Ia satu dari empat ulama terkemuka Aceh di Zaman kerajaan. Peran besarnya berpengaruh langsung pada pengembangan intelektualitas di Aceh abad ke-l7.ACEH dikenal di mata internasional sebagai satu-satunya negara kerajaan yang memiliki aksentuasi keislamannya sangat kental. Di masa keemasanya, Kerajaan Aceh telah melahirkan para pujangga, baik pujangga kerajaan maupun dari kalangan ulama.
Di Aceh sendiri lahir beberapa kitab, di antaranya, sebut saja kitab Bustanu Al-Salathin yang menceritakan bagaimana masa kejayaan Kerajaan Aceh, Taman Gairah atau sekarang lebih dikenal dengan Taman Putoe Phang dan juga termasuk para sufi terkenal seperti Syamsuddin As Sumatrani, Syeh Nuruddin Ar Raniry, Hamzah Fansuri, Syeh Abdurrauf As Singkili (Syiah Kuala).
Para tokoh-tokoh dan juga ulama besar inilah yang sangat berjasa dalam membangun tamaddun Aceh dengan warna religius yang seakan merajai setiap sendi-sendi kehidupan sosio-kultur di negeri 1001 rencong ini. Maka tak heran kalau di tanah Aceh sampai sekarang masih memiliki aura peradaban Islam yang mengakar, walau mulai terkikis akibat transfomasi sosial yang terus merongrong. Apa lagi pascatsunami, sangat drastis gejolak pergeseran nilai terutama religi di negeri ini.
Dari sekian banyak ulama besar Aceh tempo dulu, Syamsuddin Sumatrani lah tokoh terkemuka sufi yang sangat kurang dibahas dalam berbagai even, baik diskusi, seminar, penulisan atau lainnya. Padahal beliau juga telah turut menghadirkan nuansa esoteris pada perwajahan Islam di Aceh.
Profil tokoh sufi yang satu ini memang menakjubkan, namun seribu sayang, sepakterjang dan jejak sang sufi sangat sulit untuk ditelusuri secara utuh. Para “pemburu” sejarah pun kelelahan mencari informasi lengkap tentang perjalanan hidupnya. Yang lebih menyulitkan para pemburu, tidak ditemukannya catatan otobiografisnya dan langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dijadikan rujukan.
Menurut beberapa sumber yang telah menapaki jejaknya, sebut saja Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai Syamsuddin As Sumatrani. Di antara sumber tua mengenai kiprah beliau adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak mengulas perjalanan hidupnya secara detail. Meski demikian, dari serpihan-serpihan dokumen historis yang terbatas itu, cukuplah bagi penulis untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya dan spektrum pemikirannya.
Mengenai asal-muasalnya, sampai saat belum diketahui secara pasti, baik tanggal maupun tempat kelahirannya. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai yang sekarang lebih dikenal dengan Aceh Utara. Sebab memang di ujung paling barat pulau Sumatra ini, ratusan tahun lalu, pernah berdiri kokoh sebuah kerajaan yang cukup meuceuhu, yakni kerajaan Samudra Pasee. Itulah sebabnya ia juga terkadang disebut Syamsuddin Pasai.
Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasee mengisyaratkan adanya dua kemungkinan teka-tekit asal usulnya. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasee atau Sumatra. Dengan demikian maka bisa diasumsikan bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.
Mengisahkan tentang peran Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam memang tepat, karena Negeri Pasai memang sebagai pintu gerbang pertama masuknya Islam ke Asia Tenggara. Bahkan lebih dahulu terkemuka daripada kerajaan Aceh Darussalam. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu berdiri yaitu sekitar abad ke-14 dan 15 M, sebelum akhirnya Pasee diserang dan dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. dan selanjutnya tampuk kekuasaan Negeri Pasee jatuh pada Kerajaan Aceh Darussalam, setelah kerajaan ini mampu mengusir portugis tahun 1524.
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin As Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan Al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin As Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan semasa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin As Sumatrani adalah satu dari empat ulama terkemuka lainnya. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Ketiga ulama lainnya tersebut adalah Hamzah Fansuri, Nuruddin Raniri, dan Abdur Rauf As singgkili.
Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, Sejarawan Almarhum Ali Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Mengenai hubungannya dengan Syeh Nuruddin Ar-Raniry tidak diketahui secara pasti. Namun yang jelas, tujuh tahun setelah Syamsuddin As Sumatrani wafat, Syeh Nuruddin Ar-Raniry menduduki jabatan yang sebelumnya ditempati Syamsuddin As Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis.
Pada kisaran tahun 1644 Syeh Nuruddin Ar-Raniry disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin As Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.
Alam Pemikiran Sang Mutiara
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah tulisan yang berasal dari karya-karya Syamsuddin As Sumatrani. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, dan sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Di antara karya tulisnya yang terkenal adalah sebagai berikut:Jawhar al-Haqa’iq, merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini mengulas pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah, Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
Mir’at al-Mu’minin, Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).
Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri, Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
Syarah Sya’ir Ikan Tongkol, Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana’ di dalam Allah.
Nur al-Daqa’iq, Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh). Thariq al-Salikin, Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya. Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur, Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh. Kitab al-Harakah, Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.
Wahdatul Wujud
Syamsuddin As Sumatrani menganut faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah. Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.
Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi adalah Syamsuddin As Sumatrani. Pengajarannya tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.
Sementara bagi salik yang sudah pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami, tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.
Namun terdapat perbedaan antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi.
Kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan sebaliknya (baik dari wujud maupun dari penampakan).
Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin As Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar.
Bagi Syamsuddin As Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).
Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya: I’lam, ketahui olehmu bahwa sesungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.
Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.
Atas uraian Syamsuddin As Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.
Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya.
Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya. Dalam sumber sejarah yang lain disebutkan, Syamsuddin As Sumatrani difitnah oleh Syeh Nuruddin Ar-Raniry yang namanya sekarang diabadikan pada salah satu perguruan tinggi agama ternama di Aceh. fakta sejarah itu mengkuhkan Nuruddin Ar Raniry ternyata adalah pembual dan pecundang sejati dari Ranir, India.
Berdasarkan fakta sejarah yang ada, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani bukanlah pengikut wahdatul wujud yang dituding sesat itu, tapi ia mukmin sejati sebagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jadi pembunuhan terhadap pengikut Hamzah Fansuri dan pembakaran kitabnya adalah dosa besar yang pernah terjadi dalam sejarah Aceh yang gemilang itu.[]
Penulis Rammat RA, Wartawan Harian Aceh, (Refensi tulisan dari berbagai sumber)
http://harian-aceh.com/2011/02/28/mutiara-aceh-dari-negeri-pasai