Rabu, 04 Januari 2012

Konsepsi Budaya Damai dalam Kehidupan Masyarakat Berdasarkan Ungkapan Narit Maja

Pendahuluan
Masyarakat Aceh sebagai masyarakat multikultural yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Di mana kumpulan manusia yang berbeda-beda asal-usulnya membentuk kepentingan dan tujuan yang sama pada saat tertentu dalam perjalanan historis kerajaan Aceh pada masa lalu. Berbagai keragaman itu dapat dibuktikan secara sederhana dari bentuk fisik, karakter sosial dan bahasa-bahasa lokal sebagai bukti nyata yang terdapat dalam masyarakat Aceh sampai saat ini. Dalam menyatukan persepsi masyarakat multikultural yang terbentuk secara ’konsensus lokal’ dengan nama Aceh, harus ada suatu pemahaman di dalam masyarakatnya sehingga tidak terjadi disharmoni dengan sesama.
Dalam konteks kemultikulturalan diperlukan suatu pemikiran untuk dapat mempertahankan kebersamaan dalam harmonisasi yang bertahan secara berkesinambungan. Masyarakat Aceh disatukan oleh suatu landasan pemikiran yang menjamin eksistensi mereka terhadap asosiasi sehingga mampu menuju suatu tujuan yang sama, walaupun tanpa dilatarbelakangi pemikiran yang seragam. Keberagaman pemikiran orang Aceh ini seperti terlacak dalam kehidupan masyarakat melalui ungkapan sehari-hari yang terdapat dalam narit maja. Meskipun narit maja ini dikemas dalam bentuk syair dan pantun, namun sesungguhnya memiliki pokok pemikiran dalam masyarakat yang dibentuk melalui tradisi lisan.

Konsepsi Kehidupan Masyarakat Dalam Narit Maja

Budaya Aceh dan Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, seperti ungkapan ulama terkenal Aceh Syekh Ibnu Abbas Kutakarang yang berbunyi adat ngon hukom lagee zat ngon sifeuet (adat dengan hukum seperti zat dengan sifatnya). Dalam kehidupan masyarakat Aceh tak terlepas dari konflik dalam perjalanan historisnya. Konflik adalah suatu keniscayaan dan kodrat dalam kehidupan manusia. Nasir Budiman yang merujuk kepada referensi Al Qur’an, berdasarkan Surat Hud ayat 118-119. Dalam ayat itu disimpulkan, di mana Allah SWT,: 1) tidak menghendaki manusia dalam keadaan tunggal (monolitik) ; 2) manusia senantiasa berkonflik ; 3) yang tidak berkonflik adalah mereka yang mendapatkan rahmat Allah ; 4) untuk desain seperti itulah Allah SWT, telah menciptakan manusia; 5) keputusan dan ketetapan Allah itu telah sempurna dan tidak berubah; 6) kebahagiaan dan kesengsaraan abadi bersangkutan dengan masalah perbedaan antara sesama manusia dan perselisihan di antara mereka.
Perbedaan sesama manusia yang diterima tanpa menimbulkan konflik merupakan rahmat Allah yang membawa kepada perdamaian dan kebahagiaan, sedangkan konflik sesama manusia yang diterima dengan perselisihan akan menjadi pangkal permusuhan dan kesengsaraan, sehingga dibutuhkan suatu konsepsi budaya damai dalam kehidupan bermasyarakat.
Di Aceh, hal itu tercermin dalam ungkapan narit maja yang merupakan tradisi lisan dalam kehidupan keseharian yang berlaku di dalam masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat, segala kebijakan dalam kehidupan mereka harus berdasarkan kepada hukum dan pemimpin, seperti ungkapan hana umong nyang hana ateung, hana ureung nyang hana petua (tak ada sawah yang tidak berpematang, tak ada orang yang tidak berpemimpin/ketua).
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang senantiasa menjunjung tinggi rasa kebersamaan dalam kehidupan mereka, seperti tercermin dari ungkapan narit maja, udép beusaré, maté beusajan, saboeh kafan dalam keureunda (hidup bersamaan, mati berbarengan ; satu kafan, dalam keranda). Mereka juga sangat menjunjung tinggi norma hukum untuk mengimbangi karakteristiknya, seperti yang terdapat dalam ungkapan kiwieng ateueng beuneung peuteupat ; kiwieng ureung peudeung peuteupat (bengkok pematang, benang luruskan ; bengkok orang, pedang (hukum) luruskan.
Dalam mengatur kehidupan di dalam masyarakat, pola kepemimpinan di Aceh harus disesuaikan dan tidak boleh sembarangan menentukan tempat dan posisi (the right man and the right place ;the right man and the right job), seperti ungkapan Sultan Iskandar Muda, yang telah menitahkan dalam ungkapan bak bui hanjeut tapeusok bajé, bak asé hanjeut tapeusoek sileuweu (pada babi jangan dipakaikan baju ; pada anjing jangan dipakaikan celana).
Masyarakat Aceh dalam kehidupan kesehariannya senantiasa berusaha mencegah perbuatan yang dapat merugikan orang lain di sekelilingnya, di mana perbuatan yang merugikan orang lain dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh dikerjakan dan apabila dikerjakan akan mendatangkan kerugian kepada diri sendiri, seperti ungkapan ”tamsé ureung kianat, meuwoe laknat ateuh tuboeh droe” (ibarat orang kianat, kembali laknat kepada tubuh sendiri).

Konsepsi Budaya Damai Dalam Masyarakat Berdasarkan Ungkapan Narit Maja

Budaya dalama masyarakat Aceh memiliki konsep yang lebih holistik dan komprehensif terhadap perdamaian seperti yang disebut dengan istilah suloh. Suloh secara etimologis berarti memutuskan dan menyelesaikan setiap konflik dan mengadakan perdamaian. Suloh merupakan perjanjian atau nota kesepahaman yang ditentukan oleh kedua belah pihak yang berkonflik di dalam masyarakat untuk menyelesaikan konflik di antara mereka. Dalam narit maja upaya perdamaian di seperti ini tercermin dari ungkapan bék tamupoh sabé keudroe-droe; rakyat lam nanggroe matee meukeuba (jangan saling membunuh sesama ; rakyat dalam negeri mati bergelimpangan). Di samping itu, masyarakat senantiasa dihimbau untuk berbuat kebaikan dan menghindari segala keburukan di dalam masyarakat, seperti tercermin dari ungkapan tapubut suroh, peujioh teugah nyang larang Allah bék takeureja (kerjakan yang menjadi ajakan, jauhkan yang menjadi larangan; yang dilarang Allah jangan dikerjakan).
Budaya Aceh sangat menghindari rasa ketidakpuasan bagi sesama anggota masyarakatnya dan sebagai upaya menciptakan kedamaian bersama diperlukan rasa keadilan dalam masyarakat, yang diwujudkan dengan pemberian penghargaan (reward) dan juga penetapan sanksi (punishmen), seperti ungkapan hak ubé jiplueng ; bulueng ubé teuka (hak seberapa dikeluarkan ; jatah seberapa didapatkan). Dalam menjaga upaya perdamaian di dalam masyarakat tersebut, mereka senantiasa diajak kepada kebaikan dan berusaha mencegah konflik di dalam kehidupan mereka, seperti tercermin dari ungkapan nyang beuna ta ikot ; nyang karot ta teugah (yang benar harus diikuti ; yang salah harus dihindari).
Mereka mentaati segala keputusan yang telah dimusyawarahkan di dalam masyarakat, berdasarkan kesepakatan bersama, kemudian dikukuhkan dengan kerjasama, seperti ungkapan putoh deungon mufakat ; kuat ngon meuseuraya (keputusan dengan mufakat ; kekuatan dengan kerjasama), termasuk di dalam kerjasama dalam masyarakat gampong (kampung) terutama pada keureuja udeep (kerja daur hidup) maupun keureuja matee (kerja pada kematian) pada salah satu anggota mereka. Mereka juga diharuskan mendukung segala perbuatan yang dianggap baik dan menghindari perbuatan yang dianggap tidak baik, dengan memobilisasi massa di gampong, seperti ungkapan bak but jrouh beuramei ta jak ; bak but nyang rosak bék na ta hawa (pada pekerjaan yang baik harus bersama-sama dihadiri ; pada pekerjaan yang tidak baik harus bersama-sama dihindari).
Upaya pelestarian budaya damai dengan menghindari perilaku yang dapat mengundang konflik di dalam lingkungan masyarakat, di mana merupakan suatu keharusan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk saling menghormati posisi kelompok mereka (kawom) dan syedara lingka (saudara sekampung), seperti tercermin dari ungkapan malee kawom meunyo meupaké ; habeeh créi bréi mandum syedara (malu kaum/kerabat kalau berkonflik ; habis cerai-berai semua saudara). Dalam ungkapan lain disebutkan, tajak ubee lot tapak, bek meusipak syedara lingka ; taduek ubee let punggong, bek meutinggong ateuh syeedara (berjalan semuat tapak/langkah jangan sampai tersepak saudara kampung ; kalau duduk semuat pantat jangan sampai tertindih di atas saudara). Penutup
Konflik merupakan kodrat manusia dan suatu sunatullah yang harus dilalui manusia, namun manusia dapat meminimalisir konflik dengan budaya damai dalam kehidupannya dengan menghargai sesama. Kemultikulturalan dalam masyarakat dengan segala perbedaannya merupakan suatu yang harus diterima dan merupakan rahmat bagi semesta alam apabila masyarakat menyadari arti keberagaman. Narit maja sebagai suatu ”filosofi” dalam kehidupan masyarakat Aceh memberikan gambaran, bahwa pola pemikiran masyarakat Aceh diselubungi oleh budaya multikultural, namun mereka tetap menjunjung tinggi semangat kebersamaan demi perdamaian dalam kehidupannya.
Budaya damai yang sudah berakar secara turun-temurun dalam masyarakat Aceh sehingga mereka memiliki sistem tersendiri dalam penyelesaian sengketa yang disebut suloh. Keberadaan ureung tuha di gampong sebagai mediator dalam penyelesaian konflik secara internal dalam masyarakat, seperti pemberian kata peujroh (upaya pendamaian) oleh ureung-ureung tuha di gampong (orang-orang tua di kampung) pada saat proses mediasi dalam konflik. Bék lee meupakee, meunyo na masalah, nyang rayeuk ta peu ubiet, nyang ubiet ta peu gadoh. Beu lee saba; ta meujrouh-jrouh sabee keu droe-droe, (jangan berkonflik lagi, kalau ada masalah, yang besar dikecilkan, yang kecil dihilangkan. Yang banyak sabar; berbaik-baiklah dengan sesama).
Penulis: Hasbullah-Bulah Guhang, salah seorang peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh.

http://plik-u.com/?p=713

JANGAN LUPA