Oleh: Agus Budi Wibowo dan M. Isa Sulaiman
“Mengenai Teuku Raja Tampok yang disebut dalam laporan politik yang  lalu, seorang lawan kita yang terdamaikan itu telah dicari-cari 20 tahun  yang lalu, hanya diterima berita yang samar-samar; namun demikian dapat  dipastikan ia beserta istrinya tetap bertualang di paya-paya Seuneuam  yang amat sukar ditembusi itu diberi makan oleh penduduk Seuneuam  (Mailrapport No. 130/29)Petikan singkat laporan Gubernur Aceh Goedhart  tentang keadaaan politik di Aceh tahun 1928 di atas mengingatkan kita  bahwa sejak 1908 T.R Tampok telah tampil sebagai pejuang dari gerilyawan  Aceh (muslimin) yang cukup diperhitungkan oleh pemerintah kolonial  terutama dalam penaklukan daerah Seunagan di Pantai Barat Aceh.  Kemunculan T. R. Tampok sendiri sebagai salah seorang pemimpin  perlawanan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan drama penaklukan  wilayah Meulaboh umumnya dan Seunagan khususnya sejak penghujung abad  ke-19 lalu.
Pemimpin perlawanan rakyat Seunagan dalam menghadapi  Belanda pada mulanya berada di tangan T. Keumangan. Ia didampingi oleh  putra pemimpin ulama terkemuka di daerah itu, Habib Nagan, yaitu Tgk.  Padang Si Ali alias Sayid Yasin dan kemenakannya Tgk. Putik alias Said  Abdur Rani. Dalam tahun 1902-1904 berlangsung peperangan yang cukup seru  antara kesatuan-kesatuan Marsose Divisi 2 yang dipimpin Campioni dan  Mathes yang bermarkas di Pulo Ie (kemudian Jeuram) dengan para  gerilyawan bersangkutan (muslimin) yang menimbulkan banyak korban.  Kapten Campioni sendiri gugur dalam suatu pertempuran, namun pasukan  Belanda yang ter-organisir rapi dengan dukungan senjata dan logistik  yang baik terlalu kuat untuk dikalahkan oleh pihak gerilyawan. Menyadari  hal demikian pada bulan Januari 1905 T. Keumangan turun berdamai dengan  Belanda (Du Cro, 1943: 62-63). Sebelas tahun kemudian ia diangkat  sebagai zelfbestuurder Seunagan menggantikan saudaranya, T. Johan.
Turunnya T. Keumangan memang berpengaruh terhadap  volume perlawanan, tetapi tidak berarti perlawanan menjadi berhenti.  Persoalannya Tgk. Padang Siali dan Tgk. Putik masih tetap meneruskan  perang gerilya. Dalam melakukan perlawanan terhadap tentara Marsose yang  dipimpin Letnan H.J. Schmidt dan Kapten Baretta, mereka dibantu oleh  beberapa orang ksatria terkemuka seperti T. Raja Tampok, T. Kapa, T.  Itam. Para kesatria itu terdiri dari atas orang-orang pemberani, ahli  siasat, dan trampil dalam mempergunakan kelewang.
Aksi perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang itu  cukup merepotkan pasukan Marsose yang telah membangun bivak (asrama) di  Jeuram dan Lam Ie di samping dua lainnya di Meulaboh dan Kuala Bhe.  Masalahnya para pejuang itu sangat menguasai alam sekitarnya, tambahan  lagi menurut Belanda sendiri (Du Cro, 1943 dan Goedhart, 1927), mereka  adalah penyerang-penyerang berkelewang yang amat berbahaya yang disokong  oleh keyakinan bahwa gugur dalam peperangan melawan kafir adalah  syahid.
 Apapun perlawanan yang mereka lakukan nyatanya pasukan Belanda yang  terorganisasi rapi tidaklah mampu mereka enyahkan dari negeri Seunagan.  Malah sejumlah ksatria mereka, termasuk T. Usman, anak Tgk. Putik,  sendiri gugur dalam pertempuran dan sebagian lainnya luka atau tertawan.  Atas prakarsa T. Keumangan, Tgk. Putik dan ± 40 orang pengikutnya pada  bulan Oktober 1910 turun berdamai. Pada bulan Januari 1911 Tgk. Padang  Si Ali, ayah Habib Muda, juga meniru langkah yang sama. Para ksatria  yang turun itu ada yang terus berbaur dengan masyarakat kembali, seperti  Tgk. Padang Si Ali dan ada pula yang oleh beberapa pertimbangan  diasingkan ke luar daerah Aceh termasuk Tgk. Putik sendiri yang pada  tahun 1918 diasingkan ke Banyumas, Jawa Tengah.
Pendirian Tgk. Putik dan Tgk. Padang Si Ali untuk berdamai rupanya tidak diikuti oleh T.R. Tampok. Masalahnya ia mengalami trauma yang cukup berat terhadap perlakuan keji yang dilakukan oleh serdadu Belanda terhadap orang tuanya T. Datuk Mat Sareh. Ketika tentara Marsose menggempur basis perlawanan mereka di Alu Bata, Tadu Atas, beberapa waktu lalu, ayahnya T. Datuk Mat Sareh yang sedang terbaring di atas dangau dibakar oleh serdadu Belanda sampai hangus bersama dengan dangau tersebut. Pada waktu menyaksikan mayat ayahnya yang telah jadi abu itu, ia pun bersumpah akan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai titik darah terakhir.
Pendirian Tgk. Putik dan Tgk. Padang Si Ali untuk berdamai rupanya tidak diikuti oleh T.R. Tampok. Masalahnya ia mengalami trauma yang cukup berat terhadap perlakuan keji yang dilakukan oleh serdadu Belanda terhadap orang tuanya T. Datuk Mat Sareh. Ketika tentara Marsose menggempur basis perlawanan mereka di Alu Bata, Tadu Atas, beberapa waktu lalu, ayahnya T. Datuk Mat Sareh yang sedang terbaring di atas dangau dibakar oleh serdadu Belanda sampai hangus bersama dengan dangau tersebut. Pada waktu menyaksikan mayat ayahnya yang telah jadi abu itu, ia pun bersumpah akan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai titik darah terakhir.
Terikat oleh sumpahnya itulah, maka T.Raja Tampok  beserta istrinya Cut Caya, asal hulu Seunagan terus melajutkan gerilya  dari satu hutan ke hutan yang lain atau dari satu rawa ke rawa yang lain  di Tadu Alas, Seuneunam dan hulu Krueng Tripa. Di samping itu seorang  panglima lain, yaitu Pang Karim -seperti T.R. Tampok- melakukan aksi  gerilya di daerah Tripa. Mereka ini merupakan pemimpin gerilya yang  sangat ditakuti dan dicari-cari oleh Belanda sebagaimana salah satu  kutipan yang telah disebut di atas.
Kurang diketahui secara persis berapa jumlah pengikut  T.R. Tampok selama masa gerilya dari satu hutan ke hutan tersebut.  Menurut sumber intelejen Belanda kawanan T.R. Tampok dalam tahun  1926-1931 sekitar 12 orang. Pengikutnya itu berasal dari orang-orang  yang tidak puas di dalam desanya yang berhasrat untuk menyalurkan  perasaan tidak puas itu melalui perang sabil melawan kafir.
Dalam suasana perang gerilya T.R. Tampok menerapkan  aturan-aturan yang keras kepada pengikutnya agar terhindar dari  marabahaya. Para gerilyawan diharuskan menggunakan pakaian warna hitam.  Lelaki dan perempuan memakai celana untuk memudahkan gerakan bila  terjadi kontak senjata. Celana mereka berpotongan babah keumurah (di  bawah lutut) dan baju bulat leher, sementara lelaku memakai destar yang  juga berwarna hitam. Destar itu juga dapat digunakan sebagai kain  selimut dan wadah mengangkut barang keperluan sehari-hari.
 Operasi militer dan patroli yang dilakukan oleh serdadu Marsose yang  berpangkalan di Lam Ie dan Jeuram hanya dapat mengurangi pengikut T.R.  Tampok melalui berbagai kontak senjata, tetapi tidak mampu menangkap  atau menewaskan T.R. Tampok sendiri. Akibatnya, T.R. Tampok luput dari  kejaran Belanda hingga akhir masa kolonial Belanda di Aceh.  Ketidakberhasilan Belanda tersebut justru meningkatkan reputasi T.R.  Tampok di mata rakyat umum di negeri Seunagan melalui mitos yang  disebarkan dari mulut ke mulut bahwa ia memiliki ilmu kebal, ilmu ureh  (pengetahuan waktu-waktu yang cocok untuk bertindak agar selamat) dan  peurabon (dapat hilang seketika atau menjelma menjadi makhluk lain).
 
Di samping penguasaan terhadap alam sekitar dan  kemampuan beradaptasi dengan alam, rahasia kemampuan bertahan T.R.  Tampok juga terletak atas jaringan kekerabatan yang berlangsung antara  dirinya dengan masyarakat setempat. Ketika ia berada di hulu Krueng  Tripa, keuchik Uyam dan Khatib Bismi masing-masing kepala desa dan imam  Desa ujung Baroh, Mukim Blang Tripa, tempat leluhur T.R. Tampok berasal  dan dikebumikan, Menurut T.R. Tadu, telah berhubungan secara rahasia  dengan T.R. Tampok di tempat persembunyiannya. Melalui jaringan hubungan  itulah ia dapat memperoleh suplai garam atau kain yang amat diperlukan.  Malah putrinya Cut Keumala yang telah lama ditingggalkan di desa  bersama dengan 4 cucunya T. Usman, T. Banta, T.R. Tadu, dan T. R. Kuala  dapat bergabung kembali dengan T.R. Tampok pada akhir masa kolonial  melalui jaringan di atas (Wawancara dengan T.R. Tadu 1995).
Hulubalang setempat kelihatannya bersikap acuk tak acuh terhadap T.R. Tampok sepanjang tidak mengganggu ketertiban penduduk. Hal demikian dapat dimengerti mengingat T. Keumangan hulubalang Seunagan 1916-1929 yang kemudian digantikan oleh T. Ben adalah bekas majikan T.R. Tampok. Sedangkan T.R. Baday alias Petua Beungga, zelbestuurder Seuneunam sebelum 30 Juli 1929, menurut Gubernur Goedhart adalah hulubalang yang lemah dan tidak dapat dipercayai (Mailrapport 835x/28).
 
Hulubalang setempat kelihatannya bersikap acuk tak acuh terhadap T.R. Tampok sepanjang tidak mengganggu ketertiban penduduk. Hal demikian dapat dimengerti mengingat T. Keumangan hulubalang Seunagan 1916-1929 yang kemudian digantikan oleh T. Ben adalah bekas majikan T.R. Tampok. Sedangkan T.R. Baday alias Petua Beungga, zelbestuurder Seuneunam sebelum 30 Juli 1929, menurut Gubernur Goedhart adalah hulubalang yang lemah dan tidak dapat dipercayai (Mailrapport 835x/28).
Dalam masa perjuangan gerilya itu terdapat juga  konflik kepentingan antara T.R. Tampok dengan sebagian masayarakat desa.  Konflik kepentingan apabila tidak dapat didamaikan lagi diselesaikan  melalui aksi teror sebagaimana halnya pembunuhan terhadap Tgk. M. Yatim,  imeum Desa Alue Kuyun Tripa, oleh Pang Perlak atas kerjasama dengan 2  orang penduduk setempat pada awal tahun 1926. Beberapa waktu kemudian  T.R. Batak, imeum Tripa Atas, membunuh pula pengikut T.R. Tampok, yang  terakhir segera memberikan reaksi balasan. Pada tanggal 15/16 Juli 1926  Ben Lui dan Pang Perlak membunuh T.R. Batak. Zelfbestuurder Seunagan T.  Keumangan membiarkan peristiwa yang menimpa bawahannya itu berlalu  begitu saja (Mailrapport No. 221x/28 dan 835x/28). Tidak lama kemudian  imuem Tripa Atas digantikan oleh T.R. Gombak.
 
Dalam masa gerilya itulah T.R. Tampok memperoleh  seorang putra yang diberi nama T. Bentara Keumangan, tetapi lebih  populer T. Raja Ubit (kecil atau bungsu). Tahun persis kelahirannya  kurang diketahui, tetapi diperkirakan sekitar 1935. T.R. Ubit sendiri  bukan lahir dari rahim Cut Caya. Menurut sebuah sumber ibunya adalah  Indah/janda A. Rahman, pengikut T.R. Tampok yang telah ditangkap dan  dibuang ke Jawa oleh Belanda. Ketika tempat persembunyian T.R. Tampok di  Blang Tadu dikepung serdaddu Marsose, T.R. Tampok dan Cut Caya beserta  T.R. ubit yang masih kecil dapat menyelamatkan diri ke hulu Blang Tripa.  Sedangkan Indah gugur dalam kepungan itu. Sejak saat itu T.R. Ubit  diasuh oleh Cut Caya dalam keadaan berpindah-pindah tempat (Wawancara  Zainal Abidin, 1995).
Berbarengan dengan aksi gerilya yang dilakukan dengan T.R. Tampok negeri Seunagan pun mengalami perubahan sebagai akibat dari kolonisasi, modernisasi dan pergantian generasi. Sejak tahun 1928 enam perusahaan besar membuka 10 perkebunan kelapa sawit dan karet yang arealnya ratusan ribu hektar, sementara buruh atau karyawannya didatangkan dari luar (Nota Van Toelichting …
.  Berdirinya bivak dan perkebunan mengakibatkan munculnya Pasar Jeuram  dan Alue Bilie yang didiami oleh minoritas pendatang dan penduduk  setempat. Bersamaan dengan itu pemerintah kolonial membangun pula  fasilitas komunikasi dan fasilitas sosial di kedua tempat.
 
Berbarengan dengan aksi gerilya yang dilakukan dengan T.R. Tampok negeri Seunagan pun mengalami perubahan sebagai akibat dari kolonisasi, modernisasi dan pergantian generasi. Sejak tahun 1928 enam perusahaan besar membuka 10 perkebunan kelapa sawit dan karet yang arealnya ratusan ribu hektar, sementara buruh atau karyawannya didatangkan dari luar (Nota Van Toelichting …
Kesemua hal di atas mengakibatkan struktur sosial  masyarakat Seunagan bertambah kompleks berkat munculnya  kelompok-kelompok sosial baru di tengah masyarakat. Di kota Jeuram dan  Alue Bili sendiri muncul kelas pedagang, baik yang berasal dari orang  Cina maupun orang Aceh yang sukses di tempat itu seperti Nyak Ana  Hamzah. Di samping itu, muncul pula generasi muda terpelajar baik yang  memperoleh pendidikan umum maupun madrasah, seperti M. J. Efendi dan  Tgk. Zakaria Yunus, 1906-1996. Kelompok pedagang dan intelegensia muda  ini, seperti halnya minoritas pendatang, cukup adaptif terhadap ide  pembaharuan yang sedang menggelinding di Kepulauan Nusantara waktu itu.  Kekompleksitasan struktur masyarakat dengan sendirinya berpengaruh pada  pendistribusian kekuasaan karena munculnya simpul-simpul kekuasaan baru  di tengah masyarakat. Masalahnya kekuasaan tradisional di Seunagan dan  Beutong pada waktu sebelumnya berada di tangan hulubalang setempat  beserta jaringan birokrasinya sebagai penguasa adat dan Tgk. Padang Si  Ali, sejak 1929 digantikan oleh Habib Muda 1899-1973 sebagai pemimpin  spiritual Tarekat Syatariah.
Daftar PustakaM.Isa Sulaiman dan Agus Budi Wibowo. 1998. Dinamika Masyarakat Gunung Kong di Aceh Barat. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
http://plik-u.com/?p=563
