Oleh: Iskandar Norman
Kabupaten
Aceh Jaya terbentuk pada tahun 2002 dengan enam Kecamatan. Sebelah
utara berbatasan dengan Aceh Besar dan Pidie; sebelah Selatan dengan
Samudra Indonesia dan Aceh Barat; sebelah Timur dengan Pidie dan Aceh
Barat; sebelah barat dengan Samudra Indonesia.
Secara
geografis daerah ini memiliki 3.727,00 km. di Aceh Jaya hanya terdapat
satu bahasa daerah yakni bahasa Aceh. Suku-suku lain selain Aceh yang
berdiam di daerah ini yang pada awalnya berbahasa Indonesia, setelah
agak lama menetap dan berbaur dengan masyarakat setempat, mereka juga
berbahasa Aceh. Masyarakat Tionghoa yang kebetulan berdiam di daerah ini
umumnya juga berbahasa Aceh sebagaimana masyarakat setempat.
Berawal dari Lhan Na
Di
hulu Krueng Daya dulu ada sebuah dusun yang dinamai Lhan Na, sekarang
disebut Lam No. Menurut H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara
(1961) penghuni dusun itu berasal dari Bangsa Lanun. Orang Aceh
menyebutnya “lhan” atau bangsa Samang yang datang dari Semenanjung
Malaka dan Hindia Belakang seperti Burma dan Campa. Kemudian ke hulu
Krueng Daya itu juga datang orang-orang baru dari Aceh Besar, Pasai dan
Poli (Pidie).
Pada
abad XV terjadi perang antara Raja Pidie dengan Raja Pasai. Perang itu
disulut oleh Raja Nagor bekas petinggi di Pasai. Dalam perang itu Pasai
Kalah, Sultan Haidar Bahian Sjah tewas. Raja Nagor kemudian memerintah
Pasai (1417). Beberapa keturunan Raja Pasai kemudian melakukan
perpindahan. Sampai kesuatu tempat mereka kelelahan tak berdaya
melanjutkan perjalanan.
Mereka
pun mendirikan negeri baru di daerah tersebut, negeri itu diberinama
Daya untuk mengenang ketakberdayaan mereka melanjutkan perjalanan.
Cerita yang sama juga disebutkan dalam sebuah dongeng.
Menurut
H M Zainuddin (1961), dahulu kala sekelompok orang datang ke negeri itu
dengan perahu, sampai di muara sungai perahu mereka kandas. Mereka
semua turun untuk mendorong perahu tersebut, tapi perahu itu tetap
kandas. Mereka tidak berdaya lalu turun dan membuka perkampungan di
sekitar muara sungai itu. Mereka pun menamai daerah itu dengan sebutan
Daya.
Suatu
ketika Raja Daya dan pasukannya melakukan pemeriksaan ke hulu sungai.
Sampai di sana mereka mendapati sebuah perkampungan yang dihuni oleh
orang yang mirip dengan bangsa Lanun dari Malaka dan Hindia Belakang.
Mereka disebut orang Lhan.
Orang
orang Lhan ini merupakan penduduk asli di sana, yang kala itu masih
suka mengenakan pakaian dari kulit kayu dan kulit bintang yang tipis.
Karena sudah lama mendiami tempat itu maka disebutlah mereka sebagai
orang “Lhan Kana” atau “Lhan Na” yang artinya orang Lhan sudah ada
disitu. Lama kelamaan terjadi perubahan pengucapan dari “Lhan Kana”
menjadi “Lam Na” dan seterusnya ketika Belanda masuk ke Aceh ucapannya
menjadi “Lam No”.
Masih
menurut H M Zainudin, berdasarkan keterangan T Radja Adian keturunan
Uleebalang (Zelfbestuurder) pada tahun 1945 diceritakan, Negeri Daya
pernah diperintah oleh Pahlawan Syah, seorang raja yang pernah berperang
dengan Poteu Meureuhom. Pahlawan Syah yang dikenal dengan sebutan Raja
Keuluang merupakan orang yang kebal terhadap senjata apa pun, ia tidak
bias ditaklukkan.
Ia
orang yang sangat kuat. Kekuatannya itu diyakini masih menyisakan bekas
berupa bekas tapak kakinya. Saat ia mencabut batang kelapa kakinya
terbenam ke tanah. Tapak kaki itu disebut-sebut berada di Kuala Daya.
Disebut
sebagai Raja Keuluang karena Pahlawan Syah berpostur tinggi besar,
ketika dipanggil untuk menghadiri rapat (Meusapat) oleh Raja, peraturan
yang diberikan Pahlawan Syah dan daerah yang dipimpinya selalu berbeda
dengan daerah lain. Ia banyak mendapat keluangan, maka digelarlah dia
Raja Keuluang.
Negeri
Keuluang itu terdiri dari Keuluang, Lam Besoe, Kuala Daya dan Kuala
Unga. Raja Keuluang meninggal setelah berperang dengan Poteumeureuhom.
Raja yang kebal senjata itu berhasil ditangkap ketika daerahnya
ditaklukkan. Ia meninggal dalam ikatan rantai besi.
Masa
pemerintahan Raja Keuluang atau Pahlawan Syah menurut pemeriksaan
Controleur Vetner di calang pada tahun 1938, diperkirakan antara tahun
1500 M sampai 1505 M. seber lain adalah T R Adian, sebagaimana dikutip H
M Zainuddin. Menurutnya, pertalian keluarga Raja Keuluang tersebar dari
Tanoeh Abee Sagi XXII Mukim Seulimum, Krueng Sabe dekat Calang dan
Negeri Bakongan, Aceh Selatan. “Kalau naskah ini serta keterangan T R
Adian itu kita hubungkan dengan makam Sultan Ali Riayat Sjah atau Marhum
Daya, jang menurut pemeriksaan Prof Dr Mussain Djajadiningrat, Marhum
Daja meninggal dalam tahun 1508,” tulis H M Zainuddin dalam Tarich Aceh
dan Nusantara (1961).
Sementara
lainnya, di Kuala Ungan dekat Daya ada satu kuburan raja yang mengkat
pada tahun 1497, tapi belum jelas makam siapa apakah makam Marhum Unga
atau Marhum Daya. Masih juga belum jelas apakah Marhung Unga itu adalah
Pahlawan Syah yang disebut sebagai Raja Keuluang, anak raja Pasai yang
pertama membuka Negeri Daya.
Kemudian
datang Marhum Daja Sulthan Ali Riajat Sjah jang namanja Uzir, anak dari
Sulthan Inajat Sjah ibnu Abdullah Al Malikul Mubin, jang bersaudara
dengan Sulthan Muzaffar Sjah. Raja di Atjeh Besar dan bersaudara pula
dengan Munawar Sjah Raja di Pidie. Diyakinkan negeri Keluang/Daja itu
berdiri pada akhir abad ke XV oleh Marhum Unga, bias jadi juga dibangun
oleh Marhum Daya.
Setelah
Negeri Daya maju dengan berbagai hasil bumi, pada akhir abad ke XVI
datang ke sana orang orang Portugis, Arab, Spanyol dan Tionghoa untuk
membeli rempah-rempah. Setelah itu datang juga orang Belanda, Inggris
dan Perancis. Malah sampai kini di Lam No terdapat keturunan Portugis.
Negeri Pasir Karam
Di
sekitar Negeri Daya juga pernah terkenal Negeri Pasir Karam, negeri
yang kemudian diyakini sebagai asal mula Aceh Barat. Kisah ini bermula
dari kedatangan orang Minangkabau yang lari dari negerinya membuat
perkebunan di daerah itu maju. Ungkapan “Di sikolah kito balabueh”
disebut-sebut sebagai asal mula nama Meulaboh.
Hal
ini sesuai dengan pendapat HM. Zainuddin dalam buku Tarikh Atjeh dan
Nusantara (1961). Menurut beliau, asal mula Meulaboh adalah Negeri Pasir
Karam. Negeri itu dibangun dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil
(1588-1604). Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar
Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.
Di
negeri itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai
karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi
kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian
pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali
ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada.
Untuk
mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh
Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang
lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836). Sampai di
Teluk Pasir Karam pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh.
“Di sikolah kito balabueh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir
Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari asal kata balabueh, atau
berlabuh.
Pendatang
dari Minangkabau itu kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat.
Di antara mereka malah ada yang menjadi pemimpin di antaranya Datuk
Machudum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja
Alam Song Song Buluh dari Sumpu.
Mereka
menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk
Machudum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto
Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah
dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana. Sama dengan
masyarakat setempat, ketiga Datuk tersebut juga memerintahkan warganya
untuk membuka ladang sehingga kehidupan mereka jadi makmur.
Ketiga
Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap Sultan Aceh, Sultan
Alaiddin Muhammad Daud Syah untuk memperkenalkan diri. Ketika menghadap
Sultan, masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah
tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas
negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh
kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib
mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.
Para
Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi
lama-kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke
kerajaan, karena itu mereka meminta kepada sultan Aceh saat itu seorang
wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk
itu dikabulkan oleh Sultan dan dikirimlah ke sama Teuku Chiek Purba
Lela yang menjadi wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima
upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.
Para
Datuk tersebut merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan
yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian
kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang
khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri.
Permintaan itu juga dikabulkan. Sultan Aceh mengirim Penghulu Sidik Lila
Digahara ke sana dan berwenang menyidik segala hal yang berkaitan
dengan pelanggaran undang-undang negeri.
Permintaan
itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar
dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasah, dan
hukum Syariat. Sultan Aceh mengirim Teungku Tjut Din, seorang ulama yang
bergelar Almuktasimu-binlah, untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di
Meulaboh.
Meulaboh
bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur
Sjah (1858-1870). Karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda,
semakin banyaklah orang dari Minangkabau yang pindah ke sana. Di tanah
Minangkabau mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan
peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil
kebunnya kepada Belanda.
Di
Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada
yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk
membeli rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi
Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian
dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keujruen Chiek Ujong
Kalak.
Federasi
itu disebut Kaway XVI karena dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu
Uleebalang Tanjong, Ujong Kalak, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu,
Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango
Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am.
Selain
federasi Kaway XVI, di perbatasan Aceh Barat dan Pidie juga terbentuk
federasi XII yang terdiri dari 12 Uleebalang yaitu: Pameu, Ara, Lang
Jeue, Reungeuet, Geupho, Reuhat, Tungkup/Dulok, Tanoh Mirah/Tutut,
Geumpang, Tangse, Beunga, serta Keumala. Federasi XII ini dikepalai oleh
seorang Kejreuen yang berkedudukan di Geumpang.[harian-aceh.com]
sumber:atjehcyber