Peunutoh Peukara Gampong
Pendahuluan
Lembaga sebagai suatu sistem norma untuk mencapai tujuan tertentu yang oleh masyarakat tertentu dianggap penting. Sistem norma mencakup gagasan, aturan, tata cara kegiatan, dan ketentuan sanksi (punisment system). Sistem norma merupakan merupakan hasil proses berangsur-angsur menjadi suatu sistem yang terorganisasi. Artinya sistem itu telah teruji kredibilitasnya, dipercaya sebagai sarana mencapai tujuan tertentu.
Bila ditelusuri jejak sejarah Aceh, akan ditemukan bahwa lembaga agama dan lembaga adat istiadat sangat dalam berakar dalam masyarakatnya. Semboyan “Hukom ngon adat han jeuet cre, lagee adat ngon sifeut”[1]. Syariat (hukum) dan adat tidak dapat dipisahkan seperti zat Tuhan dengan sifatnya.
Pandangan dunia etnis Aceh tentang hal tersebut tercermin dari tulisan seorang ulama besar pada abad XIX, Sheikh Abbas Ibnu Muhammad alias Teungku Chik Kutakarang yang menulis dalam kitabnya Tadhkirad al Radikin (1889), antara lain sebagai berikut “adat ban adat hukom ban hukom, adat ngon hukom sama keumba. Tatkala mufakat adat ngon hukom, nanggroe seunang hana goga”. Maknanya “Adat menurut adat, hukum syariat menurut hukum syariat. Adat dengan hukum syariat tidak dapat dipisahkan. Tatkala mufakat adat dengan hukum, negeri senang tanpa huru hara”.
Menurut Teungku Chik Kutakarang dalam kitabnya Tadhkirad al Radikin hukum syariat Allah dan pemimpin-pemimpin pemerintahan sama kembar, yakni berputar sama keduanya, maka tiadalah berkata salah satunya daripada keduanya jauh daripada satu sama lain. Hal ini masih belaku di Aceh dalam satu unit teritorial terkecil yaitu gampong (desa).
Teungku meunasah sebagai pejabat yang mengurus segala yang bertalian dengan syariat (hukum) di lembaga meunasah, sedangkan keucik (kepala desa) adalah orang yang mewakili lembaga adat. Keucik adalah “ayah” bagi gampong sedangkan teungku meunasah sebagai orang yang tertinggi di lembaga tersebut adalah “ibu” bagi gampong itu[2]. Di setiap desa di Aceh selalu ditemukan Meunasah yang berfungsi sebagai tempat melakukan shalat setiap hari, secara perorangan atau bersama-sama. Di samping itu meunasah juga berfungsi sebagai lembaga “peunutoh peukara” .
Dalam masyarakat Aceh sebutan ‘adat” sangat populer untuk keseluruhan tatanan kehidupan, baik yang menyangkut dengan “fungsi hukum adat’ maupun berkenaan dengan “fungsi adat istiadat”. Dalam pengertian adat istiadat atau reusam yang berlaku pada suatu tempat, biasanya berbeda antara satu dengan lainnya ataupun bisa sama.
Menurut Teer Haar[3], lembaga hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum atau dalam hal kepentingan keputusan hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan itu-keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima / diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan.
Hukum adat meliputi keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan fungsionaris hukum, yang mempunyai wibawa, serta pengaruh. Pelaksanaannya berlaku spontan dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Fungsionaris meliputi tiga kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Materi hukum adat yang diterapkan dalam penyelesaian sengketa pidana di Aceh mengacu pada norma-norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya, seperti norma-norma yang oleh masyarakat dikenal dengan adat kebiasaan termasuk yurisprudensi putusan-putusan musyawarah terdahulu. Di samping itu, nilai-nilai ajaran Islam untuk menyadarkan perbuatan dan tanggungjawab kepada Allah SWT.
Pandangan atau pengalaman peninggalan orang tua (ureung tuha), berupa nasehat, kata-kata bijak (peutuah), pepatah seperti ungkapan “mate aneuk meupat jerat, gadoh adat pat tamita”. Maknanya mati anak tentu ada kuburan, hilang adat istiadat di mana dicari. Dalam pepatah lain disebutkan, kiwing ateung beuneung peutupat, kiwing ureung peudeung peutupat”. Maknanya bengkok pematang sawah benang yang luruskan, bengkok orang pedang (hukum) yang luruskan. Kesepakatan musyawarah dan mufakat dalam persidangan yang dilakukan sebagai “peunutoh peukara” yang hampir sama dengan “vonis” pada sistem peradilan umum.
Perangkat Meunasah Gampong
Lembaga meunasah gampong dalam melakukan tugas-tugas pembinaan masyarakat menggunakan sarana-sarana dan perangkat pendukung. Perangkat pendukung tersebut dibutuhkan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembagta hukum adat. Lembaga ini dalam persidangan musyawarah dilengkapi oleh unsur-unsur Keucik, Teungku / Imuem Meunasah, Tuha Peut, Tuha Lapan, dan Tuha adat lainnya.
Setelah adanya perubahan dalam struktur pemerintahan desa pada tahun 1970-an, terjadi perubahan dalam struktur pemerintahan gampong. Perubahan ini melahirkan unsur-unsur baru dari pemerintahan desa (gampong) seperti unsure LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) / LMD (Lembaga Masyarakat Desa), Kepala Dusun, Sekretaris Desa, dan cerdik pandai lainnya.
Meunasah Sebagai Lembaga Hukum Adat
Lembaga meunasah di gampong-gampong di Aceh dulunya berfungsi sebagai tempat musyawarah dalam menyelesaikan berbagai sengketa/tempat untuk mengambil keputusan “cok peunutoh” dan tempat pelaksanaan eksekusi terhadap keputusan “damai”.
Pelaksanaan eksekusi pada umumnya melalui pembebanan kewajiban kepada pihak yang bersalah untuk membawa kain putih sebagai simbol perdamaian dan kesucian. Menggantikan biaya pengobatan bila pesakitan mengeluarkan darah. Membawa bantuan uang yang layak dan pengenaan denda sesuai dengan kesalahan. Pada persidangan pihak yang bersalah membawa bu leukat (nasi ketan) sesuai dengan besar kecilnya kesalahan.
Prosesi akhir dari musyawarah biasanya dilakukan Peusijuk (menepungtawari) oleh lembaga meunasah kepada pihak yang bersengketa. Memberikan kata-kata nasehat (peujroh) kepada pihak yang bertikai. Keucik mengajurkan kedua belah pihak untuk bermaaf-maafan atau berjabat tangan. Sesuai dengan perkembangan zaman, penyelesaian adat juga disertai dengan membuat surat perdamaian yang ditandatangani kedua belah pihak.
Prosesi Penyelesaian Konflik / Sengketa Di Lembaga Meunasah
Dalam menangani konflik / sengketa yang melahirkan persengketaan di bidang perdata. Keucik biasanya menerima laporan/pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan di rumah keucik atau Meunasah. Apabila sudah diterima pihak-pihak yang berkonflik maka dilakukan musyawarah dengan perangkat gampong di Meunasah.
Bila hal itu menyangkut dengan masalah eksternal antargampong, maka waktu yang dibutuhkan untuk peyelidikan bisa lebih panjang. Tempat penyelesaiannya pun bisa dilakukan pada salah satu meunasah di gampong pihak yang bertikai berdasarkan kesepakatan (memorandum of understanding). Namun, keberadaan para saksi sangat penting dalam penyelesaian suatu perkara di meunasah.
Keucik sebagai pimpinan siding dalam pelaksanaan prosesi persidangan, dibantu oleh perangkat gampong sebagai anggota sidang secara aktif. Persidangan biasanya sampai ditemukan simpulan pokok-pokok sengketa dan sekaligus dapat menerapkan norma-norma hukum yang diperlukan sebagai landasan putusan yang dapat diterima secara damai oleh kedua belah pihak. Putusan persidangan diumumkan dan dieksekusi melalui upacara adat di depan umum di meunasah[4].
Apabila menyangkut konflik atau sengketa pidana (hukum acara pidana). Apabila peristiwa itu terjadi, siapapun yang melihatnya apalagi tertangkap tangan dapat segera dilakukan langkah pengamanan untuk segera menindaklanjuti langkah-langkah pengamanan dan penyelesaian selanjutnya.
Pengaduan ini dapat juga terjadi atas laporan langsung pihak atau salah satu pihak tergantung bagaimana kondisi mereka masing-masing dan dapat melaporkan / mengadukan di manapun keucik gampong berada.
Tindakan pertama yang dilakukan oleh keucik gampong adalah mengamankan para pihak untuk berada suatu tempat (status quo) yang tidak mungkin berhadapan sesamanya. Biasanya salah satu pihak tinggal di rumah Keucik atau untuk sementara meninggalkan gampong. Diupayakan masing-masing pihak mendapat jaminan oleh keluarganya. Orang tua (ureung tuha) kedua pihak terus berupaya mendinginkan suasana (cooling down) dan menyadarkan segala perbuatan dan tingkah laku yang menyebabkan mereka jadi bersengketa. Bila kedua pihak telah menyepakati, lalu kasus dibawa ke persidangan di meunasah.
Prosesi persidangan musyawarah dilakukan dengan mendengarkan pembelaan dari masing-masing pihak yang telah terlebih dahulu dijajaki sebelumnya. Penetapan tentang siapa sebenarnya yang bersalah dan langkah-langkah apa yang perlu ditempuh untuk penyelesaian ditentukan selanjutnya.
Pelaksanaan tindakan hukum melalui fungsi lembaga Meunasah, tidak “unik” bila dibandingkan dengan beberapa kasus yang pernah diselesaikan Polisi di Polsek tanpa pengajuan ke pengadilan[5]. Pertimbangan yang dilakukan polisi dalam menangani kasus-kasus tanpa eksekusi di pengadilan karena yang diinginkan oleh masyarakat sebenarnya bukan pada penegakan hukum, tetapi kepada nilai-nilai ketentraman dan kedamaian masyarakat.
Penyelesaian melalui hukum / pengadilan tidak seluruhnya dapat menyelesaikan masalah, malahan seringkali memperluas pertentangan dan rasa tidak senang antarsesama warga.
Masyarakat yang diperkara dan yang diadukan kadangkala tidak mempunyai dasar hukum untuk menyelesaikan secara hukum. Penyelenggarakan penerapan hukum adat di Aceh menggunakan meunasah sebagai lembaga (hukum) adat untuk melaksanakan peradilan. Keputusan-keputusan yang ditolak, akan menimbulkan pandangan negatif / cemoohan atau dapat dianggap “bakai / kepala batu” bahkan dimarginalkan dalam pergaulan masyarakat.
Penutup
Lembaga Meunasah di Aceh sangat berperan dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat gampong pada masa lalu. Meunasah dapat disebutkan sebagai pusat kekuatan pemerintahan adat gampong di Aceh. Segala aspirasi masyarakat gampong dapat ditampung dan diakomodir oleh fungsi lembaga meunasah. Meunasah sebagai tempat pengambil keputusan (musyawarah) dalam menyelesaikan berbagai konflik, sengketa antarwarga gampong juga berlaku sebagai “peunutoh peukara” dalam merealisasi keputusan “damai” terhadap mereka.
Lembaga meunasah di Aceh hingga kini terbukti dapat memuaskan masyarakatnya karena sebenarnya masyarakat lebih menginginkan nilai-nilai ketentraman dan kedamaian daripada penegakan hukum. Penyelesaian hukum dan adat di lembaga meunasah dapat menjadi solusi dalam memecahkan setiap permasalahan “ureung” gampong di Aceh. Lembaga meunasah mampu menyelesaikan kasus perdata maupun kasus pidana warga dengan cepat, sederhana dan murah (efisien dan efektif) serta hasil keputusannya dapat membawa jalinan persaudaraan dan kedamaian bagi sesama warga.
Perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat Aceh telah “memarjinalkan” institusi ini sebagai nafas kehidupan masyarakat sehingga keberadaannya lambat-laun semakin memudar dan dapat diibaratkan seperti kerakap di atas batu; hidup enggan mati tak mau sehingga diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk dapat “memberdayakan” institusi ini demi kedamaian dan kesejahteraan masyarakat gampong pada masa yang akan datang sebelum terlanjur “menghilang” untuk selama-lamanya dari bumi Aceh.
[1] T. Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh : PDIA),1999.Hlm. 232.
[2] T. Ibrahim Alfian, Perang Di Jalan Allah, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987. Hlm. 42.
[3] Teer Har, dalam Badruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh : MAA-Nanggroe Aceh Darussalam), 2007. Hlm.150.
[4] Ibid. Hlm.152
[5] Ibid. Hlm. 153
Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Boelach Goehang [http://anisabulah.blogspot.com/]. Boelach Goehang adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.
http://plik-u.com/?p=789
Pendahuluan
Lembaga sebagai suatu sistem norma untuk mencapai tujuan tertentu yang oleh masyarakat tertentu dianggap penting. Sistem norma mencakup gagasan, aturan, tata cara kegiatan, dan ketentuan sanksi (punisment system). Sistem norma merupakan merupakan hasil proses berangsur-angsur menjadi suatu sistem yang terorganisasi. Artinya sistem itu telah teruji kredibilitasnya, dipercaya sebagai sarana mencapai tujuan tertentu.
Bila ditelusuri jejak sejarah Aceh, akan ditemukan bahwa lembaga agama dan lembaga adat istiadat sangat dalam berakar dalam masyarakatnya. Semboyan “Hukom ngon adat han jeuet cre, lagee adat ngon sifeut”[1]. Syariat (hukum) dan adat tidak dapat dipisahkan seperti zat Tuhan dengan sifatnya.
Pandangan dunia etnis Aceh tentang hal tersebut tercermin dari tulisan seorang ulama besar pada abad XIX, Sheikh Abbas Ibnu Muhammad alias Teungku Chik Kutakarang yang menulis dalam kitabnya Tadhkirad al Radikin (1889), antara lain sebagai berikut “adat ban adat hukom ban hukom, adat ngon hukom sama keumba. Tatkala mufakat adat ngon hukom, nanggroe seunang hana goga”. Maknanya “Adat menurut adat, hukum syariat menurut hukum syariat. Adat dengan hukum syariat tidak dapat dipisahkan. Tatkala mufakat adat dengan hukum, negeri senang tanpa huru hara”.
Menurut Teungku Chik Kutakarang dalam kitabnya Tadhkirad al Radikin hukum syariat Allah dan pemimpin-pemimpin pemerintahan sama kembar, yakni berputar sama keduanya, maka tiadalah berkata salah satunya daripada keduanya jauh daripada satu sama lain. Hal ini masih belaku di Aceh dalam satu unit teritorial terkecil yaitu gampong (desa).
Teungku meunasah sebagai pejabat yang mengurus segala yang bertalian dengan syariat (hukum) di lembaga meunasah, sedangkan keucik (kepala desa) adalah orang yang mewakili lembaga adat. Keucik adalah “ayah” bagi gampong sedangkan teungku meunasah sebagai orang yang tertinggi di lembaga tersebut adalah “ibu” bagi gampong itu[2]. Di setiap desa di Aceh selalu ditemukan Meunasah yang berfungsi sebagai tempat melakukan shalat setiap hari, secara perorangan atau bersama-sama. Di samping itu meunasah juga berfungsi sebagai lembaga “peunutoh peukara” .
Dalam masyarakat Aceh sebutan ‘adat” sangat populer untuk keseluruhan tatanan kehidupan, baik yang menyangkut dengan “fungsi hukum adat’ maupun berkenaan dengan “fungsi adat istiadat”. Dalam pengertian adat istiadat atau reusam yang berlaku pada suatu tempat, biasanya berbeda antara satu dengan lainnya ataupun bisa sama.
Menurut Teer Haar[3], lembaga hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum atau dalam hal kepentingan keputusan hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan itu-keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima / diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan.
Hukum adat meliputi keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan fungsionaris hukum, yang mempunyai wibawa, serta pengaruh. Pelaksanaannya berlaku spontan dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Fungsionaris meliputi tiga kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Materi hukum adat yang diterapkan dalam penyelesaian sengketa pidana di Aceh mengacu pada norma-norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya, seperti norma-norma yang oleh masyarakat dikenal dengan adat kebiasaan termasuk yurisprudensi putusan-putusan musyawarah terdahulu. Di samping itu, nilai-nilai ajaran Islam untuk menyadarkan perbuatan dan tanggungjawab kepada Allah SWT.
Pandangan atau pengalaman peninggalan orang tua (ureung tuha), berupa nasehat, kata-kata bijak (peutuah), pepatah seperti ungkapan “mate aneuk meupat jerat, gadoh adat pat tamita”. Maknanya mati anak tentu ada kuburan, hilang adat istiadat di mana dicari. Dalam pepatah lain disebutkan, kiwing ateung beuneung peutupat, kiwing ureung peudeung peutupat”. Maknanya bengkok pematang sawah benang yang luruskan, bengkok orang pedang (hukum) yang luruskan. Kesepakatan musyawarah dan mufakat dalam persidangan yang dilakukan sebagai “peunutoh peukara” yang hampir sama dengan “vonis” pada sistem peradilan umum.
Perangkat Meunasah Gampong
Lembaga meunasah gampong dalam melakukan tugas-tugas pembinaan masyarakat menggunakan sarana-sarana dan perangkat pendukung. Perangkat pendukung tersebut dibutuhkan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembagta hukum adat. Lembaga ini dalam persidangan musyawarah dilengkapi oleh unsur-unsur Keucik, Teungku / Imuem Meunasah, Tuha Peut, Tuha Lapan, dan Tuha adat lainnya.
Setelah adanya perubahan dalam struktur pemerintahan desa pada tahun 1970-an, terjadi perubahan dalam struktur pemerintahan gampong. Perubahan ini melahirkan unsur-unsur baru dari pemerintahan desa (gampong) seperti unsure LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) / LMD (Lembaga Masyarakat Desa), Kepala Dusun, Sekretaris Desa, dan cerdik pandai lainnya.
Meunasah Sebagai Lembaga Hukum Adat
Lembaga meunasah di gampong-gampong di Aceh dulunya berfungsi sebagai tempat musyawarah dalam menyelesaikan berbagai sengketa/tempat untuk mengambil keputusan “cok peunutoh” dan tempat pelaksanaan eksekusi terhadap keputusan “damai”.
Pelaksanaan eksekusi pada umumnya melalui pembebanan kewajiban kepada pihak yang bersalah untuk membawa kain putih sebagai simbol perdamaian dan kesucian. Menggantikan biaya pengobatan bila pesakitan mengeluarkan darah. Membawa bantuan uang yang layak dan pengenaan denda sesuai dengan kesalahan. Pada persidangan pihak yang bersalah membawa bu leukat (nasi ketan) sesuai dengan besar kecilnya kesalahan.
Prosesi akhir dari musyawarah biasanya dilakukan Peusijuk (menepungtawari) oleh lembaga meunasah kepada pihak yang bersengketa. Memberikan kata-kata nasehat (peujroh) kepada pihak yang bertikai. Keucik mengajurkan kedua belah pihak untuk bermaaf-maafan atau berjabat tangan. Sesuai dengan perkembangan zaman, penyelesaian adat juga disertai dengan membuat surat perdamaian yang ditandatangani kedua belah pihak.
Prosesi Penyelesaian Konflik / Sengketa Di Lembaga Meunasah
Dalam menangani konflik / sengketa yang melahirkan persengketaan di bidang perdata. Keucik biasanya menerima laporan/pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan di rumah keucik atau Meunasah. Apabila sudah diterima pihak-pihak yang berkonflik maka dilakukan musyawarah dengan perangkat gampong di Meunasah.
Bila hal itu menyangkut dengan masalah eksternal antargampong, maka waktu yang dibutuhkan untuk peyelidikan bisa lebih panjang. Tempat penyelesaiannya pun bisa dilakukan pada salah satu meunasah di gampong pihak yang bertikai berdasarkan kesepakatan (memorandum of understanding). Namun, keberadaan para saksi sangat penting dalam penyelesaian suatu perkara di meunasah.
Keucik sebagai pimpinan siding dalam pelaksanaan prosesi persidangan, dibantu oleh perangkat gampong sebagai anggota sidang secara aktif. Persidangan biasanya sampai ditemukan simpulan pokok-pokok sengketa dan sekaligus dapat menerapkan norma-norma hukum yang diperlukan sebagai landasan putusan yang dapat diterima secara damai oleh kedua belah pihak. Putusan persidangan diumumkan dan dieksekusi melalui upacara adat di depan umum di meunasah[4].
Apabila menyangkut konflik atau sengketa pidana (hukum acara pidana). Apabila peristiwa itu terjadi, siapapun yang melihatnya apalagi tertangkap tangan dapat segera dilakukan langkah pengamanan untuk segera menindaklanjuti langkah-langkah pengamanan dan penyelesaian selanjutnya.
Pengaduan ini dapat juga terjadi atas laporan langsung pihak atau salah satu pihak tergantung bagaimana kondisi mereka masing-masing dan dapat melaporkan / mengadukan di manapun keucik gampong berada.
Tindakan pertama yang dilakukan oleh keucik gampong adalah mengamankan para pihak untuk berada suatu tempat (status quo) yang tidak mungkin berhadapan sesamanya. Biasanya salah satu pihak tinggal di rumah Keucik atau untuk sementara meninggalkan gampong. Diupayakan masing-masing pihak mendapat jaminan oleh keluarganya. Orang tua (ureung tuha) kedua pihak terus berupaya mendinginkan suasana (cooling down) dan menyadarkan segala perbuatan dan tingkah laku yang menyebabkan mereka jadi bersengketa. Bila kedua pihak telah menyepakati, lalu kasus dibawa ke persidangan di meunasah.
Prosesi persidangan musyawarah dilakukan dengan mendengarkan pembelaan dari masing-masing pihak yang telah terlebih dahulu dijajaki sebelumnya. Penetapan tentang siapa sebenarnya yang bersalah dan langkah-langkah apa yang perlu ditempuh untuk penyelesaian ditentukan selanjutnya.
Pelaksanaan tindakan hukum melalui fungsi lembaga Meunasah, tidak “unik” bila dibandingkan dengan beberapa kasus yang pernah diselesaikan Polisi di Polsek tanpa pengajuan ke pengadilan[5]. Pertimbangan yang dilakukan polisi dalam menangani kasus-kasus tanpa eksekusi di pengadilan karena yang diinginkan oleh masyarakat sebenarnya bukan pada penegakan hukum, tetapi kepada nilai-nilai ketentraman dan kedamaian masyarakat.
Penyelesaian melalui hukum / pengadilan tidak seluruhnya dapat menyelesaikan masalah, malahan seringkali memperluas pertentangan dan rasa tidak senang antarsesama warga.
Masyarakat yang diperkara dan yang diadukan kadangkala tidak mempunyai dasar hukum untuk menyelesaikan secara hukum. Penyelenggarakan penerapan hukum adat di Aceh menggunakan meunasah sebagai lembaga (hukum) adat untuk melaksanakan peradilan. Keputusan-keputusan yang ditolak, akan menimbulkan pandangan negatif / cemoohan atau dapat dianggap “bakai / kepala batu” bahkan dimarginalkan dalam pergaulan masyarakat.
Penutup
Lembaga Meunasah di Aceh sangat berperan dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat gampong pada masa lalu. Meunasah dapat disebutkan sebagai pusat kekuatan pemerintahan adat gampong di Aceh. Segala aspirasi masyarakat gampong dapat ditampung dan diakomodir oleh fungsi lembaga meunasah. Meunasah sebagai tempat pengambil keputusan (musyawarah) dalam menyelesaikan berbagai konflik, sengketa antarwarga gampong juga berlaku sebagai “peunutoh peukara” dalam merealisasi keputusan “damai” terhadap mereka.
Lembaga meunasah di Aceh hingga kini terbukti dapat memuaskan masyarakatnya karena sebenarnya masyarakat lebih menginginkan nilai-nilai ketentraman dan kedamaian daripada penegakan hukum. Penyelesaian hukum dan adat di lembaga meunasah dapat menjadi solusi dalam memecahkan setiap permasalahan “ureung” gampong di Aceh. Lembaga meunasah mampu menyelesaikan kasus perdata maupun kasus pidana warga dengan cepat, sederhana dan murah (efisien dan efektif) serta hasil keputusannya dapat membawa jalinan persaudaraan dan kedamaian bagi sesama warga.
Perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat Aceh telah “memarjinalkan” institusi ini sebagai nafas kehidupan masyarakat sehingga keberadaannya lambat-laun semakin memudar dan dapat diibaratkan seperti kerakap di atas batu; hidup enggan mati tak mau sehingga diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk dapat “memberdayakan” institusi ini demi kedamaian dan kesejahteraan masyarakat gampong pada masa yang akan datang sebelum terlanjur “menghilang” untuk selama-lamanya dari bumi Aceh.
[1] T. Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh : PDIA),1999.Hlm. 232.
[2] T. Ibrahim Alfian, Perang Di Jalan Allah, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987. Hlm. 42.
[3] Teer Har, dalam Badruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh : MAA-Nanggroe Aceh Darussalam), 2007. Hlm.150.
[4] Ibid. Hlm.152
[5] Ibid. Hlm. 153
Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Boelach Goehang [http://anisabulah.blogspot.com/]. Boelach Goehang adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.
http://plik-u.com/?p=789