Kamis, 05 Januari 2012

Aspek Sosial Budaya Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo dan Rusdi Sufi
Aceh sebagai sebuah entitas suku dan wilayah tentu sangat berbeda dengan suku atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nanggroe Daruusalam ini terdapat 8 subetnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan subetnis tersebut mempunyai sejarah asal-usul dan budaya yangg sangat berbeda antar satu dengan yang lain. Misalnya, menurut sejarahnya, subetnis Aneuk Jamee merupakan pendatang yang berasal dari Sumatra Barat (etnis Minangkabu) sehingga budaya subetnis Aneuk Jamee mempunyai kemiripan dengan budaya etnis Minangkabau.
A. Mitos/Sejarah Keberadaan Masyarakat Aceh
Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah, yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) sebagai inti Kerajaan Aceh (Aceh proper). Karena daerah inilah pada mulanya yang menjadi inti kerajaan dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke daerah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang Belanda menamakanya (Onderhorigheden). Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh, untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh dan sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang.
Selain sebagai nama daerah Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi).
Mengenai kapan Aceh dan kapan istilah ini mulai digunakan belum ada suatu kepastian konkrit asal muasalnya. Data yang dapat memberi kesimpulan tentang asal muasal etnis Aceh tidak diketemukan. Informasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah populer yang disampaikan secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi ke Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh; orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan etnis Aceh. Namun sumber-sumber ini ada yang bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda.
K. F. H Van Langen dalam salah satu karyanya tentang Aceh berjudul “De Inrichting Van het Atjehsche Staatbestuur Onder het Sultanaat” (Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan yang dimuat dalam BKI 37 (1888) serta juga yang dikutip dari Laporan Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya yang diterima sebagai Lampiran Surat Sekretaris Pemerintahan Umum yang tertanggal 30 Juni 1887 No. 956 dimuat dalam majalah TBG (1889) dengan judul “Iets Omtrent de Oosprong Van Het Atjesche Volk en den Toestand Onder het Voormalig Sultanaat in Atjeh” (Serba-serbi Tentang Asal-Usul Bangsa Aceh dan Keadaan Pada Masa Pemerintahan Kesultanan di Aceh). Disebutkan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng manteue yang didominasi oleh orang-orang Batak dan juga etnis Gayo. Mereka termasuk dalam keluarga besar Melayu yang asal¬-usulnya juga belum diketahui secara pasti. Untuk menguatkan pendapat ini dijelaskan bahwa di dalam adat Batak dan Gayo masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh. Meskipun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatip bahasa Batak dan Gayo.
Ada pula yang memperkirakan bahwa etnis Aceh sebagian besar berasal dari Campa, seperti yang diutarakan oleh C. Snouck Hurgronje dalam karyanya The Atjehers (orang-orang Aceh). Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa. Menurut bahasa Aceh menunjukkan banyak persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa Mon Khmer, penduduk asli Kamboja, baik dari segi tata bahasa maupun dalam peristilahannya. Mengenai perbandingan atau persamaan antara bahasa Aceh dengan bahasa Campa telah diterbitkan oleh H.K.J. Cowan dengan judul “Aanteekeningen betreffende de verhoding van het Atjesche tot de Mon Khmer talen” dalam BKI 104 (1948).
Seorang ulama Aceh terkenal Aceh pada XIX yaitu Teungku Kutakarang yang populer dengan sebutan Teungku Chik Kutakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencampuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya percampuran dengan suku-suku bangsa lain, seperti India dan lainnya. Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het Familie en Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan Keluarga di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau, Batak, Nias. orang¬-orang lndia, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dapat disebutkan pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903) adalah berasal dari Bugis.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asal¬-usulnya etnis Aceh dibagi empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Keempat kawom atau sukee ini yaitu
1. Kawom atau sukee lhee reutoh (kawum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
2. Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
3. Kawom atau sukee tok Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka berasal dari berbagai etnis, pendatang dari berbagai tempat.
4. Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.
Pada awalnya akibat asal usul yang berbeda, keempat kawom ini sering kali terlibat dalam konflik internal. Kawom-kawon ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesama kawomnya cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam kawon-kawom itu.
Sesungguhnya etnis Aceh sebagai suatu entitas politik dan budaya mulai terbentuk semanjak awal abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514). Pembentukan ini diawali dengan adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayeuk yang selanjutnya dengan penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Selanjutnya, pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan pula oleh faktor eksternal. Karena eksodusnya para pedagang muslim dari Malaka ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 dan juga berubalmya rute perdagangan para pedagang muslim dari jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dengan penduduknya menjadi lebih kosmopolitan.
B. Karakteristik Kepribadian
Karena posisi geografisnya yang menguntungkan menyebabkan Aceh sarat dengan kontak dan pengaruh dari luar. Salah satu di antaranya ialah agama Islam. Berdasarkan beberapa sumber disimpulkan para sejarawan dan arkeolog bahwa agama Islam pertama masuk ke Nusantara ialah daerah Aceh. Disimpulkan pula bahwa Islam yang masuk ini yaitu Islam yang terlebih dahulu tersebar dan teradaptasi dengan unsur-unsur di daerah Persia dan Gujerat (India). Masuk dan kemudian berkembangnya agama Islam di Aceh telah menjadikan etnis Aceh secara keseluruhan penganut agama Islam. Namun karena Islam yang masuk ini, Islam yang telah berbaur dengan unsur¬-unsur budaya dari mereka yang memasukkan (budaya Persia dan India) telah memberikan corak tersendiri terhadap budaya dan adat istiadat serta agama Islam di Aceh.
Pada masyarakat Aceh antara agama dan budaya telah menyatu sehingga sukar untuk dipisahkan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh yang sangat populer, yaitu adat ngon hukom hanjeuet cree lagee zat ngon sifeut, artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan seperti unsur dengan sifatnya. Maksudnya hukum agama Islam yang berlaku itu telah menyatu dengan adat laksana zat dengan sifat Allah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan kata lain dapat disebut bahwa kedua hal itu berjalan sejajar dan jika di antaranya ada yang tidak cocok, dalam arti jika adat bertentangan dengan unsur-¬unsur agama lslam, maka keadaan itu dianggap timpang dan salah.
Di kalangan etnis Aceh terdapat sebuah pedoman hidup yaitu adat bak poteumeureuhom, hukom bak syiah kuala, yang maksudnya adat yakni kebiasaan-kebiasaan, tata cara atau peraturan-peraturan yang telah dibiasakan secara turun-temurun ditetapkan oleh raja atau penguasa (umara) dan hukum-hukum agama Islam difatwakan oleh para ulama. Sehubungan dengan hal tersebut dapat disebutkan bahwa adat pergaulan dan tata cara hidup etnis Aceh telah terjalin rapat dengan nafas Islam yang tidak terpisahkan itu. Ajaran-ajaran agama Islam yang dihayati oleh penduduk (orang Aceh) sejak dahulu masih membekas sampai sekarang. Salah satu warisan pengaruh agama yaitu tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab. Meskipun etnis Aceh mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Aceh (termasuk rumpun bahasa Austronesia), tetapi tidak memiliki sistem huruf khas bahasa Aceh asli. Berbagai karya (kitab) yang dikarang oleh para ulama (pada masa kerajaan) ditulis dengan huruf Arab. Ada yang dalam bahasa Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe dan juga bahasa Aceh serta Arab. Dapat dikatakan semua generasi tua mengenal huruf Arab (bahasa Jawi) ini didapatkannya melalui pendidikan agama. Selanjutnya di sini diketengahkan beberapa segi adat istiadat dan pandangan hidup etnis Aceh Menurut Rusdi Sufi ada beberapa karakteristik yang khas dari masyarakat Aceh yaitu,
Memberi Salam
Suatu cara khas etnis Aceh yang juga ada pada suku bangsa Indonesia lain ialah dalam hal bertamu ke tempat seseorang yang belum dikenalnya. Sebelum ia masuk ke rumah yang punya terlebih dahulu ia menyapa penghuninya dengan menggunakan kata assalamu ‘alaikum (bukan dengan sesuatu sebutan yang lain dari itu) yang artinya seperti sama-sama kita maklumi, moga-moga anda (sekalian) sejahtera. Ini adalah suatu sikap hidup yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnva.
Karena Islam itu damai, maka setiap pemeluknya disuruh supaya ia hidup berdamai dengan sesamanya. Menjawab salam ini wajib hukumnya. Jika ucapan salam itu tidak dijawab karena ketiadaan penghuni umpamanya, maka tamu tadi tidak akan masuk ke dalam rumah yang didatanginya itu, ia segera beranjak dari tempat ini untuk menghindarkan fitnah. Ini sesuai dengan maksud A1 Qur’an surat An-Nur ayat 27 dan 61.
Tangan Kiri atau Kaki
Seorang Aceh tidak akan menyerahkan, menerima sesuatu atau menghimbau seseorang dengan tangan kirinya, baik secara berkelakar apalagi secara bersungguh-sungguhan. Dalam hal ini tangan kiri dianggap paling tidak sopan karena kegunaannya hanyalah untuk membersihkan bahagian tubuh setelah melakukan hajat besar. Pengertian kiri dan kanan dalam pandangan orang Aceh sudah jelas, analog dengan yang tercantum dalam A1 Qur’an surat Al-Haqqah ayat 19 dan 25 atau surat Al Waqiah ayat 8, 9, 41 dan 90 atau surat A1 Insyiqaq ayat 7. Begitu juga halnya bercanda dengan menggunakan kaki, baik kiri ataupun kanan sesuatu yang paling pantang.
Memegang Kepala
Kepala merupakan bahagian tubuh yang ditakdirkan ‘Tuhan berada di atas sekali. Di situ dipusatkan indera-indera terpenting seperti otak, mata, telinga, mulut dan lidah, yang kemudian baru berhubungan dengan organ-organ tubuh yang lain ke bawah. Dalam pandangan orang Aceh memegang atau mengambil penutup kepala yang sedang dipakai seseorang, baik secara berkelakar apalagi secara sengaja merupakan hal yang sangat dilarang.
Yang Dituakan
Dalam pergaulan hidup orang Aceh, seseorang yang lebih tua usianya dipandang terhormat. Dengan tua di sini dimaksudkan seseorang yang telah lama hidup dan telah berpengalaman serta dengan sendirinya lebih bijaksana dalam tindak-tanduknya dibandingkan dengan seseorang yang masih berusia muda. Dalam hal ini tidak berarti bahwa seperti halnya sekarang pemuda yang telah bergelar sarjana dipandang tidak terhormat.
Jiran
Jiran atau tetangga merupakan kelompok orang yang paling rapat hubungannya dengan orang Aceh. Kendatipun orang itu mempunyai saudara kandung atau famili yang bagaimanapun besar martabatnya, tetapi jauh daripadanya, namun .jiran atau tetangga yang walaupun tidak seagama dan sesuku dengannya merupakan kelompok orang yang sangat berarti baginya. Oleh karena itu, seorang Aceh tidak akan merasakan asing jika ia berdiam dekat dengan seseorang yang berlainan suku bangsa atau agama yang dianutnya. Dia dapat merasakan hubungan kekeluargaan vang mesra dengan jirannya dalam batas pandangan-pandangan hidupnya.
Damai
Karena cara hidup orang Aceh terjalin dengan unsur-unsur agama Islam seperti telah disinggung di atas, maka sesuai dengan maksud dan tujuan Islam sendiri, pada prinsipnya setiap orang Aceh itu berperasaan damai di hatinya terhadap siapapm sejauh ia tidak dipandang remeh atau dihina oleh sesuatu golongan lain. Makna salam yang diucapkan pada setiap waktu bertemu dan berpisah dimana pun tempatnya itu sebenarnya merupakan ajaran bagi seorang Aceh untuk hidup damai dengan segala makhluk Allah di muka bumi ini.
Dalam pandangan orang Aceh, taloe atau kalah merupakan hal yang sangat negatif. Jika ia merasa taloe atau tersisih dari suatu pergaulan masyarakat, maka ia akan keluar dari kampungya dan pergi berdiam di tempat lain dimana orang belum mengenal dirinya dengan maksud agar ia dapat hidup secara terhormat kembali. Oleh karena itu, prinsip hidup berdamai itu sangat penting bagi seorang Aceh, suatu sikap yang dipertahankan secara sungguh-sungguh. Ihi pula maka setiap sengketa di kampung Aceh selalu dibawa kepada titik perdamaian yang dilakukan oleh kepala kampung bersama anggota-anggota pemerintah kampung itu. Pengertian taloe atau kalah yang disebut di atas bukanlah istilah yang biasa dipergunakan dalam permainan seperti permainan bola.
Sehubungan dengan prinsip hidup damai itu dalam penghidupan orang Aceh dikenal pula sebuah ucapan vang berbunyi sihet bek rho bah habeh maksudnya miring jangan tumpah biarlah, artinya daripada miring-miring atau tanggung-¬tanggung, biarlah tumpah atau sungguh-sungguh sekali asal tidak sampai malu. Prinsip hidup ini berarti bahwa orang Aceh hanya mengenal sahabat yang setiap saja, sahabat yang benar-benar seperasaan dan sependeritaan dengannya dan untuk sahabat yang sedemikian ia rela mengorbankan apa saja, jika perlu nyawapun akan rela dikorbankan.
Dendam
Dalam buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Belanda pada masa lalu ada yang menyebutkan bahwa orang Aceh itu pendendam. Gambaran ini sebenarnya keliru. Orang Aceh sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya sebenarnya hanya mengenal kata tueng bila, maksudnya menuntut bela. Seorang Aceh akan menuntut bela atas setiap kerugian yang dideritanya. Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Ini dijelaskan dalam Al Qur’an surat A1 Baqarah ayat 178 atau surat A1 Maidah ayat 45. Akan tetapi, karena prinsip hidup orang Aceh yang lebih menyukai damai itu, maka menjadi tugas bagi eumbah dan ma di sebuah kampung sebagai tokoh-tokoh yang berwibawa untuk bertindak, sehingga semua persoalan sengketa dapat dinetralkan kembali di dalam pergaulan masyarakat di kampung itu.
Memang dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam yang disebut dam. Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan daripada yang disebut di atas, maka orang itu tidak memahami prinsip hidupnya sebagai seorang Aceh.
Pergaulan
Dari beberapa hal yang telah dicoba dijelaskan untuk dikemukakan tadi jelas bahwa bagi setiap orang Aceh tidak merupakan masalah untuk berasimilasi dengan setiap orang di luar sukunya. baik di dalam maupun di luar daerahnya sendiri. Sikap hidup ini sebenarnya sudah ada dalam darah setiap orang Aceh jika diingat bahwa orang Aceh merupakan percampuran darah dengan bangsa lain seperti telah diutarakan di atas.

Kekeluargaan
Pada masa dahulu dimana setiap kaum itu mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka keluarga itu mempunyai arti yang penting sekali. Peperangan di antara satu daerah dengan daerah lain telah membuat setiap keluarga itu amat menonjol dan bertanggung jawab satu dengan yang lain, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa menurut asal-usulnya bangsa Aceh itu terdiri atas 4 kaum atau suku.
C. Struktur Masyarakat
Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan yaitu golongan umara dan golongan ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pinpinan unit pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unti pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler.
Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut ureung nyang malem. Dengan demikian tebntunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat disebut yaitu :
1. Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong (kampung).
2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tangkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek
Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut di atas, yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, juga dalam masyarakat Aceh terdapat lapisan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelompok ini dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad. Jadi kelompok Sayed ini juga merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh.
Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi harta yang mereka miliki. Untuk itu maka ada golongan hartawan/orang kaya dan rakyat biasa (Ureung leue). Selain itu, penggolongan masyarakat Aceh dapat dibagi pula kedalam empat kelompok, yaitu golongan penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan dan pegawai negeri; kelompok ulama, yaitu orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama; kelompok hartawan (mereka yang memiliki kekayaan), dan kelompok rakyat biasa.
D. Bahasa
Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang dan Meulaboh, tetapi yang terpenting adalah dialek Banda. Dialek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda ‘eu’ kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).
Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena hilangnya satu vokal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti “turun ” menjadi” tron”, karena hilangnya suku pertama, seperti “daun” menjadi “beuec”. Di samping itu banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa indonesia bagian timur.
Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya mengunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar baik dalam keluarga atau dalam kehidupan sosial. Namun demikian masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu ada pula masyarakat yang memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan dalam kehidupan sosial mereka Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh asli.
Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab – Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe. Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh, banyak orang tua orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi ini.
E. Permainan Tradisional
1. Geulayang Tunang
Geulayang Tunang terdiri dari dua kata yaitu geulayang yang berarti layang-layang dan Tunang yang berarti pertandingan. Jadi geulayang tunang adalah pertandingan layang-layang atau adu layang yang diselenggarakan pada waktu tertentu. Permainan ini sangat digemari di berbagai daerah di Aceh. Mengenai nama permainan ini kadang-kadang juga ada pula yang menyebutnya adud geulayang. Kedua istilah yang disebutkan terakhir sama artinya, hanya lokasinyalah yang berbeda.
Pada zaman dahulu permainan ini diselenggarakan sebagai pengisi waktu setelah mereka panen padi. Sebagai pengisi waktu, permainan ini sangat bersifat rekreatif. Oleh karena itu, permainan ini sering kali dilombakan dalam acara peringatan hari kemerdekaan RI atau event-event lainnya.
2. Geudeue-Geudeue
Geudeue-geudeue atau disebut juga due-due adalah permainan ketangkasan yang terdapat di Pidie. Di samping ketangkasan, gesit, keberanian dan ketabahan pemain geudeue-geudeue harus bertubuh tegap dan kuat. Permainan ini kadang-kadang berbahaya karena permainan ini merupakan permainan adu kekuatan.
Cara memainkannya adalah seorang yang berbadan tegap tampil di arena. Ia menantang dua orang lain yang juga bertubuh tegap. Pihak pertama mengajak pihak kedua yang terdiri dari 2 orang supaya menyerbu kepadanya. Ketika terjadi penyerbuan, pihak pertama memukul dan menghempaskan penyerangnya (pok), sedangkan pihak yang pihak kedua menghempaskan pihak yang pertama.
Dalam tiap permainan bertindak 4 orang juru pemisah yang disebut ureueng seumubla (juri), yang berdiri selang-seling mengawasi setiap pemain.
3. Peupok Leumo
Peupok leumo adalah sejenis permainan yang khas terdapat di Aceh Besar. Permainan ini merupakan suatu permainan mengadu sapi. Permainan ini sebelumnya berkembang di kalangan peternak sapi. Zaman dahulu lazimnya peupok leumo diselenggarakan oleh sekelompok peternak yang berada pada satu lokasi seperti yang berada pada satu kampung atau lebih luas lagi satu mukim, diselenggarakan seminggu sekali. Untuk menentukan hari-hari penyelenggaraan setiap hari minggu, Jumat atau hari-hari lainnya. Dapat juga diselenggarakan pada sore hari, pukul 16.00-18.00.
Selain peupok leumo masih ada lagi acara peupok leumo tunang, yaitu permainan peupok leumo untuk mencari sapi yang akan keluar sebagai pemenang. Acara peupok leumo tunang ini biasanya diselenggarakan oleh sebuah panitia. Waktunya tergantung kepada cuaca dan musim-musim tertentu seperti sehabis panen atau waktu-waktu lain seperti pada hari-hari besar dan sebagainya.
4. Pacu Kude
Pacu kude dapat diartikan duduk di atas kuda yang lari atau dapat diartikan sebagai pacuan kuda. Permainan ini terdapat di Kabupaten Aceh Tengah. Karena daerah ini terdapat padang rumput yang sangat luas serta kuda adalah alat angkutan yang sangat praktis di daerah pegunungan, di samping dipergunakan untuk membajak sawah.
Sehabis panen kuda-kuda ini tidak mempunyai kegiatan apa-apa yang dianggap penting. Waktu-waktu seperti itu sering kuda-kuda tersebut berlari-lari berkelompok. Kebiasaan ini dikoordinir akhirnya terbentuk permainan pacu kude.
Pada awalnya permainan ini adalah permainan informal, tidak ada aturan yang baku untuk dilaksanakan. Namun lama kelamaan, permainan ini ditingkatkan menjadi permainan resmi dan terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi. Akhirnya, pada bulan Agustus 1930 pertandingan pacu kude resmi diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kelahiran Ratu Belanda, Welhilmina. Saat ini, pacu kude diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI. Adapun aturan-aturan dalam permainan ini di antaranya joki adalah orang laki-laki berumur 12-20 tahun dan beratnya dibatasi maksimum 40 kg.
5. Peh Kayee
Meuen Peh Kayee disebut juga meuen gok atau meuen sungkeet. Para pemain adalah anak-anak yang sudah bisa berhitung, karena untuk mengakhiri permainan dengan hitungan. Perlengkapan yang dibutuhkan sebuah gagang sepanjang lebih kurang 60 cm yang dipergunakan sebagai alat untuk memukul dan sebuah anak kayu sepanjang lebih kurang 10 sampai 15 cm untuk dipukul oleh pemain, juga dibutuhkan lapanga yang luas. Gagang dan anak kayu biasanya dari pelepah rumbia yang telah dipotong-potong dan dibulatkan dengan maksud tidak mencederai bagi pemainkarena ringan.
Dalam permainan peh kayee ada beberapa istilah, yaitu boh sungkeet, boh peh, dan boh jeungki. Boh Sungkeet adalah bola pertama dalam memulai permainan dengan menyungkit anak yang telah diletakkan diatas lobang yang telah disediakan dengan gagang sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Peh adalah bola kedua di mana anak diumpamakan sebagai bola sesudah dilambung ke atas kemudian dipukul sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Jeungki adalah bola ketiga dimana anak diletakkan secara membujur yang sebagian berada di dalam lubang dan kemudian dipukul bagian atas sampai naik, setelah naik diusahakan untuk dipukul secara lemah beberapa kali, seandainya tidak dapat dipukul secara lemah barulah dipukul yang kuat ke arah lawan.
F. Kesenian
1. Saman
Tarian saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh Agama Islam bernama Syeh Saman. Syair saman dipergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tarian ini tidak mempunyai iringan permainan, karena dengan gerakan-gerakan tangan dan syair yang dilagukan, telah membuat suasana menjadi gembira. Lagu-lagu (gerak-gerak tari) pada dasarnya adalah sama, yakni dengan tepukan tangan, tepukan dada dan tepukan di atas lutut, mengangkat tangan ke atas secara bergantian.
2. Tari Likok Pulo Aceh
Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang Ulama tua berasal dari Arab, yang hanyut di laut dan terdampar di Pulo Aceh atau sering juga disebut Pulau (beras). Diadakan sesudah menanam padi atau sesudah, biasanya pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian dipertandingkan berjalam semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan dengan posisi duduk bersimpuh, berbanjar bahu membahu. Seorang pemain utama yang disebut syeh berada di tengah-tengah pemain. Dua orang penabuh rapai berada dibelakang atau sisi kiri/kanan pemain. Sedangkan gerak tari hanya memfungsikan anggota tubuh bagian atas, badan, tangan dan kepala. Gerakan tari pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman/keserentakan dengan memfungsikan tangan sama-sama ke depan, kesamping kiri atau kanan, ke atas dan melingkar dari depan ke belakang, dengan tempo mula lambat hingga cepat.
3. Laweut
Laweut berasal dari kata Salawat, sanjungan yang ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama sekali disebut Akoon (seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada Pekan Kebudayaan Aceh II/PKA II). Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh. Gerak tari ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.
4. Tari Pho
Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari rakyat/hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.
5. Seudati
Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan retoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang anak syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo dari lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.
G. Senjata
Selain meriam dan senjata api, ketika rakyat Aceh melawan Belanda juga mempergunakan senjata-senjata tradisional. Berdasarkan penggunaannya senjata-senjata stradisional yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga). Pertama senjata yang berfungsi untuk menyerang, kedua senjata untuk membela diri dan ketiga senjata yang bergerak sendiri. Adapun senjata-senjata untuk menyerang antara lain :
1. Reuncong (Rencong)
Ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh, yaitu pertama reuncong Meucugek. Disebut rencong meucugek karena pada gagang rencong tersebut terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek Cugek ini diperlukan untuk mudah dipegang dan tidak mudah lepas waktu menikam ke badan lawan atau musuh. Kedua, Reuncong Meupucok memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari emas. Gagang dari rencong meupucok ini kelihatan agak kecil pada gagang atau pegangan pada bagian bawahnya. Namun semakin ke ujung gagang ini semakin membesar. Jenis rencong semacam ini digunakan untuk hiasan atau sebagai alat perhiasan. Biasanya, rencong ini dipakai pada upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan masalah adat dan kesenian. Ukiran yang terdapat pada gagang rencong bermacam-macam bentuknya, ada yang menyerupai bungan mawar, kembang daun dan lainnya tergantung kepada selera pemakai. Ketiga, Reuncong Pudoi. Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang dianggap masih kekurangan, atau masih ada yang belum sempurna. Gagang rencong ini hanya lurus saja dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud pudoi atau yang belum sempurna adalah pada bentuk gagang rencong tersebut. Keempat, Reuncong Meukuree. Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada mata rencong. Mata rencong diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga dan lainnya. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan bermacam-macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong yang disimpan lama maka pada mulanya akan terbentuk sejenis aritan atau bentuk yang disebut kuree. Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong makin banyak pula kuree yang terdapat pada mata rencong yang bersangkutan. Kuree ini dianggap mempunyai kekuatan magis.
2. Siwaih
Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hampir sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi dari pada rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya yang mahal, juga merupakan bahagian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang.
3. Peudeung (Pedang)
Pedang digunakan sebagai senjata untuk menyerang. Jika rencong digunakan untuk menikam, maka pedang digunakan beriringan dengan itu, yaitu sebagai senjata untuk mentetak atau mencincang. Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal beberapa macam pedang yaitu peudeung Habsyah (dari negara Abbesinia), Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat), Peudeung Turki berasal dari raja-raja Turki.
Berdasarkan bilah atau bentuk mata pedang, masyarakat mengenal nama-nama pedang sebagai berikut peudeung on teubee sejenis pedang yang bilah atau matanya menyerupai daun tebu. Pedang ini dibuat sedemikian rupa, panjangnya kira-kira 100 Cm (sudah termasuk gagangnya). Umumnya terbuat dari besi, bentunya lebih halus dan lebih kecil dari peudeung on jok. Peudeung on jok sesuai dengan namanya menyerupai daun enau atau daun nira. Bentuknya lebih kasar dan tebal dari peudeung on teubee dan sedikit agak pendek dari peudeung on teubee.
Berdasarkan bentuk gagangnya, jenis pedang adalah sebagai berikut pertama, Peudeung Tumpang Jingki, gagangnya seperti mulut yang sedang terbuka dan seakan-akan dapat menahan sandaran benda lain di atasnya. Gagang pedang ini berasal dari tanduk dan matanya dari besi. Panjang keseluruhannya mencapai 70 Cm. Bentuknya hampir serupa dengan peudeung tumpang beunteung yang lazim disebut oleh masyarakat Pidie. Kedua, Peudeung Ulee Meu-apet, pada gagangnya terdapat apet atau penahan untuk tidak mudah terlepas. Jenis pedang ini selalu ditempatkan di dalam sarungnya. Bahkan amat jarang dikeluarkan. Pedang ini dianggap mempunyai kekuatan magis, pantang dikeluarkan disembarangan tempat dan waktu. Ketiga, Peudeung Ulee Tapak Guda, gagangnya menyerupai telapak kaki kuda. Gagangnya dibuat dari tanduk, dan bilahnya dari besi. Panjangnya mencapai 72 Cm. Di samping jenis pedang yang telah disebut di atas, didapati nama-nama lainnya seperti Peudeung ulee iku mie karena gagangnya menyerupai ekor kucing, peudeung ulee iku itek, karena gagangnya menyerupai ekor bebek, Peudeung ulee babah buya karena gagangnya seperti mulut buaya, peudeung lapan sago gagangnya bersegi delapan. Ada satu pedang yang sering diceritakan dan disebut-sebut orangtua di Aceh yaitu peudeung Zulfaka yang mengandung kekuatan magis tinggi karena berasal dari Saidina Ali Radhiallahu’anhu.
H. Adat-Istiadat
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.
2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.
I. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan kari kambing, dan sebagainya.
Daftar Bacaan
Abdul Baqir Zein. 1999. Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani.
Agus Budi Wibowo, 1996. “Memaknai Kepahlawanan Teuku Chik Tunong”, dalam Serambi Indonesia 21 November .
A. Hasjmy. 1996. Wanita Aceh sebagai Negarawan dan Panglima Perang. Jakarta: Bulan Bintang.
Aslam Nur. 2003. Ramadhan….. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Aceh Utara. A Fascinating Tourism of North Aceh. Lhokseumawe: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Aceh Utara.
Doty Damayanti, 2003. “Mencari Jejak Kejayaan Kerajaan Samudra Pasai”, Kompas 15 November hal. 31.
Elly Darmi, 2002. “Legenda Sang Nago dan Tuanku Tapa”, Naskah lomba Menulis Cerita Rakyat Daerah. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.
Hermanto, 2003. “Pesona Wisata Singkil”, dalam Buletin Wisata Aceh. No XXXI/Januari-April 2003. Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
H.C. Zentgraaff. 1982/1983. Aceh. Jakarta: Depdikbud, Terj. Firdaus Burhan.
K.F.H. Van Langen. 1888. “De Inrichting van het Atjehsche Staatbestuur onder het Sultanaat”, BKI 5. ‘s-Gravenhage.
M. Arifin Gapi dkk. 1980/1981. Pemetaan Beberapa Objek Sejarah Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Unsyiah.
M. Hasan Basri dan Ibrahim Alfian, 1990. Perang Kolonial Belanda di Aceh. Banda Aceh: PDIA.
M. Hisyam. 2002. “Beberapa Catatan Sejarah Tentang Hidup Hamzah Fansuri. Makalah Internasional Menelusuri Jejak Syeikh hamzah al-Fansuri: Intelektual, Sufi, dan Sastrawan tanggal 15-17 Januari.
Muh Nasir Age, 2003. “Mesjid Cot Plieng Kisah Serdadu Jepang Pembakar Mesjid dan Masuk Islam”, Waspada 15 November hal. 13
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo.2005. Jelajah Aceh. Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi NAD.

http://plik-u.com/?p=553

JANGAN LUPA