Jumat, 21 Oktober 2011

Ratu Terakhir Aceh

Ratu Kamalat Zainatuddin Syah merupakan ratu kerajaan Aceh yang keempat. Ia memerintah selama sebelas tahun yakni dari tahun 1688 sampai 1699 masehi. Ia berasal dari keluarga Sulthan Aceh, tapi tidak jelas dari sulthan yang mana.  
Oleh Iskandar Norman 
Dua sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dan M Gade Ismail dalam tulisannya di buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, mengungkapkan, silsilah keturunan Ratu Kamalar Zainatuddin dari beberapa sumber menyebutnya berbeda-beda. Di satu pihak ada yang mengatakan ia adalah anak angkat dari Ratu Rafiatuddin Syah, perempuan pertama yang memimpin kerajaan Aceh, tapi ada juga yang menyebutkan dia adalah adik dari ratu Zakiatuddin Syah, sultanah ketiga Kerajaan Aceh yang memerintah sebelumnya.
Hoesein Djajaninggrat dalam buku “Critisch Overzicht van de in Maleische Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het Soeltanaat van Atjeh” mengungkapkan, pada saat Ratu Kamalat zainatuddin Syah akan naik tahta, para pembesar kerajaan Aceh terpecah dalam dua kelompok dengan pendirian yang berbeda.
Kelompok bangsawan tidak menyetujui pengangkatannya, karena mereka menginginkan Aceh kembali dipimpin oleh sulthan bukan sultanah. Mereka menginginkan kekuasaan kerajaan Aceh kembali dipegang oleh kaum pria. Kelompok lainnya tidak keberatan dengan kepemimpinan perempuan, karena sebelumnya sudah tiga ratu yang memimpin Kerajaan Aceh, dan itu tidak ada masalah.
Pertentangan seperti itu bukanlah hal baru di Kerajaan Aceh, tapi sudah muncul sejak pengangkatan pertama wanita sebagai ratu yakni Ratu Safiatuddin Syah yang menggantikan Sulthan Iskandar Tsani pada tahun 1641 masehi, 47 tahun sebelum Ratu Kemalat Zainatuddin Syah diangkat menjadi ratu. Hanya saja, penentangan terhadap kepemimpinan perempuan di Kerajaan Aceh itu mencapai puncaknya pada masa pengangkatan Ratu Kemalat Zainatuddin Syah.
Penyebab memuncaknya penentangan itu adalah karena semakin menguatnya pengaruh kelompok bangsawan (uleebalang) dalam penguasaan di kabinet kerajaan. Hal itu ditambah lagi dengan dukungan beberapa ulama yang menentang kepemimpinan perempuan di Aceh.
Rusdi Sufi dan M Gade Ismail dalam tulisannya tentang Ratu Kemalat Zainatuddin Syah menyebutkan, saat itu ada 12 orang bangsawan terpengaruh di kerajaan yang bersama beberapa ulama menentang pengangkatan Ratu Kemalat Zainatuddin Syah sebagai penguasa Kerajaan Aceh.
Hanya golongan para Panglima Tiga Sagi (Aceh Lhee Sagoe) yang menyetujui pengankatan ratu tersebut. Sesuai dengan konstitusi kerajaan Aceh, mereka berhak mengagnkat dan menurunkan sultan/sultanah dari tampuk pimpinan kerajaan. Mereka langsung mengangkat Ratu Kemalat Zainatuddin Syah sebagai penguasa kerajaan Aceh setelah meninggalnya Ratu Zakiatuddin Syah.
Pemberian hak kepada panglima Aceh Lhee Sagoe itu tertuang dalam undang-undang Kerajaan Aceh, Adat Meukuta Alam, yang merupakan undang-undang dibuat pada masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda dan disempurnakan pada masa pemerintahan Ratu Naqiatuddin Syah (1675-1678).
Penyempurnaan Adat Meukuta Alam melalui amandemen yang dilakukan ratu Naqiatuddin Syah merupakan konsepsi yang diajukan oleh Mufti Kerajaan Aceh pada masa yakni ulama besar Syaikh Abdur Rauf. Ia memberikan masukan kepada Ratu Nagiatuddin untuk mengadakan perubahan dalam sistem pemerintahan di Kerajaan Aceh. Perubahan itu kemudian dibuat dalam bentuk undang-undang dasar Kerajaan Aceh yang dikenal dengan Adat Meukuta Alam.
Tentang itu juga diungkapkan T Ibrahim Alfian dalam bukunya “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh,” Dengan undang-undang Adat Meukuta Alam tersebut Kerajaan Aceh dibagi menjadi tiga federasi yang kemudian dikenal dengan sebutan Aceh Lhei Sagoe (Aceh tiga sagi). Setiap sagi terdiri atas beberapa mukim. Berdasarkan jumlah mukim yang disatukan, ketiga sagi itu dinamakan; Sagi XXII Mukim, Sagi XXV Mukim, dan Sagi XXVI Mukim. Setiap sagi diangkat seorang pemimpin yang disebut Panglima Sagoe.
Sejarawan Belanda, K. F. H Van Langen dalam “De Inricting Van Het Atjeshe Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” (1888) mengungkapkan, pembentukan sagi oleh Ratu Naqiatuddin merupakan upaya membentuk pemerintahan yang dapat tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegrian-kenegrian yang terletak sebelah barat, timur dan selatan Kerajaan Aceh kepada ketiga orang Panglima Sagoe.
Namun kata Van Langen, penyerahan kekuasan kepada para Panglima Sagoe itu bukan berarti mereka akan menjalankan pemerintahan sendiri-sendiri. Tapi sebaliknya, mereka tetap di bawah kontrol dan pengawasan kerajaan. Panglima Sagoe lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan raja yang mengefektifkan pengawasan, yakni dengan cara memonitor sejauh mana tingkat kadar pelaksanaan pemerintahan dari pemerintah pusat di kerajaan yang disampaikan oleh pemimpin-pemimpin negeri (Uleebalang) benar-benar dilaksanakan. Van Langen menilai apa yang dilakukan Ratu Naqiatuddin Syah merupakan suatu kemajuan besar dalam tata kelola pemerintahan di Kerajaan Aceh.
Hal yang sama juga diungkapkan Thomas Braddel dalam buku “On the History of Acheen) terbitan 1851. Ia menilai beberapa kemajuan yang dilakukan oleh Ratu Naqiatuddin Syah pada masa kepemimpinannya, di antaranya:  sehubungan dengan nasihat Syaikh Abdur Rauf, Ratu Naqiatuddin menyempurnakan Adat Meukuta Alam ciptaan Sulthan Iskandar Muda, penyempurnaan dilakukan sesuai dengan kondisi zaman pemerintahannya.
Dengan keberadaan undang-undang itulah panglima Aceh Lhee Sagoe bisa melantik dan mengangkat Ratu Kemalat Zainatuddin Syah sebagai pemegang tampuk pimpinan kerajaan Aceh, meski ditentang oleh kaum bangsawan dan beberapa ulama dan hampir terjadi pertumpahan darah.
Meski demikian, pertentangan terus berlanjut. Dan pada periode selanjutnya kelompok ulama dan uleebalang berhasil mempengaruhi kalangan istana dengan tidak lagi meneruskan kepemimpinan perempuan di kerajaan Aceh. Ratu Kemalat Zainatuddin Syah merupakan sultanah terakhir di Kerajaan Aceh, setelah masanya, kerajaan Aceh kembali dipimpin oleh pria (sulthan).
Salah satu faktor yang menyebabkan keberhasilan golongan bangsawan dan ulama dalam menghentikan dinasti para ratu di Kerajaan Aceh adalah dari taktik dan solusi yang mereka tawarkan untuk menyelesaikan pertentangan dua golongan tersebut, yakni yang pro dan kontra dengan kepemimpinan ratu.
P. J. Veth dalam buku “Atchin en Zijne Betrekkingen tot Nederland” terbitan Leiden, 1873 mengungkapkan, saat itu golongan ulama mengusulkan agar persoalan tentang kepemimpinan perempuan ditanyakan kepada raja dan ulama di Mekkah. Dalam buku itu Vet menulis:
“Akan tetapi golongan ulama tidaklah tinggal diam mereka memperkuat posisinya dengan sepucuk surat dari Qadhi Malikul Adil di Mekkah yang memuat pemberitahuan kepada kepala-kepala dan rakyat Aceh bahwa penempatan seorang wanita pada kekuasaan tertinggi bertentangan dengan Syariat Islam. Strategi ini berhasil. Orang-orang kaya (uleebalang) tidak berani lebih lama lagi menentang keberanian rakyat. Kemalat Syah diturunkan dari tahta dan pemerintahan diserahkan kepada Badrullah Syarif Hasyim Jamaluddin. Sesudahnya, kendali pemerintahan Aceh tidak pernah lagi berada dalam tangan seorang wanita.”

Menerima Utusan Peranci

Seperti sultanah-sultanah sebelumnya, Ratu Kemalat Zainatuddin Syah memiliki peranan tersendiri dalam memerintah Kerajaan Aceh. Pada masa pemerintahannya, yakni pada tahun 1695, Kerajaan Aceh mendapat kunjungan dari utusan persatuan dagang Perancis. Para pedagang Perancis itu oleh Ratu Kemalat Zainatuddin Syah diizinkan mendirikan sebuah kantor dagangnya di Aceh.
Hal yang sama juga dilakukan Ratu Kemalat Zainatuddin Syah terhadap kongsi dagang dari Inggris, East Indian Comapany (EIC). Pendirian kantor dagang luar negeri tersebut diizinkan selama menguntungkan kedua belah pihak. Hal ini mendatangkan keuntungan keuangan bagi kerajaan Aceh dari ekspor rempah-rempah dari Aceh ke luar negeri oleh maskapai perdagangan Perancis dan Inggris tersebut. P J Veth mengungkapkan, hal lain yang menarik dari Ratu Kemalat Zainatuddin Syah adalah pada mata uang emas (derham) yang dikeluarkannya, seperti yang dilakukan oleh para sultanah sebelumnya.
Hal yang sama juga diungkapkan T Ibrahim Alfian dalam buku “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh.” Menurutnya, pada mata uang emas yang dikeluarkannya itu terukir nama sang ratu, yakni “Paduka Seri Sultanah Kamalat Syah” di sisi muka. Dan “Zaniat ad-Din Syah Berdaulat” di sisi belakangnya. Mata uang emas yang dikeluarkan Ratu Kemalat Zainatuddin Syah bernilai 14,5 karat dengan bobot 0,50 gram dan berdiameter 13 milimeter.
Ratu Kemalat Zainatuddin Syah diturunkan dari jabatannya pada bulan Oktober 1699, dan setahun kemudian (1700) mangkat. Sebagai penggantinya kemudian diangkat seorang pria keturunan Arab sebagai raja Aceh yakni Sulthan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamal ad-Din.

http://harian-aceh.com/2011/10/16/kamalat-ratu-terakhir-aceh

JANGAN LUPA