Penyerangan Kerajaan Aceh terhadap Semenanjung Malaya dilakukan dengan Ghali, yakni kapal perang besar dan Djong (perahu) yang dibeli dengan keuntungan dari perniagaan lada, Tgk Japakah ikut serat di dalamnya.
DALAM Hikayat Sulthan Aceh Iskandar Muda diceritakan, setelah saran-saran dari Putroe Phang, Sulthan Iskandar Muda meninggalkan istananya. Ia berangkat diiringi para menteri dan uleebalang serta bala tentaranya. Mereka berjalan melalui darat dana akan naik kapal di Kuala Jambo Aye. Kapal-kapal perang menyusuri pantai mengikuti rombongan Sulthan Iskandar Muda. Armada perang itu dinamai Cakra Donya.
Sampai di Negeri Pidie rombongan beristirahat. Panglima Pidie berserta rajanya menyatakan dukungan dan bergabung dengan armada Cakara Donya. Dari Pidie mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Negeri Meureudu.
Hal yang sama juga diungkapkan H M Zainudidn dalam buku “Singa Atjeh” terbitan Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1957. Dalam buku setebal 198 halaman itu perjalanan Sulthan Iskandar Muda ke beberapa daerah untuk mengumpulkan kekuatan menyerang Johor dan Malaka. Dalam perjalanannya, Iskandar Muda memberi nama beberapa daerah yang dilaluinya.
Penyerangan terhadap Semenanjung Malaya itu akan dilakukan dengan Ghali, yakni kapal perang besar dan Djong (perahu) yang dibeli dengan keuntungan dari perniagaan lada. Untuk mengumpulkan bala tentara tambahan maka perjalanan ke daerah-daerah dilakukan.
Para pembesar negeri, ulama dan para panglima dikumpulkan untuk menyokong penyerangan tersebut. Sulthan juga melakukan pertemua dengan empat kepala kaum di Aceh yaitu, kaum imum peut, kaum tok batee, kaum lhee reutoh dan kaum ja sandang. Tujuannya, bersepakat untuk menyerang Portugis yang telah lama mengganggu Kerajaan Aceh dan Semenanjung Malaya.
Setelah empat kaum itu dipertemukan dalam sebuah pertemuan, para pemuda direkrut menjadi angkatan perang untuk menambah barisan tentara kerajaan. Sulthan juga mengirim surat rahasia kepada para panglima di pelosok-pelosok Aceh untuk menyiapkan pasukannya.
Ketika persiapan dengan pusat kerajaan sudah dirasa memadai, dilakukan kenduri besar bersama rakyat. Para panglima berpidato membakar semangat tentara kerajaan untuk menuju Semenanjung Malaya. Sulthan memerintahkan angkatan lautnya untuk berangkat terlebih dahulu ke pesisir Timur dan berkumpul di Teluk Aru (Pulau Kampai) dan Asahan yang diiringi bersama oleh Panglima Deli.
Sementara Sulthan dan rombongannya mengambil jalan darat dengan menggunakan gajah. Sepanjang perjalanan ia mengumpulkan para prajurit dari setiap daerah yang sudah disiapkan oleh para panglimanya masing-masing. Sulthan Iskandar Muda ingin mengajak Panglima Pidie dan Panglima Meureudu untuk membantunya dalam misi tersebut.
Para panglima asal negeri Meurueudu dikenal sebagai orang yang berkarakter, suaranya keras, matanya kadang terbelalak kalau sedang marah. Maka orang-orang dari Meureudu dikenal sebagai orang yang mata hu su meutaga, yakni mata terbelalak dan bersuara keras. Hal ini secara historis menjadi karakter masyarakat di Negeri Meureudu yang bersikap tegas, disiplin dan konsekwen. Golongan dari merekalah yang banyak menjadi panglima.
Namun sikap yang mata hu su meutaga itu kadang juga muncul dalam kemarahan, emosional, mudah tersinggung, bahkan bengis ketika melawan musuh. Orang-orang yang mampu menjaga karakter itu pada tempatnyalah yang lebih banyak lulus sebagai perwira militer setingkat panglima di pusat pelatihan Raweu.
Pusdiklat Raweu itu dibangun oleh Tgk Japakeh, ulama besar di Negeri Meureudu yang diangkat sebagai penasehat kerajaan pada masa Sulthan Iskandar Muda memerintah Aceh. Kala itu Sulthan Iskandar Muda hendak menyerang Johor dan Malaka, ia bergerak menuju Negeri Meureudu untuk menjumpai Tgk Japakeh yang akan diangkat sebagai penasehat perang, ahli siasat militer.
Keberadaan Pusdiklat Raweu di Negeri Meureudu membuat Kerajaan Aceh begitu tergantung padanya. Untuk mengembangkan Pusdilkat Raweu menjadi pusat pelatihan yang lebih baik, Sulthan Aceh menjalin kerjasama dengan Turki. Malah Tgk Japakeh yang bernama asli Jalaluddin merupakan ulama dan diplomat yang memiliki garis keturunan dengan Bangsa Turki. Ia berasal dari Khoja Faqih Turki, namun orang-orang di Meureudu suka memanggilnya dengan nama yang singkat Japakeh yang bermakna Tgk Jalaluddin dari Faqih.
Ketika pertama datang ke Negeri Meureudu, Tgk Japakeh menetap di Raweu di lembah hulu sungai Meureudu, sekitar 40 kilometer arah selatan pusat pemerintahan Negeri Meureudu, yang berbatasan langsung dengan Aceh Barat. Sulthan Iskandar Muda datang ke Negeri Meureudu untuk menjemput Tgk Japakeh. Ia akan diangkat sebagai penasehat militer dalam misi perang menyerang Johor dan Malaka.
Tgk Japakeh bersama rakyat Raweu membawa hasil pertanian, turun ke pusat Negeri Meureudu untuk menyambut kedatangan Sulthan Iskandar Muda, tapi sampai pada waktu yang ditentukan, Raja Aceh itu tidak muncul. Tgk Japakeh memerintahkan masyarakat Raweu untuk kembali, sehingga ketika Sulthan Iskandar Muda tiba, tak ada yang menyambutnya.
Sulthan Iskandar Muda kemudian mengirim utusan ke Raweu untuk menjemput Tgk Japakeh. Rakyat Raweu pun kembali turun bersama Tgk Japakeh membawakan hasil pertanian sebagai persembahan bagi raja agung itu. Ia meminta maaf tentang hal itu. Namun Sulthan Iskandar Muda menolaknya, ia marah besar karena sudah seminggu berada di Meureudu tak ada yang menyambutnya.
Melihat Sulthan Iskandar Muda marah, maka Tgk Japakeh dengan bersuara lantang di hadapan raja memerintahkan kepada warga Raweu untuk mengambil kembali barang bawaannya. “Ambil kembali barang itu, mari kita kembali ke Raweu, tak perlu kita memuliakan orang yang tidak mau menerima hormat kita. Raja yang ingkar janji yang datang tidak pada waktu yang dijanjikannya,” perintah Tgk Japakeh.
Mendengar suara Tgk Japakeh yang bengis dan lantang itu, Sulthan Iskandar Muda menyadari kesalahannya. Ia membujuk Tgk Japakeh agar tidak kembali ke Raweu dan mau ikut dengannya sebagai penasehat militer untuk misi menyerang Johor dan Malaka.
Tgk Japakeh mengiyakan permintaan Sulthan Iskandar Muda tersebut dengan syarat, orang Meureudu harus diangkat menjadi panglima dalam perang tersebut. Ia merekomendasikan Tgk Chik Pante Geulima, yang setelah penyerangan ke Johor dan Malaka itu menulis hikayat Malem Dagang dengan 2.695 bait yang menceritakan kisah armada Iskandar Muda dalam perang tersebut.
Tgk Japakeh dan Malem Dagang memiliki watak keras, dua ulama Negeri Meureudu tersebut, yang berani bersikap lantang di hadapan Sulthan selama sikap yang diyakininya itu benar. Sebagaimana lantangnya Tgk Japakeh terhadap Sulthan Iskandar Muda.
Tgk Chik Pante Geulima lahir pada tahun 1839 di kampung Pante Geulima. Ia pernah belajar di Pusat Pendidikan Islam Dayah Pante Geulima yang dipimpin ayahnya sendiri Teungku Chik Ya’kub. Selain itu itu, ia juga pernah mengikuti pendidikan militer di pusat pelatihan Askar (tentara) Aceh, Makhad Baital Makdis di Raweu.
Makhad Baital Makdis Raweu
Tak sembarangan orang bisa masuk ke pusat pelatihan militer di Raweu. Komplek itu sangat tertutup dan dibentengi dengan hal-hal mistis. Gerbang pertama masuk ke sana di tandai dengan batee meuampe, batu besar sebagai gapura.
Batu gapura itu juga memiliki kisah mistis tersendiri. Masyarakat setempat meyakininya hal itu karena ada bekas rambut wanita yang tertinggal di batu itu. Alkisah, seorang wanita melarikan diri dari kampung halamannya, ia pergi ke hutan karena malu melahirkan anak yang cacat. Ia melahirkan di batu itu dan meninggalkan rambutnya di sana.
Batee meuampe, adalah wilayah yang sangat sakral di gerbang masuk ke Raweu. Siapapun yang masuk ke sana harus melakukan ritual adat masyarakat setempat sebagai simbol penghormatan. Biasanya hal-hal semacam itu dilakukan dengan bantuan pawang hutan, orang Aceh menyebutnya pawang uteuen. Alasannya, karena batu itu ada penjaganya, yakni seekor harimau.
Bukanlah hal yang mudah untuk masuk ke sana. Orang-orang yang dilatih di pusat pelatihan militer di situ merupakan orang-orang yang sudah siap secara lahiriah dan batiniah. Untuk masuk ke Raweu seseorang harus mengikuti ajaran yang berlaku di daerah itu yakni empat pantangan utama yang wajib dipatuhi; ujub, temeua, riya, teukabu. Niat buruk, tamak, riya dan takabur, empat hal yang tidak boleh dimiliki oleh para pelintas yang ingin menuju Raweu.
Bila salah satunya dari empat itu dimiliki, maka orang tersebut akan tersesat, bahkan dimangsa binatang buas. Tapi sebaliknya, bila bisa mampu menghilangkan empat hal itu, amanlah dia menuju Raweu. Warga sekitar Raweu memaklumi hal itu, mereka bebas berburu rusa dan kijang untuk santapan tanpa diganggu oleh harimau. Malah antara manusia dan harimau saling berbagi rezeki. Ketika pemburu berhasil menangkat rusa atau kijang, ia akan segera menyembelihnya agar tidak busuk ketika di bawa pulang. Isi perut binatang itu diletakkan begitu saja di tanah, beberapa langkah mereka pulang, harimau segera datang untuk memakannya.
Kali lain, ketika para pemburu tersesat, harimau pulalah yang menuntun mereka menuju jalan pulang. Harimau akan berdiri beberapa meter di depan para pemburu, mengaum keras kemudian meloncat dan berlari beberapa meter. Saat itulah para pemburu mengikutinya. Hal itu terus dilakukan raja rimba itu sampai berhasil menuntut para pemburu menuju jalan pulang.
Raweu merupakan daerah savana yang luasnya ribuan hektar, yang saban tahunnya binatang seisi rimba akan turun ke situ. Karena itu pula Raweu sangat cocok untuk kamp pelatihan militer. Tentara Kerajaan Aceh yang latihan di tempat itu akan sangat mudah mendapat makanan yang cukup kadar kalori dan gizinya. Raweu daerah yang kaya dengan binatang buruan yang kapan pun bisa diburu untuk makanan. Sementara untuk kebutuhan beras, di daerah utara Raweu terbentang sawah yang luas. Yang juga menjadi pusat logistik bagi Kerajaan Aceh. Karena itu pula Negeri Meureudu sangat diistimewakan oleh Kerajaan Aceh kala itu.
Ketika Sulthan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636) Meureudu merupakan negeri yang bebas dari aturan kerjaan. Hanya satu kewajiban Negeri Meureudu waktu itu, yakni menyediakan kebutuhan beras untuk Kerajaan Aceh. Keistimewaan itu tercantum dalam Qanun Al Asyi Adat Meukuta Alam yang merupakan undang-undang Kerajaan Aceh.
Sulthan Iskandar Muda tetap memberi perhatian khusus terhadap Negeri Meureudu sebagai daerah istimewa. Ia membangun sebuah benteng di sana dan sebuah mesjid yang dikenal sebagai benteng dan mesjid Kuta Batee di pinggiran Krueng Meureudu.
Setelah Johor dan Malaka berhasil ditaklukkan, Sulthan Iskandar Muda mengangkat Tuengku Chik Di Negeri Meureudu, putra bungsu dari Meurah Ali Thaher yang bernama Muerah Ali Husein sebagai perpanjangan tangan Sulthan Aceh di Negeri Meureudu.
Sulthan Iskandar Muda juga memberi status sebagai negeri bebas bagi Negeri Meureudu. Rakyatnya diberi kebebasan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan. Negeri Meureudu hanya punya satu kewajiban istimewa bagi kerajaan Aceh yakni menyediakan beras sebagai makanan pokok. Selain itu tentu juga memberi perhatian yang khusus terhadap pusat pelatihan militer di Raweu.
sumber: harian-aceh.com (Fokus – 17 April 2011)
http://plik-u.com/?p=2014