Jumat, 21 Oktober 2011

Tok Po Kalam Versus Bugis Buta

Tualang, sebuah daerah di Kabupaten Aceh Timur memiliki kisah tersendiri dalam babatannya. Migrasi pendatang, perjudian, hingga kisah pertarungan si Bugis Buta dan Tok Po Kalam dari Indrapuri Aceh Besar sebagai pembantaian menuju kekuasaan. 
Oleh Iskandar Norman 
Tualang zaman dahulu kala hanya sebuah dusun yang dikepalai oleh seorang pemberani dari Semenanjung Malaka. Letaknya antara Lubuk Seugenab dan Lubuk Bajak di Peureulak. Sejarawan Aceh, HM Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961) mengisahkan, pemimpin pemberani itu dipanggil dengan gelar “Sungoe Tualang”
Mesjid Baiturrahim
Mesjid Baiturrahim, Kuta Tualang, Aceh Timur.
Sungoe Tualang sangat  suka main sabung ayam, tapi bila kalah ia tak mau membayarnya. Suatu ketika datang ke sana seorang Bugis dari Minangkabau. Bugis itu matanya buta sebelah. Ia datang membawa beberapa ayam sabung untuk diadu. Suatu hari ia membawa ayamnya ke gelanggang Raja Sungoe Tualang.
Dalam sabung itu ayam Bugis tersebut kalah, karena taruhannya terlalu banyak ia tak sanggup membayarnya. Bugis itu pun dipukul, ia lari ke Pasai. Beberapa lama tinggal di Pasai ia kembali lagi ke Lubuk Seungenab dengan membawa beberapa ayam sabung.
Pada pertarungan kedua tersebut, ternyata ayam milik Raja Sungoe Tualang kalah. Bugis itu pun meminta bayaran, tapi ditolak pembayarannya oleh Raja Sungoe Tualang.
Bugis buta itu pun marah, ia menghunus keris menikam Raja Sungoe Tualang, ia rebah dan berkata “Coba tikam sekali lagi!” Bugis buta itu menjawab “Pantang Bugis buta tikam dua kali.” Raja Sungoe Tualang pun rebah dan tewas.
Tempat gelanggang adu ayam itu menurut H M Zainuddin berada di atas Gunung Runtuh. Sampai sekarang diyakini disana masih ada bekas kolam tempat memandikan ayam setelah bertarung. Di dekat gunung itu ada pula tempat yang dinamai Alue rhah manoek Sungoe Tualang. Setelah Raja Sungoe mati, daerah Lubuk Seugeunab diperintah oleh Bugis Buta selama bertahun-tahun.
Bugis Buta bersama kawannya kemudian juga menyearang daerah hilir Sungai Peureulak dan tinggal di Kampung Blang Simpo, Alue Meuih. Selama ia berkuasa disitu ia membangun dua tempat adu ayam sehingga berselisih dengan seorang Kepala Negeri (Datok) di Kampung Kabu Beringin.
Pada suatu ketika Tok Po Kalam dari Indrapuri, Aceh Besar ke Peureulak. Rombongan mereka tiga keluarga berangkat dengan tiga perahu ke Peureulak karena difitnah orang akan meracuni sultan. Keberangkatan mereka sekitar akhir abad XVIII pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1767-1787).
Mereka berlayar dari Lampanah, Krueng Raya menyusuri pantai Pidie. Sampai di Kuala Njong berhenti. Satu perahu menetap di Pusong Kuala Njong membuka pemukiman. Dua perahu lagi meneruskan perjalanan salah satunya kemudian berhenti di kauala antara Samalangan dan Jeunieb.
Satu perahu lagi meneruskan perjalanan menuju Jambo Aye, tapi mereka tidak menetap disitu tapi terus melanjutkan perjalanan ke arah timur. Mereka kemudian berhenti disebuah muara sungai yang lebar, tapi tidak ada penduduknya. Mereka pun bermufakat apakah meneruskan perjalanan atau tinggal disana.
Ketika sedang bermusyawar tiba-tiba mereka melihat sumbu jagung, daun pisang dan ampas tebu dihanyutkan banjir. Mereka pun berkesimpulan bahwa ada perkampungan penduduk di daerah sungai itu. Mereka menyusuri sungai tersebut kemudian sampai ke sebuah negeri yaitu Negeri Peureulak. Mereka diterima oleh penduduk disana dan membuat pondoknya di bawah pohon tualang.
Tak jauh daru Tualang ada kampung Kabu Beringin. Mereka menuju ke kampung tersebut memperkenalkan diri. Karena melihat tubuh mereka tegap dan pemberani, maka diberikanlah tugas untuk membunuh Bugis Buta. Pada suatu hari sedang Bugis buta itu duduk dalam pondok gelanggang adu ayam ia ditikam hingga mati.
Setelah Bugis itu mati, keadaan negeri mendjadi baik. Gelanggang adu ayam pun ditutup. Kemudian berapa lama Datok Kabu meninggal, maka atas mufakat anak negeri menantunja itu diangkatlah mendjadi Datok (Kepala Negeri), karena itu ia digelarkan Tok Po Kalam. Tok Po Kalam selama tinggal di Peureulak memperoleh 3 orang anak, jaitu: T. Muda Radja, T. Diblang, dan Pang ulee Peunarue atau dipanggil juga namanja Teuku di Ranto Pandjang.
Setelah Datok Kalam meninggal, T Muda Raja diangkat sebagai pengganti. Sejak itulah untuk anak-anaknya tidak lagi digunakan gelar Datok tapi Teuku sebagaimana tradisi Aceh Besar.

Dinasti Sassanid dan  Pho He la

Asal mula nama Peurelak diriwayatkan berasal dari nama pohon “Kayee Peureulak”. Jenis kayu dari pohon ini digunakan untuk pembuatan kapal/perahu. Karena banyaknya orang yang membutuhkan kayu tersebut untuk pembuatan kapal, maka nama Peureulak tersiar sampai keluar daerah itu. Orang menyebut daerah itu dengan sebutan Negeri Peureulak.
Para pelawat/pengembara dari manca negara pun singgah ke pelabuhan di daerah Kayee Peureulak. Dinamaialah pelabuhan itu sebagai Bandar Peureulak. Sejak itu Negeri Peureulak jadi terkenal, meski sistim pemerintahannya masih sangat sederhana, pada waktu itu Peureulak diperintah secara turun temurun oleh raja bergelah Meurah.
Sebelum Zaman Islam, semasih jaya-jayanya Kemaharajaan Parsia di bawah pimpinan para “Kisra” dari Dinasti Sassanid, seorang putera dari Istana Sassanid yang bernama “Pangeran Salman” meninggalkan tanah airnya menuju benua timur, mengikuti sebuah kapal-layar bersama para pedagang yang pergi berniaga ke Asia Tenggara dan Timur Jauh.
Kapal-layar yang membawa para pedagang Parsia dan Pangeran Salman, waktu melayari Selat malaka singgah di Bandar Jeumpa (Bireuen), dan setelah kapal tersebut berlayar kembali menuju Timur Jauh, ternyata Pangeran Salman tidak ikut lagi, dia tinggal di Negeri Jeumpa, mungkin sekali hati pangeran yang putih kuning dan tinggi semampai itu telah terpaut pada seorang dara dari Istana Jeumpa.
Hal itu menjadi kenyataan, setelah beberapa bulan kemudian Pangeran Salman telah diambil menjadi menantu oleh Meurah Negeri Jeumpa. Salman di kawinkan dengan puteri Istana Jeumpa yang berkulit “sawo matang” bernama Mayang Seludang.
Negeri Peureulak yang kaya dengan “kayei Peureulaknya” telah menarik Pangeran Salman bersama istrinya untuk merantau ke negeri yang terletak di sebelah timur Jeumpa itu. Dengan seizing mertuanya “Meurah Jeumpa”, Pangeran Salman dan isterinya Puteri Mayang Seludang berangkatlah ke Negeri Pereulak lak dengan sebuah perahu kepunyaan Negeri Jeumpa dengan diantar beberapa perahu lainnya, mungkin sekali Pengeran dari Parsia itu membawa juga sebuah surat pengenalan dari Meurah Jeumpa (mertuanya) kapada Meurah Negeri Peureulak.
Kedatangan Pangeran Salman dan istrerinya di Negeri Peureulak diterima dengan sambutan yang sangat baik sekali, bukan saja oleh rakyat Peureulak, bahkan juga oleh Meurah Peureulak dan para pembesar negeri lainnya. Hail ini, karena telah diketahui lebih dahulu bahwa Pangeran Salman adalah turunan dari Dinasti Sassanit yang memerintah kemaharajaan Parsia, sedangkan isterinya Puteri Mayang Seludang adalah puteri dari Meurah yang memerintah Negeri Jeumpa yang terletak desebelah barat Peureulak.
Bandar Peureulak yang ramai di singgahi kapal-kapal dagang yang datang dari timur dari barat, memikat hati Pengeran Salman dan isterinya, sehingga mereka mengambil keputusan untuk menetap di Bandar Peureulak, keputusan itu disambut gembira oleh Meurah dan rakyat Peureulak.
Ketika raja Peureulak mangkat, ia tidak punya putra sebagai penggantinya, maka rakyat Peureulak mengangkat Pengeran Salman sebagai Raja Peureulak yang baru. Setelah berada di bawah pimpinan Pangeran Salman, Negeri Peureulak bertambah maju dan para pedagang dari Parsia bertambah banyak datang serta mengadu untung di Bandar Peureulak yang tambah ramai.
Pangeran Salman yang telah menjadi Meurah Peureulak, mendapat empat orang putera dari isterinya Puteri Mayang Seludang yaitu, Syahir Nuwi, yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi Meurah Peureulak. Syahir Tanwi (Puri), yang kemudian merantau ke negeri ibunya, Negeri Jeumpa, dan diangkat menjadi Meurah Negeri Jeumpa menggantikan kakeknya yang telah meninggal.
Syahir Puli, yang merantau jauh ke barat, dan di tempat tersebut dia diangkat oleh rakyat menjadi di daerah Pidie. Satu lagi Syahir Duli, yang setelah dewasa merantau ke barat paling ujung, dan karena kecakapannya maka di sana diangkat oleh rakyat menjadi Meurah Negeri Indra Purba (Aceh Besar sekarang).
Tapi riwayat lainnya, berdasarkan catatan lama Abu Ishaq Makarani Pase, dalam Risalah Idharul-Haq fi Mamlaka Peureulak, menggambarkan Peureulak sebagai bandar, pusat perdagangan yang sangat ramai pada tahun 173 Hijriah, atau tahun 800 Masehi. Karena itu pula Peureulak disebut sebagai salah satu kota peradaban tertua di Aceh.
Pada tahun tersebut, datang ke Peureulak sebuah rombongan pedagang, yang dipimpin oleh nakhoda Khalifah. Mereka merupakan saudagar-saudagar Arab, Persia dan India muslim. Mereka datang ke bandar Peureulak untuk membeli lada, salasari, dan berbagai rempah-rempah lainnya.
Setelah tiga bulan mengumpul rempah-rempah, mereka kemudian kembali ke negerinya. Tapi tak lama kemudian, saudagar-saudagar dari negeri Arab lainnya datang, setelah mengetahui asal barang yang dijual oleh nakhoda Khalifah dan rombongannya. Maka sejak itu pula Bandar Khalifah menjadi terkenal.
Seiring dengan itu pula, para pendatang dari Arab tersebut menyebarkan agama Islam di Peureulak. Islam semakin cepat berkembang, apalagi setelah Islam diterima oleh raja Peureulak. “Dua ratus dua puluh lima tahun, pada hari selasa, maka naiklah raja Sultan Marhum Alaiddin Maulana Abdul Aziz Syah Zillullah Fil Alam. Dan adalah lama dalam tahta kerajaan dua puluh empat tahun, maka ia pun meninggal pada hari Ahad, dua hari bulan Muharram pada waktu zuhur intaha kalam,” tulis Abu Ishaq Makarani Pase dalam risalah tersebut.
Untuk mengenang nakhoda Khalifah yang telah membuat bandar Peureulak terkenal sampai ke negeri Arab, maka ibu kota negeri pemerintahan Islam di Peureulak dinamai Bandar Khalifah.
Kisah lain menyebutkan pembuka pertama negeri Peureulak pada masa lalu, yang bernama maharaja Pho He La Syahril Nuwi. Mungkin nama Po He La pula yang menjadi asal-usul nama Peureulak. Sultan pertama yang dipilih oleh golongan ahlus sunnah wal jamaah di negeri Peureulak adalah Meurah Abdul Qadir Syah yang bergelar Sultan Machdum Ala’ldin Malik Abdul Qadir Syah Johan Berdaulat Zillull-lah Fil Alam.
Pecahnya Peureulak menjadi dua bagian tersebut, membuat negeri itu sering menimbulkan sengketa dan perang saudara. Namun Peureulak kemudian dapat disatukan kembali, setelah pada tahun 375 Hijriah, atau 986 masehi, kerajaan Sriwijaya bermaksud menyerang dan menundukkan negeri Islam Peureulak.
Pada masa itu, Peureulak yang mengikuti aliran Syiah dipimpin oleh Sultan Saiyid Maulana Machmud Syah. Sementara Peureulak bagian ahlus sunnah wal jamaah, dipimpin oleh Sultan Mahmud Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat. Untuk menghadapi agresi dari Kerajaan Sriwijaya itulah, rakyat Peureulak yang terpisah dalam pemerintahan kembar, bersatu kembali di bawah komando sultan masing-masing.
Pada masa peperangan itu pula, tepatnya tahun 377 Hijriah atau 988 Masehi, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Mahmud Syah, yang memerintah golongan syiah, meningal dunia. Karena itu pula, rakyat Peureulak kemudian bersatu di bawah pimpinan Sultan Machdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat.
Perang dengan Kerajaan Sriwijaya baru berakhir pada tahun 395 Hijriah atau 1.006 Masehi. Sriwijaya menarik kembali pasukannya dari Peureulak untuk menghadapi peperangan yang lebih besar dengan kerajaan Darmawangsa di Pulau Jawa. Berakhirnya perang di Peureulak tersebut, membuat para ulama dari Peureulak semakin leluasa menyebarkan agama Islam ke luar Peureulak, bahkan sampai negeri Jawa.
Sampai kini Peureulak tetap saja menjadi sebuah keunikan tersendiri. Kota dengan peradaban tuanya itu, punya rentetan sejarah yang unik dibandingkan dengan daerah lainnya di Aceh. Bahkan ketika Aceh bergolak menentang “Jakarta”, Peureulak merupakan basis dari penetangan tersebut.

http://harian-aceh.com/2011/10/20/tok-po-kalam-versus-bugis-buta

JANGAN LUPA