Mesir adalah sebuah negara yang makmur berkat
adanya aliran Sungai Nil. Tetapi ketika masa kekuasaan Khedive Ismail
(1863-1897), Mesir mengalami penurunan dalam segi ekonomi dan stabilitas
sosial. Kebangkrutan dialami Mesir karena Ismail yang boros dalam
melakukan pembelanjaan, sehingga Mesir mengalami defisit hingga terlilit
hutang terhadap Inggris. Ismail menjual saham-sahamnya yang ada
dimaskapai Terusan Suez kepada Inggris. Hal inilah awal mula Inggris
menanamkan intervensinya di Mesir.Mesir terus
mengalami kebangkrutan walau telah menjual sahamnya di Terusan Suez.
Akhirnya Inggris memberikan pinjaman tetapi dengan syarat Inggris boleh
memasukan orangnya untuk menjadi menteri keuangan agar keuangan Mesir
cepat pulih dan berkembang menjadi negara maju. Tapi bukan itu
sebenarnya tujuan dari Inggris. Inggris hanya memanfaatkan ini agar bisa
masuk dan berpengaruh secara
langsung terhadap Mesir. Inggris pun
akhirnya berhasil menggerakan Mesir dengan strateginya. Memunculkan
kebijakan-kebijakan dari Inggris untuk orang Mesir. Mulai dari sini
muncul gerakan-gerakan nasionalisme Mesir, “Mesir hanya untuk orang
Mesir”. Akan tetapi gerakan ini mampu ditumpas dan diakhiri. Tahun 1922,
Mesir memperoleh kemerdekaannya, akan tetapi kemerdekaan itu hanya
semu, Inggris masih bercokol di Mesir. Tiba saatnya penguasaan Mesir
oleh Raja Farouk, seorang raja yang paling kaya dan paling tamak. Dia
pun masih ada dibawah pengaruh inggris. Hingga muncullah gerakan-gerakan
nasionalis Mesir.
Gambar: Bendera Mesir
A. LATAR BELAKANG TERJADINYA REVOLUSI
Mesir merupakan salah satu negara yang pernah dijajah Inggris. Semasa zaman penjajahan itu telah menumbuhkan semangat nasionalisme dalam diri masyarakat Mesir untuk berjuang menggapai kemerdekaan negaranya. Inisiatif untuk melakukan gerakan pemberontakan sudah menggebu-gebu dalam diri para perwira muda militer yang selama ini berada dibawah kontrol kerajaan. Pada tahun 1939, para perwira muda tersebut mendirikan Organisasi Perwira Bebas yang merupakan sebuah organisasi rahasia pertama yang beranggotakan perwira-perwira angkatan bersenjata. Organisasi Perwira Bebas ini kemudian kian berkembang pesat. Para perwira yang tergabung dalam organisasi ini berencana melakukan perlawanan bersenjata untuk menolak kehadiran Inggris di Mesir. Kudeta dilakukan atas dasar ketidakpuasan para perwira terhadap kekuasaan Farouk yang bergaya kemewahan. Raja Farouk yang masih remaja ini hidup dalam kemewahan. Kendati memiliki banyak tanah yang luas, istana megah, dan dan ratusan mobil, raja Farouk tidak pernah merasa puas dengan kekayaannya itu. Bahkan raja Farouk sering melancong ke Eropa untuk berbelanja. Selain itu pada masa-masa sulit semasa Perang Dunia II, Raja Farouk sering dikritik karena cara hidupnya yang mewah. Keputusan Raja Farouk untuk tetap menyalakan semua lampu istananya di Alexandria saat seluruh lampu di kota dimatikan ketika terjadi pengeboman yang dilakukan tentara Italia, menyebabkan Raja Farouk kian dibenci.
A. LATAR BELAKANG TERJADINYA REVOLUSI
Mesir merupakan salah satu negara yang pernah dijajah Inggris. Semasa zaman penjajahan itu telah menumbuhkan semangat nasionalisme dalam diri masyarakat Mesir untuk berjuang menggapai kemerdekaan negaranya. Inisiatif untuk melakukan gerakan pemberontakan sudah menggebu-gebu dalam diri para perwira muda militer yang selama ini berada dibawah kontrol kerajaan. Pada tahun 1939, para perwira muda tersebut mendirikan Organisasi Perwira Bebas yang merupakan sebuah organisasi rahasia pertama yang beranggotakan perwira-perwira angkatan bersenjata. Organisasi Perwira Bebas ini kemudian kian berkembang pesat. Para perwira yang tergabung dalam organisasi ini berencana melakukan perlawanan bersenjata untuk menolak kehadiran Inggris di Mesir. Kudeta dilakukan atas dasar ketidakpuasan para perwira terhadap kekuasaan Farouk yang bergaya kemewahan. Raja Farouk yang masih remaja ini hidup dalam kemewahan. Kendati memiliki banyak tanah yang luas, istana megah, dan dan ratusan mobil, raja Farouk tidak pernah merasa puas dengan kekayaannya itu. Bahkan raja Farouk sering melancong ke Eropa untuk berbelanja. Selain itu pada masa-masa sulit semasa Perang Dunia II, Raja Farouk sering dikritik karena cara hidupnya yang mewah. Keputusan Raja Farouk untuk tetap menyalakan semua lampu istananya di Alexandria saat seluruh lampu di kota dimatikan ketika terjadi pengeboman yang dilakukan tentara Italia, menyebabkan Raja Farouk kian dibenci.
Gambar: Raja Farouk
B. PERAN GAMAL ABDUL NASSER
Gamal Abdul Nasser lahir pada tanggal 15 Januari 1918 di Alexandria. Ayahnya adalah seorang tukang pos. Nama Gamal adalah pemberian ibunya, kemudian ayahnya menerima dengan gembira. Abdul Nasser karena keadaan negerinya yang tidak stabil membuat ia sering berpindah-pindah, dari Alexandria pindah ke Khathathibah dan disanalah ia mulai mengecap pendidikan di bangku sekolah, kemudian pindah ke kairo dan tinggal bersama pamannya.
Gamal Abdul Nasser pada waktu mudanya aktif melakukan demonstrasi atau penentangan terhadap pengaruh Inggris di Mesir. Dia memasuki sekolah menengah al Nadlah di Kairo dan lulus pada tahun 1936, sebelumnya Ia pernah sekolah di Ra’is al Tin di Alexandria. Pendidikan Militernya dimulai setelah dua kali melamar di Kulliyah Harbiyah (semacam Akademi Militer) yaitu pada tahun 1937. Selanjutnya berhasil menamatkan pendidikannya pada umur 20 tahun, yakni pada tahun 1938 dengan pangkat letnan dua.
B. PERAN GAMAL ABDUL NASSER
Gamal Abdul Nasser lahir pada tanggal 15 Januari 1918 di Alexandria. Ayahnya adalah seorang tukang pos. Nama Gamal adalah pemberian ibunya, kemudian ayahnya menerima dengan gembira. Abdul Nasser karena keadaan negerinya yang tidak stabil membuat ia sering berpindah-pindah, dari Alexandria pindah ke Khathathibah dan disanalah ia mulai mengecap pendidikan di bangku sekolah, kemudian pindah ke kairo dan tinggal bersama pamannya.
Gamal Abdul Nasser pada waktu mudanya aktif melakukan demonstrasi atau penentangan terhadap pengaruh Inggris di Mesir. Dia memasuki sekolah menengah al Nadlah di Kairo dan lulus pada tahun 1936, sebelumnya Ia pernah sekolah di Ra’is al Tin di Alexandria. Pendidikan Militernya dimulai setelah dua kali melamar di Kulliyah Harbiyah (semacam Akademi Militer) yaitu pada tahun 1937. Selanjutnya berhasil menamatkan pendidikannya pada umur 20 tahun, yakni pada tahun 1938 dengan pangkat letnan dua.
Gambar: Gamal Abdul Nasser
Pada bulan Desember 1939, ia bersama-sama dengan satu batalion infanteri pindah ke Sudan, di sana ia berjumpa dengan Abdul Hakim Amir yang kelak menjadi rekannya dalam Revolusi Mesir. Pada tahun 1942, ia kembali ke Kairo dan mengajar di Akademi Militer kemudian masuk Dinas Pendidikan Tinggi Militer di Kullyyah Arkan al Harb dan lulus pada tahun 1948. Selanjutnya bergabung dengan pasukan infanteri menuju Palestina dalam peperangan melawan Israel. Karir militer Gamal Abdul Nasser yang begitu dini tidaklah terlalu istimewa, namun pada usia yang cukup muda sudah mampu menggalang persahabatan dengan opsir-opsir yang kelak menjadi pendukungnya dalam usaha kudeta terhadap Raja Farouk.
C. REVOLUSI dan HASILNYA
Tanggal 23 Juli, memiliki makna tersendiri bagi bangsa Mesir, serupa dengan “hari keramat” bagi bangsa Indonesia pada 17 Agustus, yang setiap tahun diperingati sebagai tonggak sejarah negara modern dan berdaulat. Berbeda dengan Indonesia, yang Hari Nasionalnya diadopsi dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Mesir justru menetapkan Hari Nasionalnya pada Revolusi 23 Juli 1952, yakni peralihan bentuk negara Kerajaan menjadi Republik. Mesir sendiri memperoleh kemerdekaan dari penjahah Inggris pada 28 Januari 1922, namun tanggal tersebut tampaknya tidak pernah diperingatinya.
Revolusi 23 Juli 1952 itu diawali dengan kudeta militer yang diprakarsai oleh beberapa perwira muda Angatan Darat pimpinan Letnan Kolonel Gamal Abdul Nasser. Para perwira muda yang menamakan dirinya “Gerakan Perwira Bebas” itu berupaya menumbangkan Raja Farouk dan menghapus konstitusi monarki untuk mengubah bentuk negara kerajaan menjadi republik. Keberhasilan revolusi Mesir tersebut menyumbangkan inspirasi bagi sejumlah negara Asia dan Afrika untuk melakukan gerakan serupa untuk menumbangkan apa yang disebut sebagai rezim korup.
Pada bulan Desember 1939, ia bersama-sama dengan satu batalion infanteri pindah ke Sudan, di sana ia berjumpa dengan Abdul Hakim Amir yang kelak menjadi rekannya dalam Revolusi Mesir. Pada tahun 1942, ia kembali ke Kairo dan mengajar di Akademi Militer kemudian masuk Dinas Pendidikan Tinggi Militer di Kullyyah Arkan al Harb dan lulus pada tahun 1948. Selanjutnya bergabung dengan pasukan infanteri menuju Palestina dalam peperangan melawan Israel. Karir militer Gamal Abdul Nasser yang begitu dini tidaklah terlalu istimewa, namun pada usia yang cukup muda sudah mampu menggalang persahabatan dengan opsir-opsir yang kelak menjadi pendukungnya dalam usaha kudeta terhadap Raja Farouk.
C. REVOLUSI dan HASILNYA
Tanggal 23 Juli, memiliki makna tersendiri bagi bangsa Mesir, serupa dengan “hari keramat” bagi bangsa Indonesia pada 17 Agustus, yang setiap tahun diperingati sebagai tonggak sejarah negara modern dan berdaulat. Berbeda dengan Indonesia, yang Hari Nasionalnya diadopsi dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Mesir justru menetapkan Hari Nasionalnya pada Revolusi 23 Juli 1952, yakni peralihan bentuk negara Kerajaan menjadi Republik. Mesir sendiri memperoleh kemerdekaan dari penjahah Inggris pada 28 Januari 1922, namun tanggal tersebut tampaknya tidak pernah diperingatinya.
Revolusi 23 Juli 1952 itu diawali dengan kudeta militer yang diprakarsai oleh beberapa perwira muda Angatan Darat pimpinan Letnan Kolonel Gamal Abdul Nasser. Para perwira muda yang menamakan dirinya “Gerakan Perwira Bebas” itu berupaya menumbangkan Raja Farouk dan menghapus konstitusi monarki untuk mengubah bentuk negara kerajaan menjadi republik. Keberhasilan revolusi Mesir tersebut menyumbangkan inspirasi bagi sejumlah negara Asia dan Afrika untuk melakukan gerakan serupa untuk menumbangkan apa yang disebut sebagai rezim korup.
Gambar: Revolusi Mesir 1952
Revolusi yang dinilai berhasil dan mendapat dukungan rakyat itu bertumpu pada tiga alasan ketidakpuasan. Pertama adalah ketidakpuasan atas berdirinya negara Israel di tanah Palestina pada 1948. Raja Farouk dinilai terlalu lemah dalam mempertahankan negara Palestina. Kedua, ialah penguasa Monarki dinilai melakukan korupsi dan terlalu pro-Inggris, bekas penjajah Mesir dan Palestina, yang dikenal sebagai salah satu negara yang menyokong berdirinya negara Israel. Ketiga, ketidakpuasan publik atas menjalarnya korupsi dan penyelewengan kekuasaan yang merata di hampir semua lembaga pemerintahan. Kemarahan rakyat kian memuncak ketika pasukan Inggris menyerang barak-barak polisi di kota Ismailiah pada 25 Januari 1952, sehingga menewaskan 50 perwira polisi dan melukai ratusan personil lagi. Pada hari berikutnya, 26 Januari yang juga disebut sebagai As-Sabt Al-Aswad (Sabtu Hitam), rakyat turun ke jalan-jalan di Kairo dan sejumlah kota lain. Kata-kata “revolusi kedua” dikumandangkan oleh para demontran yang mengingatkan revolusi pertama Mesir pada musim semi 1919, yang diprakarsai Saad Zaghlul, pemimpin Gerakan Nasionalis yang dikucilkan Inggris di Malta.
Revolusi pertama tersebut berhasil mengusir kaum penjajah Inggris dan diproklamasikannya kemerdekaan Mesir pada 22 Januari 1922. Kendati sudah merdeka, pengaruh Inggris masih tetap merebak, sehingga Mesir tak ubahnya dengan negara boneka. Sabtu Hitam itu membuat Kairo seperti lautan api. Massa yang tak terkendali menyerang kepentingan-kepentingan asing, hotel, kantor penerbangan, bioskop, klub malam. Raja Farouk mulai kehilangan kepercayaan rakyat dan pikirannya benar-benar buntu. Kebuntuan pikiran sang raja terlihat dari gonta-gantinya pemerintah. Dalam jangka waktu enam bulan menjelang revolusi, Raja Farouk melakukan empat kali pembentukan pemerintah. Mula-mula Raja Farouk membubarkan pemerintah pimpinan perdana menteri (PM) Mustafa En-Nahhas dan mengangkat PM Ali Maher (27 Januari-1 Maret 1952), berikutnya PM Ahmed Naguib El-Hilali (2 Maret-29 Juni 1952), PM Hussein Sirri (2-20 Juli 1952), dan sehari menjelang revomusi, Ahmed Naguib El-Hilali diangkat kembali sebagai PM (22-23 Juli 1952).
Revolusi yang dinilai berhasil dan mendapat dukungan rakyat itu bertumpu pada tiga alasan ketidakpuasan. Pertama adalah ketidakpuasan atas berdirinya negara Israel di tanah Palestina pada 1948. Raja Farouk dinilai terlalu lemah dalam mempertahankan negara Palestina. Kedua, ialah penguasa Monarki dinilai melakukan korupsi dan terlalu pro-Inggris, bekas penjajah Mesir dan Palestina, yang dikenal sebagai salah satu negara yang menyokong berdirinya negara Israel. Ketiga, ketidakpuasan publik atas menjalarnya korupsi dan penyelewengan kekuasaan yang merata di hampir semua lembaga pemerintahan. Kemarahan rakyat kian memuncak ketika pasukan Inggris menyerang barak-barak polisi di kota Ismailiah pada 25 Januari 1952, sehingga menewaskan 50 perwira polisi dan melukai ratusan personil lagi. Pada hari berikutnya, 26 Januari yang juga disebut sebagai As-Sabt Al-Aswad (Sabtu Hitam), rakyat turun ke jalan-jalan di Kairo dan sejumlah kota lain. Kata-kata “revolusi kedua” dikumandangkan oleh para demontran yang mengingatkan revolusi pertama Mesir pada musim semi 1919, yang diprakarsai Saad Zaghlul, pemimpin Gerakan Nasionalis yang dikucilkan Inggris di Malta.
Revolusi pertama tersebut berhasil mengusir kaum penjajah Inggris dan diproklamasikannya kemerdekaan Mesir pada 22 Januari 1922. Kendati sudah merdeka, pengaruh Inggris masih tetap merebak, sehingga Mesir tak ubahnya dengan negara boneka. Sabtu Hitam itu membuat Kairo seperti lautan api. Massa yang tak terkendali menyerang kepentingan-kepentingan asing, hotel, kantor penerbangan, bioskop, klub malam. Raja Farouk mulai kehilangan kepercayaan rakyat dan pikirannya benar-benar buntu. Kebuntuan pikiran sang raja terlihat dari gonta-gantinya pemerintah. Dalam jangka waktu enam bulan menjelang revolusi, Raja Farouk melakukan empat kali pembentukan pemerintah. Mula-mula Raja Farouk membubarkan pemerintah pimpinan perdana menteri (PM) Mustafa En-Nahhas dan mengangkat PM Ali Maher (27 Januari-1 Maret 1952), berikutnya PM Ahmed Naguib El-Hilali (2 Maret-29 Juni 1952), PM Hussein Sirri (2-20 Juli 1952), dan sehari menjelang revomusi, Ahmed Naguib El-Hilali diangkat kembali sebagai PM (22-23 Juli 1952).
Gambar: Revolusi Mesir
Kudeta itu sendiri awalnya dijadwalkan pada 5 Agustus 1952, namun kalangan anggota Gerakan Perwira Bebas yang dimotori Letkol Gamal Abdel Nasser mendesak agar mereka segera beraksi. Jenderal Mohamed Naguib, salah seorang tokoh Gerakan Perwira Bebas yang dituakan, pun mengamini desakan untuk mempercepat aksi kudeta. Akhirnya, hari Rabu, 23 Juli 1952, pukul 07:30 waktu Kairo (12:30 WIB), dari stasiun Radio Nasional Mesir terdengar maklumat revolusi yang dibacakan Letkol Anwar Saddat, anggota Gerakan Perwira Bebas. “Mesir telah melewati masa kritis yang diakibatkan oleh korupsi, kolusi, kekacauan keamanan dan ketidakstabilan pemerintahan. Lebih parah lagi, angkatan bersenjata yang sangat lemah mengakibatkan kekalahan besar dalam perang mempertahankan Palestina melawan Zionis Yahudi,” begitu antara lain Maklumat Revolusi yang dibacakan Letkol Saddat, presiden 1970-1981.
Aksi revolusi itu berlanjut hingga Dewan Komando Revolusi memproklamasikan Republik Mesir pada 18 Juni 1953 dengan Jenderal Muhamed Naguib sebagai presiden pertama. Presiden Naguib sebetulnya hanya dijadikan boneka oleh kelompok Gerakan Perwira Bebas. Pemimpin sebenarnya adalah Letkol Gamal Abdel Nasser, yang dikenal sebagai arsitek revolusi 1952. Presiden Naguib pun dipaksa mengundurkan diripada 1954, dan seperti telah diduga, Gamal Abdel Nasser mengambil-alih jabatan presiden hingga ia wafat pada tahun 1970.
Kudeta itu sendiri awalnya dijadwalkan pada 5 Agustus 1952, namun kalangan anggota Gerakan Perwira Bebas yang dimotori Letkol Gamal Abdel Nasser mendesak agar mereka segera beraksi. Jenderal Mohamed Naguib, salah seorang tokoh Gerakan Perwira Bebas yang dituakan, pun mengamini desakan untuk mempercepat aksi kudeta. Akhirnya, hari Rabu, 23 Juli 1952, pukul 07:30 waktu Kairo (12:30 WIB), dari stasiun Radio Nasional Mesir terdengar maklumat revolusi yang dibacakan Letkol Anwar Saddat, anggota Gerakan Perwira Bebas. “Mesir telah melewati masa kritis yang diakibatkan oleh korupsi, kolusi, kekacauan keamanan dan ketidakstabilan pemerintahan. Lebih parah lagi, angkatan bersenjata yang sangat lemah mengakibatkan kekalahan besar dalam perang mempertahankan Palestina melawan Zionis Yahudi,” begitu antara lain Maklumat Revolusi yang dibacakan Letkol Saddat, presiden 1970-1981.
Aksi revolusi itu berlanjut hingga Dewan Komando Revolusi memproklamasikan Republik Mesir pada 18 Juni 1953 dengan Jenderal Muhamed Naguib sebagai presiden pertama. Presiden Naguib sebetulnya hanya dijadikan boneka oleh kelompok Gerakan Perwira Bebas. Pemimpin sebenarnya adalah Letkol Gamal Abdel Nasser, yang dikenal sebagai arsitek revolusi 1952. Presiden Naguib pun dipaksa mengundurkan diripada 1954, dan seperti telah diduga, Gamal Abdel Nasser mengambil-alih jabatan presiden hingga ia wafat pada tahun 1970.
Gambar: Terusan Suez
Pada masa pemerintahannya, Gamal Abdul Nasser membangkitkan Nasionalisme Arab dan Pan Arabisme, menasionalisasi Terusan Suez yang mengakibatkan krisis Suez yang membuat Mesir berhadapan dengan Perancis, Inggris dan Israel yang memiliki kepentingan terhadap terusan itu. Krisis ini berakhir dengan keputusan dunia Internasional yang menguntungkan Mesir serta Terusan Suez resmi berada dalam kedaulatan Mesir. Kemudian Gamal mengadakan proyek infrastruktur besar-besaran diantaranya adalah proyek Bendungan Aswan dengan bantuan pemerintah Uni Soviet. Setelah kalah dalam Perang Enam Hari dengan Israel pada tahun 1967, Gamal Abdul Nasser ingin menarik diri dari dunia politik tetapi rakyat Mesir menolaknya. Gamal Abdul Nasser sekali lagi memimpin Mesir dalam Peperangan 1969-1970 (War of Atrition). Gamal Abdul Nasser meninggal akibat penyakit jantung dua minggu setelah peperangan usai pada 28 September 1970. Gamal Abdul Nasser digantikan olehAnwar Sadat.
Pada masa pemerintahannya, Gamal Abdul Nasser membangkitkan Nasionalisme Arab dan Pan Arabisme, menasionalisasi Terusan Suez yang mengakibatkan krisis Suez yang membuat Mesir berhadapan dengan Perancis, Inggris dan Israel yang memiliki kepentingan terhadap terusan itu. Krisis ini berakhir dengan keputusan dunia Internasional yang menguntungkan Mesir serta Terusan Suez resmi berada dalam kedaulatan Mesir. Kemudian Gamal mengadakan proyek infrastruktur besar-besaran diantaranya adalah proyek Bendungan Aswan dengan bantuan pemerintah Uni Soviet. Setelah kalah dalam Perang Enam Hari dengan Israel pada tahun 1967, Gamal Abdul Nasser ingin menarik diri dari dunia politik tetapi rakyat Mesir menolaknya. Gamal Abdul Nasser sekali lagi memimpin Mesir dalam Peperangan 1969-1970 (War of Atrition). Gamal Abdul Nasser meninggal akibat penyakit jantung dua minggu setelah peperangan usai pada 28 September 1970. Gamal Abdul Nasser digantikan olehAnwar Sadat.