengalami kerusuhan politik. Hanya dalam masa beberapa bulan telah terjadi tiga kali pergantian sultan. Setelah pemerintahan Sultan Husein, kesultanan Aceh berturut-turut dipegang oleh: 1) Sultan muda, seorang anak kecil (1579), memerintah hanya tiga bulan dan dalam umur 7 bulan mangkat; 2) Sultan Sri Alam (1579), berkuasa hanya dua bulan kemudian terbunuh; 3) Sultan Zaenal Abidin (1579), naik tahta selama 10 bulan kemudian terbunuh pada 5 Oktober 1579.[39]
Kesultanan Aceh Darussalam kemudian perlahan mengalami pembenahan (walaupun masih terjadi kemelut) setelah pemerintahan dipegang oleh Sultan yang ber-akhlak al-karimah yaitu sultan pengganti Zaenal Abidin yang bergelar Mansur Syah Perak (1579-1586). Menurut berita lama, dipilihnya Sultan Mansur Syah Perak, karena orang tersebut yang diceritakan kitab Bustan al-Salatin berperangai alim, shaleh dan adil. Beliau juga telah membuka kesempatan luas bagi datangnya guru-guru agama dan ulama da’i luar negeri.[40]
Diketahui pula, sekitar tahun 1582 pada masa pemerintahan Mansur Syah Perak (1579-1586) datang dua orang ulama besar dari negeri Arab yang bernama Abdul Khair Ibn Hajar dan Syeikh Muhammad Yamani (keduanya berasal dari Yaman). Di samping itu, seorang ulama dari Gujarat yang menguasai ilmu ushuluddin, yaitu Syeikh Muhammad Jaelani Ibnu Hasan Ibnu Muhammad al-Raniry (paman Syeikh Nuruddin ar-Raniry, pen.). Ketiganya mengajar di Kerajaan Aceh Darussalam, terutama pada bidang Tasauf dan Fiqh. [41]
Sultan Mansur Syah mangkat setelah dibunuh pada tanggal 12 Januari 1585, kemudian digantikan oleh Sultan Buyung dengan gelar Sultan Ali Ri’ayat Syah, yang memerintah tahun 1585-1589 (Said, 1981: 208). Sultan dipilih sebagai hasil musyawarah (mufakat) para pembesar kerajaan, namun Sultan Buyung mangkat terbunuh juga di tahun 1589.[42]
Kesultanan Aceh menjadi benar-benar stabil kembali setelah Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammal (1589-1604) dinobatkan menjadi sultan. Sejak mudanya sangat aktif dalam pertempuran dengan Portugis dan besar jasanya dalam membela negeri. Usaha yang pertama sekali beliau lakukan setelah dinobatkan adalah menciptakan suasana tenteram di seluruh Kerajaan Aceh Darussalam. Di bawah pemerintahan sultan ini, Aceh pulih dari krisis dan mengalami perkembangan yang luar biasa, baik di bidang politik, sosial maupun ekonomi. Pada masa ini pula muncul ulama-ulama yang berpengaruh besar bagi ilmu pengetahuan agama, seperti: Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Syeikh Ibrahim as-Syami dan Syeikh Djailani.[43]
Melihat perkembangan Kerajaan Aceh Darussalam masa sebelum pemerintahan Sultan Iskandar Muda, sebagaimana telah diuraikan di atas, terutama dalam pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pada waktu itu para Sultan sangat giat dan dapat memotivasi rakyatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan, juga terdapat gambaran pola pikir masyarakat Islam pada masa itu bahwa pendidikan rakyat Aceh secara historis tidak mengenal pemisahan (dikotomi) antara pendidikan agama dan pendidikan umum.[44]
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa pesatnya perkembangan pendidikan pada masa tersebut ditandai dengan beberapa hal; Pertama, perhatian sultan yang cukup besar terhadap pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu turut berperannya sultan dalam membangun lembaga-lembaga pendidikan. Kedua, datangnya para ulama yang ahli dalam bidangnya masing-masing ke Aceh, baik atas undangan dari para sultan atau dengan inisiatif sendiri. Ketiga, tersebarnya  lembaga-lembaga pendidikan Islam di seluruh wilayah kesultanan Aceh. Sebagaimana diketahui, meunasah sudah ada di setiap gampông (desa), rangkang ada di setiap mukim dan sudah adanya dayah sebagai lembaga pendidikan tinggi.
2.              Masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637)
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Kerajaan Aceh Darussalam mengalami puncak kejayaannya, baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan. Suatu hal yang menarik dari kepemimpinan Sultan Iskandar Muda adalah mempunyai kebijakan yang komprehensif dan sistematis tentang pendidikan Islam, dengan tujuan agar pendidikan terstruktur dari pusat ke bawah, dari pusat pemerintahan hingga ke gampông, dengan menetapkan tujuan pendidikan: 1) membina manusia-manusia yang sanggup menjadi sultan, menteri, qadhi dan pejabat-pejabat negara lainnya dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan; 2) membina satu masyarakat (umat) yang sanggup menjalankan amar makruf dan menjauhkan mungkar.
Tujuan pendidikan yang telah dicanangkan sultan harus menjadi fenomena di masyarakat dan menjadi kebudayaan masyarakat Aceh. Pada Kanun Meukuta Alam selalu terlihat bagaimana pemangku jabatan agama (ulama) dan raja, antara ulama dan umara harus menyatu, tidak boleh bercerai berai, jilakau bercerai maka akan berakibat kehancuran (binasalah) negeri.
Pada masa Iskandar Muda ini juga telah ditransfer sistem Madrasah Nizamiyah dalam struktur pemerintahan yang selalu berhubungan dengan pendidikan. Sehingga program pendidikan selalu terorganisir baik dari tingkat yang paling rendah yaitu meunasah hingga jenjang pendidikan tinggi. Tingkatan-tingkatan pendidikan dari Meunasah, Rangkang, Dayah, Dayah Teungku Chik, dan Jami’ah Bait ar-Rahman menjadi satu sinergis sistem pendidikan bertingkat dan dengan out put yang selalu bersinambung.[45]
Istilah meunasah dalam arti madrasah, sebagai pendidikan dasar pada masa Iskandar Muda ini menurut peneliti adalah sebagai wujud sosialisasi dari sistem pendidikan madrasah (dalam pemahaman Nizamiyah) pada tingkat daerah yang paling pelosok desa (gampông-meunasah). Juga sebagai bukti Islamisasi struktur pemerintahan dari tingkat gampông, mukim, daerah ulee balang, sagoe, dengan menyatukannya dengan pemangku agama Teungku Meunasah, Imum Mesjid, Qadhi dan Hakim sebagaimana zat dan sifat, adat dan agama yang integral.
Maksud dari penerapan Iskandar Muda dengan sistem tersebut dapat diketahui, antara lain; 1) Islamisasi lembaga-lembaga pemerintahan yang sudah ada sejak zaman dahulu, dan yang paling terkenal gampông dengan meunasah, padahal dari makna yang sebenarnya meunasah berasal  dari bahasa Arab madrasah.[46] 2) Sosialisasi program bebas buta huruf (bahasa Arab) yang secara terstruktur pelaksanaannya dijalankan oleh pemangku adat (misalnya Keuchik) dengan pemangku agama (Teungku meunasah). Tentang upaya bebas buta huruf untuk Aceh dari pemerintahan Aceh Darussalam masa Iskandar Muda telah dikemukakan oleh A. Hasjmy  bahwa tingkatan-tingkatan pendidikan yang diprogramkan sebagai upaya Islamisasi (dakwah Islamiyah) dan upaya wajib basmi buta huruf dan buta ilmu.[47] Sehingga Aceh pada saat itu sudah tidak mengenal lagi buta huruf, seperti yang diakui oleh Augustin de Beaulieu, diplomat asal Perancis, yang pernah berkunjung ke Aceh abad ke-17 masa Iskandar Muda.[48]
Menurut pengamatan Beaulieu, pada waktu itu seni kerajinan yang berhubungan dengan pertukangan sangat dihargai, di kota tersebut (Bandar Aceh Darussalam) banyak terdapat tukang-tukang besi yang pandai membuat alat-alat dari besi, tukang-tukang kayu yang ahli membuat kapal dan perahu, dan tukang penuang tembaga yang mahir. Kapal Galley orang Aceh amat bagus, penuh dengan ukiran-ukiran, berbadan tinggi dan lebar.[49]
Berpijak dari gambaran yang dikemukakan Beaulieu tersebut dapat diargumentasikan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan berkembang cukup pesat. Kiranya keahlian (skill) semacam itu tidak mungkin ada dengan sendirinya, tanpa melalui proses pendidikan khususnya pendidikan keterampilan. Dengan demikian tampaknya lembaga-lembaga pendidikan kesultanan pada saat itu sangat berperan dalam menumbuhkan life-skill (kecakapan hidup) bagi masyarakat.
Berapa jumlah lembaga pendidikan (dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi) selama berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam, terutama di masa jayanya pada abad ke-16 dan ke-17 tidak diketahui dengan pasti. Snouck Hurgronje yang dianggap sebagai peneliti perintis mengenai soal-soal Aceh dalam karya besarnya, De Atjehers ( 2 jilid, 1893/1894) juga tidak menyinggung jumlah lembaga pendidikan Islam yang ada di Aceh pada waktu itu. Dalam bukunya tersebut Snouck hanya menyebutkan nama beberapa dayah yang mungkin dianggap penting di sana sambil menguraikan peranan meunasah dan juga dayah dalam masyarakat Aceh. Namun berdasarkan hasil penelitian Ibrahim dkk.  diilustrasikan sebagai berikut:[50]
Di tiap-tiap gampông terdapat setidak-tidaknya satu meunasah (kadang-kadang gampông yang agak luas didirikan dua meunasah). Menurut statistik tahun 1972 di Aceh terdapat 5.500 gampông dan meunasah/langgar ada 5.883 buah. Sebagian besar dari gampông dan meunasah tersebut kendati pun meunasah-nya diperbaiki atau dibangun yang baru adalah berasal dari masa lalu. Demikian pula di tiap mukim selalu terdapat sebuah mesjid yang umumnya dikelilingi oleh rangkang. Angka tahun 1972 menunjukkan jumlah mukim sebanyak 594 dan mesjid sebanyak 1.475 buah. Dari hasil observasi tim peneliti ke daerah-daerah menunjukkan, bahwa ada mesjid-mesjid di daerah mukim umurnya tua sekali (dipugar/diperbaiki). Sedang hasil observasi ke daerah-daerah bekas wilayah nanggroe, terutama di pesisir utara dan timur…menurut statistik tahun 1972 di Aceh terdapat 129 kecamatan, menunjukkan kesan bahwa hampir di setiap daerah tersebut pernah didirikan setidak-tidaknya sebuah dayah (berdasarkan pengamatan dan cerita orang-orang tua setempat, bahkan ada nama dayah (pesantren) yang diwariskan sampai sekarang dan menurut mereka nama tersebut telah ada sejak zaman Iskandar Muda.
Istilah meunasah pada masa puncak kejayaan Aceh berkat Sultan Iskandar Muda telah menjadi milik rakyat Aceh, terutama sebagai lembaga pendidikan Islam tingkat dasar. Meunasah juga menjadi ujung tombak program pendidikan, pemerintahan dan bebas buta huruf. Sebagai fungsi pengembangan pendidikan dasar meunasah telah mencetak kader-kader cilik (siswa; aneuk mit beuët) yang akan dikirim orang tuanya menuju lembaga pendidikan yang lebih tinggi, Rangkang, Dayah hingga nantinya ke perguruan tinggi (Jami’ah).
Sehubungan dengan hal tersebut Ibrahim Husein menyatakan bahwa eksisnya meunasah sebagai lembaga pendidikan tradisional  karena didukung oleh tiga faktor utama. Pertama, faktor kesadaran orang tua, karena mereka merasa bertanggung jawab atas pendidikan anaknya sejak dini. Kedua, faktor masyarakat, mereka merasa bahwa lembaga pendidikan ini adalah miliknya dan disini belajar semua anak anggota masyarakat tanpa memandang status sosial dari setiap individu. Ketiga, faktor ibadah. Pendidikan ini dianggap sebagai suatu ibadah wajib atas setiap muslim. Segala sesuatu menyangkut dengan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab bersama dan dilaksanakan dengan penuh keihklasan. Kewajiban guru (teungku meunasah) adalah mengajar dan kewajiban murib (anak didik) adalah belajar disitu atas dasar perintah agama.[51] Dengan demikian semua orang tua murib mewajibkan anak-anak mereka belajar di meunasah ini adalah semacam wajib belajar yang diprogramkan pemerintah sekarang ini.
Jasa besar Iskandar Muda dalam pengembangan pendidikan di Aceh Darussalam antara lain; 1) memotivasi berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam dari Meunasah, Rangkang, Dayah, hingga Dayah Teungku Chik dan al-Jami’ah Bait ar-Rahman sehingga masyarakat Aceh dapat mengenyam pendidikan dan bebas buta huruf; 2) menetapkan tujuan-tujuan pendidikan sesuai dengan jenjangnya, misalnya meunasah bertujuan mencetak pelajar agar menguasai ilmu dasar keagamaan dan dapat meneruskan ke jenjang rangkang; 3) pemerintah lewat lembaga pemerintahan secara otomatis menjadi lembaga yang bekerja sama dengan lembaga pendidikan yang senantiasa membantu dalam pemeliharaan tempat-tempat tersebut; 4) memfungsikan lembag-lembaga pendidikan secara maksimal dalam segala aspek kehidupan; 5) menjadikan lembaga-lembaga pendidikan, khususnya meunasah menjadi bagian dan milik masyarakat Aceh Darussalam; 6) jasa yang paling besar sepanjang sejarah perkembangan Aceh di bidang pendidikan adalah telah menciptakan Aceh Darussalam menjadi “Kota Universitas”.
3.              Sesudah Pemerintahan Iskandar Muda (1637-1675)
Sultan Iskandar Muda digantikan oleh menantunya Iskandar Tsani (1636-1641). Pola pengembangan pendidikan di Aceh pada masa Iskandar Tsani juga mengikuti jejak Iskandar Muda dimana hubungan antara ulama dan umara dalam memaksimalkan lembaga-lembaga pendidikan Islam dan pengembangan wacana intelektual di Aceh Darussalam. Namun sayang, hal tersebut tidak bisa banyak diungkap dikarenakan singkatnya masa pemerintahannya yaitu hanya sekitar 5 tahun.
Walaupun demikian singkatnya pemerintahan Iskandar Tsani, fenomena di atas menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan di Aceh seperti meunasah, rangkang, dayah dan al-Jami’ah pada masa Iskandar Tsani semakin maksimal sebagai fungsi kelembagaan pendidikan Islam, terutama mencapai tujuan utamanya yaitu Islamisasi kelembagaan dan bebas buta huruf di Aceh Darussalam.
Begitu juga pada masa Sultanah Sri Ratu Tajul ‘Alam Syafiatuddin Johan berdaulat (1641-1675) pada dasarnya hanya melanjutkan program pengembangan bidang pendidikan. Ahmad  mengemukakan bahwa Ratu Syafiatuddin telah memnyempurnakan bentuk pemerintahan yang diciptakan oleh ayahnya Iskandar Muda sehingga mencapai bentuk yang paling sempurna yang pernah dikenal dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Beliau juga berjasa dalam memperbaiki dan mempertinggi derajat wanita Aceh di tengah-tengah masyarakat dan membuka kesempatan terhadap wanita untuk mengambil peranan dalam semua kegiatan masyarakat. Ini merupakan hal yang luar biasa dan mengagumkan, karena pada saat itu belum banyak negara-negara yang memberikan kesempatan kepada wanita terutama dalam militer dan pemerintahan. [52]
Pengembangan dan pembangunan tempat-tempat ibadah dan lembaga-lembaga pendidikan yang pada saat itu menyesuaikan dengan jumlah gampông, mukim dan nanggroe hingga di Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat Aceh. Di setiap gampông pembangunan meunasah dilakukan bergantung pada jumlah penduduk dan luasnya daerah gampông, kadang dalam satu gampông bisa dibangun dua meunasah. Menurut data M. Sadli dalam Abudin Nata, setiap 40 rumah di gampông terdapat satu meunasah,[53] sehingga dimungkinkan terjadi pembangunan lebih dari satu meunasah dalam satu gampông. Begitu juga pembangunan dayah (pesantren), hampir di setiap daerah Nanggroe didirikan dayah sebagai lembaga pendidikan menengah dan tinggi.
Pembangunan dayah yang terus berlanjut di Aceh juga dipengaruhi oleh banyaknya sarjana dan teungku-teungku yang telah mengenyam pendidikan agama baik yang datangnya dari daerah Banda Aceh Darussalam maupun dari luar Aceh. Sebagai contoh, Dayah Manyang (al-Jami’ah), yang didirikan semasa pemerintahan Iskandar Muda yang berpusat di mesjid Bait al-Rahman para guru besar yang terdiri dari 44 orang ulama, berasal dari Arab, turki, Persia, India dan daerah Aceh sendiri. Bahkan sistem pendidikannya mengikuti India. Bagitu juga pembangunan rangkang di masa Tajul Alam Syafiatuddin, yang didirikan oleh Syeikh Abdurrauf as-Singkili (alumnus Timur Tengah) di muara sungai Aceh pada perkembangannya didatangi oleh santri dari berbagai penjuru Asia Tenggara datang ke tempat tersebut. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Syeikh Burhanuddin di Ulakan yang terkenal di Minangkabau.[54]
Perkembangan yang membanggakan ini kemudian terus berlanjut hingga abad ke-18. Perkembangan dayah di Aceh menurut Hasjmy menjadi dayah-dayah khusus, seperti: Dayah Wanita (Dayah Ureung Inông), Dayah Pertanian, Pertukangan, Dayah perniagaan dan sebagainya yang staf pengajarnya adalah para guru besar (teungku chik). Tumbuhnya dayah dimana-mana telah melahirkan teungku-teungku yang berperan dalam mengurusi dan mengembangkan meunasah sebagai lembaga pendidikan dasar di tingkat gampông.
Eksistensi meunasah setelah Iskandar Muda sampai dengan perkembangan dan pasang surut kesultanan Aceh Darussalam, terus tergantung pada kondisi perpolitikan di Aceh. Hal ini karena pada pasca Iskandar Muda, kesultanan Aceh mulai terancam kekuatan kolonialis Belanda. Terutama pada masa Sultanah Taj al-‘Alam Safiatuddin kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam terus menerus mengalami tekanan-tekanan dari VOC dan  menimbulkan beberapa dampak pada kondisi sosial, ekonomi dan politik. Termasuk bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan lembaga-lembaga pendidikan (meunasah, rangkang, dayah dan lembaga-lembaga lainnya).

E.           Kurikulum dan Sistem Pembelajaran

1.              Kurikulum Meunasah
Kurikulum pendidikan Islam yang diselenggarakan di meunasah tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum modern yang mengandung komponen: tujuan, isi, organisasi, dan strategi. Kurikulum dengan segala komponennya sulit ditentukan dalam literatur-literatur pendidikan Islam pada masa kesultanan Aceh tersebut. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam di meunasah dalam tulisan ini dipahami sebagai subjek atau materi-materi ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam suatu proses pendidikan.[55]
Mengenai kurikulum yang diberlakukan di lembaga pendidikan dasar ini adalah sejumlah mata pelajaran dasar yang pada umumnya berlaku pada kurikulum pendidikan rendah, di madrasah pendidikan rendah. Materi pokok yang diajarkan biasanya berupa: al-Qur’an, agama, membaca, menulis dan syair. Pada bebrapa kesempatan kadang juga diberikan mata pelajaran Nahwu, cerita-cerita, dan pelajaran keterampilan (meu’en cabang, meu’en galah cak igeuet, boh awo, meu’en gaseng sebagai permainan dan asah otak.[56]
M. Sadli, dalam Abudin Nata menjelaskan bahwa meunasah pada umumnya mendidik anak gampông khususnya anak laki-laki, selama dua sampai sepuluh tahun. Pengajarannya berlangsung pada malam hari (ba’da shalat fardhu). Materi yang diajarkan meliputi pendidikan dasar yang dimulai dengan diajarkan al-Qur’an yang dalam bahasa Aceh disebut Beuët Quruan. Biasanya pelajaran dimulai dengan mengajarkan huruf Hijaiyah, seperti yang terdapat dalam kitab Kaidah Baghdadiyah. Diteruskan kemudian dengan membaca juz ‘amma, menghafal surat-surat pendek dan baru membaca al-Qur’an besar dengan pelajaran tajwidnya. Materi berikutnya di samping al-Qur’an dan tajwidnya adalah diajarkan juga pokok-pokok agama (dasar-dasar agama), seperti rukun Islam, rukun Iman, dan sifat-sifat Tuhan. Materi lainnya yaitu diajarkan rukun shalat, puasa, dan zakat. [57]
Kegiatan belajar itu berlangsung sepanjang minggu, kecuali malam Jum’at yang umumnya digunakan untuk acara kesenian yang bernafaskan Islam. Kesenian tersebut berupa nyayian (sya’ir), terutama nyayian yang berhubungan agama dan dakwah, seperti qasidah, rapai, dalael, meurukôn [58], dikê atau seulaweut (berasal dari kata zikir dan shalawat).
Buku-buku pelajaran yang diberikan di lembaga meunasah, bila melihat materi-materi yang diberikan antara lain; Kitab Bidayah al-Hidayah, Kitab Perukunan, Risalah Masail al-Muhtadin karya Syeikh Daud Rumi (Baba Daud) dan karya Syeikh Muhammad Zain Ibn Faqih Jalal al-Din. Isi kitab-kitab tersebut meliputi dasar rukun Islam dan fiqih, yang merupakan kupasan ringkas pokok dokrin Islam serta kewajiban keagamaan umat Islam.
Selain mempelajari al-Qur’an dan kitab-kitab yang telah disebutkan tadi, di meunasah aneuk miet beuët juga diajarkan tentang akhlak kesopanan, pantangan-pantangan dalam masyarakat Aceh yang sudah menjadi adat kebiasaan, seperti larangan memegang kepala orang lain, menyepak orang, menunjuk sesuatu dengan kaki, mengeluarkan angin dari dubur hingga dapat didengar orang lain -terutama dalam majelis, mengeluarkan angin dari mulut tatkala makan bersama-sama orang lain (geureu-ob), duduk di tangga dengan berselimut pada pagi hari, dan lain-lain.[59] Tidak ada kitab rujukan khusus dalam hal ini, tetapi pantangan-pantangan tersebut langsung diajarkan teungku yang biasanya memahami adat dan budaya Aceh.
Selain mempelajari pokok-pokok ajaran Islam, di meunasah anak-anak diajarkan juga berbagai keterampilan. Berbeda dengan pengajian, biasanya keterampilan tidak diajarkan oleh teungku meunasah, tetapi oleh orang-orang tua atau dewasa tertentu yang ada di gampông yang bersangkutan. Adapun jenis-jenis keterampilan yang diajarkan (terutama kepada remaja dan pemuda (aneuk miet rayeuk) antara lain: a) memutar tali dari ijuk, sabut kelapa, serat kulit kayu; b) membuat alat-alat pertanian tradisonal seperti langai, creuh dan sebagainya; c) membuat alat-alat penangkap ikan, seperti pukat,  jeuë, sawoek dan sebagainya; d) berbagai anyaman dari rotan, kulit bambu, kulit rumbia dan sebagainya.[60]
Kurikulum tersebut, pada hakikatnya merupakan aplikasi dari pendidikan tingkat rendah yang telah dikêmukakan oleh para tokoh dan pemerhati pendidikan. Ibn Sina (930-1037 M) berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Asma Hasan Fahmi yang diterjemahkan Ibrahim Husein bahwa:[61]
Mendidik anak-anak dimulai dengan mengajarkan al-Qur’an, karena anak-anak telah siap dari segi fisik dan mental untuk menerima pendiktean… pada waktu yang sama pula diajarkannya huruf hija dan diajarkannya dasar agama…mempelajari sya’ir dan artinya (makna)… yang menceritakan keutamaan budi pekerti, yang memuji ilmu pengetahuan, yang mencela kebodohan, yang menyuruh hormat ibu bapak….
Pendapat tersebut sangat berdasar karena materi yang diberikan sesuai dengan tingkat kemampuan anak didik (aneuk miet beuët) yang masih segar dan jernih. Di samping itu berhubungan juga dengan pentingnya materi-materi dasar tersebut sebagai penguat fondasi berfikir dan emosional anak didik.
Walaupun demikian, kurikulum yang diberlakukan di meunasah sangat bergantung pada Teungku Meunasah. Apabila pengetahuan agama para teungku sangat kurang, materi pembelajaran yang diberikan sangat terbatas, kadang hanya pada hal-hal yang penting (praktis ibadah) saja seperti rukun shalat, rukun berpuasa, dan kewajiban membayar zakat. Dengan pertimbangan tersebut, maka pada masa itu Teungku Meunasah benar-benar dipilih lewat mufakat oleh warga gampông dan dicari orang yang malem (alim), biasanya lulusan dayah atau dayah teungku chik. Hal ini bertujuan agar dalam proses belajar teungku tidak mengalami hambatan dan penguasaan materi-materi yang harus diajarkan benar-benar mumpuni.
2.              Sistem Pembelajaran Meunasah
a.               Metode penyampaian materi
Pada lembaga meunasah pada umumnya, metode pembelajaran yang digunakan adalah halaqah (dalam lingkaran) klasikal sesuai dengan sifat meunasah sebagai lembaga pendidikan tradisonal. Halaqah pada prakteknya seorang teungku memberikan pengajaran dengan posisi duduk di tengah, sementara anak didik (murib; aneuk miet beuët) mengelilingi teungku. Metode lain yang diterapkan dalam penyampaian materi pelajaran adalah metode sorogan, yang umum dilaksanakan di pesantren yaitu anak didik belajar secara perorangan di hadapan teungku.[62]
Proses pembelajaran yang dilaksanakan di meunasah pada hakikatnya belajar secara alamiah dengan penerapan metode-metode, seperti: (1) mengeja yaitu seorang teungku mula-mula mengajarkan atau memperkenalkan huruf dengan bunyi (alif…ba…ta….tsa….dan seterusnya). Pada tahap mengeja ini penekanan lebih banyak tertuju pada lafal bacaan-bacaan bahasa Arab, daripada memahami isi al-Qur’an; (2) menghafal surat-surat pendek al-Qur’an. Pada prakteknya seorang murib (anak didik) melakukan penghafalan ayat-ayat al-Qur’an dan surat pendek di hadapan teungku. Pada tahapan ini seorang murib berkosentrasi kepada alat dengar, mengucapkan dengan lidah berulang-ulang agar tajwidnya benar.
Berbagai upaya teungku dilaksanakan agar tujuan pengajaran dapat dicapai yaitu seorang anak didik dapat membaca membaca al-Qur’an dan menamatkan (khatam) al-Qur’an. Walaupun anak didik tidak memahami makna dan tafsir al-Qur’an, tetapi sistem pembelajaran halaqah, sorogan dan metode mengeja-menghafal. Persoalan makna dan tafsir al-Qur’an pada pengajaran tingkat dasar di meunasah tidak mendapatkan tekanan yang penting, mengingat penguatan makna dan tafsir dilaksanakan kurikulum tingkat pendidikan di atasnya yaitu rangkang dan dayah.
Perlu dijelaskan bahwa materi pembelajaran yang diberikan pada lembaga pendidikan keagamaan di Aceh hanya mencakup satu jenis ilmu, yang dalam istilah Aceh disebut eleumeë (dari kata Arab ‘ilm: ilmu). Menurut Taufik Abdullah, eleumeë meliputi segala sesuatu yang harus dipercayai dan dilaksanakan oleh setiap muslim sesuai dengan kehendak Allah SWT yang diwahyukan pada Nabi Muhammad SAW. Ilmu tersebut diarahkan untuk mencapai cita-cita tinggi, mulia serta praktis yang memungkinkan manusia memenuhi kehendak Tuhan. Hal-hal yang berhubungan dengan eleumeë tersebut antara lain; masalah aqidah, ibadah dan mu’amalah yang dituntut syari’at Islam. Berdasarkan pemahaman tersebut, anak didik (murib) diharapkan dapat beriman, beribadah dan bekerja sesuai dengan tuntutan Islam.[63]
b.              Sumber pembelajaran
Berdasarkan materi-materi di tingkat meunasah sebagai lembaga tingkat dasar, seperti membaca al-Qur’an, ilmu tajwid, pelajaran aqidah rukun Islam dan rukun Iman dan fiqh praktis. Pada tahap awal, sumber belajar yang penting untuk anak didik (murib/aneuk miet beuët) adalah menggunakan al-Qur’an kecil (Quruan ubit), yaitu kitab yang berisi huuruf al-Qur’an berdasarkan kaidah Baghdadiyah yang pada bagian akhir telah ditambah dengan juz ‘amma. Pada tahap berikutnya, pembelajaran dilanjutkan dengan pengajian al-Qur’an 30 juz, yang populer di Aceh dengan Quruan Rayeuk (al-Qur’an besar), maka sumber pembelajaran menggunakan al-Qur’an besar sebagaimana yang dibaca secara biasa dan terus memberikan pengetahuan tajwid.
Pembelajaran di meunasah ini kemudian dilanjutkan dengan mempelajari beberapa kitab berbahasa Arab Melayu, atau di Aceh terkenal dengan kitab Jawoe (Jawi). Kitab-kitab ini mencakup Masail al-Muhtad li Ikhwani al-Mubtadi, Bidayah dan Majemuk (Kitab Lapan) yang berisi tentang dasar hukum Islam dan fiqh, yang merupakan kupasan singkat tentang prinsip pokok-pokok doktrin Islam serta kewajiban keagamaan umat Islam. Khusus untuk kitab Masail al-Muhtadi terdapat ciri khas bila ditinjau dari isinya yaitu berisi soal tanya jawab. Yang menakjubkan adalah kitab ini sampai dengan sekarang telah beratus kali dicetak di berbagai negeri/tempat, seperti Malaysia, Brunei dan di Aceh sendiri. Menurut Hasjmy, kitab Masail al-Muhtadi ini masih cukup baik untuk mata pelajaran agama Islam tingkat permulaan dan sistem tanya jawab yang dipakai dipandang masih sangat relevan dengan masa sekarang.[64] Dari pengamatan penulis menunjukkan bahwa di sebagian balai-balai pengajian anak-anak di Aceh kitab ini masih digunakan sampai saat ini.
c.               Pembelajaran ekstra (kesenian Aceh)
Selain materi pembelajaran pokok, yang telah disebutkan di atas, terdapat pembelajaran tambahan yang berupa kesenian yang bernafaskan Islam, antara lain; kasidah, meurukôn, rapai, dalail khairat, dikê rayeuk (zikir besar) dan dikê mulôd (zikir maulid), juga dikênal seulaweut (selawat).
Rupanya sistem pembelajaran dan kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan tradisional di Nusantara hampir mirip antara satu dengan yang lain, khususnya pada lembaga pendidikan tingkat dasar/rendah. Pada lembaga langgar (di Jawa), surau (di Minangkabau) pada umumnya pembelajaran al-Qur’an menjadi materi pokok (kurikulum) agar peserta didik tidak buta huruf al-Qur’an. Pada lembaga-lembaga langgar, surau dan meunasah, anak-anak belajar dengan duduk bersila, guru (teungku/Kyai) pun bersila di hadapan murid/santri/murib (sebagai sistem halaqah). Pada pembelajaran tahap awal, anak didik diajari memahami dan mengeja huruf al-Qur’an (hijaiyah). Setelah dirasa pandai membaca huruf hijaiyah tersebut, baru kemudian membaca al-Qur’an, seraya diajarkan tata cara mengerjakan shalat, keimanan, akhlak dan cerita nabi-nabi agar anak didik mampu mengambil hikmah dan meneladaninya. Pada tahapan berikutnya di tambah pelajaran kesenian bercorak Islam seperti qasidah, dan barzanji, juga ditambah dengan tajwid dan kitab perukunan.[65]

F.            Teungku dan Aneuk miet beuët dalam Meunasah

1. Teungku Meunasah
Dalam perspektif pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat sekaligus mulia. Dikatakan berat karena guru mengemban kepercayaan (amanat) yang diberikan oleh masyarakat tersebut, pada hakekatnya tidak hanya berorientasi pada transformasi ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai murabbi dan sebagai dinamisator masyarakat. Sebagai murabbi tugas guru adalah bertanggung jawab memantau perkembangan kepribadian anak didik dari segala dimensinya, sedangkan sebagai dinamisator masyarakat seorang guru bertanggung jawab memberikan pelayanan yang baik, membangkitkan masyarakat ke arah yang lebih baik.[66]
Pada lembaga pendidikan meunasah, seorang teungku dipilih oleh masyarakat gampông dengan harapan dapat melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemangku keagamaan. Keberhasilan seorang Teungku Meunasah dalam mengemban tugasnya di masyarakat bergantung pada bagaimana peran teungku untuk melakukan perubahan dengan ide-ide cemerlangnya sebagai dinamisator di gampông. Teungku juga melakukan pemantauan perkembangan aneuk miet beuët (anak didik) pada proses pembelajaran dan pengajian, baik waktu di meunasah maupun di luar meunasah (masyarakat). Semua tugas tersebut dapat dilaksanakan oleh Teungku Meunasah apabila seorang teungku telah memenuhi kualifikasi (syarat-syarat) sebagai seorang berpredikat teungku.
Menjadi seorang teungku di gampông (masa Kesultanan Aceh Darussalam) harus memenuhi beberapa syarat, diantara syarat utama seorang teungku adalah mempunyai pengetahuan yang cukup tentang agama (minimal lulusan rangkang atau dayah) dan alim (malêm) dalam beribadah kepada Allah SWT. Menjadi teungku berarti menjadi seorang pejuang Islam, karena dalam melaksanakan tugas-tugasnya tidak mendapat gaji atau upah dari masyarakat, tapi hanya sekedar hadiah (yang tidak selalu rutin) dan hanya sekedar untuk makan. Menjadi Teungku Meunasah berarti telah berpredikat sebagai tokoh pemuka agama di gampông yang diharapkan dapat menjadi teladan dan contoh masyarakat.
Eksistensi Teungku Meunasah, Teungku Inoeng (wanita), atau Teungku Balê, juga Teungku Di Rumoh, di dalam masyarakat Aceh memiliki arti yang penting. Sosok jiwa yang bersih yang ikhlas, malêm, dan berwibawa senantiasa menjadi idola masyarakat gampông. Teungku sebagai imam meunasah memiliki tugas, bukan hanya mengajar anak didik tetapi juga memelihara bangunan, mengimami shalat lima waktu dan memberi nasehat-nasehat pada yang membutuhkan. Tugas-tugas tersebut pada perkembangannya memerlukan aspek emosional yang matang, karena menjadi imam meunasah bukan hanya mengandalkan aspek pengetahuan dan penguasaan materi, tetapi aspek emosional juga penting.
Berdasarkan keadaan di atas, Teungku Meunasah harus memenuhi dua kompetensi atau syarat mutlak agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya baik sebagai imam meunasah, pembimbing masyarakat, guru mengaji dan tugas-tugas lainnya. Kedua kompetensi tersebut adalah; 1) Teungku Meunasah harus dipangku oleh orang yang memahami masalah agama atau ureung nyang malêm (orang alim/mahir ilmu agama); 2) Teungku Meunasah harus taat dalam menjalankan syari’at Islam, hal itu karena Teungku Meunasah memerlukan kesetiaan, kesabaran dan disiplin dalam melaksanakan tugas-tugas meunasah.
Sebagai pelaksana pembelajaran seorang teungku bertugas menyampaikan materi dan menuntun anak didik; mengeja huruf al-Qur’an, menuntun anak didik hafal surat-surat pendek, menuntun hingga khatam 30 juz, memberi pelajaran tauhid (aqidah), fiqh (hukum Islam), akhlak, mengajar shalat yang benar dan juga pada hari-hari tertentu memberikan pelajaran menyanyi (sya’ir), zikir dan shalawat agar anak didik belajar sambil senang. Pada kenyataannya teungku bukan hanya berfungsi sebagai guru mengaji tetapi sambil momong (menyayang, melatih, memotivasi dan memberi perhatian psikologi lainnya).
Seorang teungku biasanya tidak membatasi kapan anak didiknya harus selesai belajar kepadanya, kecuali karena sudah khatam al-Qur’an, selesai kitab yang dibaca atau telah menghabiskan materi dasar, kadang anak didik merasa perlu untuk melanjutkan belajar ke tingkat yang lebih tinggi, seperti rangkang, dayah dan seterusnya. Walau sudah melanjutkan biasanya hubungan emosional-kekeluargaan guru (teungku) dan anak didik terus terpelihara dan berlaku hingga dewasa.
Bahkan untuk orang dewasa, seorang teungku masih berkewajiban mengisi aktivitas pengajian di hadapan orang tua, yang telah disepakati warga gampông. Selain dalam peringatan-peringatan hari besar Islam, teungku biasanya diundang untuk berceramah di meunasah gampông lain untuk memberi nasehat-nasehat, petuah-petuah yang tadinya telah ditentukan secara rutin pada hari-hari dan jam-jam tertentu. Mengingat hal itu, kualitas individual seorang teungku akan sangat berpengaruh (kharismatis) di gampông, oleh karena pada masa-masa kerajaan (kesultanan) Aceh bagi seroang teungku yang memiliki pengetahuan tinggi dalam agama pantas mendapatkan jabatan-jabatan di daerah-daerah yang lebih tinggi, bahkan ditempatkan ke ibukota kerajaan di Bandar Aceh Darussalam sebagai seorang Qadhi. Bahkan menurut G.W.J Drewes dalam Hikayat Pocut Muhammad sebagaimana dikutip Ibrahim Husein bahwa Sultan Aceh sangat menghormati dan menghargai pendapatnya dalam menjalankan sesuatu keputusan Kesultanan, umpamanya berperang melawan musuh Sultan.[67]
Secara sosiologis, seorang teungku juga mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat gampông di sekitar meunasah, oleh karena dalam masyarakat Aceh Darussalam teungku bagaikan ibu gampông (dalam persoalan agama). Sebagai fungsi ibu bagi Keuchik (bapak gampông), seorang teungku dituntut bertanggung jawab terhadap masyarakat dan terlibat dalam meningkatkan pembangunan aspek religus masyarakat serta menyatu dengan masyarakat untuk mengontrol aktivitas meunasah (termasuk mengontrol anak didiknya) dan ikut berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Tugas lainnya yang melekat pada teungku adalah memelihara, menjaga dan merawat gedung meunasah untuk memenuhi fungsinya yang religius, yaitu dengan menyelenggarakan shalat jama’ah lima waktu (biasanya yang sering dilakukan adalah shalat magrib). Apabila dapat menyelenggarakan shalat wajib lima waktu secara rutinitas, maka meunasah akan hidup dan eksis di gampông, apalagi rutinitas lainnya yang berupa pengajian untuk anak-anak, untuk dewasa dan menyelenggarakan peringatan-peringatan Hari Besar Islam, menyelenggarakan shalat tarawih pada bulan Ramadhan, dan rutinitas lainnya agar suasana meunasah tetap hidup dan eksis.
Teungku Meunasah secara formal memang tidak dibayar atau tidak memiliki gaji, tetapi biasanya seorang Keuchik (Kepala Desa) mengusahakan sumber pemasukan ekonomi untuk teungku agar dapat menutupi pengeluaran kebutuhan hidupnya. Beberapa sumber penghasilan tersebut menurut Hurgronje[68] antara lain; 1) Pitrah (fitrah), yang harus dibayar tiap orang untuk dirinya dan keluarganya di akhir bulan puasa. Bagian Teungku Meunasah dari Pitrah ini adalah bagian ‘amil dan juga fitrah yang dibawakan aneuk miet beuët kepadanya; 2) Jakeuet (zakat) penghasilan pangan, emas, perak dan lain-lain yang berupa zakat mal. Bagian teungku disini juga diambil dari senif ‘amil; 3) Imbalan uang untuk akad nikah; 4) Hak Teuleukin (berasal dari bahasa Arab: talqin) yang berkisar kurang lebih satu ringgit atau lebih; dan 5) biasanya teungku diberi wewenang oleh masyarakat gampông untuk mengelola musara meunasah [69] untuk digarap oleh teungku dan sebagian hasil garapannya diperuntukkan bagi dirinya dan dijadikan sumber untuk kebutuhan sehari-hari teungku. Selain sumber penghasilan tersebut, kepada teungku pengajian biasanya diberikan sesuatu yang dianggap sebagai hadiah dan lazim dilakukan orang, antara lain: uang minyak lampu (pêng ripêê minyeuk) atau uang penggantinya, dan bagi teungku dapat mempergunakan tenaga aneuk miet beuët untuk membantu dia secara bergotong-royong, baik di sawah atau kebun maupun di rumah teungku. Kemudian jika berkenan dan ada kelebihan, orang tua si anak akan memberikan sekaleng padi pada setiap musim panen.
2. Aneuk miet beuët (Anak didik)
Meunasah bagi orang Aceh merupakan lambang supremasi ureung Aceh, lambang kebudayaan dan meunasah melahirkan orang Aceh “ka jeuet keu ureung Aceh peue goh lom” (sudah betul-betul orang Aceh apa belum) yang menjadi orang beragama dan beradat, serta menjadikan kebanggan aneuk Aceh.[70] Meunasah juga sebagai  sumber energi budaya Aceh, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari orang Aceh. Ungkapan-ungkapan di atas benar-benar menunjukkan bahwa meunasah telah menjadi milik yang asli (orisinil) Aceh dengan segala fungsinya bagi masyarakat dan telah berjasa menjadikan generasi Aceh yang gemilang.
Mengingat hal itu, setiap anak-anak Aceh yang berumur 6-7 tahun atau kanak-kanak pada masa Kesultanan Aceh Darussalam yang telah mencapai umur tersebut, agar mereka berhak mendapatkan pendidikan dasar yang pertama di lembaga pendidikan yang bernama meunasah. Pada usia 6-7 tahun tersebut, anak-anak harus diantarkan orang tuanya pada pengajian di meunasah. Hal itu karena menurut masyarakat Aceh bahwa anak yang sudah berusia 6-7 tahun sudah mempunyai kewajiban agama untuk menunaikan perintah-perintah dan menjauhkan larangan-larangan Tuhan. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, seorang anak membutuhkan pengetahuan dasar (fondamen) tentang agama, baca tulis al-Qur’an, rukun shalat dan pengetahuan praktis lainnya. Maka orang tua anak merasa berkewajiban untuk memberikan pengajian pada anak lewat seorang teungku.
Berkaitan dengan mengantar mengaji (euntat beuët) kepada teungku dalam masyarakat Aceh mempunyai adat yang menarik yaitu terdapat 2 (dua) upacara yang dilangsungkan, antara lain; 1) upacara euntat beuët (antar mengaji); dan 2) upacara peutamat beuët (tamat/khatam mengaji). Upacara-upacara tersebut dimaksudkan agar anak teringat, dan termotivasi (memberikan dorongan) sehingga dapat mengambil manfaat dan hikmah dari pelaksanaan adat Aceh yang mengagumkan tersebut.
a.               Upacara euntat beuët
Pelaksanaan upacara-upacara yang tersebut di atas, dibutuhkan bahan-bahan yang digunakan pada saat upacara berlangsung. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk upacara euntat beuët terdiri dari ketan kuning 1 piring, manok panggang (ayam panggang), pisang abin (pisang susu), beureutêh (bertih), boh manôk reuboh (telur ayam rebus) 1 butir, ranup seuseupêh (sirih), dan ija putêh (kain putih) 6 hasta. Di samping itu juga dibawa alat perlengkapan mengaji seperti juz ‘amma dan rihai (rehal). Bahan-bahan dalam pelaksanaan upacara tersebut diyakini ada (tersirat) oleh maksud-maksud tertentu, misalnya bu leukat (ketan) dimaksudkan sebagai lambang ingatan, supaya melengket semua yang diajar oleh teungku, seperti sifat ketan yang melengket. Beureutêh sebagai perumpamaan hati yang bersih.[71]
Pada saat yang telah disepakati (biasanya sebelumnya telah diberitahukan kepada teungku), kedua orang tua mengantar anak-anaknya ke tempat pengajian. Waktu yang dianggap baik biasanya hari Rabu. Semua bahan-bahan tadi turut dibawa ke tempat pengajian (baik di meunasah atau di rumoh teungku). Yang menarik dari pelaksanaan upacara adalah pada saat menyerahkan anak kepada teungku orang tuanya mengucapkan “nyou lon jok aneuk lon bak teungku, teungku peu beuët, boh neu dhot, boh neu poh, pulang hukôm drou neuh, me bek capiek ngon buta” (saya serahkan anak saya pada teungku, teungku ajarkan ia mengaji, walaupun teungku marahi, teungku pukul, terserah pada teungku, asal jangan cacat).
Ucapan di atas, dilafalkan oleh orang tua anak sambil berjabat tangan dengan teungku, lalu teungku mengucapkan Alhamdulilah (moga-moga Allah memberkahi). Mulai saat ini sudah resmi menjadi murib (anak didik) teungku.
Selanjutnya teungku mengambil beureutêh dan ketan masing-masing satu genggam untuk disuap ke dalam mulut anak, dengan mengucapkan Bismillah. … selebihnya akan dibagi-bagikan kepada murid-murid yang lain, atau kepada yang hadir saat euntat beuët itu. Acara yang terakhir teungku menjelaskan waktu (jadwal) mengaji. Selesai penyerahan ini, kedua orang tua anak pulang ke rumahnya, maka selesailah upacara euntat beuët.
b.              Upacara peutamat  beuët
Upacara peutamat beuët (tamat mengaji) sering juga disebut dengan upacara khatam. Upacara ini dilakukan setelah anak menamatkan juz ‘amma (al-Qur’an kecil) dan setelah tamat al-Qur’an besar. Bahan-bahan yang dibawa untuk upacara tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan di atas seperti beureutêh, ketan kuning, tumpoe dan bahan-bahan tepung tawar.  Menurut Darwis A. Sulaiman, bawaan tersebut dimaksudkan sebagai penawar agar anak terbuka dan terang pikirannya dalam belajar (peunawa trang hatê). Selain bawaan tersebut orang tua juga harus mempersiapkan sebuah al-Qur’an besar (30 juz) yang harus dibawakan pada acara tersebut.[72]
Apabila seorang anak dirasa dapat menerima pelajaran dengan lancar, baik pelajaran juz ‘amma (al-Qur’an kecil) hingga khatam al-Qur’an (al-Qur’an Besar), hingga dapat melafalkan huruf al-Qur’an dengan fasih, maka orang tua hendaknya terus memberikan dorongan agar melanjutkan pada pelajaran lain. Baik pada pengetahuan aqidah, rukun Islam, rukun Iman, pelajaran ilmu fiqh (praktis) dan sya’ir yang bernuansa kesenian Islam serta salah satu kurikulum terpenting dari meunasah adalah pelajaran akhlak (adat kesopanan), terutama kesopanan pada orang tua dan akhlak pada ibu bapak serta masyarakat gampông.
Setelah anak-anak mencapai usia dewasa dan mampu membaca al-Qur’an dengan fasih serta mendapat pengetahuan dasar agama, maka orang tua di Aceh berkewajiban melanjutkan pendidikan anaknya di rangkang, dayah dan bahkan ke universitas (Dayah Teungku Chik) bahkan ke Jami’ah Bait al-Rahman. Berbeda dengan pendidikan di meunasah yang masih berada dalam gampông, pendidikan rangkang, dayah dan lain-lain biasanya tempatnya berada di luar gampông sehingga anak harus merantau ke luar gampôngnya untuk memperdalam ilmunya, yang dalam bahasa Aceh disebut jak meudagang.

G.         Sarana dan Prasarana Meunasah

Bagi masyarakat Aceh meunasah memiliki multi fungsi tetapi secara esensial terdapat dua fungsi; pertama, fungsi keagamaan dan kemasyarakatan, seperti tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat serta tempat penyalurannya, penyelesaian perkara agama, musyawarah dan menerima tamu; kedua, sebagai lembaga pendidikan dimana secara mendasar disajikan tentang tata cara membaca al-Qur’an serta pengetahuan dasar agama lainnya. Kedua fungsi meunasah tersebut berjalan secara terintegrasi. Pada sisi lain masih banyak fungsi sosial-kemasyarakatan yang mengindikasikan bahwa meunasah menjadi milik dan kebanggaan masyarakat Aceh.
Memandang pentingnya bangunan meunasah sebagai milik masyarakat gampông, maka sarana dan pra-sarana meunasah pada hakikatnya adalah milik masyarakat. Bangunan yang mirip rumah adat (tradisional) bila dari fisik bangunan memang sederhana, tetapi mengingat fungsinya yang besar bangunan ini menjadi lembaga pendidikan dasar di Aceh, hal itu telah diakui oleh para ahli sejarah maupun adat Aceh, bahwa meunasah telah dijadikan lembaga pendidikan tingkat rendah sejak zaman kejayaan Kesultanan Aceh (abad ke 16-17).
Berbagai sarana sederhana yang ada di meunasah secara kongkrit hanyalah rumah panggung dan tempat air untuk berwudhu’. Beberapa al-Qur’an biasanya tersedia di bangku kecil di dekat dinding, agar siapa saja dapat dengan mudah mengambil dan membaca al-Qur’an. Sebagaimana langgar di Jawa, biasanya meunasah bertempat di pinggir jalan agar penduduk gampông dengan mudah mengenal bangunan tersebut dan dapat mempergunakannya sebagai bagian dari aspek kehidupannya. Bangunan panggung ini dibagi dua fungsi utama, di atas (panggung) digunakan sebagai tempat ibadah dan mengaji, sedangkan di serambi (bawah) dijadikan tempat untuk balai pertemuan dan fungsi sosial lainnya.
Pada kehidupan masyarakat Aceh, meunasah masa kejayaan Aceh adalah sebagai sentral-lini (pusat komando) pengendalian tata kehidupan masyarakat gampông. Sebagai pilar budaya meunasah memiliki ciri khas yang membedakan bangunan ini dengan rumah tradisional (rumah kediaman), tetapi karena bukan rumah maka tidak memiliki jendela, tidak ada lorong dan sekat-sekat, karena tempatnya yang demikian meunasah saat itu bisa digunakan sebagai tempat menginap bagi kaum laki-laki yang sudah akil baligh, sebagai tempat menginap tamu yang tinggal di suatu gampông lain, atau juga pria dewasa yang belum menikah, yang menjadi ciri khas dalam masyarakat Aceh untuk membedakan antara pria yang sudah menikah dengan yang masih bujangan.
Aktivitas pendidikan keagamaan di meunasah biasanya di mulai dari anak-anak (laki-laki) datang menjelang shlat ‘ashar/maghrib, kemudian anak-anak beserta warga gampông melaksanakan shalat berjama’ah yang dipimpin imam (Teungku Meunasah), setelah shalat berjama’ah, teungku telah ditunggu anak didik untuk melaksanakan pengajian. Teungku Meunasah kemudian duduk bersila diikuti oleh anak-anak yang duduk melingkar (halaqah) untuk segera memulai pengajian. Dengan penerangan apa adanya, biasanya di meunasah disediakan lampu kandê (lampu tradional yang terbuat dari tanah liat, ukurannya agak besar) pengajian dilaksanakan dengan khidmat sampai menjelang bedug ‘Isya. Sedangkan perlengkapan pengajian sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah menjadi tanggung jawab si anak melalui orang tuanya, biasanya perlengkapan pengajian dibawa pulang kembali setelah pengajian selesai.
Berbeda dengan rumah yang merupakan milik pribadi, pembangunan meunasah adalah tanggung jawab masyarakat gampông yang dipimpin oleh Keuchik dengan dibantu oleh Teungku Meunasah beserta tokoh-tokoh (ureung tuha) yang tergabung dalam Tuha Peut dan Tuha Lapan. Dengan kordinasi yang berkesinambungan diantara para pemuka masyarakat tersebut, maka eksistensi meunasah akan terus hidup hingga generasi ke generasi. Untuk biaya pemeliharaan atau perbaikan meunasah bisa dua kemungkinan, menurut Badruzzaman Ismail (hasil wawancara pada bulan Januari 2008), bila kerusakannya hanya membutuhkan biaya sekedarnya saja maka menjadi tanggung jawab Teungku Meunasah, sebaliknya bila membutuhkan biaya yang besar ditanggung bersama oleh masyarakat gampông dengan sekedar tambahan dari hasil sebagian kecil dari musara meunasah.
Dari pengamatan penulis, bentuk dan kondisi meunasah telah mengalami perubahan dari aslinya, karena meunasah saat ini bangunannya sebagian besar sudah permanen, dilengkapi dengan jendela, mempunyai tempat wudhu’ permanen, bak wudhu’ dengan penerangan lampu listrik dan berbagai sarana dan prasarana lainnya. Kondisi fisik meunasah yang dmk sangat tergantung kepada hasil dari sumbangan masyarakat, hasil musara meunasah dan juga bantuan dari pemerintah.

H.          Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi rumusan penelitian antara lain:
1.              Asal-usul meunasah diketahui setelah terbentuknya masyarakat gampông Islam. Beriringan dengan lahirnya masyarakat gampông Islam itu didirikan pula lembaga gampông yang dikenal dengan nama meunasah (berasal dari bahasa Arab, madrasah). Namun lembaga serupa meunasah sudah dikenal jauh sebelumnya, walaupun namanya tidak diketahui. Perkembangan meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional Aceh baru diketahui sejak munculnya sistem pemerintahan pada masa Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636). Lembaga ini terdapat di setiap gampông (desa) dalam wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Lembaga meunasah merupakan program pendidikan Islam yang ditransfer dari sistem dan organisasi madrasah Nizamiyah. Hal itu karena sebelum Iskandar Muda hanya ditemukan lembaga pendidikan tradisional yang disebut dayah yang berasal dari z>awiyah, bahkan sudah ada pada masa Kerajaan Peureulak dan Samudera-Pasai. Meunasah sebagai lembaga pendidikan dasar (tingkat rendah) benar-benar eksis dan fenomenal menjadi milik masyarakat Aceh sejak masa kejayaan Islam atau masa Sultan Iskandar Muda. Perkembangan tersebut sekaligus berhubungan dengan proses islamisasi lembaga pendidikan dan terpadunya dengan sistem pemerintahan dari; Gampông (Desa) terdapat meunasah sehingga terdapat integrasi adat-agama, antara Keuchik dengan Teungku Meunasah, di mukim ada integrasi antara Imuem Mukim dan Q>ad}i Mukim dan terdapat rangkang dan dayah. Sementara di Nanggroe dan Ibukota Kerajaan juga terdapat kesinambungan antara Ulêê Balang dengan Teungku dan Q>ad}i.
2.              Pola (sistem) pendidikan di Kerajaan Aceh Darussalam terdapat tingkatan-tingkatan yang teratur dari tingkatan rendah/dasar Meunasah, tingkat menengah Rangkang, dan Dayah setingkat MA/SMA/sederajat, sementara pada tingkat universitas dan perguruan tinggi ada Dayah Teungku Chik dan Jami’ah Bait al-Rahman. Tingkatan dari Meunasah, Rangkang, Dayah, Dayah Teungku Chik dan Jami’ah Bait al-Rahman ini menjadi sistem pendidikan terbaik dan menghantar Aceh menjadi “Kota Universitas” dan julukan “Serambi Mekkah” menjadi kenyataan.
3.              Sistem pembelajaran meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tingkat dasar adalah sebagai berikut:
a)              Kurikulum yang diberikan di meunasah antara lain; awalnya diajarkan membaca al-Qur’an (Qur’an Kecil dan Besar) atau Juz ‘amma dan al-Qur’an lengkap. Pada tahapan berikutnya diajarkan aqidah, akhlak (kesopanan), rukun Islam, rukun Iman, fiqh praktis dan pada akhirnya diajarkan kitab-kitab kecil (Arab-Melayu/Jawoe) seperti; Masail al-Muhtadi, Bidayah al-Hidayah, Perukunan, Kitab Lapan, dan lain-lain.
b)             Metode penyampaian materi yang digunakan adalah menggunakan metode halaqah (dalam lingkaran) yaitu seorang teungku memberikan materi dengan posisi sila duduk di tengah, anak didik (murib) duduk bersila mengelilingi teungku. Tapi kadang teungku menggunakan metode sorogan, belajar secara perorangan. Pada tahapan pembelajaran terdapat dua metode yang digunakan, yaitu metode mengeja huruf dan menghafal. Ditambahkan juga lama pembelajaran sekitar 2-10 tahun, dengan target dapat mengkhatamkan al-Qur’an dan memahami pengetahuan dasar agama Islam sebagai bekal hidup murib.
c)              Hubungan antara teungku dan aneuk miet beut atau murib (anak didik/murid/santri) bersifat egaliter (kekeluargaan) baik di meunasah maupun di luar meunasah, bahkan hubungan tersebut terus berlanjut hingga anak didik mencapai dewasa.
d)            Di meunasah juga terdapat pelajaran ekstra berupa kesenian yang bernafaskan Islam antara lain; qasidah, rapai, dikê, seulaweut dan dalail khairat.
e)              Perlu dijelaskan juga bahwa di meunasah anak didik (murib) atau aneuk miet beut yang belajar pada umumnya adalah anak laki-laki berkisar umur 6-7 tahun, sedangkan anak-anak perempuan (aneuk miet beut inoeng) diajarkan oleh Teungku Inoeng di rumahnya atau di balêê (balai) yang khusus disediakan untuk anak perempuan.

[1] Tulisan ini merupakan synopsis hasil penelitian (Tesis) penulis pada saat menyelesaikan pendidikan S2 di Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang. Sekarang penulis bekerja sebagai Staf Pada Mapendais Kantor Departemen Agama Kabupaten Aceh Timur.

ENDNOTES
[1]  Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1995, hlm. 21.
[2] Menurut Hasjmy dayah berasal dari bahasa Arab “za>wiyah”. Lihat: Hasjmy, Pendidikan Islam di Aceh Dalam Lintasan Sejarah, “Sinar Darussalam, 63, Agustus/September 1975, hlm. 7. Senada dengan itu Safwan Idris menyebutkan bahwa dalam bahasa Aceh kata-kata za>wiyah tersebut lambat laun berubah sebutannya menjadi dayah. Hal itu disebabkan pengaruh dialek bahasa Aceh yang pada dasarnya tidak memiliki bunyi Z dan cenderung lebih memendekkan. Lihat: Safwan Idris, “Perkembangan Pendidikan Pesantren/Dayah (Antara Tradisi dan Pembaharuan)”, dalam Badruzzaman Ismail, dkk., (ed.), Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, hlm. 61-92.
[3] Menurut Safwan Idris za>wiyah berarti sudut atau pojok. Sebagai lembaga pendidikan, za>wiyah memang berasal dari pengajian-pengajian yang diadakan di sudut-sudut mesjid yang merupakan lembaga pendidikan yang sangat awal dalam Islam. Dari pengajian di sudut atau pojok mesjid inilah lahirnya institusi yang disebut dengan za>wiyah. Lihat: Safwan Idris, Perkembangan Pendidikan Pesantren …, hlm. 61-92.
[4] Sadli, M. Z.A., “Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh: Ulama, Meunasah dan Rangkang”, dalam Abudin Nata, (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001, hal. 27-54.
[5] Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981, hlm. 309; Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 192.
[6] Hasjmy, Sejarah Kebudayaan …, hlm. 192.
[7] Hasjmy ,  Iskandar Muda Meukuta Alam, Jakarta: Bulan Bintang , 1978, hlm. 68-71.
[8] Muslim Ibrahim, “Pengembaraan Kebudayaan Aceh di Luar Tanah Ranahnya”, dalam Yustiono, et.al. (ed.), Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini dan Esok, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993, hlm. 269.
[9] Ibrahim Husein, “Sejarah Singkat Pendidikan di Aceh”, dalam Badruzzaman Ismail, dkk., (ed.), Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995, hlm. 47-60.
[10] Sulaiman Tripa,,  Meunasah Ruang Serba Guna Masyarakat Aceh (artikel), http/www.aceh.institute.org. 2006.
[11] Meunasah berasal dari istilah bahasa Arab yaitu madrasah, artinya lembaga/tempat belajar (Lihat: C. Snouck Hurgronje, ACEH Rakyat dan Adat Istiadat, Jakarta: INIS, 1996, hlm. 47; Hasjmy, Pendidikan di Aceh…, hlm. 71; Badruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Provinsi NAD, 2002, hlm. 5; Idris, Perkembangan Pendidikan Pesantren …, hlm.  61).
[12] Muhammad Ibrahim , dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah Budaya, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah., 1981: 21)
[13] C. Snouck Hurgronje ,  ACEH …, hlm. 48.
[14] C. Snouck Hurgronje ,  ACEH …, hlm. 1.
[15] Taufik Abdullah et..al. , Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, hlm. 221.
[16] T. Syamsuddin, “Peranan Meunasah Sebagai Pusat Pendidikan dalam Masyarakat Aceh”, Majalah Jeumala, diterbitkan oleh: Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), No. 5 (Maret – April 1993), hlm. 17
[17] Kenyataan tersebut dapat juga digambarkan bahwa apabila di suatu daerah (baik dalam maupun di luar negeri) sudah berkumpul komunitas masyarakat Aceh, maka mereka sudah berpikir untuk mendirikan meunasah sebagai pusat kegiatan sosial keagamaan. Maka tidak heran kalau misalnya di Jakarta atau daerah lainnya di Indonesia ada yang membangun meunasah Aceh, bahkan menurut penuturan seorang teman peneliti yang sudah menetap di Malaysia, di sana ada juga meunasah Aceh. Meunasah tersebut dibangun atas kerjasama komunitas masyarakat Aceh yang sudah menetap disana.
[18] Kini bentuk bangunan fisik meunasah banyak yang telah berubah tidak hanya seperti rumah panggung tetapi juga sudah beton (permanen) dan dari segi arsitekturnya ada juga yang tidak lagi mengikuti arsitektur rumah Aceh.
[19] Abudin Nata,  Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo bekerja sama dengan IAIN Jakarta, 2001, hlm. 42.
[20] Safwan Idris, “Pendidikan di Aceh”, dalam Badruzzaman Ismail, dkk., (ed.), Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995, hlm. 1-23.
[21] Denys Lombard,  Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), terj: Winarsih Arifin, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2006:  hlm. 77..
[22] Taufik Abdullah et.al., Ensiklopedi Tematis …, hlm. 222.
[23] Abdurrahman A. Gani,  Pandangan Hidup Rakyat Aceh Adat Bak Poteu Meureuhom Hukum Bak Syiah Kuala, Skripsi Pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, Tidak dipublikasikan, 1974, hlm. 21.
[24] Badruzzaman Ismail,  Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Provinsi NAD, 2002, hlm. 4.
[25] Hasjmy,  Pendidikan Islam di Aceh …, hlm.  7
[26] C. Snouck Hurgronje, ACEH …, hlm.  48-49.
[27] C. Snouck Hurgronje, ACEH …, hlm. 57.
[28] Pendidikan Islam dalam perjalanannya sangat dipengaruhi oleh dua arus pergumulan. Pertama, bidang politik (kekuasaan) dan kedua, bidang pemikiran Islam. Dua arus pergumulan bidang politik dan pemikiran dalam sejarah pendidikan Islam adalah ditemukannya lembaga-lembaga pendidikan yang khusus dan sekaligus merupakan ciri aliran tertentu. Sebagai misal, berdirinya lembaga Dār al-Hikmah lebih mengarah pada pola pendidikan failasuf (filsafat) dan pengikut Syi’ah. Berdirinya lembaga-lembaga al-Zāwiyah atau al-Ribath adalah mengarah pada pola khas sufi (tasawuf). Madrasah pada awalnya merupakan lembaga pendidikan yang didukung oleh para ulama fiqh dan al-Hadits. Untuk selengkapnya lihat Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, 1999, hlm.  64-65.
[29] Muhammad Ibrahim dkk., Sejarah Pendidikan …, hlm. 21.
[30] C. Snouck Hurgronje,  ACEH …., hlm.  48.
[31] Hanun Asrohah , Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, hlm. 144.
[32] Berbeda dengan Hasjmy, Taufik Abdullah et.al (2002: 64) menjelaskan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam didirikan pada tahun 1514. Namun menurut peneliti perbedaan tersebut sesuatu yang lumrah terjadi dalam penulisan sejarah dan bukanlah persoalan yang dinilai penting untuk dipermasalahkan.
[33] Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983, hlm. 59.
[34] Zakaria Ahmad ,  Sekitar Keradjaan Atjeh dalam tahun 1520-1675, Medan: Penerbit Monora, 1972, hlm.  37.
[35] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jil. I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 51.
[36] Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan …, hlm. 41.
[37] Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan …, hlm. 41.
[38] Muhammad Said, Aceh …, hlm. 201-202; Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan …, hlm. 98.
[39] Muhammad Said, Aceh …, hlm. 205.
[40] Muhammad Said, Aceh …, hlm. 206.
[41] H.M. Zainuddin,  Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda, t.th., hlm.  248;  Bachtiar Ali, “Relevansi Pelestarian Adat dan Budaya Aceh Bagi Kepentingan Pengemangan Budaya Bangsa Indonesia Sepanjangan Masa”, dalam: T. Ali Basyah Talsya, Adat dan Budaya Aceh-Nada dan Warna, Jakarta: Panitia Penyelenggara Seminar dan Mubes ke-2 Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Pusat, Tanggal 12-15 September 1994, hlm.  247-248.
[42] Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan …, hlm. 49
[43] Syeikh Djailani ini pernah dua kali datang ke Aceh, yaitu pada masa Sultan Mansur Syah. Pada saat itu di Aceh sedang pesatnya pengembangan ilmu tasawuf, sehingga beliau diminta untuk mengajarkan tasawuf, padahlm beliau ahli ilmu mantiq, balaghah dan fikih. Karena tertarik kepada ilmu tasawuf beliau kembali ke Mekkah dan kemudian kembali ke Aceh pada masa Sultan al-Mukammal dan mengajar tasawuf di Aceh.
[44] Ismail Yakub, “Gambaran Pendidikan di Aceh Sesudah Perang Aceh-Belanda Sampai Sekarang”, dalam Ismail Suny, (ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Aksara, 1980, hlm. 319.
[45] Hasjmy, “Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan”, dalam Ismail Suny, (ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Aksara, 1980, hlm. 214.
[46] C. Snouck Hurgronje,  ACEH …, hlm. 48
[47] Hasjmy, “Keistimewaan Aceh Dalam Bidang Pendidikan”, dalam Badruzzaman Ismail, dkk., (ed.), Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995:, hlm. 14.
[48] Muhammad Said, Aceh …, hlm. 309; Hasjmy,  Sejarah Kebudayaan …, hlm. 192.
[49] Muhammad Ibrahim dkk., Sejarah Pendidikan …, hlm. 27.
[50] Muhammad Ibrahim dkk. , Sejarah Pendidikan …, hlm. 28.
[51] Ibrahim Husein, “Sejarah Singkat Pendidikan …, hlm. 47-60.
[52] Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan …, hlm. 139.
[53] Sadli M.Z.A,  “Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh…, hlm. 42.
[54] Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan …, hlm. 123.
[55] Oemar Hamalik,  Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, hlm.  3.
[56] Badruzzaman Ismail,  Mesjid dan Adat Meunasah …, hlm.  5.
[57] Sadli M. Z.A. , “Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh…, hlm. 44.
[58] Semacam diskusi kelompok membahas masalah agama; pesertanya dibagi dalam dua kelompok dan tanya jawab berlangsung dengan dilagukan (wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh).
[59] Moehammad Hoesin,  Adat Atjeh, Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970, hlm. 77.
[60] Muhammad Ibrahim  dkk., Sejarah Pendidikan …, hlm.  45.
[61] Ibrahim Husein , Sejarah Singkat Pendidikan…, hlm. 59.
[62] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1994, hlm.  28;  Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam …, hlm. 23.
[63] Taufik Abdullah et.al., Ensiklopedi Tematis …, hlm.  223.
[64] Hasjmy, Sejarah Pendidikan …, hlm. 21.
[65] Mahmud Yunus,  Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985, hlm.  35.
[66] Moh. Miftahul Choiri,  “Guru Masa Klasik (Kajian Historis Tentang Status Sosial dan Peran Guru” dalam Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 141-154.
[67] Ibrahim Husein,  Sejarah Singkat Pendidikan…, hlm. 48.
[68] C. Snouck Hurgronje, ACEH …, hlm.  8.
[69] Harta kekayaan meunasah yang berasal dari hibah atau waqaf seseorang baik berupa kebun, ladang dan sebagainya.
[70] Alamsyah,  Pola Pengasuhan Anak Secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Cet. I, n.p., Yasperindo Selaras, 1993,  hlm. 8.
[71] Departemen P dan K,  Upacara Tradisional Propinsi  Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya – Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah , 1981, hlm.  53.
[72] Darwis A. Sulaiman,  Kompilasi Adat Aceh – Buku Satu Adat Sekitar Lingkaran Hidup, Laporan Penelitian Yayasan Toyota, 1989, hlm.  287.
DAFTAR  PUSTAKA
A. Gani, Abdurrahman,  Pandangan Hidup Rakyat Aceh Adat Bak Poteu Meureuhom Hukum Bak Syiah Kuala, Skripsi Pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, Tidak dipublikasikan, 1974.
Abdullah,  Taufik et..al. , Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Ahmad, Zakaria,  Sekitar Keradjaan Atjeh dalam tahun 1520-1675, Medan: Penerbit Monora, 1972.
Alamsyah,  Pola Pengasuhan Anak Secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Cet. I, n.p., Yasperindo Selaras, 1993.
Ali, Bachtiar, “Relevansi Pelestarian Adat dan Budaya Aceh Bagi Kepentingan Pengemangan Budaya Bangsa Indonesia Sepanjangan Masa”, dalam: T. Ali Basyah Talsya, Adat dan Budaya Aceh-Nada dan Warna, Jakarta: Panitia Penyelenggara Seminar dan Mubes ke-2 Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Pusat, Tanggal 12-15 September 1994.
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Choiri, Moh. Miftahul, “Guru Masa Klasik (Kajian Historis Tentang Status Sosial dan Peran Guru” dalam Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Departemen P dan K,  Upacara Tradisional Propinsi  Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya – Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah , 1981.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jil. I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1994.
Hamalik, Oemar, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1995.
Hasjmy ,  Iskandar Muda Meukuta Alam, Jakarta: Bulan Bintang , 1978.
———, “Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan”, dalam Ismail Suny, (ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Aksara, 1980.
————, “Keistimewaan Aceh Dalam Bidang Pendidikan”, dalam Badruzzaman Ismail, dkk., (ed.), Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995.
———-, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
———–, Pendidikan Islam di Aceh Dalam Lintasan Sejarah, “Sinar Darussalam, 63, Agustus/September 1975.
———-, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Hoesin, Moehammad, Adat Atjeh, Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970.
Hurgronje, C. Snouck, ACEH Rakyat dan Adat Istiadat, Jakarta: INIS, 1996.
Husein, Ibrahim, “Sejarah Singkat Pendidikan di Aceh”, dalam Badruzzaman Ismail, dkk., (ed.), Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995.
Ibrahim, Muslim, “Pengembaraan Kebudayaan Aceh di Luar Tanah Ranahnya”, dalam Yustiono, et.al. (ed.), Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini dan Esok, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993.
Ibrahim, Muhammad dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah Budaya, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah., 1981.
Idris, Safwan, “Pendidikan di Aceh”, dalam Badruzzaman Ismail, dkk., (ed.), Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995.
———–, “Perkembangan Pendidikan Pesantren/Dayah (Antara Tradisi dan Pembaharuan)”, dalam Badruzzaman Ismail, dkk., (ed.), Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 1995.
Ismail, Badruzzaman, Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Provinsi NAD, 2002.
Lombard, Denys, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), terj: Winarsih Arifin, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2006.
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Cet.I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Nata, Abudin,  Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo bekerja sama dengan IAIN Jakarta, 2001.
Sadli, M. Z.A., “Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh: Ulama, Meunasah dan Rangkang”, dalam Abudin Nata, (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001.
Said, Muhammad, Aceh Sepanjang Abad, Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981.
Sulaiman, Darwis A., Kompilasi Adat Aceh – Buku Satu Adat Sekitar Lingkaran Hidup, Laporan Penelitian Yayasan Toyota, 1989.
Syamsuddin, T, “Peranan Meunasah Sebagai Pusat Pendidikan dalam Masyarakat Aceh”, Majalah Jeumala, diterbitkan oleh: Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), No. 5, Maret – April 1993.
Tripa, Sulaiman, Meunasah Ruang Serba Guna Masyarakat Aceh (artikel), http/www.aceh.institute.org. 2006.
Yakub, Ismail, “Gambaran Pendidikan di Aceh Sesudah Perang Aceh-Belanda Sampai Sekarang”, dalam Ismail Suny, (ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Aksara, 1980.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985.
Zainuddin, H.M., Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda, t.th..



http://kantorkemenagacehtimur.wordpress.com/2011/03/01/artikel-meunasah-sbg-lembaga-pendidikan-tradisional-islam-di-aceh/

JANGAN LUPA