Pendahuluan
Trafiking atau perjualbelian manusia telah terjadi di nusantara sejak ratusan tahun yang lalu. Di Aceh kegiatan ini juga telah marak dilakukan di pesisir Barat-Selatan Aceh yang merupakan jalur pelayaran laut dan tujuan migrasi dari Sumatra Barat dan sebaliknya pada abad ke-17, 18 dan 19.[1] Pada periode selanjutnya setelah kondisi ekonomi berubah lebih baik dan bertambah banyak kegiatan pertanian dan perdagangan yang diikuti dengan kebutuhan tenaga kerja yang lebih banyak untuk kegiatan produksi. Hal inilah yang mendukung terjadinya kegiatan trafiking dari Nias ke Aceh.Di pelabuhan Susoh (sekarang menjadi salah satu kecamatan di pesisir Kabupaten Aceh Barat Daya), pada sekitar abad ke-18 telah ramai dengan aktivitas trafiking.[2] Pelabuhan Susoh adalah salah satu pelabuhan yang menyelenggarakan perdagangan budak dari Nias. Dalam terminologi lokal, korban trafiking di Aceh sering diibaratkan seperti ungkapan hadih maja,“namiet tan po ; tikoh tan pulo”,[3] artinya budak tanpa majikan ; tikus tanpa kepulauan. Maksudnya adalah perumpamaan terhadap nasib orang – orang tanpa sarakata atau silsilahnya yang jelas.
Di Aceh, budak atau tenaga kerja belian disebut dengan teumon. Keberadaan golongan teumon ini menurut catatan sejarah atau berdasarkan historiografi nederlandosentris memang diakui tentang keberadaan golongan tersebut di dalam masyarakat Aceh, tetapi jumlahnya sangat sedikit[4], dibandingkan penduduk dari etnik lokal. Di sekitar Susoh saja pada waktu itu berpenduduk 18.000 orang,[5] di antaranya termasuk ureung Nieh. Meskipun begitu lemah posisi mereka sebagai golongan teumon, namun tidak semuanya dapat diperlakukan dengan rendah dan semena-mena. Hal itu sesuai dengan pengakuan orang Aceh seperti yang tersirat dalam ungkapan hadih maja “meuri-ri ija ta ikat pinggang ; meuri – ri dagang jeut ta peukra”. Artinya tidak semua kain sebagai pengikat pinggang ; tidak semua perantau dapat direndahkan.[6] Keberadaan ureung Nieh tetap memberikan warna menarik dalam perjalanan sejarah. Mereka yang terlahir dari keterpurukan kehidupan dan perekonomian di daerahnya sehingga terpaksa menjadi teumon di Aceh. Dalam perjalanan selanjutnya golongan teumon ini ternyata dapat memposisikan diri sejajar dengan masyarakat Aceh. Proses itu terjadi setelah mereka mengalami asimilasi dan pembauran dengan etnik-etnik lokal di Aceh sehingga akhirnya menjadi ureung Aceh.
Trafiking dan Teumon
Menurut definisi dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyebutkan trafiking adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang untuk tujuan eksploitasi.[7] Penyebab dari trafiking adalah tingginya angka pengangguran, banyaknya penduduk di bawah garis kemiskinan dan tidak adanya kesetaraan gender serta lemahnya pengawasan (kontrol) dari aparat hukum maupun penguasa setempat serta tidak adanya pengawasan terhadap wilayah-wilayah perbatasan.[8]
Pada masa lalu, trafiking juga telah terjadi terhadap bangsa-bangsa dari etnik-etnik tertentu di dunia. Bangsa dan etnik-etnik tertentu di dunia ini tidak terlepas dari dinamika perubahan masyarakat sehingga terjadi migrasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Migrasi ini dapat menyebabkan terjadinya mobilitas sosial dalam masyarakat tersebut, baik secara horizontal ataupun vertikal tergantung kreativitas generasi ke generasi dari etnik tersebut dalam menunjukkan jatidirinya di wilayah yang baru. Proses migrasi etnik ke suatu daerah dapat terjadi secara individual, kelompok, ataupun melalui rekrutmen oleh agen yang menangani hal tersebut, baik yang dilakukan secara legal maupun ilegal. Rekrutmen ilegal berpeluang menjadi korban trafiking seperti yang terjadi terhadap orang Nias yang dijadikan sebagai teumon (budak) di Aceh.
Jika dirunut ke masa lalu, praktek penjualbelian tenaga kerja telah terjadi sejak zaman jahiliah bahkan jauh sebelumnya. Sebelum Islam berkembang, praktek perjual-belian dari berbagai etnik dari Afrika sudah terjadi di Asia Barat seperti yang terdapat dalam referensi-referensi Arab dan Islam. Ketika Islam datang, banyak di antara mereka yang dibebaskan sebagai budak. Pada saat imperialisme dan kolonialisme Barat mulai merambahi seluruh penjuru dunia, praktek perjual-belian budak juga terjadi terhadap etnik-etnik di Asia, seperti pada orang-orang Cina, Mongolia dan India. Mereka diperjual-belikan untuk bekerja di perkebunan maupun pengerahan tenaga dalam peperangan ketika bangsa Barat menghadapi perlawanan suatu bangsa atau kerajaan-kerajaan di seluruh dunia.
Di Indonesia, praktek trafiking dilakukan pada masa kolonialis Belanda terhadap etnik-etnik Jawa, Ambon, Lombok, Nusa Tenggara dan Manado. Keberadaan etnik Jawa di negara Suriname merupakan salah satu bentuk trafiking yang pernah dilakukan kolonial di Indonesia pada masa lalu. Di samping itu, korban trafiking dilibatkan oleh Belanda dalam mobilisasi tentara di wilayah nusantara pada masa konfrontasi untuk menunjukkan hegemoni persekutuan perdagangan khususnya rempah-rempah di wilayah nusantara seperti kerajaan Aceh, Goa, Tallo, Makassar, Ternate, Tidore, Aru, dan Maluku.
Menilik dari sisi kemanusiaan, trafiking merupakan salah satu hal yang dilarang, namun dari sisi lain, trafiking adalah produk dari perjalanan sejarah penyebaran komunitas etnik ke seluruh dunia maupun Indonesia dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik oleh kelompok – kelompok etnis yang miskin sumber daya alam dan minimalnya perlindungan hukum bagi pekerja dari penguasa di daerahnya.
Anggapan ini menjadi dilematis bagi suatu wilayah negara dalam menerapkan pelarangan terhadap kegiatan trafiking disebabkan sulitnya memecahkan masalah perekonomian dan penciptaan lapangan kerja sehingga para pencari kerja terpaksa mencari kehidupan di negeri lain yang memiliki prospek perekonomian dan lapangan pekerjaan yang lebih baik. Keberadaan dari etnik-etnik dan ras tertentu di suatu negeri atau daerah lain lambat-laun menyebabkan terjadinya difusi dan akulturasi (pembauran) di negeri lain, yang pada tataran lebih lanjut akan melahirkan peradaban baru. Keberadaan dan penyebaran ras Negroid dari Afrika di Asia, Eropa dan Amerika misalnya, tidak terlepas dari adanya pengaruh trafiking pada masa lalu yang telah melahirkan peradaban baru di negeri tujuannya.
Di Aceh, korban trafiking dari Nias yang dikenal dengan sebutan teumon. Dalam perjalanan sejarahnya golongan ini kemudian berbaur dengan masyarakat Aceh. Pembauran ini lama-kelamaan menghilangkan konotasi dari “teumon” menjadi “ureung Aceh”, sehingga nantinya tidak diketahui lagi mana teumon, dan yang mana Aceh. Prosesi “pembauran” ini terjadi dari generasi ke generasi sehingga menghilangkan predikat golongan teumon dalam etnik-etnik lokal seperti Aceh, Aneuk Jamee, Simeulue. Mereka terintegrasi dalam kesamaan adat, hukum, dan bahasa dari etnik – etnik yang ada di Aceh sehingga lama-kelaman mereka akhirnya menjadi ureung Aceh.
Genealogis Nieh
Sejarah memang punya potensi yang besar dalam menciptakan kebenaran, kebencian dan kemampuan memutarbalikkan fakta. Potensi itu diakui oleh orang Aceh, seperti bunyi hadih maja,“Meunyoe ta banci, citlee peu daleh ; muenyoe ta gaseh nyang salah pi beuna”. Artinya kalau sudah dibenci banyak sekali alasan ; kalau sudah disayang, yang salah pun jadi benar. Berdasarkan mitologi yang berkembang pada masyarakat Aceh primordial mengenai ureung Nieh menjadi sangat kontradiksi dengan silsalah manusia menurut Al Qur’an dan hadist yang merupakan pedoman hidup ureung Aceh. Menurut cerita, seorang putri raja yang menderita penyakit kulit (kurab) dibuang ke pulau Nias, dalam pembuangannya ia hanya ditemani oleh seekor anjing.
Di pulau ini, putri menemukan tanaman peundang. Akar pohon peundang inilah yang menyembuhkan sang putri dari penyakitnya.[9] Selanjutnya disebutkan terjadinya perkawinan menyimpang antara putri tersebut dengan anjingnya. Hasil dari perkawinan ini lahirlah seorang anak laki-laki. Ketika tumbuh dewasa, anak-laki ini ingin segera menikah, namun pulau Nias ketika itu belum berpenghuni. Ibunya memberikan dia sebuah cincin sebagai bekal untuk mencari istri. Dengan pedoman, wanita pertama yang memiliki jari yang cocok memakai cincin akan menjadi istrinya kelak. Setelah mengembara ke seluruh penjuru pulau, tidak seorang wanita pun yang ditemuinya, malahan akhirnya ia bertemu kembali dengan ibunya. Cincinnya ternyata tepat di jari manis ibunya. Mereka pun akhirnya kawin. Perkawinan oedypus complex inilah oleh ureung Aceh dianggap sebagai genealogis ureung Nieh.
Primordialisme dan Stigma Nieh Keumudee
Pandangan ureung Aceh terhadap orang Nias pada awalnya berkonotasi negatif, hal itu terlihat secara transparan dalam ungkapan “Nieh keumudee, malam bee bui ; uroe bee asee”. Artinya “Nias mengkudu, malam bau babi ; siang bau anjing”.[10] Hal ini mungkin karena perspektif ureung Aceh terhadap kedua hewan tersebut sangat diharamkan dan sekaligus “menjijikkan”, sehingga ureung Nieh oleh ureung Aceh dikonotasikan berperadaban lebih rendah dari peradaban mereka. Hampir sama halnya, ketika kolonialisme melanda Aceh pada abad ke-20, di mana anggapan ureung Aceh terhadap bangsa Belanda dan bangsa Jepang. Hal itu tercermin dari ungkapan “tapucrok bui ; teuka asee”. Artinya, mengejar babi ; datang anjing. Maksudnya mengejar bangsa Belanda datang bangsa Jepang. Bangsa Belanda dikonotasikan sebagai “babi” dan bangsa Jepang dikonotasikan sebagai “anjing”. Kedua-duanya dianggap “kafir” sebagai unsur pembeda antara ureung Aceh dengan mereka.
Jika dirunut berdasarkan mitologi yang berkembang dalam masyarakat, menyebutkan bahwa keturunan ureung Nieh berasal dari putri yang dibuang karena penyakit “kurab”, maka anggapan ureung Aceh dulu, ureung Nieh dianggap “meukurab”. Perbedaan agama dan kepercayaan sangat ditentang oleh ureung Aceh. Ureung Aceh masih sangat fanatik, dominan dalam mempertahankan diri, adat dan kebudayaan lokal sehingga mereka melakukan proteksi yang ketat. Fanatisme ini membuat kerajaan Aceh dapat eksis di nusantara sampai abad ke-20. Meskipun ada stigma negatif terhadap ureung Nieh, namun sebaliknya masyarakat Aceh sangat menyenangi mereka sebagai teumon. Mereka sering diambil menjadi tenaga kerja rumah tangga atau yang diperoleh melalui trafiking. Ureung Aceh beranggapan ureung Nieh sangat penurut, rajin, suka belajar, dan dapat dipercaya,[11] sehingga mereka lebih banyak dijadikan teumon di Aceh dibandingkan dengan orang Batak. Teumon wanita dari Nias terkenal cantik – cantik dan seolah – olah melebihi kecantikan wanita Aceh. Sedangkan para pemudanya banyak yang cakap sehingga ada yang direkrut menjadi penari seudati[12]. Di antara mereka disebutkan ada yang sempat affair dengan ureung Aceh. [13]
Keberadaan Orang Nias Di Aceh
Praktek trafiking untuk dijadikan sebagai teumon atau pembantu rumah tangga dari golongan orang Nias ini pernah disebutkan dalam lembaran sejarah kolonial di Aceh. Salah satu referensi tentang hal tersebut adalah tulisan dari Christian Snouck Hurgronje yang berjudul “Aceh Di Mata Kolonialis”. Orang Nias pada awalnya datang ke Aceh sebagai tenaga kerja rumah tangga yang dalam bahasa Aceh disebut golongan teumon. Mereka dinilai “berperadaban lebih rendah” dibandingkan ureung Aceh. Hal itu berlaku menurut pemahaman lama yang masih sangat primordialis.
Seiring dengan perjalanan waktu, lama-kelamaan stigma tersebut berubah menjadi “positif”, setelah ada sebagian dari ureung Nieh yang dijadikan golongan tentara sebagai prajurit dalam perang saudara yang melanda Aceh selama hampir tiga tahun. Perang saudara ini terjadi antara Raja Sulaiman dan kerabat dekatnya Raja Ibrahim pada tahun 1854 – 1858.[14] Orang Nias yang pada mulanya didatangkan dalam jumlah ratusan orang dengan cara diculik oleh pelaku trafiking. Namun mereka juga ada dalam jumlah lebih kecil yang langsung dibeli di daerahnya. Keberadaan mereka adalah bagian penting dalam perkembangan sejarah bangsa Aceh selanjutnya. [15]
Praktek trafiking orang Nias inilah yang melahirkan konotasi “negatif” dari etnik-etnik lokal di Aceh yang merasa lebih unggul posisinya, baik secara hegemonitas maupun perekonomiannya. Padahal keberadaan orang Nias di Aceh sangat membantu aktivitas ekplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dalam proses produksi pertanian dan perekonomian bagi rumah tangga di Aceh.
Aneuk Meuih Menjadi Ureung Aceh
Kebiasaan kehidupan berkeluarga besar ureung Aceh khususnya di pesisir Barat-Selatan menganggap masalah genealogis berdasarkan garis keturunan ibu, sebagai sesuatu yang sangat penting. Oleh karena itu, ureung Aceh sangat enggan untuk mendapatkan keturunan dari wanita budak atau anak hasil perkawinan dengan teumon, walaupun menurut ajaran Islam yang menjadi pedoman hidup orang Aceh, hal tersebut “diperbolehkan”. Hubungan antara majikan Aceh dengan pekerja wanita (teumon) yang dimilikinya sangat langka terjadi bila dibandingkan dengan yang terjadi di negeri -negeri Islam lainnya dalam periode yang sama.
Apabila terjadi hubungan seperti itu, maka akan dicari jalan keluar untuk mencegah atau menghilangkan akibatnya. Namun tidak dapat dipungkiri adanya sejumlah anak terlahir dari hasil “perselingkuhan” dengan teumon Nias di Aceh. Seiring dengan perjalanan waktu, ada juga di antara ureung Aceh yang kawin dengan wanita Nias. Walaupun tanpa restu serta mendapat kebencian dari kerabat terdekatnya. Menurut stigma ureung Aceh, anak yang dilahirkan dari perkawinan dengan “teumon” merupakan “teumon” dari orang yang melahirkan atau ibu kandung anak tersebut.
Dalam dunia perbudakan, secara fakta anak itu akan mengikuti jejak ibunya sebagai teumon. Sementara itu, adat di Aceh memperlakukan mereka sebagai orang bebas biasa. Kebiasaan yang terjadi pada masa itu, hanya dengan sebutan tertentu, orang akan mengetahui asal keturunan seseorang anak. Dengan kata lain, akan tampak jelas asal keturunan dari seseorang anak yang dilahirkan dengan pernikahan sah atau tanpa pernikahan sah, baik secara hukom maupun adat- istiadat. Setelah satu atau dua generasi kemudian, sebutan “aneuk meuih” akan hilang dan nantinya anak-anak itu sepenuhnya menjadi ureung Aceh. Sedangkan anak-anak yang terlahir dari perkawinan sesama teumon (dari majikan yang sama), anak keturunannya tetap menyandang predikat teumon juga. Tetapi banyak majikan pemilik teumon yang membebaskan mereka setelah mencapai usia dewasa dan lanjut. Orang Nias yang bebas ini, hanyalah dikarenakan suatu keistimewaannya. Mereka dapat memperoleh istri dari wanita Aceh. Keturunan mereka kelak juga boleh mengambil istri dari berketurunan campuran Aceh – Nias. Baru dalam generasi ketiga, mereka benar-benar menjadi orang Aceh penuh, walaupun masih tetap menyandang “biek teumon” atau “keturunan budak”. Sedangkan majikan yang hanya memiliki seorang atau dua orang teumon laki-laki, pada umumnya membiarkan mereka membujang selama hidupnya. Dengan pengertian, bahwa mereka juga akan memperoleh kesempatan untuk “kawin” dengan golongan sesama teumon wanita dari lain majikan.
Setelah masa perang saudara pada tahun 1854 sampai 1858. ureung Aceh cenderung tidak mengerjakan lagi persawahannya dan hanya bekerja menurut keinginannya sendiri sehingga mereka harus mengimpor beras dari luar daerah Aceh. Selama periode itu sebagian besar pekerjaan di Aceh dikerjakan oleh orang Nias. Mereka tidak hanya diperjual – belikan untuk menggarap tanah pertanian dan penanaman lada, tetapi juga digunakan untuk menjadi serdadu dalam perang-perang skala kecil yang terus-menerus terjadi dan membuat wilayah Aceh terbagi-bagi menjadi wilayah-wilayah kecil. Ketika perang saudara antara Raja Sulaiman dengan Raja Ibrahim, pasukan Raja Ibrahim terdiri dari orang-orang Nias. Merekalah yang dikerahkan dalam melakukan operasional terhadap musuh (pasukan Raja Sulaiman).[16]
Kesimpulan
Permasalahan trafiking, dan panjualan budak pada masa lalu maupun masa kini melahirkan berbagai dinamika dan perubahan persepsi. Berbagai mitologi dan kronologi terhadap “etnik asing” sengaja dibuat untuk menunjukkan jati diri mereka yang lebih rendah dibandingkan “etnik asli” sehingga melahirkan asumsi negatif terhadap pendatang.
Hal ini pernah terjadi terhadap orang Nias di Aceh, namun anggapan itu hilang dengan sendirinya setelah adanya proses difusi kultural karena interrelasi budaya yang melahirkan peradaban Aceh sejatinya. Berdasarkan hadih maja mengenai keberagaman dengan perspektif budaya yang menyebutkan; meunyoe nyang brok pih eue beudo, beuranggaho pih gob upat ; meunyoe nyang get pih eue buedo, beuranggaho jeuet keu sahbat”, Artinya kalau jelek akhlak/budi ke mana pun ia akan dicaci – maki. Kalau baik akhlak/budi, kemana pun ia pergi akan tetap menjadi sahabat. Mereka juga diibaratkan ;lagee peuraho dalam bakat, hana teutap siat puro ; ureung dagang lam meularat, Timu – Barat cula-caloe”. Artinya, seperti perahu dalam hempasan ombak, selalu terombang-ambing posisinya; perantau sedang melarat, di Timur – di Barat selalu dalam kesibukan. Maksudnya, begitulah nasib orang yang terus – menerus mencari kehidupannya.
Perbedaan dan keragaman kebudayaan antaretnik sebagai sunnatullah harus tetap dihargai dalam menciptakan stabilitas dan kedamaian masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang, semua etnik diciptakan Tuhan tidaklah sama, baik fisik, jenis kelamin, agama kepercayaan, bahasa, pekerjaan, dan kebudayaannya, namun pada hakikatnya manusia adalah sama yaitu sama – sama mencari penghidupan yang lebih baik. Hanya kearifan dan kebijaksanaanlah yang dapat menunjukkan bahwa sesama manusia tetap membutuhkan untuk dapat saling mengisi kelebihan dan kekurangan antara satu dengan yang lainnya.
[1] H. Zakaria Ahmad (ed.), Negeri dan Rakyat Aceh Barat Daya Dalam Lintasan Sejarah Menuju Daerah Otonom, (Blangpidie : PEMDA ABDYA, 2007). Hlm.121-124
[2] Susoh adalah salah satu pelabuhan tradisional yang sampai saat ini masih eksis. Sekarang pelabuhan ini telah direhabilitasi dan direkontruksi kembali untuk pelabuhan bongkar muat ikan dan barang, khususnya semen dari Padang, Sumatra Barat. Pelabuhan ini terletak di daerah Ujong Serangga di kabupaten Aceh Barat Daya. Kecamatan Susoh mayoritas penduduknya berasal dari Pasaman dan Rao, sedangkan di pesisirnya berasal dari Tanah Datar, Batu Sangkar Sumatra Barat. Penjelasan mengenai penduduk dan adanya perjual-belian budak dari Nias di pelabuhan Susoh dapat dilihat dalam, H. Said Abubakar, Berjuang Untuk Daerah, (Banda Aceh : Yayasan Nagasakti), hlm.16.
[3] T.H. El Hakimy, Hadih Maja Peunileh, (Banda Aceh : Rata), hlm. 67.
[4] Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Atjeh Dalam Tahun 1520 – 1675, (Medan : Monora), hlm.96.
[5] H. Said Abubakar, Op.Cit.
[6] T.H. El Hakimiy, Op.Cit
[7] www.stoptrafiking.or.id
[8] www.pontianakpost.com/berita/
[9] Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, (Jakarta : Yayasan Soko Guru),hlm.23
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Dalam referensi Snouck tarian tersebut disebut Sadati, lihat Christian Snouck Hurgronje, Ibid.
[13] Ibid.
[14] Atjehsch Staatbestuur, dalam Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, (Jakarta : Yayasan Soko Guru, 1985), hlm.27.
[15] Ibid.
[16] Penjelasan mengenai perang ini lihat J.A. Kruyt, Atjeh en de Atjehers, hlm.54.
http://plik-u.com/?p=800
Trafiking atau perjualbelian manusia telah terjadi di nusantara sejak ratusan tahun yang lalu. Di Aceh kegiatan ini juga telah marak dilakukan di pesisir Barat-Selatan Aceh yang merupakan jalur pelayaran laut dan tujuan migrasi dari Sumatra Barat dan sebaliknya pada abad ke-17, 18 dan 19.[1] Pada periode selanjutnya setelah kondisi ekonomi berubah lebih baik dan bertambah banyak kegiatan pertanian dan perdagangan yang diikuti dengan kebutuhan tenaga kerja yang lebih banyak untuk kegiatan produksi. Hal inilah yang mendukung terjadinya kegiatan trafiking dari Nias ke Aceh.Di pelabuhan Susoh (sekarang menjadi salah satu kecamatan di pesisir Kabupaten Aceh Barat Daya), pada sekitar abad ke-18 telah ramai dengan aktivitas trafiking.[2] Pelabuhan Susoh adalah salah satu pelabuhan yang menyelenggarakan perdagangan budak dari Nias. Dalam terminologi lokal, korban trafiking di Aceh sering diibaratkan seperti ungkapan hadih maja,“namiet tan po ; tikoh tan pulo”,[3] artinya budak tanpa majikan ; tikus tanpa kepulauan. Maksudnya adalah perumpamaan terhadap nasib orang – orang tanpa sarakata atau silsilahnya yang jelas.
Di Aceh, budak atau tenaga kerja belian disebut dengan teumon. Keberadaan golongan teumon ini menurut catatan sejarah atau berdasarkan historiografi nederlandosentris memang diakui tentang keberadaan golongan tersebut di dalam masyarakat Aceh, tetapi jumlahnya sangat sedikit[4], dibandingkan penduduk dari etnik lokal. Di sekitar Susoh saja pada waktu itu berpenduduk 18.000 orang,[5] di antaranya termasuk ureung Nieh. Meskipun begitu lemah posisi mereka sebagai golongan teumon, namun tidak semuanya dapat diperlakukan dengan rendah dan semena-mena. Hal itu sesuai dengan pengakuan orang Aceh seperti yang tersirat dalam ungkapan hadih maja “meuri-ri ija ta ikat pinggang ; meuri – ri dagang jeut ta peukra”. Artinya tidak semua kain sebagai pengikat pinggang ; tidak semua perantau dapat direndahkan.[6] Keberadaan ureung Nieh tetap memberikan warna menarik dalam perjalanan sejarah. Mereka yang terlahir dari keterpurukan kehidupan dan perekonomian di daerahnya sehingga terpaksa menjadi teumon di Aceh. Dalam perjalanan selanjutnya golongan teumon ini ternyata dapat memposisikan diri sejajar dengan masyarakat Aceh. Proses itu terjadi setelah mereka mengalami asimilasi dan pembauran dengan etnik-etnik lokal di Aceh sehingga akhirnya menjadi ureung Aceh.
Trafiking dan Teumon
Menurut definisi dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyebutkan trafiking adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang untuk tujuan eksploitasi.[7] Penyebab dari trafiking adalah tingginya angka pengangguran, banyaknya penduduk di bawah garis kemiskinan dan tidak adanya kesetaraan gender serta lemahnya pengawasan (kontrol) dari aparat hukum maupun penguasa setempat serta tidak adanya pengawasan terhadap wilayah-wilayah perbatasan.[8]
Pada masa lalu, trafiking juga telah terjadi terhadap bangsa-bangsa dari etnik-etnik tertentu di dunia. Bangsa dan etnik-etnik tertentu di dunia ini tidak terlepas dari dinamika perubahan masyarakat sehingga terjadi migrasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Migrasi ini dapat menyebabkan terjadinya mobilitas sosial dalam masyarakat tersebut, baik secara horizontal ataupun vertikal tergantung kreativitas generasi ke generasi dari etnik tersebut dalam menunjukkan jatidirinya di wilayah yang baru. Proses migrasi etnik ke suatu daerah dapat terjadi secara individual, kelompok, ataupun melalui rekrutmen oleh agen yang menangani hal tersebut, baik yang dilakukan secara legal maupun ilegal. Rekrutmen ilegal berpeluang menjadi korban trafiking seperti yang terjadi terhadap orang Nias yang dijadikan sebagai teumon (budak) di Aceh.
Jika dirunut ke masa lalu, praktek penjualbelian tenaga kerja telah terjadi sejak zaman jahiliah bahkan jauh sebelumnya. Sebelum Islam berkembang, praktek perjual-belian dari berbagai etnik dari Afrika sudah terjadi di Asia Barat seperti yang terdapat dalam referensi-referensi Arab dan Islam. Ketika Islam datang, banyak di antara mereka yang dibebaskan sebagai budak. Pada saat imperialisme dan kolonialisme Barat mulai merambahi seluruh penjuru dunia, praktek perjual-belian budak juga terjadi terhadap etnik-etnik di Asia, seperti pada orang-orang Cina, Mongolia dan India. Mereka diperjual-belikan untuk bekerja di perkebunan maupun pengerahan tenaga dalam peperangan ketika bangsa Barat menghadapi perlawanan suatu bangsa atau kerajaan-kerajaan di seluruh dunia.
Di Indonesia, praktek trafiking dilakukan pada masa kolonialis Belanda terhadap etnik-etnik Jawa, Ambon, Lombok, Nusa Tenggara dan Manado. Keberadaan etnik Jawa di negara Suriname merupakan salah satu bentuk trafiking yang pernah dilakukan kolonial di Indonesia pada masa lalu. Di samping itu, korban trafiking dilibatkan oleh Belanda dalam mobilisasi tentara di wilayah nusantara pada masa konfrontasi untuk menunjukkan hegemoni persekutuan perdagangan khususnya rempah-rempah di wilayah nusantara seperti kerajaan Aceh, Goa, Tallo, Makassar, Ternate, Tidore, Aru, dan Maluku.
Menilik dari sisi kemanusiaan, trafiking merupakan salah satu hal yang dilarang, namun dari sisi lain, trafiking adalah produk dari perjalanan sejarah penyebaran komunitas etnik ke seluruh dunia maupun Indonesia dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik oleh kelompok – kelompok etnis yang miskin sumber daya alam dan minimalnya perlindungan hukum bagi pekerja dari penguasa di daerahnya.
Anggapan ini menjadi dilematis bagi suatu wilayah negara dalam menerapkan pelarangan terhadap kegiatan trafiking disebabkan sulitnya memecahkan masalah perekonomian dan penciptaan lapangan kerja sehingga para pencari kerja terpaksa mencari kehidupan di negeri lain yang memiliki prospek perekonomian dan lapangan pekerjaan yang lebih baik. Keberadaan dari etnik-etnik dan ras tertentu di suatu negeri atau daerah lain lambat-laun menyebabkan terjadinya difusi dan akulturasi (pembauran) di negeri lain, yang pada tataran lebih lanjut akan melahirkan peradaban baru. Keberadaan dan penyebaran ras Negroid dari Afrika di Asia, Eropa dan Amerika misalnya, tidak terlepas dari adanya pengaruh trafiking pada masa lalu yang telah melahirkan peradaban baru di negeri tujuannya.
Di Aceh, korban trafiking dari Nias yang dikenal dengan sebutan teumon. Dalam perjalanan sejarahnya golongan ini kemudian berbaur dengan masyarakat Aceh. Pembauran ini lama-kelamaan menghilangkan konotasi dari “teumon” menjadi “ureung Aceh”, sehingga nantinya tidak diketahui lagi mana teumon, dan yang mana Aceh. Prosesi “pembauran” ini terjadi dari generasi ke generasi sehingga menghilangkan predikat golongan teumon dalam etnik-etnik lokal seperti Aceh, Aneuk Jamee, Simeulue. Mereka terintegrasi dalam kesamaan adat, hukum, dan bahasa dari etnik – etnik yang ada di Aceh sehingga lama-kelaman mereka akhirnya menjadi ureung Aceh.
Genealogis Nieh
Sejarah memang punya potensi yang besar dalam menciptakan kebenaran, kebencian dan kemampuan memutarbalikkan fakta. Potensi itu diakui oleh orang Aceh, seperti bunyi hadih maja,“Meunyoe ta banci, citlee peu daleh ; muenyoe ta gaseh nyang salah pi beuna”. Artinya kalau sudah dibenci banyak sekali alasan ; kalau sudah disayang, yang salah pun jadi benar. Berdasarkan mitologi yang berkembang pada masyarakat Aceh primordial mengenai ureung Nieh menjadi sangat kontradiksi dengan silsalah manusia menurut Al Qur’an dan hadist yang merupakan pedoman hidup ureung Aceh. Menurut cerita, seorang putri raja yang menderita penyakit kulit (kurab) dibuang ke pulau Nias, dalam pembuangannya ia hanya ditemani oleh seekor anjing.
Di pulau ini, putri menemukan tanaman peundang. Akar pohon peundang inilah yang menyembuhkan sang putri dari penyakitnya.[9] Selanjutnya disebutkan terjadinya perkawinan menyimpang antara putri tersebut dengan anjingnya. Hasil dari perkawinan ini lahirlah seorang anak laki-laki. Ketika tumbuh dewasa, anak-laki ini ingin segera menikah, namun pulau Nias ketika itu belum berpenghuni. Ibunya memberikan dia sebuah cincin sebagai bekal untuk mencari istri. Dengan pedoman, wanita pertama yang memiliki jari yang cocok memakai cincin akan menjadi istrinya kelak. Setelah mengembara ke seluruh penjuru pulau, tidak seorang wanita pun yang ditemuinya, malahan akhirnya ia bertemu kembali dengan ibunya. Cincinnya ternyata tepat di jari manis ibunya. Mereka pun akhirnya kawin. Perkawinan oedypus complex inilah oleh ureung Aceh dianggap sebagai genealogis ureung Nieh.
Primordialisme dan Stigma Nieh Keumudee
Pandangan ureung Aceh terhadap orang Nias pada awalnya berkonotasi negatif, hal itu terlihat secara transparan dalam ungkapan “Nieh keumudee, malam bee bui ; uroe bee asee”. Artinya “Nias mengkudu, malam bau babi ; siang bau anjing”.[10] Hal ini mungkin karena perspektif ureung Aceh terhadap kedua hewan tersebut sangat diharamkan dan sekaligus “menjijikkan”, sehingga ureung Nieh oleh ureung Aceh dikonotasikan berperadaban lebih rendah dari peradaban mereka. Hampir sama halnya, ketika kolonialisme melanda Aceh pada abad ke-20, di mana anggapan ureung Aceh terhadap bangsa Belanda dan bangsa Jepang. Hal itu tercermin dari ungkapan “tapucrok bui ; teuka asee”. Artinya, mengejar babi ; datang anjing. Maksudnya mengejar bangsa Belanda datang bangsa Jepang. Bangsa Belanda dikonotasikan sebagai “babi” dan bangsa Jepang dikonotasikan sebagai “anjing”. Kedua-duanya dianggap “kafir” sebagai unsur pembeda antara ureung Aceh dengan mereka.
Jika dirunut berdasarkan mitologi yang berkembang dalam masyarakat, menyebutkan bahwa keturunan ureung Nieh berasal dari putri yang dibuang karena penyakit “kurab”, maka anggapan ureung Aceh dulu, ureung Nieh dianggap “meukurab”. Perbedaan agama dan kepercayaan sangat ditentang oleh ureung Aceh. Ureung Aceh masih sangat fanatik, dominan dalam mempertahankan diri, adat dan kebudayaan lokal sehingga mereka melakukan proteksi yang ketat. Fanatisme ini membuat kerajaan Aceh dapat eksis di nusantara sampai abad ke-20. Meskipun ada stigma negatif terhadap ureung Nieh, namun sebaliknya masyarakat Aceh sangat menyenangi mereka sebagai teumon. Mereka sering diambil menjadi tenaga kerja rumah tangga atau yang diperoleh melalui trafiking. Ureung Aceh beranggapan ureung Nieh sangat penurut, rajin, suka belajar, dan dapat dipercaya,[11] sehingga mereka lebih banyak dijadikan teumon di Aceh dibandingkan dengan orang Batak. Teumon wanita dari Nias terkenal cantik – cantik dan seolah – olah melebihi kecantikan wanita Aceh. Sedangkan para pemudanya banyak yang cakap sehingga ada yang direkrut menjadi penari seudati[12]. Di antara mereka disebutkan ada yang sempat affair dengan ureung Aceh. [13]
Keberadaan Orang Nias Di Aceh
Praktek trafiking untuk dijadikan sebagai teumon atau pembantu rumah tangga dari golongan orang Nias ini pernah disebutkan dalam lembaran sejarah kolonial di Aceh. Salah satu referensi tentang hal tersebut adalah tulisan dari Christian Snouck Hurgronje yang berjudul “Aceh Di Mata Kolonialis”. Orang Nias pada awalnya datang ke Aceh sebagai tenaga kerja rumah tangga yang dalam bahasa Aceh disebut golongan teumon. Mereka dinilai “berperadaban lebih rendah” dibandingkan ureung Aceh. Hal itu berlaku menurut pemahaman lama yang masih sangat primordialis.
Seiring dengan perjalanan waktu, lama-kelamaan stigma tersebut berubah menjadi “positif”, setelah ada sebagian dari ureung Nieh yang dijadikan golongan tentara sebagai prajurit dalam perang saudara yang melanda Aceh selama hampir tiga tahun. Perang saudara ini terjadi antara Raja Sulaiman dan kerabat dekatnya Raja Ibrahim pada tahun 1854 – 1858.[14] Orang Nias yang pada mulanya didatangkan dalam jumlah ratusan orang dengan cara diculik oleh pelaku trafiking. Namun mereka juga ada dalam jumlah lebih kecil yang langsung dibeli di daerahnya. Keberadaan mereka adalah bagian penting dalam perkembangan sejarah bangsa Aceh selanjutnya. [15]
Praktek trafiking orang Nias inilah yang melahirkan konotasi “negatif” dari etnik-etnik lokal di Aceh yang merasa lebih unggul posisinya, baik secara hegemonitas maupun perekonomiannya. Padahal keberadaan orang Nias di Aceh sangat membantu aktivitas ekplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dalam proses produksi pertanian dan perekonomian bagi rumah tangga di Aceh.
Aneuk Meuih Menjadi Ureung Aceh
Kebiasaan kehidupan berkeluarga besar ureung Aceh khususnya di pesisir Barat-Selatan menganggap masalah genealogis berdasarkan garis keturunan ibu, sebagai sesuatu yang sangat penting. Oleh karena itu, ureung Aceh sangat enggan untuk mendapatkan keturunan dari wanita budak atau anak hasil perkawinan dengan teumon, walaupun menurut ajaran Islam yang menjadi pedoman hidup orang Aceh, hal tersebut “diperbolehkan”. Hubungan antara majikan Aceh dengan pekerja wanita (teumon) yang dimilikinya sangat langka terjadi bila dibandingkan dengan yang terjadi di negeri -negeri Islam lainnya dalam periode yang sama.
Apabila terjadi hubungan seperti itu, maka akan dicari jalan keluar untuk mencegah atau menghilangkan akibatnya. Namun tidak dapat dipungkiri adanya sejumlah anak terlahir dari hasil “perselingkuhan” dengan teumon Nias di Aceh. Seiring dengan perjalanan waktu, ada juga di antara ureung Aceh yang kawin dengan wanita Nias. Walaupun tanpa restu serta mendapat kebencian dari kerabat terdekatnya. Menurut stigma ureung Aceh, anak yang dilahirkan dari perkawinan dengan “teumon” merupakan “teumon” dari orang yang melahirkan atau ibu kandung anak tersebut.
Dalam dunia perbudakan, secara fakta anak itu akan mengikuti jejak ibunya sebagai teumon. Sementara itu, adat di Aceh memperlakukan mereka sebagai orang bebas biasa. Kebiasaan yang terjadi pada masa itu, hanya dengan sebutan tertentu, orang akan mengetahui asal keturunan seseorang anak. Dengan kata lain, akan tampak jelas asal keturunan dari seseorang anak yang dilahirkan dengan pernikahan sah atau tanpa pernikahan sah, baik secara hukom maupun adat- istiadat. Setelah satu atau dua generasi kemudian, sebutan “aneuk meuih” akan hilang dan nantinya anak-anak itu sepenuhnya menjadi ureung Aceh. Sedangkan anak-anak yang terlahir dari perkawinan sesama teumon (dari majikan yang sama), anak keturunannya tetap menyandang predikat teumon juga. Tetapi banyak majikan pemilik teumon yang membebaskan mereka setelah mencapai usia dewasa dan lanjut. Orang Nias yang bebas ini, hanyalah dikarenakan suatu keistimewaannya. Mereka dapat memperoleh istri dari wanita Aceh. Keturunan mereka kelak juga boleh mengambil istri dari berketurunan campuran Aceh – Nias. Baru dalam generasi ketiga, mereka benar-benar menjadi orang Aceh penuh, walaupun masih tetap menyandang “biek teumon” atau “keturunan budak”. Sedangkan majikan yang hanya memiliki seorang atau dua orang teumon laki-laki, pada umumnya membiarkan mereka membujang selama hidupnya. Dengan pengertian, bahwa mereka juga akan memperoleh kesempatan untuk “kawin” dengan golongan sesama teumon wanita dari lain majikan.
Setelah masa perang saudara pada tahun 1854 sampai 1858. ureung Aceh cenderung tidak mengerjakan lagi persawahannya dan hanya bekerja menurut keinginannya sendiri sehingga mereka harus mengimpor beras dari luar daerah Aceh. Selama periode itu sebagian besar pekerjaan di Aceh dikerjakan oleh orang Nias. Mereka tidak hanya diperjual – belikan untuk menggarap tanah pertanian dan penanaman lada, tetapi juga digunakan untuk menjadi serdadu dalam perang-perang skala kecil yang terus-menerus terjadi dan membuat wilayah Aceh terbagi-bagi menjadi wilayah-wilayah kecil. Ketika perang saudara antara Raja Sulaiman dengan Raja Ibrahim, pasukan Raja Ibrahim terdiri dari orang-orang Nias. Merekalah yang dikerahkan dalam melakukan operasional terhadap musuh (pasukan Raja Sulaiman).[16]
Kesimpulan
Permasalahan trafiking, dan panjualan budak pada masa lalu maupun masa kini melahirkan berbagai dinamika dan perubahan persepsi. Berbagai mitologi dan kronologi terhadap “etnik asing” sengaja dibuat untuk menunjukkan jati diri mereka yang lebih rendah dibandingkan “etnik asli” sehingga melahirkan asumsi negatif terhadap pendatang.
Hal ini pernah terjadi terhadap orang Nias di Aceh, namun anggapan itu hilang dengan sendirinya setelah adanya proses difusi kultural karena interrelasi budaya yang melahirkan peradaban Aceh sejatinya. Berdasarkan hadih maja mengenai keberagaman dengan perspektif budaya yang menyebutkan; meunyoe nyang brok pih eue beudo, beuranggaho pih gob upat ; meunyoe nyang get pih eue buedo, beuranggaho jeuet keu sahbat”, Artinya kalau jelek akhlak/budi ke mana pun ia akan dicaci – maki. Kalau baik akhlak/budi, kemana pun ia pergi akan tetap menjadi sahabat. Mereka juga diibaratkan ;lagee peuraho dalam bakat, hana teutap siat puro ; ureung dagang lam meularat, Timu – Barat cula-caloe”. Artinya, seperti perahu dalam hempasan ombak, selalu terombang-ambing posisinya; perantau sedang melarat, di Timur – di Barat selalu dalam kesibukan. Maksudnya, begitulah nasib orang yang terus – menerus mencari kehidupannya.
Perbedaan dan keragaman kebudayaan antaretnik sebagai sunnatullah harus tetap dihargai dalam menciptakan stabilitas dan kedamaian masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang, semua etnik diciptakan Tuhan tidaklah sama, baik fisik, jenis kelamin, agama kepercayaan, bahasa, pekerjaan, dan kebudayaannya, namun pada hakikatnya manusia adalah sama yaitu sama – sama mencari penghidupan yang lebih baik. Hanya kearifan dan kebijaksanaanlah yang dapat menunjukkan bahwa sesama manusia tetap membutuhkan untuk dapat saling mengisi kelebihan dan kekurangan antara satu dengan yang lainnya.
[1] H. Zakaria Ahmad (ed.), Negeri dan Rakyat Aceh Barat Daya Dalam Lintasan Sejarah Menuju Daerah Otonom, (Blangpidie : PEMDA ABDYA, 2007). Hlm.121-124
[2] Susoh adalah salah satu pelabuhan tradisional yang sampai saat ini masih eksis. Sekarang pelabuhan ini telah direhabilitasi dan direkontruksi kembali untuk pelabuhan bongkar muat ikan dan barang, khususnya semen dari Padang, Sumatra Barat. Pelabuhan ini terletak di daerah Ujong Serangga di kabupaten Aceh Barat Daya. Kecamatan Susoh mayoritas penduduknya berasal dari Pasaman dan Rao, sedangkan di pesisirnya berasal dari Tanah Datar, Batu Sangkar Sumatra Barat. Penjelasan mengenai penduduk dan adanya perjual-belian budak dari Nias di pelabuhan Susoh dapat dilihat dalam, H. Said Abubakar, Berjuang Untuk Daerah, (Banda Aceh : Yayasan Nagasakti), hlm.16.
[3] T.H. El Hakimy, Hadih Maja Peunileh, (Banda Aceh : Rata), hlm. 67.
[4] Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Atjeh Dalam Tahun 1520 – 1675, (Medan : Monora), hlm.96.
[5] H. Said Abubakar, Op.Cit.
[6] T.H. El Hakimiy, Op.Cit
[7] www.stoptrafiking.or.id
[8] www.pontianakpost.com/berita/
[9] Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, (Jakarta : Yayasan Soko Guru),hlm.23
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Dalam referensi Snouck tarian tersebut disebut Sadati, lihat Christian Snouck Hurgronje, Ibid.
[13] Ibid.
[14] Atjehsch Staatbestuur, dalam Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, (Jakarta : Yayasan Soko Guru, 1985), hlm.27.
[15] Ibid.
[16] Penjelasan mengenai perang ini lihat J.A. Kruyt, Atjeh en de Atjehers, hlm.54.
http://plik-u.com/?p=800