Oleh Iskandar Norman
Pada zaman perjuangan melawan penjajahan Belanda di Aceh. banyak wanita Aceh tidak mengakui suaminya, hanya karena ayah dari anaknya itu telah tunduk kepada Belanda. Memilih menjadi janda dari pada disebut istri cuak. Namun tak sedikit pula wanita Aceh yang tersiksa, hanya karena suaminya informan Belanda.
Salah satu kejadian seperti itu, terjadi di Lhong, Aceh Besar pada tahun 1933. menurut Zentgraaff, seorang penulis Belanda dalam bukunya “Atjeh” pada saat itu di sebuah desa terdapat 13 pria pejuang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun salah satu diantaranya menyerahkan diri kepada Belanda.
Mengetahui hal tersebut, istrinya marah besar. Ia tidak lagi menerima ayah dari anak-anaknya itu. Para penduduk pun mengucilkannya. Akibatnya, pria itu terpaksa tidur di sebuah gubuk di ladangnya. Tak lama kemudian, seorang kolonel Belanda bersama seorang pegawai pemerintah, datang ke desa itu untuk menginterogasi wanita yang telah mengusir suaminya itu.
Ketika ditanya Kolonel tadi, ia menjawab. “Suami saya? Saya tidak punya suami.” Jawaban itu diberikannya sambil meludah ke tanah di hadapan sang kolonel. Namum ketika nama suaminya disebut. Ia langsung memotong dan berkata dengan suara lantang. “Dia bukan laki-laki.” Kolonel tadi pun geleng-geleng kepala. Bagi wanita itu, suaminya tak ubahnya seorang pengecut, karena menyerah, bukan mati syahid sebagaimana pejuang lainnya.
“Siapapun boleh berkompromi, tetapi pantang bagi wanita Aceh; dia memikul sahamnya dalam bencana perang sebagai pahlawan (srikandi), dan seringkali: sebagai martelares. Kadang-kadang ia menderia lebih hebat lagi dari orang senegerinya dibandingkan dengan siksa yang dilancarkan oleh kompeuni, lebih-lebih kalau ia berdiam di zona di mana silih berganti muncul pasukan kita dan kemudian pihak pemberontak,” tulis Zentgraaff.
Kejadian yang sama juga terjadi di Desa Pulo Seunong, Tangse, Pidie. Seorang pria yang bekerja sebagai informan Belanda ditangkap pejuang Aceh. Hal itu terbongkar ketika melihat informan tersebut memiliki banyak uang, penyelidikan pun dilakukan, akhirnya diketahui uang itu didapat dari Belanda atas jasanya memberi informasi keberadaan pejuang Aceh. Informan itu pun ditangkap dan disembelih. Dalam kurun waktu satu tahun saja, menurut Zentgraaff, tak kurang dari 20 cuak, yang dipotong lehernya. Namun keluarga yang ditinggalkan tidak pernah meratapinya. Karena dianggap telah berkhianat.
Kebengisan Keuchik Maha
Yang lebih miris adalah apa yang dialami, istri seorang cuak yang bernama Banta di Desa Pulo Kawa. Pada suatu malam di bulan Juli 1910, pimpinan gerombolan Aceh, Keuchik Maha, bersama pengikutnya mendatangi kampung tersebut untuk mencari Banta yang diketahui sebagai informan Belanda.
Namun ketika sampai di rumah, ternyata pria yang dicari itu tidak ada ditempat. Menurut istrinya, Banta ada di rumah istri mudanya. Namun Keuchik Maha tetap memeriksa seisi rumah, kemudian ia duduk di sebuah bangku, meminta kepada istri pertama Banta tersebut untuk membersihkan kakinya yang berlumpur dengan air dalam sebuah pasu. Setelah bersih, keuchik Maha meminta agar mengeringkan dengan rambutnya.
Wanita itu pun kemudian mengurai rambutnya, mengeringkan kaki Keuchik Maha. Wanita itu pasrah, karena itu menyangkut hidup matinya. Setelah kakinya bersih dan kering, Keuchik Maha menghunus pedangnya dan menghabisi nyawa wanita itu. Setelah itu, gerombolan Keuchik Maha pun berangkat ke rumah istri muda Banta.
Ketika sampai ke rumah itu di malam buta, Kechik Maha dan gerombolannya menyeru sebagai pasukan kompeni. Ia memanggil Banta dan memintanya turun dari rumah dengan bahasa Melayu, seolah-olah yang datang adalah pasukan Kompeni Belanda.
Bantan pun kemudian turun dari rumahnya. Ketika menuruni tangga, kakinya pun dipukul oleh gerombolan Keuchik Maha, ia pun roboh ke tanah. Tangan, kaki dan kepalanya dipotong-potong. “Pun juga kepala kampung dari kampung Pulo Suenong pada malam yang sama telah disembelih seperti itu pula. Mayat isterinya pun dibuat demikian juga, sehingga kumpulan semuanya itu merupakan tontonan yang sangat memalukan, sehingga para marsose bersumpah menuntut balas terhadap Keuchik Maha,” tulis Zentgraaff.
Masih menurut Zentgraaff, di dekat cincangan mayat istri dan mata-mata kompeni itu, para pasukan marsoese bersumpah akan mengejar Keuchik Maha dan mencincang tubuhnya seperti yang dilakukannya terhadap keluarga cuak tersebut.
Perburuan pun dimulai, namun Keuchik Maha, selalu bisa lolos. Sampai pada 24 Maret 1911, Keuchik Maha dan kelompoknya, kembali turun ke Desa Pulo Sunong, untuk menjumpai istrinya. Sekitar pukul lima sore, Keuchik Maha dan kelompoknya nampak dipinggiran kampung tersebut. Sementara pasukan moersose dibawah pimpinan Van Dongelen, seorang sersan asal Ambon, sudah menunggu dengan jebakannya. Keuchik Maha dan gerombolannya pun tewas dalam penyergapan itu.
Kejadian lainnya yang tak kalah miris terjadi di Seunangan, daerah pesisir Aceh Barat, dalam tahun 1906 dan 1907. Sebuah kelompok pejuang Aceh pimpinan Ibrahim, yang lebih dikenal dengan sebutan Pang Brahim. Ia sendiri merupakan bawahan dari kelompok pejuang yang lebih besar pimpinan Teungku Puteh. “Teungku Puteh lah biang keladi (aktor intelektual) yang pada tahun 1917 melakukan penyerangan terhadap tentara kita, dan menewaskan Gosensoe,” tulis Zentgraaff dalam bukunya tentang peristiwa tersebut.
Namun dalam suatu penyerangan Belanda dibawah komando Boreel, Pang Brahim tertangkap hidup-hidup dan ditawan Belanda. Tertangkapnya Pang Brahim tak lepas dari peran seorang cuak, yang merasa sakit hati terhadap perlakuan kasar pasukan Pang Brahim terhadap keluarganya yang juga dicap sebagai cuak. Setelah diinterogasi, ia kemudian dipenjara di Meulaboh. Meski mengalami berbagai siksaan, dalam penjara ia tetap menyatakan tekatnya secara lantang untuk membalas dendam terhadap Belanda.
Gundik Bermuka Dua
Menurut Zentgraaff, wanita Aceh, sejak pertama orang mengenalnya, merupakan suatu pencerahan (openbaring) dari sifat-sifat pribadi maupun pengaruhnya. Sesudah Snouck Hurgronje membeberkan dalam bukunya tentang kehidupan rumah tangga Aceh, secara khas dan tajam, mulailah orang-orang mengadakan penelitian secara sistimatis mengenai wanita Aceh.
Mengenai wanita Aceh, ada hal yang menarik para peneliti yang disebutkan Zentgraaff dan Snouck, yakni soal perkawinan dan silsilah keturunan para Ulee Balang. Diantara para keluarga dan Ulee Balang, serta kalangan ulama, lahir pulalah tokoh-tokoh perempuan, yang bahu membahu dalam segala hal, termasuk soal perang.
Seorang penelitilainnya, Van Daalen, kemudian lebih tertarik pada perkawinan wanita Aceh yang terjalin atas kepentingan politik, dengan tujuan untuk memperbesar pengaruh dan kekayaan. “Dari anak perempuan Van Daalen, saya telah menerima suatu daftar silsilah keluarga Ulee Balang-Ulee Balang yang terkemuka, yang telah dikerjakan dan disimpannya sendiri, yang semuanya telah dibuat ciri dari militer kaliber besar,” lanjut Zentgraaff.
Dalam catatan Van Daalen, menurut Zentgraaff, wanita Aceh juga sering menjadi mata-mata handal untuk para pejuang Aceh. Belanda sendiri sering terjebak. Apalagi ketika beberapa petinggi Belanda dan opsirnya, memakai wanita Aceh untuk mempelajari bahasa dan adat istiadat Aceh, agar mudah menaklukkan dan melakukan diplomasi dengan para pejuang Aceh.
Ada pula beberapa wanita Aceh yang rela menjadi concubine (gundik) opsir-opsir Belanda. “Dan tidaklah perlu dijelaskan lagi, bahwa mereka tidaklah termasuk orang-orang yang terpuji dari Bangsa Aceh. Namun demikian, dalam hubungan bermuka dua seperti itu, wanita Aceh tidaklah luntur sifatnya. Mereka tetap menjalin hubungan-hubungan rahasia yang berakhir dengan pertumpahan darah,” tulis Zentgraaff.
Bukan itu saja, menurut Zentgraaff, sebuah pengalaman aneh dan unik terjadi pada salah seorang Kapten Belanda. Namun dalam bukunya, Zentgraaff menolak menulis nama kapten itu, dengan berbagai pertimbangan.
Kapten tersebut telah mengambil seorang wanita Aceh sebagai gundiknya. Ia ingin belajar banyak tentang bahasa dan adat istiadat Aceh melalui wanita tersebut. Wanita itu pun tidak pernah menyembunyikan perasaan kurang hormat terhadap orang-orang Belanda yang dianggapnya kafir.
Suatu hari Kapten tersebut pulang ke rumah, setelah melakukan patroli. Di belakang rumahnya ia melihat beberpa pejuang Aceh sedang duduk bercengkrama dengan gundiknya. Ia menganal betul orang-orang dibelakang rumahnya itu sebagai pemberontak yang sudah berbulan-bulan dicarinya, tapi selalu lolos dari penyergapan.
Mereka bercengkrama dengan santai sambil minum limodane, menghisap cerutu cincin (cerutu nomor satu kala itu) milik kapten tersebut. Tanpa kikuk, para pejuang Aceh itu pun memberi hormat kepada Kapten tersebut.
Kapten itu tidak bisa berbuat banyak, karena kalau diumumkan dalam rumahnya ada pejuang Aceh, namanya akan tercemar, dan bisa-bisa pangkatnya akan diturunkan. Tak mau reputasinya hancur, ia pun membiarkan para pejuang Aceh itu menikmati makanan di rumahnya. “Karena itulah ia terpaksa bersikap bonne mine a mauvais jeu. Tak lama kemudian, berangkatlah para pejuang itu dari rumah kapten, sebelum berangkat tak lupa mereka membungkuk memberi hormat, seolah mengejek sang kapten. Kapten itu pun kemudian bersama pasukannya harus mengejar para pejuang itu berbulan-bulan dalam hutan belantara,” ulas Zentgraaff.
Korp Tentara Wanita
Sejarah Aceh mewariskan banyak cerita khas tentang keterlibatan wanita, tidak hanya dalam urusan pemerintahan, tapi juga angkatan perang. Korp tentara wanita di Aceh sudah ada sejak zaman dahulu. Ada yang langsung terjun ke dalam kancang perang, ada juga yang bertugas di istana. Resimen pengawal istana tersebut dinamai Suke Kawai Istana. Selain itu ada lagi yang disebut Si Pai Inong, yakni korp prajurit wanita.
Korp ini dibentuk pada masa Aceh diperintah oleh Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604 -16-07 M). Si Pai Inong dipimpin oleh dua Laksamana Wanita, yaitu Laksamana Meurah Ganti dan Laksmana Muda Tjut Meurah Inseuen. Malah menurut Teuku H Ainal Mardhiah Ali dalam tulisannya “Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau Sampai Masa Kini” dua laksamana itulah yang membebaskan Iskandar Muda dari penjara ketika ditahan oleh Sultan Alaidin Riayat Syah V, seorang sultan yang dinilainya bodoh dan bejad.
Pembebasan Iskandar Muda itu juga yang kemudian merubah sejarah Aceh. Ketika Iskandar Muda naik ketumpuk pimpinan sebagai Sultan, mampu membawa Aceh kemasa keemasan, yang membuatnya tersohor sampai sekarang.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) korp tentara wanita itu diperbesar dengan membentuk Divisi Kemala Cahaya, yang merupakan divisi pengawal istana, yang dipimpin oleh seorang laksamana wanita. Dalam divisi ini juga dibentuk satu batalion pasukan kawal kehormatan, yang dipilih dari prajurit-prajurit wanita cantik. Mereka ditugaskan untuk menerima tamu-tamu agung dengan barisan kehormatannya.
Sebelumnya, pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah IV (1589-1604) juga pernah dibentuk Armada Inong Balee, yang prajuritnya terdiri dari janda-janda, yang suaminya tewas dalam perang. Armada ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati.
Laksamana Malahayati merupakan seorang panglima wanita yang berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh angkatan laut Belanda dibawah pimpinan Cournoles dan Frederich de Houtman di perairan Aceh pada tahun 1599 Masehi.
Armada Inong Balee ini sering terlibat pertempuran di selat Malaka meliputi pantai Sumatera Timur dan Melayu. Karena itu pula, Marie van Zuchtelen, seorang penulis Belanda dalam bukunya “Vrouwelijke Admiral Malahayati” sangat mengagumi dan memuji Malajayati, yang disebutnya cerdik, bijaksana, dan berani dalam memimpin 2.000 prajutir wanita.
Laksamana Malahayati pula yang disuruh Sultan Alauddin Riayat Syah IV, untuk menerima dan menghadap utrusan Ratu Inggris, Sir James Lancester dalam sebuah diplomasi ke Aceh pada 16 Juni 1606. Utusan itu membawa surat dari Ratu Inggris untuk Raja Aceh.
Sejarah Aceh juga mewariskan wanita-wanita negarawan, yang ulung sebagai pemimpin seperti : Ratu Nihrasiyah Chadiyn, Sri Ratu Tadjul Alam Syafiatsuddin Syahbaz, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, serta Sri Ratu Kemalat Syah.
Selain dalam bidang pemerintahan, wanita juga diikutsertakan dalam lembaga kerajaan, seperti Balai Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen-red). Peranan wanita dalam lembaga kerajaan diatur dalam qanun meukuta alam. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, Majelis Mahkamah Rakyat mengadakan perubahan susunan anggota badan legislatif, yang terdiri dari 73 orang wakil rakyat, 16 diantaranya merupakan wanita.
Diantara 73 anggota parlemen itu, 9 orang memegang fungsi wazir atau menteri yang duduk dalam kabinet Sultanah, sisanya 64 orang sebagai anggota parlemen biasa. Daftar nama-nama anggota tertera dalam Qabub Al-Asyu Darussalam (tata negara). Qanun itu kemudian didapatkan kembali di Dayah Almarhum Teuku Tanoh Abe, yang kemudian diambil oleh A Hasimy, saat ia menjabat sebagai Gubernur Aceh
http://harian-aceh.com/2011/07/04/nasib-para-cuak
Pada zaman perjuangan melawan penjajahan Belanda di Aceh. banyak wanita Aceh tidak mengakui suaminya, hanya karena ayah dari anaknya itu telah tunduk kepada Belanda. Memilih menjadi janda dari pada disebut istri cuak. Namun tak sedikit pula wanita Aceh yang tersiksa, hanya karena suaminya informan Belanda.
Salah satu kejadian seperti itu, terjadi di Lhong, Aceh Besar pada tahun 1933. menurut Zentgraaff, seorang penulis Belanda dalam bukunya “Atjeh” pada saat itu di sebuah desa terdapat 13 pria pejuang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun salah satu diantaranya menyerahkan diri kepada Belanda.
Mengetahui hal tersebut, istrinya marah besar. Ia tidak lagi menerima ayah dari anak-anaknya itu. Para penduduk pun mengucilkannya. Akibatnya, pria itu terpaksa tidur di sebuah gubuk di ladangnya. Tak lama kemudian, seorang kolonel Belanda bersama seorang pegawai pemerintah, datang ke desa itu untuk menginterogasi wanita yang telah mengusir suaminya itu.
Ketika ditanya Kolonel tadi, ia menjawab. “Suami saya? Saya tidak punya suami.” Jawaban itu diberikannya sambil meludah ke tanah di hadapan sang kolonel. Namum ketika nama suaminya disebut. Ia langsung memotong dan berkata dengan suara lantang. “Dia bukan laki-laki.” Kolonel tadi pun geleng-geleng kepala. Bagi wanita itu, suaminya tak ubahnya seorang pengecut, karena menyerah, bukan mati syahid sebagaimana pejuang lainnya.
“Siapapun boleh berkompromi, tetapi pantang bagi wanita Aceh; dia memikul sahamnya dalam bencana perang sebagai pahlawan (srikandi), dan seringkali: sebagai martelares. Kadang-kadang ia menderia lebih hebat lagi dari orang senegerinya dibandingkan dengan siksa yang dilancarkan oleh kompeuni, lebih-lebih kalau ia berdiam di zona di mana silih berganti muncul pasukan kita dan kemudian pihak pemberontak,” tulis Zentgraaff.
Kejadian yang sama juga terjadi di Desa Pulo Seunong, Tangse, Pidie. Seorang pria yang bekerja sebagai informan Belanda ditangkap pejuang Aceh. Hal itu terbongkar ketika melihat informan tersebut memiliki banyak uang, penyelidikan pun dilakukan, akhirnya diketahui uang itu didapat dari Belanda atas jasanya memberi informasi keberadaan pejuang Aceh. Informan itu pun ditangkap dan disembelih. Dalam kurun waktu satu tahun saja, menurut Zentgraaff, tak kurang dari 20 cuak, yang dipotong lehernya. Namun keluarga yang ditinggalkan tidak pernah meratapinya. Karena dianggap telah berkhianat.
Kebengisan Keuchik Maha
Yang lebih miris adalah apa yang dialami, istri seorang cuak yang bernama Banta di Desa Pulo Kawa. Pada suatu malam di bulan Juli 1910, pimpinan gerombolan Aceh, Keuchik Maha, bersama pengikutnya mendatangi kampung tersebut untuk mencari Banta yang diketahui sebagai informan Belanda.
Namun ketika sampai di rumah, ternyata pria yang dicari itu tidak ada ditempat. Menurut istrinya, Banta ada di rumah istri mudanya. Namun Keuchik Maha tetap memeriksa seisi rumah, kemudian ia duduk di sebuah bangku, meminta kepada istri pertama Banta tersebut untuk membersihkan kakinya yang berlumpur dengan air dalam sebuah pasu. Setelah bersih, keuchik Maha meminta agar mengeringkan dengan rambutnya.
Wanita itu pun kemudian mengurai rambutnya, mengeringkan kaki Keuchik Maha. Wanita itu pasrah, karena itu menyangkut hidup matinya. Setelah kakinya bersih dan kering, Keuchik Maha menghunus pedangnya dan menghabisi nyawa wanita itu. Setelah itu, gerombolan Keuchik Maha pun berangkat ke rumah istri muda Banta.
Ketika sampai ke rumah itu di malam buta, Kechik Maha dan gerombolannya menyeru sebagai pasukan kompeni. Ia memanggil Banta dan memintanya turun dari rumah dengan bahasa Melayu, seolah-olah yang datang adalah pasukan Kompeni Belanda.
Bantan pun kemudian turun dari rumahnya. Ketika menuruni tangga, kakinya pun dipukul oleh gerombolan Keuchik Maha, ia pun roboh ke tanah. Tangan, kaki dan kepalanya dipotong-potong. “Pun juga kepala kampung dari kampung Pulo Suenong pada malam yang sama telah disembelih seperti itu pula. Mayat isterinya pun dibuat demikian juga, sehingga kumpulan semuanya itu merupakan tontonan yang sangat memalukan, sehingga para marsose bersumpah menuntut balas terhadap Keuchik Maha,” tulis Zentgraaff.
Masih menurut Zentgraaff, di dekat cincangan mayat istri dan mata-mata kompeni itu, para pasukan marsoese bersumpah akan mengejar Keuchik Maha dan mencincang tubuhnya seperti yang dilakukannya terhadap keluarga cuak tersebut.
Perburuan pun dimulai, namun Keuchik Maha, selalu bisa lolos. Sampai pada 24 Maret 1911, Keuchik Maha dan kelompoknya, kembali turun ke Desa Pulo Sunong, untuk menjumpai istrinya. Sekitar pukul lima sore, Keuchik Maha dan kelompoknya nampak dipinggiran kampung tersebut. Sementara pasukan moersose dibawah pimpinan Van Dongelen, seorang sersan asal Ambon, sudah menunggu dengan jebakannya. Keuchik Maha dan gerombolannya pun tewas dalam penyergapan itu.
Kejadian lainnya yang tak kalah miris terjadi di Seunangan, daerah pesisir Aceh Barat, dalam tahun 1906 dan 1907. Sebuah kelompok pejuang Aceh pimpinan Ibrahim, yang lebih dikenal dengan sebutan Pang Brahim. Ia sendiri merupakan bawahan dari kelompok pejuang yang lebih besar pimpinan Teungku Puteh. “Teungku Puteh lah biang keladi (aktor intelektual) yang pada tahun 1917 melakukan penyerangan terhadap tentara kita, dan menewaskan Gosensoe,” tulis Zentgraaff dalam bukunya tentang peristiwa tersebut.
Namun dalam suatu penyerangan Belanda dibawah komando Boreel, Pang Brahim tertangkap hidup-hidup dan ditawan Belanda. Tertangkapnya Pang Brahim tak lepas dari peran seorang cuak, yang merasa sakit hati terhadap perlakuan kasar pasukan Pang Brahim terhadap keluarganya yang juga dicap sebagai cuak. Setelah diinterogasi, ia kemudian dipenjara di Meulaboh. Meski mengalami berbagai siksaan, dalam penjara ia tetap menyatakan tekatnya secara lantang untuk membalas dendam terhadap Belanda.
Gundik Bermuka Dua
Menurut Zentgraaff, wanita Aceh, sejak pertama orang mengenalnya, merupakan suatu pencerahan (openbaring) dari sifat-sifat pribadi maupun pengaruhnya. Sesudah Snouck Hurgronje membeberkan dalam bukunya tentang kehidupan rumah tangga Aceh, secara khas dan tajam, mulailah orang-orang mengadakan penelitian secara sistimatis mengenai wanita Aceh.
Mengenai wanita Aceh, ada hal yang menarik para peneliti yang disebutkan Zentgraaff dan Snouck, yakni soal perkawinan dan silsilah keturunan para Ulee Balang. Diantara para keluarga dan Ulee Balang, serta kalangan ulama, lahir pulalah tokoh-tokoh perempuan, yang bahu membahu dalam segala hal, termasuk soal perang.
Seorang penelitilainnya, Van Daalen, kemudian lebih tertarik pada perkawinan wanita Aceh yang terjalin atas kepentingan politik, dengan tujuan untuk memperbesar pengaruh dan kekayaan. “Dari anak perempuan Van Daalen, saya telah menerima suatu daftar silsilah keluarga Ulee Balang-Ulee Balang yang terkemuka, yang telah dikerjakan dan disimpannya sendiri, yang semuanya telah dibuat ciri dari militer kaliber besar,” lanjut Zentgraaff.
Dalam catatan Van Daalen, menurut Zentgraaff, wanita Aceh juga sering menjadi mata-mata handal untuk para pejuang Aceh. Belanda sendiri sering terjebak. Apalagi ketika beberapa petinggi Belanda dan opsirnya, memakai wanita Aceh untuk mempelajari bahasa dan adat istiadat Aceh, agar mudah menaklukkan dan melakukan diplomasi dengan para pejuang Aceh.
Ada pula beberapa wanita Aceh yang rela menjadi concubine (gundik) opsir-opsir Belanda. “Dan tidaklah perlu dijelaskan lagi, bahwa mereka tidaklah termasuk orang-orang yang terpuji dari Bangsa Aceh. Namun demikian, dalam hubungan bermuka dua seperti itu, wanita Aceh tidaklah luntur sifatnya. Mereka tetap menjalin hubungan-hubungan rahasia yang berakhir dengan pertumpahan darah,” tulis Zentgraaff.
Bukan itu saja, menurut Zentgraaff, sebuah pengalaman aneh dan unik terjadi pada salah seorang Kapten Belanda. Namun dalam bukunya, Zentgraaff menolak menulis nama kapten itu, dengan berbagai pertimbangan.
Kapten tersebut telah mengambil seorang wanita Aceh sebagai gundiknya. Ia ingin belajar banyak tentang bahasa dan adat istiadat Aceh melalui wanita tersebut. Wanita itu pun tidak pernah menyembunyikan perasaan kurang hormat terhadap orang-orang Belanda yang dianggapnya kafir.
Suatu hari Kapten tersebut pulang ke rumah, setelah melakukan patroli. Di belakang rumahnya ia melihat beberpa pejuang Aceh sedang duduk bercengkrama dengan gundiknya. Ia menganal betul orang-orang dibelakang rumahnya itu sebagai pemberontak yang sudah berbulan-bulan dicarinya, tapi selalu lolos dari penyergapan.
Mereka bercengkrama dengan santai sambil minum limodane, menghisap cerutu cincin (cerutu nomor satu kala itu) milik kapten tersebut. Tanpa kikuk, para pejuang Aceh itu pun memberi hormat kepada Kapten tersebut.
Kapten itu tidak bisa berbuat banyak, karena kalau diumumkan dalam rumahnya ada pejuang Aceh, namanya akan tercemar, dan bisa-bisa pangkatnya akan diturunkan. Tak mau reputasinya hancur, ia pun membiarkan para pejuang Aceh itu menikmati makanan di rumahnya. “Karena itulah ia terpaksa bersikap bonne mine a mauvais jeu. Tak lama kemudian, berangkatlah para pejuang itu dari rumah kapten, sebelum berangkat tak lupa mereka membungkuk memberi hormat, seolah mengejek sang kapten. Kapten itu pun kemudian bersama pasukannya harus mengejar para pejuang itu berbulan-bulan dalam hutan belantara,” ulas Zentgraaff.
Korp Tentara Wanita
Sejarah Aceh mewariskan banyak cerita khas tentang keterlibatan wanita, tidak hanya dalam urusan pemerintahan, tapi juga angkatan perang. Korp tentara wanita di Aceh sudah ada sejak zaman dahulu. Ada yang langsung terjun ke dalam kancang perang, ada juga yang bertugas di istana. Resimen pengawal istana tersebut dinamai Suke Kawai Istana. Selain itu ada lagi yang disebut Si Pai Inong, yakni korp prajurit wanita.
Korp ini dibentuk pada masa Aceh diperintah oleh Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604 -16-07 M). Si Pai Inong dipimpin oleh dua Laksamana Wanita, yaitu Laksamana Meurah Ganti dan Laksmana Muda Tjut Meurah Inseuen. Malah menurut Teuku H Ainal Mardhiah Ali dalam tulisannya “Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau Sampai Masa Kini” dua laksamana itulah yang membebaskan Iskandar Muda dari penjara ketika ditahan oleh Sultan Alaidin Riayat Syah V, seorang sultan yang dinilainya bodoh dan bejad.
Pembebasan Iskandar Muda itu juga yang kemudian merubah sejarah Aceh. Ketika Iskandar Muda naik ketumpuk pimpinan sebagai Sultan, mampu membawa Aceh kemasa keemasan, yang membuatnya tersohor sampai sekarang.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) korp tentara wanita itu diperbesar dengan membentuk Divisi Kemala Cahaya, yang merupakan divisi pengawal istana, yang dipimpin oleh seorang laksamana wanita. Dalam divisi ini juga dibentuk satu batalion pasukan kawal kehormatan, yang dipilih dari prajurit-prajurit wanita cantik. Mereka ditugaskan untuk menerima tamu-tamu agung dengan barisan kehormatannya.
Sebelumnya, pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah IV (1589-1604) juga pernah dibentuk Armada Inong Balee, yang prajuritnya terdiri dari janda-janda, yang suaminya tewas dalam perang. Armada ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati.
Laksamana Malahayati merupakan seorang panglima wanita yang berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh angkatan laut Belanda dibawah pimpinan Cournoles dan Frederich de Houtman di perairan Aceh pada tahun 1599 Masehi.
Armada Inong Balee ini sering terlibat pertempuran di selat Malaka meliputi pantai Sumatera Timur dan Melayu. Karena itu pula, Marie van Zuchtelen, seorang penulis Belanda dalam bukunya “Vrouwelijke Admiral Malahayati” sangat mengagumi dan memuji Malajayati, yang disebutnya cerdik, bijaksana, dan berani dalam memimpin 2.000 prajutir wanita.
Laksamana Malahayati pula yang disuruh Sultan Alauddin Riayat Syah IV, untuk menerima dan menghadap utrusan Ratu Inggris, Sir James Lancester dalam sebuah diplomasi ke Aceh pada 16 Juni 1606. Utusan itu membawa surat dari Ratu Inggris untuk Raja Aceh.
Sejarah Aceh juga mewariskan wanita-wanita negarawan, yang ulung sebagai pemimpin seperti : Ratu Nihrasiyah Chadiyn, Sri Ratu Tadjul Alam Syafiatsuddin Syahbaz, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, serta Sri Ratu Kemalat Syah.
Selain dalam bidang pemerintahan, wanita juga diikutsertakan dalam lembaga kerajaan, seperti Balai Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen-red). Peranan wanita dalam lembaga kerajaan diatur dalam qanun meukuta alam. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, Majelis Mahkamah Rakyat mengadakan perubahan susunan anggota badan legislatif, yang terdiri dari 73 orang wakil rakyat, 16 diantaranya merupakan wanita.
Diantara 73 anggota parlemen itu, 9 orang memegang fungsi wazir atau menteri yang duduk dalam kabinet Sultanah, sisanya 64 orang sebagai anggota parlemen biasa. Daftar nama-nama anggota tertera dalam Qabub Al-Asyu Darussalam (tata negara). Qanun itu kemudian didapatkan kembali di Dayah Almarhum Teuku Tanoh Abe, yang kemudian diambil oleh A Hasimy, saat ia menjabat sebagai Gubernur Aceh
http://harian-aceh.com/2011/07/04/nasib-para-cuak