Rabu, 04 Januari 2012

Perbudakan di Aceh dalam Catatan Snouck

Cristian Snouck Hurgronje menulis banyak cerita tentang masyarakat Aceh dan adat istiadatnya. Ia menggambarkan orang Aceh gemar memelihara budak.
Buah pikiran Snouck tentang Aceh itu terhimpun dalam De Atjèhers, yang dalam edisi Indonesia berjudul Aceh di Mata Kolonial, terbitan Yayasan Soko Guru, Jakarta 1985. Dalam terbitan lain, meski isinya sama, buku ini diberi judul Aceh; Rakyat dan Adat Istiadatnya.
Snouck lahir pada 1857 di Belanda, masuk ke Aceh ketika usianya 34 tahun. Sebelumnya, ia lebih dahulu belajar di Mekkah, Arab Saudi, sejak 1884. Di sana, dia menggoda hati ulama Arab dengan cara memeluk Islam.
Ketika di Aceh ia mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar. Kefasihannya dalam berbicara tentang Islam—malah konon sering berkhutbah di mesjid—membuatnya digelar oleh rakyat Aceh sebagai Teungku Puteh; Teungku yang berkulit putih, sesuai dengan warna kulitnya.
Pada 1889 Hugronyo gagal ke Aceh. Baru dua tahun kemudian (tepatnya pada 9 Juli 1891), seperti disebutkan wikipedia, ia berhasil, bahkan menetap di Kutaraja (kini Banda Aceh). Di sana, ia menjadi orang “kepercayaan” Joannes Benedictus van Heutsz, jenderal Aceh yang kemudian menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1904-1909).
Tujuh bulan ia berada di Aceh dengan dibantu beberapa orang pelayannya. Dalam kurun itu, Snouck mendekati ulama untuk bisa memberikan fatwa berdasarkan politik sivide et impera, serta meneliti cara berpikir rakyat Aceh secara langsung. Dan demi kepentingan keagamaan, ia berkhutbah untuk menjauhkan agama dan politik.
Dalam De Atjèhers, ada cerita menarik yang ditulis Snouck, seperti orang Mante yang tak mau makan, orang Kleng yang dikenal sebagai ureueng dagang, budak Nias yang mengawini anjing, Batak Karo yang keras kepala, dan budak Afrika yang melupakan negeri asalnya.
Cerita Mante
Ketika Snouck di Aceh, banyak beredar cerita mengenai Mante, yang tanpa dapat memberikan suatu penjelasan. Kebanyakan kisah binatang mengingatkan Snouck pada kisah yang pernah didengarnya tentang orang Dayak di Berneo (Kalimantan) pada mulanya.
Ketahanan hidup (eksistensi) mereka, sebut Snouck dalam De Atjèhers, mungkin sekali tetap, sesuai apa yang diceritakan orang Kalimantan padanya. Namun mereka tampaknya selalu tinggal di daerah yang jaraknya sehari perjalanan lebih jauh ke pedalaman. Orang Mante ini diperkirakan tanpa busana dan tubuh mereka berambut tebal. Dan dikabarkan orang Mante mendiami pegunungan di Mukim XXII.
Sepasang suami-istri orang Mante ini pernah tertangkap dan dihadapkan kepada Sultan Aceh, yang terjadi pada masa kakek mereka. Namun kemudian, mereka mati kelaparan karena menolak untuk berbicara atau makan meskipun telah dibujuk dengan segala upaya.
Menurut Hugronyo, dalam tulisan tentang Aceh dan dalam percakapan sehari-hari, orang yang tolol dan serba canggung disamakan dengan orang Mante. Di daerah dataran rendah, perkataan ini pula dipakai untuk memberi julukan kepada penduduk dataran tinggi, di mana di mata mereka dianggap kurang beradab. Dalam arti yang sama juga diterapkan orang daratan tinggi pada penduduk pantai barat yang berdarah campuran.
Melayu dan Keling
Aneuk Jamee dijuluki untuk penduduk pantai barat, karena kebanyakan mereka merupakan keturunan asing atau tamu atau aneuk Rawa (orang asal daerah Rawa). Dan sebutan ini masih ditambahi olok-olok meuiku (berekor). Maksud orang Rawa di sini adalah ekor layang-layang di Aceh, yang oleh Snouck memberikan catatan kalau sebutan ini berdasarkan sindiran pada arti appelatif (penyebutan sesuatu berdasarakan penemu).
Orang-orang asing ini, dengan atau tanpa ekor juga memberikan sumbangan mereka pada susunan suku Aceh. Snouck tidak meragukannya. Ia  mencontohkan pada sejumlah besar orang Kling (Kleng, ureueng dagang) di Aceh dan di pantai timur yang melahirkan lebih banyak keturunan campuran. Tulisnya, di Aceh Besar, perkataan ureueng dagang (orang asing tanpa embel-embel) dianggap menunjukkan orang Keling.
Akan tetapi, Snouck mengganggap sumbangan semua orang asing itu—juga dari orang Arab, Mesir, Jawa dan sebagainya—memang benar merupakan pengaruh kebetulan saja terhadap suku Aceh; hanya di ibu kota dan di kota-kota pantai dari negeri-negeri taklukan yang kecil.
Budak Nias
Budak belian yang kebanyakan berasal dari Nias (Nieh), merupakan faktor penting dalam perkembangan suku Aceh. Asal usul orang Nias ini tergolong aneh. Saat bersamaan, di Aceh juga beredar kisah yang terdapat di kalangan orang Jawa tentang asal usul orang Kalang.
Diceritakan Snouck, seorang putri yang menderita penyakit kulit dan mengerikan, dibuang ke Pulau Nieh. Selama masa pembuangan, putri itu hanya ditemani seekor anjing. Di pulau itu ia menemukan banyak tanaman peundang dan berangsur-angsur mulai mengenal khasiat penyembuhan dari akar peundang. Anehnya, putri itu kemudian menikahi anjing tersebut.
Snouck memberi catatan dalam bukunya, bahwa menurut kisah orang Jawa, putri itu ketika menenun menjatuhkan pintalannya. Kemudian karena enggan berdiri, ia bersumpah, bahwa siapa yang dapat mengambil pintalan itu akan menjadi suaminya. Anjing tadi cepat-cepat mengambil pintalan tersebut dan kemudian menuntut haknya pada sang putri. Maka menikahlah putri itu dengan anjing tersebut.
Dan dikabarkan, perkawinan itu menghasilkan seorang putra. Ketika putra itu dewasa, ia ingin menikah. Akan tetapi, pulau Nias saat itu tiada penduduk selain ibunya. Lalu si ibu memberi cincin yang akan menunjukkan jalan bagi putranya; jika bertemu dengan wanita yang cocok dengan cincin itu, maka itulah istrinya. Anak itu kemudian megembara ke seluruh pulau tanpa bertemu dengan seorang wanita pun. Pada akhirnya ia bertemu kembali dengan ibunya yang cincinnya cocok di jari ibunya. Mereka kemudian menikah. Dari perkawinan terlarang itulah, seluruh penduduk Nias berasal.
Tentang muasal orang Nias yang hina itu tidak ditemukan ciri khas seperti yang diceritakan di Jawa mengenai orang Kalang; perkawinan dengan anjing dan perkawinan terlarang mempunyai persamaan. Akan tetapi mengenai orang Kalang dikisahkan, bahwa induk mereka berasal dari hewan yang paling kotor diantara semua hewan, yakni babi.
Menurut legenda, putri yang hidup di rimba dilahirkan oleh babi hutan yang mengandung secara aneh. Diceritakan, Ratu Baka meminum air kelapa ketika beristirahat di sela-sela berburu, lalu ia kencing dalam tempurung. Kemudian babi hutan betina menemukan tempurung itu dan meminum isinya. Karena isi tempurung itu bukan air kencing saja—sebab usai kencing, Ratu Baka mempunyai nafsu berahi—lahirlah putri tadi.
Berdasarkan kisah geneologis, dalam silsilah orang Nias tidak memiliki babi. Tetapi dalam percakapan sehari-hari, mereka tetap dikatakan keturunan anjing dan babi. Bahkan ada sajak (hadih maja) yang mengejek orang Nias atau keturunan campuran Nias yang bunyinya, “Nieh kumudee; uroe bee buy, malam bee asee.” Artinya, “Orang Nias yang makan buah mengkudu; bau seperti babi di siang hari, seperti bau anjing di malam hari.”
Snouck juga membubuhi catatan, bahwa buah mengkudu dimakan orang Aceh sesudah dibuat rujak (cinicah/lincah) atau direbus dengan sari aren dan gula. Orang Nias suka memakannya mentah-mentah. Sehingga tak jarang orang Aceh katakan, “Nieh kumudee, biek hana malee” yang artinya “Orang Nias penggemar mengkudu, orang yang tak pernah malu”.
Meskipun semua kisah dan ungkapan demikian beredar dan orang Nias banyak menderita kurap (penyakit kulit), masyarakat Aceh sangat menyenangi mereka sebagai budak. Karena mereka dianggap penurut, suka belajar, rajin dan dapat dipercaya. Wanitanya cantik seolah-olah melebihi wanita Aceh sendiri. Sedang pemudanya menjadi penari seudati.
Dalam adat Aceh, keturunan dari garis ibu sangat penting. Musabab itu, orang enggan sekali untuk mendapat keturunan dengan budak wanita, meskipun hal ini dibolehkan dalam Islam. Snouck menulis, pergaulan antar majikan dan budak wanita sangat terbatas bila dibandingkan dengan keadaan di negeri islam lain. Kalaupun sampai terjadi hubungan seperti itu, segala jalan akan ditempuh untuk mencegah atau menghilangkan akibatnya yang biasa. Walau begitu, masih terdapat saja anak yang lahir dari hubungan semacam pergundikan tadi.
Namun demikian, kata Snouck, masih ada jalan lain untuk menyalurkan lebih banyak darah Nias ke dalam tubuh orang Aceh. Dia mencontohkan pada pria yang lama tinggal di suatu daerah tertentu tak jarang menikah dengan salah seorang budak temannya atau pemberi anugerah. Bahkan sering terjadi orang Aceh menikah dengan budak di daerah tempat tinggalnya sendiri atau daerah yang berdekatan, maka ia berani menghadapi umpatan dan kebencian keluarga terdekatanya demi kecantikan wanita pilihannya itu.
Batak di Aceh
Menurut Snouck jumlah budak dari suku bangsa lain di Aceh sangat kecil bila dibandingkan dengan orang Nias. Memang di sana-sini orang Aceh pernah mengambil pria Batak sebagai budak (jarang sekali wanitanya), tetapi sifat mereka umumnya dianggap tidak baik, berbeda dengan Nias yang dipuji. Dia menulis, orang Batak dikatakan sebagai pembangkang, malas dan menaruh dendam yang tidak dapat dilupakan dan dimaafkan.
Hal ini dapat dilihat dari pengalaman atau kisah orang lain, seperti, bagaimana budak asal Batak secara licik membunuh majikannya hanya karena deraan kecil. Atau bagaimana seorang Batak sesudah menerima perlakuan baik, melarikan diri setelah terlebih dahulu membunuh anak-anak majikannya.
Snouck memberi catatan, banyak dari orang Batak itu didatangkan dari Singkil dan Trumon. Orang Aceh membedakan Batak Karee (Karau/Karo) sebagai yang paling liar dan nakal dibanding Batak lain seperti Batak Pakpak, Batak Tuba (Toba), dan Batak Maloylieng (Mandailing). Anehnya, orang Aceh menjuluki semua jenis orang Batak dengan nama Batak Karee tadi, gara-gara watak mereka yang nakal dan liar.
Budak Abeusi
Tidak banyak orang terkemuka yang mampu menikmati kemewahan dengan mengimpor budak wanita Cina dan Semenanjung Malaka, tulis Snouck dan menjadikan mereka gundik. Ia mengatakan kalau orang Aceh lebih sering membawa budak dari Mekah sesudah melakukan ibadah haji, baik pria maupun wanita.
Untuk budak-budak yang dibawa dari Afrika, orang Aceh menyebut Abeusi kepada orang Abesinia dan Ethiopia. Orang-orang Afrika ini kalau sudah diperbudak orang Aceh, mereka tak peduli lagi pada negeri asal. Memiliki orang Abeusi sebagai pembantu rumah tangga menjadi kebanggan tersendiri bagi majikan Aceh.
Lagi-lagi Snouck memberi catatan dalam hal ini. Disebutkannya, bahwa saat itu di Ulee Lheue (Olehleh) masih ada budak Sirkassia yang dibebaskan, yang waktu itu milik Habib Abdurrahman (seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh dan kemudian “dibeli” Belanda dan dikirim ke Mekkah), yang juga mengimpor budak India ke Aceh. Namun hal ini sangat jarang terjadi.
Hukum Perbudakan di Aceh
Menurut Snouck hukum perbudakan di Aceh juga mengalami penyimpangan dari hukum Islam. Memang, wajar dan umum bila pemilik budak segera melakukan kekerasan terhadap budak wanita mereka. Hal sama terjadi di Arab, pantangan berkala terhadap budak wanita yang baru dibeli, jarang atau tidak pernah diindahkan.
Namun di Aceh, sebut dia, hal itu dilanggar orang tanpa rasa malu. Dan kebanyakan dari mereka sama sekali tak menyadari bahwa mereka justru melanggar hukum yang sama yang mereka hormati, yang menyatakan mereka telah melakukan tindakan penculikan.
Di Dataran Tinggi (Tunong), tulis Snouck, budak jauh lebih sedikit dari pada di Dataran Rendah (Baroh), seperti lebih sedikit hal-hal yang membuat hidup lebih enak dan menyenangkan.  Lalu oleh dia menegaskan, petunjuk cukup banyak, suku manakah yang di masa lalu memberikan sumbangan ke arah peningkatan atau penurunan mutu rakyat Aceh. Terlepas dari itu, sebaiknya memandang suku ini sebagai suatu kesatuan, karena setiap pendapat mengenai hal yang sama akan dianggap prematur.
Orang Dataran Tinggi dan Rendah
Snouck menyebutkan, orang Aceh yang berasal dari berbagai bagian Aceh Besar, satu sama lain dapat dibedakan dari sejumlah besar ciri khas setempat tentang bahasa, adat, ketakhayulan, busana dan sebagainya.
Perbedaan itu antara lain, perbedaan antara penghuni Datarang Tinggi (Ureueng Tenong), terutama yang berasal dari sagi Mukim XXII dan penduduk Dataran Rendah (Ureueng Baroh), yakni penduduk dari sebagian besar kedua sagi yang berbeda (Mukim XXVI dan XXV) termasuk ibukotanya. Beberapa bagian dari kedua sagi itu hampir memiliki bahasa dan adat yang sama dengan Ureueng Tunong, seperti Ureueng Bueng yang tinggal di Mukim Bueng VII2 dalam sagi Mukim XXVI.
Penulis, Makmur Dimila adalah pegiat studi di Rumoh Aceh Community dan Komunitas Menulis Jeuneurob.
sumber: harian-aceh.com (Fokus – 14 May 2011)

http://plik-u.com/?p=2005

JANGAN LUPA