Rabu, 04 Januari 2012

Peranan Keturunan Arab dalam Upaya “MEDIASI” Kerajaan Aceh dengan Belanda: Menyibak Peran Habib Abdurrachman Alzahir (1833-1896)

Perang Aceh merupakan peperangan yang paling lama dan dahsyat dalam menghadapi Belanda di nusantara dalam abad ke-19. Perang ini berlangsung sejak tahun 1873 sampai tahun 1903. Jika dihitung, hampir 30 tahun lamanya. Perang Aceh yang terlalu lama tentu saja mencatat sangat banyak nama-nama orang yang terlibat di dalamnya. Selain mencatat nama-nama lokal, sejarah juga mencatat nama-nama orang keturunan Arab di antara para pemimpin Perang ini, di antaranya yang paling terkenal dan meninggalkan “kontroversi” adalah Habib Abdurrachman Alzahir.
Snouck Hurgronje menyebutkan, di antara keturunan Arab itu adalah Habib Teupin Wan, seorang panglima dalam peperangan melawan “kaphee”. Nama-nama keturunan Arab lain yang disebutkannya adalah Habib Lhong, Habib Samalanga dan sebagainya. Tetapi menurut Snouck yang paling terkenal dalam Perang Aceh adalah Habib Abdurrachman Alzahir yang lahir di Aceh dari Teupin Wan dekat Lamjong dalam XXXI Mukim. Di antara semua gejala ini, kata Snouck munculnya Habib Abdurrahman ini yang paling mengkhawatirkan Belanda. Habib ini juga disebut sebagai Habib Itam atau Abdurrachman Teupin Wan. (Snouck, Verspreire Geschriften, hlm.161-222)
Habib Abdurrachman merupakan pemimpin tertinggi orang Aceh yang bekerjasama dengan Teungku Id, Teungku Abas dan Cut Ran. Selain itu, beliau juga bermitra dengan Imuem Saidi dari Lambaro dan Teungku Sufi, putra Teungku Di Langeet yang masyhur dan lain-lain sebagainya.
Menurut Snouck, tidak benar Habib Abdurrachman sebagai “pemimpin bayangan” dalam perang sabil. Dia berpendapat, berdasarkan kenyataan-kenyataan “his story” para jenderal-jenderal Belanda mengenai aksi-aksi perlawanan Pang Said, bawahan dari Teungku Id yang menjalankan komando berdasarkan persetujuan dari Habib Abdurrahman.(Snouck, Verspreide Geschriften, hlm.222)
Selain itu, menurut Anthony Reid, yang juga banyak menulis tentang Habib Abdurrachman. Dalam karangannya dia menyebutkan munculnya Habib ini diperkirakan sesudah tahun 1870, di mana pada saat itu kesultanan Aceh sedang mengalami masa-masa sulit akibat saling curiga-mencurigai di antara para uleebalang sehingga kekuasaan Sultan menjadi sangat terbatas dalam memimpin kerajaan secara efektif. (Reid, Habib Abdurrachman Alzahir (1833-1896), 1972, hlm.40).
Sebagai seorang ulama atau pemimpin agama Habib Abdurrachman dapat menganjurkan, berdasarkan loyalitas yang lebih tinggi dari masyarakat serta keunggulannya dalam menjalankan kewajiban agama kepada masyarakat daripada dengan “komando” yang bersifat sekuler. Kepiawaiannya dalam membangkitkan dan membangkitkan semangat masyarakat Aceh dalam “perang sabil” secara “kolosal” diakui Reid dalam tulisannya.
Selain itu, beliau berhasil mengumpulkan uang dalam jumlah yang sangat besar untuk membangun mesjid dan pekerjaan-pekerjaan publik lainnya. Selain itu juga berhasil mengumpulkan uang untuk biaya diplomasi dan menghadapi peperangan melawan Belanda. Beliau juga berhasil mendamaikan “konflik internal” yang sudah berlangsung puluhan tahun dan membangun kekuatan militer yang terdiri dari orang-orang Aceh dalam menghadapi perang melawan Belanda. Menurut Reid, beliau berhasil membangun kekuatan militer yang “lebih besar dari pemimpin militer manapun, sesudah tahun 1878”.
Abdurrachman Alzahir, begitulah nama lengkapnya, selain pandai berperang dan berdiplomasi untuk kepentingan kerajaan Aceh. Ia sudah bersusah payah berdiplomasi ke negara Turki guna mendapatkan bantuan bagi karajaan Aceh. Namun, setelah semua usahanya ini tidak berhasil, ia kembali lagi ke Aceh dengan menyamar dan berpakaian sebagai “orang Keling” dengan mencukur rambut dan jenggotnya.
Reid lebih lanjut mengatakan,”Tidak ada sesuatu yang lebih keliru daripada ucapan van den Berg, bahwa kebanyakan orang Eropa yang pernah menjumpainya (Habib Abdurrachman, penulis) mendapat kesan bahwa ia orang yang sangat membanggakan diri (un enorme fanfaron).(Reid, Habib Abdurrachman Alzahir 1833-1896, 1972, hlm.40)
Beliau berkali-kali membuat pejabat Belanda dan Inggris menjadi skeptis, apalagi para pejabat tinggi pemerintah Turki. Namun setelah bertemu dengannya, mereka harus mengakui otaknya sangat tajam, pandangan politiknya visioner dan dalam tentang dunia Barat. Reid menambahkan lagi, “Abdurrachman harus mengatasi reputasinya di kalangan Belanda sebagai seorang “pemberontak dan perusuh fanatik”.
Setelah ia kembali dari misinya ke Konstantinopel; sekalipun demikian konsul Belanda yang berjumpa dengannya berturut-turut di Jedah, Singapura dan Penang, mereka semua tertarik kepadanya. Maier di Singapura dan Lavino di Penang, mereka bersedia mendengarkan dan mendukung rencana perdamaiannya yang moderat. Selanjutnya Reid menambahkan, Anson, seorang Letnan Jenderal di Penang juga ingin sekali membantu usaha Habib untuk mencapai penyelesaian konflik secara damai, sekalipun ia tidak bersimpati terhadap kerajaan Aceh sebelum bertemu dengan utusan ini (Habib Abdurrachman).
R.S. de Klerck dalam bukunya De Atjeh Oorlog juga menulis tentang Abdurrachman, menyebutkan bahwa terhadap orang Eropa ia berbahasa keras dan langsung, dengan cara yang menimbulkan hormat kepada utusan Aceh. Jawabannya kepada “misi persahabatan” Kraayenhoff ketika ia berada di puncak kekuasaan di Aceh, merupakan suatu contoh yang adil. “Aceh bersahabat dengan Inggris, Prancis, Turki dan negara-negara lain,” kata Habib, “karena tidak dilukai oleh negeri ini. Sebaliknya negeri Belanda yang sekarang ini ingin mempererat persahabatan, tetapi tidak mengekang diri untuk merampas bagian-bagian Kerajaan Aceh, seperti baru saja terjadi. Apakah itu yang dinamakan persahabatan? (R.S. de Klerk, De Atjeh Oorlog, hlm.347)
Begitulah sifat-sifat positif Abdurrachman yang dikemukakan oleh orang Barat, tetapi tidak kurang pula sifat negatif yang dapat diraba di dalamnya; yaitu tinggi hati, suka kemewahan dan suka perempuan. Namun pada akhirnya, segala sifat positifnya, dan segala kemahirannya di bidang militer maupun diplomasi serta segala jasanya kepada kerajaan Aceh menjadi terhapus, karena pada bulan November tahun 1878, ia menyerahkan diri kepada Belanda.
Belanda yang begitu berkepentingan melepaskan pengaruh Abdurrachman Alzahir dari pimpinan Perang Aceh sehingga setelah ia menyerah, mereka langsung mengangkutnya dengan kapal perang Curacao ke Jedah sebagai tempat pengasingannya. Selama dalam pengasingan itu, Belanda memberi seluruh biaya hidup, sebagaimana lazimnya yang Belanda berikan kepada pemberontak yang berhasil disingkirkannya. Mengenai biaya hidup Abdurrachman disebutkan jumlahnya ditonjolkan sangat signifikan sedangkan biaya hidup para pemberontak lainnya sangat jarang disebut-sebut Belanda, Hal ini menimbulkan kesan, seakan-akan jumlah “biaya hidup” yang cukup besar itulah, sebagai alasan satu-satunya mengapa ia tertarik menyerah kepada Belanda.
Sejarawan Heather Sutherland mengingatkan, tentang perlunya menempatkan sejarah dalam konteksnya (Sutherland, Historicizing History, 2008). Untuk itu demi keadilan dan obyektivitas sejarah, marilah kita mengekplanasi kembali pendapat Abdurrachman Alzahir sendiri, sebagaimana yang dicatat oleh kapten kapal perang Belanda Curacao, I.D.I. van der Hegge Spies yang membawanya ke pengasingan di Jeddah, berdasarkan dialognya dengan Abdurrachman selama dalam pelayaran ke Jedah dari tanggal 24 November 1878 sampai dengan Januari 1879.
Catatan ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Anthony Reid yang menulis artikel riwayat Abdurrachman dalam majalah Indonesia pada tahun 1972 No.13 bulan April, yang diterbitkan Cornell Modern Indonesia Project, Universitas Cornell di Amerika Serikat. Berikut kutipan-kutipan dari catatan dalam bahasa Belanda dari kapten kapal tersebut:
…Seperti sudah dikemukakan, Abdurrachman mendapat, tugas untuk mencari bantuan di Turki dan Eropa. Saat ia berada di Mekkah (Catatan van der Hegge Spies yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Anthony Reid). Setelah tiba di sana, ia menerima kabar bahwa perang sudah pecah antara negeri Belanda dan kerajaan Aceh, dan bahwa Sultan Mahmud telah meninggal dunia. Pada waktu itu juga ia menerima surat-bersama dari kepala-kepala dari tiga sagi (lhee sago), dalam surat itu, ia diberi kuasa selama tujuh tahun untuk atas nama mereka merundingkan dengan negara-negara lain agar mendapat bantuan untuk keperluan perang di dalam perang di mana Aceh sudah terlibat.
Setelah semua usaha mencari bantuan gagal, maka Abdurrachman kembali ke Aceh dan mendarat di Idi. Setelah mengalami berbagai kesulitan, untuk mengerahkan kekuatan dalam perang melawan Belanda. Menjelang tiba di Pidie, tentaranya sudah berjumlah 10.000 orang. Dari sana, ia menulis surat kepada kepala-kepala tiga sagi (lhee sago), untuk memberitahukan tentang tibanya kembali. Dan menanyakan kepada mereka apakah masih menghendaki ia berada di Aceh dengan tentara yang dikumpulkannya. Dan jika benar demikian, dalam fungsi apa?
Surat itu kemudian dijawab dengan menyatakan, bahwa mereka dengan suara bulat mengangkatnya sebagai panglima dan pemimpin perang mereka. Sebagai panglima perang ia memimpin orang Aceh melawan kolonilisme Belanda sebanyak empat kali; tiga kali dalam XXVI Mukim dan satu kali, yang terakhir dengan IV Mukim (Lhok Nga).
Sementara itu kekuatan Belanda meningkat dan rupanya Abdurrachman tidak yakin akan mendapatkan kemenangan secara militer. Ia diserang oleh Jenderal van der Heyden dari beberapa jurusan dan oleh karenanya ia lari ke Masjid Montasiek. Kemudian Sinalob jatuh ke tangan Belanda dan seluruh tentara Aceh mundur ke Masjid Montasiek. Sekali Masjid Montasiek jatuh ke tangan Belanda, ia sekali lagi mengadakan pertemuan dengan panglima perang, waktu ia dengan terus terang mengatakan pada mereka, bahwa ia tidak melihat harapan lagi dan bahwa adalah bijaksana untuk menyerahkan diri bersama-sama dia.
Mengenai dirinya, ia ingin agar dibebaskan dari tugasnya yang dipercayakan padanya, karena akan meninggalkan mereka dan akan menyerahkan diri kepada Belanda. “Dari dua belas panglima yang hadir dalam pertemuan ini, tujuh orang dari mereka condong untuk menyerahkan diri, sedang lima orang tetap hendak meneruskan perang”. Demikian eksepsi versi Abdurrachman seperti ditulis oleh van der Hegge Spies dalam catatan-catatannya.
Anthony Reid menerjemahkan catatan van der Hegge Spies ini seluruhnya dalam artikel tersebut di atas, setelah ia meneliti sejarah hidup Abdurrachman Alzahir dari tulisan Barat, Belanda, Inggris dan sebagainya, seakan-akan ia ingin memberi kesempatan kepada Abdurrachman untuk membela diri terhadap tuduhan bahwa ia adalah seorang pengkhianat.
Lima atau enam tahun sesudah Abdurrachman menyerah, Gubernur Jenderal Belanda (1883) memerintahkan kepada L.W.C. van den Berg untuk menulis buku tentang orang Arab dan keturunan mereka di nusantara. Bukunya berjudul Le Hadhramout et les Colonies Arabes dans I’Archi-pel Indien. Sekitar waktu itu pula didirikan Kantoor Adviseur voorlslamitischeen Arabische Zaken dipimpin oleh Christiaan Snouck Hurgronje.
Perang Aceh dan peranan Habib Abdunachman di dalamnya memperdalam kekhawatiran Belanda akan bahaya Islam, terutama dalam hubungannya dengan peranan keturunan Arab dalam perang itu. Kekhawatiran ini bertambah lagi dengan timbulnya gerakan Pan-Islam, yang berpusat di Turki, di antara keturunan Arab di Indonesia. Satu artikel dalam majalah Vragen van den Dag, tahun 1903 menggambarkan dengan cukup jelas kekhawatiran Belanda ini, mengatakan, bahwa kalau semua pelanggaran terhadap undang-undang dan sopan santun orang Cina yang terlibat, maka perlawanan terhadap kekusaan semua dikobarkan oleh komplotan pengacau, kebangsaan Arab.
Di Aceh, secara politis keturunan orang Arab memegang peranan penting dalam perlawanan terhadap Belanda sehingga untuk memadamkan perlawanan harus dipisahkan dengan para ulama. Politisasi ini berlaku sebagai gelombang kedua, setelah sukses dalam politisasi gelombang pertama yaitu; memisahkan keterpaduan kekuatan antara Sultan dan Uleebalang dengan ulama dalam perlawanan terhadap Belanda di Aceh. Referensi;
C.Snouck Hurgronje, et.all., (eds), “Het Atjeh Verslag”, Weltervreden, 23 Mei 1892
Hamid Algadri, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, Jakarta: CV.Masagung (Edisi Kedua),1988. Hlm 69-75.
Hegge Spies, van der., “Reid Anthony”, Modern Indonesia Project, No.13. April 1972
Penulis: Hasbullah-Bulah Guhang, salah seorang peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh.
note: Sengaja disalin ulang oleh plik-u.com untuk lebih memperkenalkan budaya, sejarah Aceh secara lebih luas ke masyarakat dunia umumnya dan masyarakat Aceh khususnya dalam rangka memelihara budaya dan sejarah Aceh.

http://plik-u.com/?p=707

JANGAN LUPA